Share

Mandiri

"Benar sekali, kami datang kemari, ingin melamar Mouren, untuk menjadi istri Abimanyu."

Bukan pria itu yang menjawab, tetapi sang ibu–yang selalu berpenampilan glamor dengan gaya angkuh itu–menjawab.

Ia menatapku dengan tatapan mengejek.

Sungguh, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apalagi.

Rasanya sakit, hancur.

Aku merasa ditipu dan dibodohi selama ini.

Kutatap kembali Abimanyu yang tak merasa bersalah sama sekali dan hanya menatap tidak peduli.

"Sayang ...."

Suara Mouren terdengar dari dalam.

Wanita blasteran itu langsung berjalan keluar dan menyapa keluarga Abimanyu.

"Hei, kamu cantik sekali malam ini," puji wanita paruh baya yang ada di dekatiku ini, ketika Mouren bersalaman dan mencium tangannya.

Semua tersenyum ramah pada Mouren, seakan-akan mereka tidak peduli dengan keberadaanku, yang masih diam terpaku di dekat mereka.

"Calon besan, mari masuk," seru Mama Lida, yang menyusul Mouren keluar.

Melihat itu, emosiku mendidih.

Luar biasa sekali sandiwara keluarga-keluarga cemara ini!

"Jelaskan padaku dahulu! Kenapa bisa begini? Apa salahku, sehingga kalian semua, tega melakukan ini," ujarku berusaha tenang.

"Kamu perlu penjelasan apa? Abimanyu tidak cocok sama wanita yang hanya lulusan SMA seperti kamu. Beda dengan Mouren, selain cantik, pinter, dia juga berpendidikan tinggi, sangat cocok untuk Abimanyu, kamu sadar diri dong!!" bentak ibu Abimanyu mendadak.

Ia bahkan tak peduli dengan kenyataan aku juga anak dari pemilik rumah yang ia datangi saat ini.

Dan, Abimanyu? Lagi-lagi, ia hanya diam.

Aku mulai sanksi apakah dia lupa cara menggunakan mulutnya?

"Nara, jangan bikin malu kami, dong!" ucap Mama Lida mendadak–masih dengan suara pelan.

Aku tertawa sumbang.

Cukup sudah.

"Malu?!” tanyaku retoris, “kalian semua pengkhianat. Aku nggak nyangka! Rupanya Mouren yang berpendidikan ini, tidak ubahnya wanita perebut kebahagiaan orang lain. Tidak puas kalian ambil kasih sayang Ayah dariku, hak aku untuk melanjutkan pendidikan, hingga uang tabunganku semua kalian rampas!!"

Tanpa sadar, nadaku meninggi di akhir kalimat.

Tentu saja, Mama Lida–seperti biasa–mengambil kesempatan lagi.

"Nara, kamu tega sekali ngomong gitu sama Mama. Padahal Mama tulus sayang sama kamu selama ini," lirihnya memelas.

"Dia memang tidak tahu adab, kami beruntung tidak jadi menikahkan Abimanyu dengannya," timpal Ibu Abimanyu.

Kini, Mouren pun menimpali, "Kak Nara, aku dan Abimanyu saling mencintai. Sedangkan dia sama kamu, hanya karena kasihan. Sudah lama kami berhubungan, aku juga sudah minta Abimanyu untuk jujur dan mutusin hubungan kalian. Tapi, Abimanyu terlalu baik, dia saat itu masih tidak tega sama kamu, Kak."

Tanganku seketika mengepal. "Apa, kasihan? Tujuh tahun hanya kasihan?" tanyaku, menuntut jawaban dari Abimanyu langsung.

Namun, lelaki itu hanya menghela napas saja.

"Bu, sebaiknya kita masuk langsung ke dalam saja, malu kalau sampai di dengar tetangga. Dan kamu Nara, pergilah sesuai kemauan kamu, kami tidak ada yang melarang," ujar Mama Lida.

"Aku ingin mendengar penjelasan dari Abimanyu langsung, mengapa dia tega sama aku selama ini?" pekikku.

Mataku bahkan memerah menahan tangis.

Siapa yang tidak sakit hati, dibodohi selama 7 tahun, dimanfaatkan keluarganya, dan akhirnya dibuang begitu saja?

"Jelaskan Abimanyu, agar dia puas dan mengerti, kalau kamu hanya mencintai Mouren, bukan wanita tidak berpendidikan ini, sungguh tidak tahu malu," cibir ibu Abimanyu.

"Hah….” ucap pria itu akhirnya, “Nara, maafkan aku yang memang tidak memiliki keberanian untuk jujur. Aku kasihan sama kamu, itu benar. Aku dan Mouren sudah menjalin hubungan cinta cukup lama. Kuharap kamu mau maafin kami dan ikhlaskan semuanya yang sudah berakhir ...."

Mereka semua lalu masuk–meninggalkanku yang terdiam membeku di depan pintu.

Tidak kudengar suara Ayah tadi, sepertinya dia tetap di dalam saat Mama Lida dan Mouren keluar menyambut keluarga Abimanyu.

“Hahaha,” tawaku sumbang menertawai nasib.

Hanya saja, itu semua harus berhenti kala mendengar langkah kaki mendekat ke arahku.

"Uncchh …. kakakku sayang, kakakku malang! Cup-cup, ya! Jangan merasa sakit hati begitu, jangan pula merasa paling berjasa selama ini. Lagian, Abimanyu sendiri yang bilang, bahwa dia tidak bersungguh-sungguh sama Kakak. Keluarganya pun begitu, hanya manfaatin kebodohan Kakak saja," ejek Mouren, mentertawakanku.

Setelahnya, wanita itu kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya.

Aku terdiam beberapa saat sebelum kembali menyeret koper—meninggalkan rumah yang dulu menjadi istanaku dalam amarah.

Sekarang, tujuanku hanya satu: menemui Siska di kosan yang ditempatinya.

******

"Apa??! Uang tabungan kamu diambil Ibu tiri kamu?" tanya Siska dengan suara meninggi.

Aku paham, dia pasti cukup syok dengan ceritaku ini.

"Dan kamu diam saja?" tanyanya lagi.

"Aku marah dan meminta uangku dikembalikan, tapi Ayah selalu membela mereka. Aku tidak memiliki kekuatan di rumah itu. Aku kalah, bahkan Ayah menampar wajahku," jelasku, sambil memperlihatkan pipiku yang terkena pukulan 5 jari Ayah sendiri.

"Apa, uangmu yang mereka ambil, tapi Ayahmu malah memukul wajahmu? Dia Ayah tiri atau gimana sih, masa anak sendiri nggak pernah dibela sama sekali," pekik Siksa.

Aku tertegun. Meski sering mengatakannya diam-diam, tapi tetap saja sakit ketika orang lain saja sadar mengenai perlakuan tak adil itu.

"Ayah begitu percaya sama Mama Lida dan Mouren. Di depan Ayah, mereka selalu bersikap lembut dan baik hati."

Aku menceritakan segalanya sambil menahan air mata.

"Tetap saja dia nggak masuk akal, masa nggak bisa bedain yang salah dan benarnya? Apakah dia tidak kasihan sama kamu, padahal kamu lah anak kandungnya?"

Aku hanya dapat menggeleng dengan putus asa.

"Sudah biasa diperlakukan Ayah begini. Semenjak Mama Lida memasuki kehidupan Ayah, aku sebagai anak seakan tidak penting lagi di matanya," jawabku.

"Kena guna-guna itu Ayahmu," ujar Siska lagi.

"Entah, aku tidak percaya hal itu juga sepenuhnya. Sekarang, aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, uang aku tidak punya," lirihku.

"Aku nginap di sini beberapa hari, ya."

Kembali aku bersuara. Namun, Siska tiba-tiba terdiam.

"Tapi, ada pacarku, Ra. Kamu kan tahu, aku satu kos sama Ayang," ucapnya pelan.

"Buat 1 malam aja, Sis, kumohon."

"Aku kasih tau pacarku dulu ya. Cuma 1 malam kan? Maaf aku nggak bisa bantu banyak," ucap Siska dengan tatapan sedih.

"Iya cuma 1 malam aja, sisanya nanti aku akan pikirkan lagi."

*****

Akhirnya, malam itu aku tidur di kost Siska sambil berpikir keras harus kemana kubawa langkah selanjutnya?

Dan keesokan harinya, aku berpamitan pada Siska untuk mencari Zaskia, sahabatku yang satunya lagi.

Untungnya, Zaskia mau menampungku di rumah kontrakannya.

Dua hari berada di sana, kuceritakan segala peliknya kehidupanku. Zaskia terlihat sangat marah dan berjanji akan membantuku untuk bangkit lagi.

"Kamu harus membalas semua perbuatan mereka. Terutama Adik tiri dan Mama tiri sialan kamu itu," ujar Zaskia yang terbawa emosi.

"Lelaki itu juga sialan sekali, mentang- mentang anak orang kaya, seenaknya menginjak- injak harga diri kamu, rasanya aku ikutan sakit hati, Ra," tambahnya.

Aku hanya bisa tersenyum. "Sudah menjadi takdirku, Zas."

Kami pun berpelukan dan menangis bersama.

Hanya saja, di hari ke-3, masalah muncul.

Aku menyadari bahwa rumah kontrakkan Zaskia cukup jauh dari tempat kerjaku.

Parahnya, aku tidak mendapatkan angkutan umum menuju ke sana, sehingga harus berlari sepanjang jalan mengejar waktu agar tidak terlambat.

Karena terlalu lelah, aku bahkan nyaris pingsan.

Mataku mulai berkunang- kunang, hingga kuputuskan untuk duduk di pinggir jalan trotoar.

Lalu, aku seketika terkejut ketika melihat seorang Nenek tengah menyebrang jalan dengan panik.

Melihat lajunya mobil yang berlawanan arah, membuatku reflek berlari ke arah Nenek itu dan menariknya ke pinggir jalan.

"Alhamdulilah," pekikku sembari memeluk Nenek tua itu tanpa sadar.

Kulihat wanita tua itu yang masih menutup mata. Anehnya, dia tidak bergerak sama sekali. Seketika, kusadari dirinya pingsan.

“Ya, ampun! Nek?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status