Aku tertegun.
"Tapi Mama Lida mengambil uang tabunganku, Yah. Uang itu mau aku gunakan untuk buka usaha," jawabku dengan suara serak.
"Mama kan cuma pinjam, masa nggak boleh?" sahut Mama Lida."Aku perlu uang itu, tolong kembalikan," pintaku dengan nada memohon."Sudah-sudah, perkara uang saja kamu ributkan. Memangnya, berapa uang kamu yang Mama Lida pakai?" tanya Ayah."Di dalam ATM itu, ada uangku 50 juta, Yah. Hasil tabunganku selama bekerja beberapa tahun ini. Aku rela menahan segala keinginanku untuk berbelanja demi bisa membuka usaha. Tapi, Mama Lida diam-diam mengambil uangku dan menggunakannya tanpa izinku," ucapku panjang lebar.Ayahku tampak membelalak kala mendengar nominalnya. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dapat menabung sebanyak itu."Ini demi Mouren, Yah. Keluarga calon suaminya akan datang malam ini. Mama cuma ingin menyambut mereka dengan hidangan terbaik dan menunjukkan pada mereka bahwa kita layak menjadi keluarga. Karena mereka orang kaya, Mama nggak mau kita dipandang sebelah mata ....""Memangnya gaji Ayah nggak cukup?" sahutku melihat Ayah masih saja diam."Kalau cukup, juga nggak mungkin pake uang kamu," jawab Mama Lida."Sudah- sudah! Jangan ribut terus, nanti Ayah pikirkan lagi. Sekarang, kamu kembali ke kamar kamu sana!!" bentaknya.Mau tidak mau, aku pergi dengan patah hati menuju ke kamarku.Sekarang, aku tidak punya uang tabungan lagi.Sakit hatiku semakin parah. Sudah dicampakkan, sekarang aku tak punya tabungan.Aku tidak tahu bagaimana harus memulai kehidupan ini seperti apalagi?Mengapa cobaan demi cobaan datang di hidupku tiada habisnya?"Mamah ...." Aku memekik memeluk bantal. "Kenapa takdir begitu kejam padaku ...."Dalam diam, aku menangis sekuat-kuatnya.Hingga tiba-tiba, kamarku diketuk cukup keras dari luar.Ingin sekali rasanya aku mengamuk, membanting semua barang di kamar ini. Tapi aku sadar itu percuma.‘Bisa-bisa, Ayah semakin kasar padaku,’ batinku perih.Selama ini, Ayah selalu saja tegas dan tidak main-main dalam menegurku. Sedangkan pada Mama Lida dan Mouren? Ayah begitu baik.‘Akan kuingat perbuatan kalian semua. Sampai aku mati sekalipun, kalian tidak akan kumaafkan," pekikku dalam hati lalu segera turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu.Namun, begitu pintu terbuka, aku menemukan senyum mengejek di wajah Mouren dan Mama Lida.Mau apalagi Ibu dan anak ini datang ke kamarku?"Ada apa?" tanyaku dingin."Tidak usah meratapi nasib, kamu memang ditakdirkan hidup miskin. Sebaiknya, kamu bantu bi Ambi, untuk membuat kue dan hidangan lezat. Jika kamu membuat kesalahan di hari pertunangan Mouren, saya pastikan kamu akan terkurung dalam neraka rumah ini," ujar Mama Lida, berbicara pelan ke arahku.Aku tersenyum sinis.Andai Ayah tahu bagaimana Mama Lida terhadapku yang sebenarnya, mungkin Ayah tidak akan selalu menganggap aku pembawa masalah.Sayangnya, Ayah terlalu percaya Mama Lida yang berwajah dua ini. Entah guna-guna apa yang kedua orang ini gunakan."Cepat sana ke dapur! Jangan tidak berguna seperti ini," titahnya lagi."Kau harus melihat calon suami aku, Kak. Agar kamu bisa belajar menjadi wanita pintar sepertiku," timpal Mouren dengan senyuman mengejek.Aku hanya terdiam ketika keduanya terkekeh dan pergi menjauh dari kamarku.Rasanya, aku ingin menolak, tetapi kenangan masa lalu saat aku berusia 17 tahun dan memiliki keinginan besar untuk berkuliah kembali terputar di kepala.Kala itu, Mama Lida menolak keras, hingga Ayah tersulut emosi saat aku tak sengaja mencaci istri dan anak tirinya itu. Dengan tega, mereka mengurungku di gudang belakang rumah selama dua hari!“Hah….” helaku kesal.Segera, aku ke dapur membantu bi Ambi, menyiapkan hidangan.Aku tidak ingin membuat masalah dulu, setelah itu aku akan pergi dari rumah sialan ini.Lagi pula, aku juga penasaran, siapa orang yang melamar Mouren?*****Dan malam pun telah tiba, mereka berpakaian begitu rapi dan mewah.Senyum sumringah terus terpancar dari wajah Mama Lida dan Mouren."Kalian memang bidadari Ayah yang paling cantik-cantik. Semoga acara lamaran kamu, berjalan dengan lancar, anakku ...."Terdengar suara Ayah memuji kedua wanita itu.Apalah dayaku, hidup memiliki Ayah, tapi terasa sebatang kara?Tinggal di rumah sendiri, seakan numpang di rumah orang lain.Tiba- tiba mereka bertiga masuk ke dalam dapur. Aku dan bi Ambi lantas menoleh ke arah mereka."Ra, kamu nggak usah ikut keluar menjamu keluarga calon suami Mouren. Kamu khusus bantu bi Ambi saja. Kami nggak mau, reputasi kami rusak gara- gara kamu," ujar Ayah, membuatku tercengang."Ayah malu mengakui aku anak?" tanyaku."Lihatlah dirimu itu? Apa pantas disebut sebagai anak seorang Manager? Kamu lebih cocok jadi anak bi Ambi," cibir Ayah."Ayah sudah, jangan keras begitu pada Kakak. Kasihan dia, cape-cape bantu Mouren, menyiapkan semua ini.""Nggak usah munafik! Kalian berdua tentu senang kan, jika Ayah memakiku?" ujarku dengan tatapan marah pada kedua wanita itu."Anakku, kamu ngomong apa sih? Maksud Ayah kamu itu baik, dia nggak mau kamu malu jika nanti keluarga calon suami Mouren melihat keadaan kamu yang seperti ini," ujar Mama Lida dengan ekspresi prihatin."Cukup! Aku muak sudah." Aku melepaskan celemek dan melemparkannya ke lantai. "Jika Ayah malu punya anak sepertiku, aku akan pergi dari rumah ini."Segera kulewati mereka. Namun, tanganku tiba-tiba ditahan Mouren."Kakak, jangan pergi, kumohon," lirihnya memelas."Sudah, biarkan anak tidak tahu diri itu pergi. Ayah pengen lihat, apakah dia bisa hidup diluar sana," cibir Ayah.Mendengar itu, aku tertawa sumbang dalam hati.Kumantapkan langkah kaki menuju kamarku.Kuambil koper dan kumasukkan semua pakaianku seadanya saja yang memang aku perlukan.Setelah semua beres, aku keluar kamar dan menuruni tangga.Di ruang tengah, Ayah, Mouren dan Mama Lida sedang duduk. Tanpa suara, aku melewati mereka."Jangan berani kembali ke rumah ini lagi, kamu bukan anakku lagi," teriak Ayah.Namun, aku tidak peduli.Aku terus melangkah keluar rumah, hingga sebuah mobil Fortuner putih, memasuki halaman rumah.Aku mengenal jelas mobil itu, dan aku juga melihat jelas lelaki yang mengemudikannya.Aku terdiam, ketika orang-orang di mobil itu, keluar.Wajah masam wanita paru baya itu, melayang ke arahku."Jadi, kamu yang mau melamar Mouren?" tanyaku, ketika lelaki itu beserta keluarganya mendekat ke arahku yang memang berdiri tidak jauh dari pintu.“Luar biasa sekali, Abimanyu!”Bab60Tiba- tiba hati nyonya Rengganis merasa sakit, melihat nasib malang yang menimpa Nara."Kamu lupa tentang asalmu! Kamu juga bukan siapa- siapa, Bu. Harta dan kuasa yang saat ini kita miliki hanyalah titipan. Lihat keadaan kita sekarang, aku sakit- sakitan, kedua anak kita pergi meninggalkan rumah ini. Percuma kita punya rumah mewah, tapi di dalamnya tidak ada cinta. Entah nanti ketika aku mati, apakah kamu mampu hidup sendiri, atau aku mati tanpa ada siapapun disisiku," lirih tuan Tantaka saat itu.Membuat perasaan dihati nyonya Rengganis mulai terketuk."Wanita itu tidak salah apa- apa, tapi dia harus menderita parah dalam hidupnya. Dibuang keluarga, karena Ibu tiri dan adiknya yang gila harta. Aku yakin, dia pun tidak mau hidup begitu, Bu. Tidak sepantasnya kamu menambah luka dihidupnya. Jangan menyumbang derita di hidup orang lain," lanjut tuan Tantaka."Angkasa ...." tuan Tantaka berteriak, mendekati Angkasa yang ternyata sudah menarik rambut Nara seenaknya.Teriakkan tuan T
Bab59"Mona ...."Wanita cantik itu tersenyum dan mendekati Bram."Sudah kuduga ini kamu. Kenapa, kamu kehilangan Nara?""Kenapa kamu bisa tau?""Kamu belum tahu apa- apa, Bram. Angkasa yang membawa Nara pergi, entah pergi kemana aku juga belum tau.""Maksud kamu apa? Dan kenapa Angkasa membawa Nara pergi, jelaskan yang benar, aku nggak lagi baik- baik saja, Mon. Tolong jangan bergurau.""Siapa yang bergurau, faktanya Nara memang pergi bersama Angkasa, suami sah Nara.""Suami sah? Kamu gila, aku sudah tegasin sama kamu ya, Mon. Aku nggak lagi baik- baik saja. Kita memang kenal, tapi kita tidak dekat, jadi jangan seperti ini, aku nggak suka ya."Bramantio nampak marah dan tidak suka, mendengar informasi yang dibawakan Monalisa dengan tujuan tertentu."Angkasa itu memang suaminya, dan lelaki kecil yang saat itu bersama Angkasa, itu adalah anak mereka. Kamu tidak tahu apa- apa, kamu ditipu wanita itu, entah dengan tujuan apa, mungkin saja karena uang. Yang jelas, semua yang aku katakan f
Bab58Jam 9 malam, nyonya Rengganis pulang ke rumahnya, bersama dengan Monalisa.Seharian ini, setelah pergi dari kantor Angkasa, kedua wanita ini memilih untuk pergi shopping dan bersantai di restoran mewah.Plakkk ....1 tamparan keras mendarat di wajah nyonya Rengganis, ketika wanita itu pulang bersama dengan Monalisa."Ibu, ada apa ini? Kenapa Ibu pukul saya?" tanya nyonya Rengganis pada nenek Asia.Pak Tantaka hanya diam disofa single, sambil menatap ponselnya yang terus- menerus melakukan panggilan pada nomor Angkasa."Apa yang sudah kamu dan wanita licik ini lakukan pada cucuku? Sampai- sampai dia memilih pergi dari kota ini?" bentak nenek Asia, membuat nyonya Rengganis terkejut."Maksud Ibu siapa? Angkasa? Bukankah tadi dia ada di kantor."Nyonya Rengganis benar- benar merasa kesal atas semua perbuatan nenek Asia padanya, yang dengan teganya menampar wajahnya begitu saja.Panas, panas pukulan tangan nenek Asia, masih begitu terasa dipipi kirinya."Dasar menantu bodoh! Mau saja
Bab57"Angkasa, buka! Kamu mau Ibu mati di depan ruangan kamu?" tanya suara di depan yang mulai pelan.Angkasa menarik rambutnya dengan kesal, kemudian lelaki yang kini tubuhnya nampak kurus itu pun terlihat bimbang untuk membukakan pintu.Karena dia yakin, jika Ibunya bertemu dengan Nara, maka akan semakin ribet keadaannya.Nara melirik sejenak ke arah Angkasa, memindai wajah yang masih tampan itu. Sayangnya, tubuhnya nampak semakin kurus, tidak terawat lagi.Bahkan hal baru yang Nara mulai ketahui, kini Angkasa mulai mengisap rokok. Terlihat dari asbaknya yang ada di atas meja, dan roko serta korek api yang juga ada di sana.Padahal yang Nara tahu, dulu lelaki di depannya ini, tidak menyukai rokok sama sekali. Setelah sekian tahun terpisah, banyak perubahan Angkasa, yang mengarah ke negatif di mata Nara."Angkasa," lirih suara di depan, yang disusul suara panik lainnya."Angkasa, ibu sesak napas," pekik suara dari luar, yang mereka kenali suara Monalisa."Shiiit." Angkasa sangat kes
Bab56"Angkasa ...." Akhirnya Monalisa berteriak. Sayangnya, Angkasa tidak menghiraukannya sama sekali. Ketika memasuki ruangan, Angkasa melepaskan pergelangan tangan Nara. Nara terdiam sejenak, sembari menarik napas dalam- dalam, mencoba menghilangkan perasaan takut dan gugupnya.Telapak tangan Nara basah, ada perasaan was- was menggerogoti hatinya."Ada apa kemari? Pasti sangat begitu penting, sampai kamu datang kesini, setelah berhari- hari menghilang," ujar Angkasa membuka obrolan.Nara duduk disofa, mencoba menjawab dengan tenang, demi Baskara, anak yang telah mengobati rindu dihatinya, setelah sekian tahun menanggung perasaan sakit hati, karena merindukan anak semata wayang."Demi Baskara," lirih Nara."Aku memberanikan diri datang kemari. Demi dia, demi anakku," lanjut Nara, membuat Angkasa yang tadinya berdiri membelakangi Nara, sambil menatap ke arah dinding kaca, kini berbalik badan, melemparkan pandangan pada Nara yang duduk dengan tatapan datar.Sangat jauh dengan Nara ya
Bab55Nara berdiri, dan perlahan mundur."Ngapain kamu? Jangan mendekat," bentak Nara, dengan tatapan penuh ketidaksukaan."Nara, aku rindu, rindu sama kamu," lirih lelaki itu, yang tidak lagi lanjut melangkah."Rindu apa? Bulshit. Kamu jahat, kamu perusak kebahagiaanku," ucap Nara dengan suara bergetar."Karena kamu aku menderita, aku terbuang dari keluarga dan aku harus melewati berbagai macam kedukaan," lanjut Nara.Tatapan penuh kekecewaan bercampur luka, terpancar jelas diwajah cantik Nara.Nara yang dulu sederhana, kini menjadi Nara yang cantik, modis dan putih bersih terawat.Membuat kekaguman dimata lelaki yang kini berhadapan dengannya."Aku cinta sama kamu, Nara. Aku nggak bahagia, menyaksikan kamu berumah tangga dengan Angkasa. Kembalilah denganku, Nara. Aku janji, aku akan bahagiakan kamu," ucap lelaki itu."Jangan bicara tentang cinta, pengkhianat, penipu. Demi Allah, Abimanyu, aku benci kamu, aku jijik dan seumur hidup aku akan membenci kamu," tegas Nara."Seharusnya ki