LOGIN“Aku tahu. Kita harus mencari cara agar dia tidak memaksa untuk terus bekerja. Sangat berbahaya bagi bayi yang dikandung,” ujar George. Saat sedang berdiskusi, Dokter tiba. “Tuan Glen, saya ingin bicara dengan anda,” Dokter kandungan masuk kedalam kamar Ashley dengan map ditangannya. Wajahnya profesional namun serius. Glen mengikuti langkahnya dibelakang. Ia menutup pintu, memastikan ruangan tenang. Monitor berdetak stabil, tapi justru itu yang membuat kata-katanya terdengar lebih berat. “Kontraksi yang Anda alami bukan kejadian biasa,” lanjutnya. “Ini respons tubuh terhadap stres emosional yang cukup ekstrem.” Ashley menelan ludah. “Apakah… berbahaya?” “Jika terulang, iya.” Dokter itu menatap Ashley lurus. “Risiko kelahiran prematur meningkat. Dan pada kondisi tertentu, bisa mengancam ibu dan janin.” Glen mengepal tangan. “Apa yang harus kami lakukan?” “Pertama,” jawab dokter tegas, “rawat inap sampai kondisi stabil. Kedua, hilangkan sumber stres.” Kalimat itu me
“Ada apa?” tanya Alfredo curiga begitu melihat ekspresi Louis yang tak biasa. Louis menggeleng dengan wajah gugup. Dibenaknya hanya terpikir kata-kata George dan Ashley yang barusan ia dengar. Tangannya gemetar tak beraturan. “Bagaimana jika itu bayiku.” kata kata George terus terputar dikepalanya. Ia sudah lama menjadi asisten George. Ia tahu sisi liar bosnya, tahu perubahan sikap George sejak Ashley muncul kembali. Tapi yang barusan ia dengar—itu bukan sekadar obsesi. Ini sangat bahaya. Jika rumor ini keluar, bukan hanya George yang hancur. Ashley. Glen. Cath Company. Bahkan Slytzean. Semua bisa ikut tenggelam. Sementara itu, di lantai atas, Ashley masuk kembali ke ruang kerjanya. Ia menutup pintu, bersandar di sana beberapa detik, lalu perlahan mengusap perutnya. “Tenang,” bisiknya. Entah pada dirinya sendiri, atau pada bayi itu. Percakapan barusan membuat dadanya sesak. Bukan karena George semata—melainkan karena ketakutan yang selama ini ia tekan mulai menemukan be
Pagi di mansion berjalan rapi seperti biasa. Glen sudah berpakaian formal, jasnya sempurna, ekspresinya tenang. Ashley turun menyusul dengan langkah pelan, satu tangannya menahan perut yang mulai terasa berat. “Aku antar kamu ke kantor,” ujar Glen.. Ashley tersenyum kecil. “Kamu tidak terlambat?” “Aku masih bisa mengatur waktu,” jawabnya ringan. Perjalanan menuju Cath Company berlangsung hening namun nyaman. Glen sesekali melirik Ashley, memastikan ia duduk dengan baik. Tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa menenangkan. Sesampainya di depan gedung Cath Company, Glen turun lebih dulu, membukakan pintu. “Jangan memaksakan diri,” katanya singkat namun tegas. “Kalau lelah, hentikan rapat.” Ashley mengangguk. “Aku tahu.” Glen menunggu sampai Ashley benar-benar masuk ke gedung sebelum kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanannya menuju Vierca Group. Tak lama setelah itu, sekretaris Ashley mengetuk pintu ruang kerjanya. “Nyonya Ashley, Tuan George dari Slytzea
Sore itu paviliun belakang mansion terasa tenang. Angin berembus pelan, membawa aroma teh hangat yang baru diseduh. Ashley duduk dengan posisi rapi namun santai, satu tangannya memegang cangkir, tangan lain sesekali menyentuh perutnya. Glen duduk di hadapannya. Sebagai anak bungsu keluarga Moonstone, sikapnya selalu terlihat lebih ringan dibanding saudara-saudaranya—namun tetap penuh perhitungan. “Kamu sudah dengar soal Rensca?” tanya Ashley membuka pembicaraan. Glen mengangguk pelan. “Sudah. Keputusan itu langsung dari Tuan Besar.” Ashley menarik napas. “Jujur saja, aku merasa caranya terlalu keras. Dia sedang hamil, tapi justru dipindahkan dan dijauhkan dari William.” Glen menyandarkan punggungnya dengan tenang. “Di keluarga Moonstone, stabilitas selalu lebih penting daripada perasaan. Ayah hanya melakukan apa yang menurutnya perlu.” Nada suaranya datar, tidak membela, namun juga tidak menentang. Ashley menatap permukaan teh di cangkirnya. “Aku takut kondisi Rensca mal
Dengan segala pertimbangan, Akhirnya Rensca dilarukan kerumah sakit terdekat. Koridor rumah sakit kembali sunyi setelah dokter masuk ke ruang observasi. Rensca masih terbaring lemah di balik pintu tertutup itu—bertarung sendirian mempertahankan janin yang hampir saja hilang. Di luar, keluarga Moonstone berdiri tanpa empati. Tuan Besar Moonstone duduk di kursi tunggu paling ujung. Tongkat kayunya bertumpu di lantai, genggamannya mantap, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun kegelisahan. Usia tak pernah melemahkan wibawanya—justru memperkerasnya. “Dokter bilang janin masih hidup,” lapor salah satu anggota keluarga dengan suara hati-hati. “Masih,” ulang Tuan Besar pelan. Satu kata itu terdengar seperti vonis. William berdiri tak jauh, rahangnya mengeras. “Ayah, kondisi Rensca tidak stabil. Dia hampir—” “Dia kehilangan kendali,” potong Tuan Besar dingin. “Dan itu tidak bisa ditoleransi dalam keluarga Moonstone.” Tak ada nada khawatir. Hanya penilaian. Seorang paman Mo
“Kumohon. Biarkan aku menjagamu, dan bayi ini,” lirih George. “Kita bicarakan itu nanti. Takut ada yang dengar,” bisik Ashley. Dan benar saja, tak berselang lama, Alfredo masuk membawa baki berisikan teh dan beberapa camilan. “Silahkan Tuan,” ucap Alfredo. Suasana pun menjadi canggung. Alfredo yang bisa merasakannya langsung melirik tajam kearah Ashley dan George. “Saya akan menunggu diluar, Nona,” ucap Alfredo kemudian berjaga didepan pintu ruangan bersama Louis. “Oh ya, apa sudah ada kabar dari Ayah Yi Ze?” tanya Ashley Mengingat kerjasama yang sangat berharga bagi George. “Sudah. Beberapa hari lagi, aku akan terbang untuk meeting dengan mereka,” ucap George. “Wah, bagus sekali. Semoga lancar,” ucap Ashley. George mengangguk. “Mau ikut?” tanya George. “Jangan gila George. Aku sedang hamil. Glen tidak akan mengizinkan,” kesal Ashley. George pun terkekeh melihat wajah kesal Ashley. “Aku hanya bercanda,” ucap George. “Sudahlah. Aku harus bekerja,” ucap Ashley







