Share

Memaksa Ikut

Dengan bantuan beberapa orang di sekitar, aku membawa Nenek asing itu ke Puskesmas terdekat yang cukup besar.

Hal ini dikarenakan jarak rumah sakit sepertinya terlalu jauh.

Pikiranku seketika menjadi kacau kala melihat jam sudah menunjukkan 8 pagi lewat 30 menit.

"Shitt, aku sudah terlambat 30 menit," gumamku.

Kuperhatikan perawat dan dokter yang sedang keluar dari ruang UGD. Mereka mengatakan, jika Nenek itu baik-baik saja. Ia pingsan karena terlalu terkejut.

"Jadi, Anda bisa tenang dan menyelesaikan biaya administrasinya. Terima kasih."

Deg!

Seketika, aku bingung harus bagaimana. Uang saja, aku tidak punya. Lantas, bagaimana aku harus membayarnya?

Entah kenapa hidupku menjadi semakin rumit saja. Kuhubungi Zaskia, untuk meminjam uangnya. Aku juga terpaksa harus izin dari tempat kerja, karena tidak bisa masuk kerja hari ini.

"Zas, bisakah aku pinjam uang. Maaf sebelumnya, jika aku terus membuat kamu repot, aku perlu sekali untuk membayar administrasi."

"Perlu berapa?" tanya Zaskia dari seberang telepon.

"500 ribu, Zas. Ada?"

"Ada, kirim no rekening."

"Alhamdulilah, terima kasih."

Panggilan berakhir, aku pun mengirimkan nomor rekeningku, melalui pesan singkat.

Sambil menunggu uang dikirim Zaskia, aku masuk ke ruangan perawatan Nenek asing itu karena kata perawat tadi, ia sudah sadarkan diri.

Di dalam ruangan, aku tersenyum ketika Nenek itu menatap ke arahku.

Ia pun tersenyum meski bingung. "Siapa kamu?"

Suaranya terdengar serak. Jadi, aku mengambil minum, menyerahkan padanya, kemudian duduk di kursi dekat brankarnya.

"Saya Nara, Nek. Saya orang yang tadi membawa Nenek ke sini," jelasku, "Nenek tadi pingsan di jalan, saat mau menyebrang." 

Nenek itu mengangguk. Senyumnya tampak semakin hangat.

"Terima kasih Nona," ujarnya.

"Tidak apa-apa, Nek," ucapku sebelum teringat sesuatu.

"Oh, iya, Nek. Kalau boleh tahu, Nenek mau ke mana? Dan tinggal di mana?" 

Anehnya, kening Nenek mengkerut menatapku kala mendengar pertanyaan itu.

"Ada apa, Nek?" Aku bertanya lagi, karena ekspresi Nenek tua ini nampak semakin bingung.

"Nenek lupa."

Jawabannya membuatku sangat terkejut.

"Lupa? Serius, Nek?" tanyaku.

Nenek tua itu mengangguk dengan ekspresi wajah yang mulai lesu. Seketika, aku ikutan bingung.

"Keluarga Nenek pasti khawatir banget ini, jadi Nara harus gimana, ya?" gumamku.

Teringat, Nenek ini bahkan tidak memiliki identitas sama sekali. Benar-benar membuatku semakin pusing.

Ting!

Satu pesan tiba-tiba masuk di ponselku. Aku pun bergegas membukanya. Rupanya, Zaskia telah mengirimkan uang yang aku minta tadi.

Seketika, senyumku pun terbit, lalu berpamitan pada Nenek itu untuk membayar biaya tagihan rumah sakit.

Dengan setengah berlari, aku keluar dari lingkungan Puskesmas--menuju ke ATM terdekat.

Namun....

Brakk!

Aku terjatuh ketika seorang laki- laki menabrakku.

"Aduh, lihat- lihat kalau jalan," pekikku. Bahu kiriku terasa sangat sakit.

Anehnya, lelaki itu tidak terjatuh sama sekali. Ia malah berdiri dengan heran menatapku.

Segera kudongakkan wajahku untuk menatap matanya--menunjukkan kekesalanku saat ini.

Namun, belum sempat aku berbicara, pria itu telah berbicara, "Kamu yang nabrak, kamu pula yang marah."

Tanpa basa-basi, ia kemudian kembali melangkah dengan angkuh.

"Hei, sial," teriakku yang lagi-lagi dihiraukan lelaki berpakaian rapi ala-ala orang kantoran itu. 

Ah, sial. Jangankan menolong, peduli pun tidak.

Tak mau membuang waktu, aku memilih bangkit dan kembali melangkah menuju ATM yang ada di seberang jalan Puskesmas.

Aku menunggu antrian di depan ATM. Hanya saja, pikiranku mendadak kacau kala mengingat Nenek asing tadi yang lupa akan siapa dirinya.

Lantas, harus ke mana aku bawa dia?

Ke kantor Polisi, atau ke kontrakkan Zaskia?

"Ya ampun, ngebul lama- lama otakku ini," gerutuku dalam hati.

Melihat antrian yang semakin berkurang, kini giliranku maju dan menarik uang.

Setelahnya, barulah aku bergegas kembali ke Puskesmas lagi.

Namun, baru masuk gerbang Puskesmas, kulihat dari kejauhan, lelaki angkuh yang menabrakku tadi berjalan menuju parkiran mobil sambil terlihat berbicara di telepon dan masuk.

"Dasar orang kaya, perangainya tidak ada yang jauh berbeda, semua rata- rata angkuh," gerutuku seorang diri sambil melangkah.

Kuakui, mobil yang dia masuki juga mobil mahal. Sebab itulah, dia mungkin merasa dunia ini milik dia, makanya sombong begitu.

Sesampainya di bagian administrasi, aku membayar tagihan untuk Nenek asing itu. Setelah selesai membayar, aku kembali menuju ruang perawatannya.

Nenek itu nampak terkejut, ketika melihat aku masuk ke dalam.

"Nona, tolong bawa aku pulang, aku nggak betah di sini," pintanya dengan wajah memelas.

"Nenek, apakah Nenek sudah ingat tinggal di mana? Biar Nara anter," jawabku antusias.

Tapi, Nenek asing itu justru menggeleng lemah--membuatku semakin bingung.

"Nenek tidak ingat siapa-siapa," katanya, "tidak ingat apa-apa juga."

"Hah, terus gimana?"

"Bawa Nenek ke rumah kamu! Nenek nggak mau di rumah sakit, juga nggak mau di bawa ke mana pun," desaknya, "bawa ke rumah kamu saja." 

"Ru--rumahku?" ulangku tergagap.

Mau kubawa ke rumah mana? Aku saja tidak punya rumah!

"Permisi."

Tiba- tiba, seorang dokter dan perawat masuk. Mereka meminta izin untuk memeriksa kondisi Nenek asing itu.

Aku pun mempersilakan. Setelahnya, dokter memintaku, untuk datang ke ruangannya.

Di ruangan dokter, lelaki berjas putih itu, mulai menjelaskan kondisi Nenek asing itu kepadaku.

"Apa, Nenek itu mengalami gejala alzheimer?" tanyaku, memastikan pemahamanku benar, mengenai penjelasan dokter itu.

Dokter muda itu mengangguk.

"Ya," jawabnya.

Mendengar itu, aku pun panik.

'Astaga, terus ini bagaimana?' batinku.

Aku bahkan tak lagi bisa berkonsentrasi kala mendengar lanjutan dari sang dokter.

Setelah selesai, barulah aku kembali memasuki kamar rawat Nenek asing itu dengan bimbang.

'Aku masih menumpang hidup sama Zaskia, haruskah kubawa Nenek asing ini juga ke rumahnya?' batinku lagi.

Buk!

Tiba-tiba, Nenek itu memeluk lenganku.

"Bawa Nenek pulang, jangan ditinggal di sini sendiri," lirihnya.

Hatiku iba padanya. Hanya saja, andai Nenek ini tahu jika aku juga masih jadi benalu di hidup orang lain.

"Nek, apakah Nenek benar-benar tidak ingat alamat Nenek?" tanyaku lagi penuh harap.

Bukannya menjawab, ia malah seketika menangis.

"Kamu pasti tidak mau membawaku keluar dari sini," ucapnya sambil terisak, "kamu pasti mau meninggalkanku juga, kan?"

"Bu--bukan begitu, Nek," gugupku.

Dia menatapku dengan mata penasaran. "Jadi?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status