Bab57"Angkasa, buka! Kamu mau Ibu mati di depan ruangan kamu?" tanya suara di depan yang mulai pelan.Angkasa menarik rambutnya dengan kesal, kemudian lelaki yang kini tubuhnya nampak kurus itu pun terlihat bimbang untuk membukakan pintu.Karena dia yakin, jika Ibunya bertemu dengan Nara, maka akan semakin ribet keadaannya.Nara melirik sejenak ke arah Angkasa, memindai wajah yang masih tampan itu. Sayangnya, tubuhnya nampak semakin kurus, tidak terawat lagi.Bahkan hal baru yang Nara mulai ketahui, kini Angkasa mulai mengisap rokok. Terlihat dari asbaknya yang ada di atas meja, dan roko serta korek api yang juga ada di sana.Padahal yang Nara tahu, dulu lelaki di depannya ini, tidak menyukai rokok sama sekali. Setelah sekian tahun terpisah, banyak perubahan Angkasa, yang mengarah ke negatif di mata Nara."Angkasa," lirih suara di depan, yang disusul suara panik lainnya."Angkasa, ibu sesak napas," pekik suara dari luar, yang mereka kenali suara Monalisa."Shiiit." Angkasa sangat kes
Bab58Jam 9 malam, nyonya Rengganis pulang ke rumahnya, bersama dengan Monalisa.Seharian ini, setelah pergi dari kantor Angkasa, kedua wanita ini memilih untuk pergi shopping dan bersantai di restoran mewah.Plakkk ....1 tamparan keras mendarat di wajah nyonya Rengganis, ketika wanita itu pulang bersama dengan Monalisa."Ibu, ada apa ini? Kenapa Ibu pukul saya?" tanya nyonya Rengganis pada nenek Asia.Pak Tantaka hanya diam disofa single, sambil menatap ponselnya yang terus- menerus melakukan panggilan pada nomor Angkasa."Apa yang sudah kamu dan wanita licik ini lakukan pada cucuku? Sampai- sampai dia memilih pergi dari kota ini?" bentak nenek Asia, membuat nyonya Rengganis terkejut."Maksud Ibu siapa? Angkasa? Bukankah tadi dia ada di kantor."Nyonya Rengganis benar- benar merasa kesal atas semua perbuatan nenek Asia padanya, yang dengan teganya menampar wajahnya begitu saja.Panas, panas pukulan tangan nenek Asia, masih begitu terasa dipipi kirinya."Dasar menantu bodoh! Mau saja
Bab59"Mona ...."Wanita cantik itu tersenyum dan mendekati Bram."Sudah kuduga ini kamu. Kenapa, kamu kehilangan Nara?""Kenapa kamu bisa tau?""Kamu belum tahu apa- apa, Bram. Angkasa yang membawa Nara pergi, entah pergi kemana aku juga belum tau.""Maksud kamu apa? Dan kenapa Angkasa membawa Nara pergi, jelaskan yang benar, aku nggak lagi baik- baik saja, Mon. Tolong jangan bergurau.""Siapa yang bergurau, faktanya Nara memang pergi bersama Angkasa, suami sah Nara.""Suami sah? Kamu gila, aku sudah tegasin sama kamu ya, Mon. Aku nggak lagi baik- baik saja. Kita memang kenal, tapi kita tidak dekat, jadi jangan seperti ini, aku nggak suka ya."Bramantio nampak marah dan tidak suka, mendengar informasi yang dibawakan Monalisa dengan tujuan tertentu."Angkasa itu memang suaminya, dan lelaki kecil yang saat itu bersama Angkasa, itu adalah anak mereka. Kamu tidak tahu apa- apa, kamu ditipu wanita itu, entah dengan tujuan apa, mungkin saja karena uang. Yang jelas, semua yang aku katakan f
Bab60Tiba- tiba hati nyonya Rengganis merasa sakit, melihat nasib malang yang menimpa Nara."Kamu lupa tentang asalmu! Kamu juga bukan siapa- siapa, Bu. Harta dan kuasa yang saat ini kita miliki hanyalah titipan. Lihat keadaan kita sekarang, aku sakit- sakitan, kedua anak kita pergi meninggalkan rumah ini. Percuma kita punya rumah mewah, tapi di dalamnya tidak ada cinta. Entah nanti ketika aku mati, apakah kamu mampu hidup sendiri, atau aku mati tanpa ada siapapun disisiku," lirih tuan Tantaka saat itu.Membuat perasaan dihati nyonya Rengganis mulai terketuk."Wanita itu tidak salah apa- apa, tapi dia harus menderita parah dalam hidupnya. Dibuang keluarga, karena Ibu tiri dan adiknya yang gila harta. Aku yakin, dia pun tidak mau hidup begitu, Bu. Tidak sepantasnya kamu menambah luka dihidupnya. Jangan menyumbang derita di hidup orang lain," lanjut tuan Tantaka."Angkasa ...." tuan Tantaka berteriak, mendekati Angkasa yang ternyata sudah menarik rambut Nara seenaknya.Teriakkan tuan T
"Nara Kamila, kamu dan anakku bagaikan langit dan bumi! Keluarga kami tidak akan memberikan restu sampai kapan pun. Jadi, kami mau hubungan kalian berakhir sekarang."Bagaikan petir menyambar tepat di ulu hati, ucapan Ibu dari Abimanyu itu sukses membuatku diam terpaku di atas sofa mahal milik keluarga pria itu.Rasanya, tidak ada masalah sama sekali sebelumnya. Tepat jam empat pagi, aku sudah datang ke rumah besar ini–membawa berbagai macam bahan makanan yang sore kemarin kubeli, memasaknya, dan menatanya dengan rapi. Bahkan, aku membantu merapikan rumah dalam rangka penyambutan kekasihku yang baru pulang dari luar negeri. Sebenarnya, ada apa ini? “Bu–”Belum sempat aku berbicara, Ibu dari kekasihku itu memotong ucapanku, "Kamu itu hanya lulusan SMA, Nara. Berbeda dengan Abimanyu yang lulusan S1 dari luar negeri dan penerus perusahaan Papanya nanti.” “Kami sendiri bingung denganmu. Keluargamu kan bisa dikatakan mampu, tapi kenapa kamu cuma lulusan SMA? Belum lagi, kamu cuma kerj
“Hahahaaa ....Selamat, anak mama tersayang!”Aku masih saja mendengar suara tawa penuh kebahagiaan dari luar kamarku yang memang bersebelahan dengan milik Mouren–anak yang dibawa ibu tiriku. Hal ini menarikku kembali ke masa lalu. Saat aku berusia 9 tahun, Ibuku meninggal dan Ayah resmi menikahi Mama Lida tak lama setelahnya. Hanya butuh waktu lima bulan, Mama Lida dan Mouren datang ke rumah ini–membawa perubahan besar di hidupku. Aku bagaikan anak yang tidak terurus, tidak diperhatikan, dan sering diacuhkan. Namun, aku ikhlas dan berlapang dada karena tahu jika melawan pun, akan percuma. Dulu, aku pernah juara 2 dan Mouren juara 1, tetapi hanya dia yang mendapatkan selamat. Mereka menulikan telinga atas pemberitahuanku mengenai pencapaianku. Kuakui Mouren yang merupakan blasteran Indonesia dan Jerman itu cukup cantik dan juga lumayan pintar. Mungkin, sebab itulah, Ayah dan Mama Lida, memprioritaskan pendidikannya dari awal hingga kini. Perih, jika kuingat masa itu. ‘Kupiki
"Apa? Kamu sama Abimanyu putus, karena masalah pendidikan kamu yang hanya sampai SMA?" pekik Siska, sahabat baikku, setelah aku selesai bercerita.Hari ini, di sebuah taman kecil di pinggiran kota, aku memang menemuinya untuk curhat. Aku tak tahu harus merespons apa, selain menunduk sambil mengangguk. "Kurang ajar sekali keluarga itu! Mentang-mentang mereka kaya, seenaknya mereka buang kamu? Padahal, mereka menjadikan kamu pesuruh mereka,” ucapnya membara, “Apa kata aku, Ra?! Keluarga mereka itu cuma manfaatin kamu ...." "Kupikir mereka hanya mengujiku selama ini, memberiku begitu banyak kerjaan, dan selalu meminta tenagaku semau mereka. Tapi, aku nggak nyangka, mereka sebenarnya tidak suka padaku." Siska tampak mengepalkan tangannya. Nampak binar amarah terlihat di matanya. "Brengsek! Seenaknya saja mereka menginjak harga diri kamu, Ra?! Aku nggak rela jika kamu diginikan!” ucapnya dengan nada tinggi. Sahabatku itu bahkan tersenggal menahan emosi. Dia diam beberapa saat sebelu
Aku tertegun."Tapi Mama Lida mengambil uang tabunganku, Yah. Uang itu mau aku gunakan untuk buka usaha," jawabku dengan suara serak. "Mama kan cuma pinjam, masa nggak boleh?" sahut Mama Lida. "Aku perlu uang itu, tolong kembalikan," pintaku dengan nada memohon. "Sudah-sudah, perkara uang saja kamu ributkan. Memangnya, berapa uang kamu yang Mama Lida pakai?" tanya Ayah. "Di dalam ATM itu, ada uangku 50 juta, Yah. Hasil tabunganku selama bekerja beberapa tahun ini. Aku rela menahan segala keinginanku untuk berbelanja demi bisa membuka usaha. Tapi, Mama Lida diam-diam mengambil uangku dan menggunakannya tanpa izinku," ucapku panjang lebar. Ayahku tampak membelalak kala mendengar nominalnya. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dapat menabung sebanyak itu. "Ini demi Mouren, Yah. Keluarga calon suaminya akan datang malam ini. Mama cuma ingin menyambut mereka dengan hidangan terbaik dan menunjukkan pada mereka bahwa kita layak menjadi keluarga. Karena mereka orang kaya, Mama nggak m