แชร์

4. Permainan gila

ผู้เขียน: Arandiah
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-12-15 10:54:33

Mendengar izin mutlak itu, Rusdi tidak lagi menunggu. Ia menundukkan wajahnya, mulai menciumi leher jenjang Vivian dengan penuh nafsu, sementara tangannya yang besar mulai menjelajahi setiap inci tubuh halus yang kini pasrah sepenuhnya di bawah kendalinya.

Bibir Rusdi segera bergerilya. Ia mulai menciumi leher jenjang Vivian, memberikan hisapan-hisapan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit putih itu. Vivian mendongak, mendesah panjang saat merasakan kumis tipis Rusdi bergesekan dengan kulit lehernya yang sensitif.

Tangan Rusdi yang besar dan kasar kini beralih meremas gundukan dada Vivian yang sintal. Ia memperlakukan bagian tubuh itu dengan antusias, seolah seorang musafir yang kehausan menemukan sumber mata air. Jemarinya memainkan ujung dada Vivian yang sudah mengeras, memilinnya pelan namun tegas, membuat wanita di bawahnya itu menggeliat liar.

Puas memanjakan bagian atas, tangan Rusdi kembali turun. Jari-jemarinya mengait pinggiran celana dalam renda tipis yang menjadi penghalang terakhir.

"Angkat pinggulmu sedikit, Vivian," bisik Rusdi.

Vivian menurut patuh. Dengan sekali tarikan lembut, Rusdi meloloskan kain renda itu dan menendangnya jauh-jauh. Kini, tidak ada lagi satu benang pun yang menutupi tubuh Vivian. Pemandangan di depannya—area kewanitaan Vivian yang basah dan merah muda—benar-benar menguji kesabaran Rusdi.

Namun, Rusdi tidak ingin terburu-buru. Ia ingin memastikan majikannya ini benar-benar siap dan basah untuknya.

Rusdi memegang kedua lutut Vivian, lalu membukanya lebar-lebar. Ia memposisikan wajahnya tepat di depan area intim wanita itu. Aroma kewanitaan yang khas dan menggairahkan langsung menyeruak, membuat napas Rusdi semakin memburu.

Tanpa ragu, Rusdi membenamkan wajahnya di antara kedua paha Vivian.

"Ahhh! Rusdi..." pekik Vivian kaget, tidak menyangka tukang kebunnya akan seberani itu.

Lidah Rusdi yang hangat dan basah mulai bekerja. Awalnya ia menjilat pelan dari bagian bawah ke atas, menyusuri belahan yang basah itu dengan lembut. Namun, perlahan gerakannya berubah menjadi lebih menuntut. Lidahnya menari lincah, memainkan titik paling sensitif di pusat kenikmatan Vivian, sementara kedua tangannya meremas paha wanita itu agar tetap terbuka lebar.

Vivian meremas sprei dengan kuat, kepalanya mendongak ke belakang, dan pinggulnya terangkat naik turun tanpa sadar, berusaha mengejar sentuhan lidah Rusdi.

"Ya Tuhan... enak sekali... Rusdi, di situ... terus di situ..." racau Vivian tak karuan. Sensasi lidah kasar Rusdi yang beradu dengan miliknya yang sangat sensitif menciptakan gelombang kenikmatan yang melumpuhkan saraf-sarafnya.

Rusdi semakin bersemangat mendengar desahan itu. Ia menghisap kuncup sensitif itu dengan kuat, lalu memasukkan satu jarinya ke dalam liang Vivian untuk menambah sensasi, mengocoknya seirama dengan gerakan lidahnya.

"Cukup! Cukup, Rus!" jerit Vivian, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa sudah di ambang batas. "Jangan siksa saya lagi... Masukkan... Masukkan punya kamu sekarang!"

Mendengar perintah itu, Rusdi mengangkat wajahnya yang basah oleh cairan cinta majikannya. Ia menyeka bibirnya dengan punggung tangan, lalu menegakkan tubuhnya, berlutut di antara kedua kaki Vivian.

Ia memegang miliknya yang sudah menegang maksimal, mengarahkannya tepat di gerbang masuk yang kini sudah sangat basah dan licin berkat permainannya tadi.

Dengan napas tertahan, Rusdi mendorong miliknya masuk perlahan.

"Erghhh..." Rusdi menggeram panjang saat merasakan betapa hangat dan licinnya bagian dalam tubuh Vivian menyambutnya. Karena sudah dipancing sebelumnya, jalan masuk itu terasa sangat pas, menjepit miliknya dengan nikmat.

Vivian terpekik tertahan saat merasakan ukuran Rusdi yang penuh mengisi dirinya sepenuhnya. Rasanya penuh, sesak, namun sangat memuaskan.

Begitu ia masuk seluruhnya, Rusdi tidak langsung bergerak cepat. Ia meraih kedua kaki jenjang Vivian, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dan meletakkannya di atas bahunya yang lebar dan kokoh. Posisi ini membuat pinggul Vivian terangkat lebih tinggi dan akses bagi Rusdi menjadi jauh lebih terbuka dan dalam.

"Tahan kakimu di sana," perintah Rusdi dominan.

Dengan posisi kaki Vivian yang terkunci di bahunya, Rusdi mulai menghunjam. Kali ini tusukannya terasa jauh lebih dalam, menyentuh titik terdalam rahim Vivian.

"Ahh! Ya Tuhan! Rusdi... itu dalam sekali!" teriak Vivian.

Rusdi tidak peduli. Ia memanfaatkan kekuatan fisiknya untuk mendominasi. Tangannya mencengkeram paha Vivian, sementara pinggulnya bekerja seperti mesin yang tak kenal lelah, menumbuk titik kenikmatan Vivian dengan ritme yang kuat. Setiap hentakan Rusdi membuat tubuh Vivian terguncang hebat di atas kasur, tenggelam dalam penyatuan panas siang itu.

Di tengah kenikmatan yang memuncak itu, Rusdi tiba-tiba menghentikan gerakannya. Ia menarik miliknya keluar secara tiba-tiba, membuat Vivian mengerang panjang karena rasa kosong yang seketika menyergap liangnya.

"Kenapa berhenti...?" tanya Vivian dengan napas tersengal, matanya menatap bingung dan kecewa.

Rusdi tidak menjawab. Dengan napas memburu, ia turun dari kasur, lalu menarik pinggang Vivian agar wanita itu berbalik badan.

"Berbaliklah," perintah Rusdi tegas, suaranya terdengar parau dan lapar. "Saya ingin melihat semuanya dari belakang. Saya ingin melihat bagaimana kamu menerima milik saya."

Vivian menurut tanpa bantahan. Ia membalikkan badannya, lalu menekuk lututnya dan menungging di hadapan Rusdi. Posisi itu membuat bokongnya yang sintal dan putih terpampang jelas di depan mata Rusdi, begitu menggoda dan menantang untuk dijamah.

Rusdi menelan ludah kasar. Pemandangan punggung majikannya yang melengkung indah dan area kewanitaannya yang basah serta terbuka dari arah belakang benar-benar membakar gairahnya. Tanpa membuang waktu, tangan kasar Rusdi mendarat di pinggul Vivian, mencengkeramnya kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan.

"Siap-siap, Nyonya," bisik Rusdi.

Dengan satu dorongan kuat, Rusdi kembali menghunjamkan miliknya masuk dari belakang.

"Aaaahhh!" jerit Vivian, kepalanya terbenam ke bantal. Masuk dari arah belakang ternyata memberikan sensasi yang berbeda, rasanya jauh lebih dalam dan menyentuh titik yang tidak terjangkau sebelumnya.

Rusdi mulai memacu pinggulnya lagi. Kali ini, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana miliknya keluar masuk membelah kewanitaan Vivian. Suara kulit yang beradu terdengar semakin nyaring di ruangan sunyi itu—plak, plak, plak—setiap kali tubuh Rusdi menumbuk bokong Vivian.

Rusdi membungkukkan badannya, mendekatkan bibirnya tepat ke telinga Vivian sambil tangannya meremas payudara wanita itu yang berayun seirama dengan tusukannya.

"Katakan, Vivian," bisik Rusdi dengan nada kotor, sengaja memprovokasi. "Suami kamu yang kaya itu... apa dia pernah menghajarmu sekeras ini di kasur?"

Pertanyaan itu membuat tubuh Vivian bergetar hebat. Rasa malu bercampur gairah meledak di kepalanya. "Tidaak... ahhh... dia tidak pernah..."

"Saya tahu," potong Rusdi sambil mempercepat temponya, menumbuk semakin brutal. "Dia pasti terlalu sopan, kan? Tidak seperti tukang kebunmu ini."

Rusdi menarik rambut panjang Vivian, memaksa wanita itu mendongak agar ia bisa melihat ekspresi nikmat di wajah majikannya.

"Bilang sama saya," paksa Rusdi, napasnya panas menerpa leher Vivian. "Punya siapa yang lebih enak? Punya suami kamu yang lembek itu, atau punya Rusdi yang keras ini?"

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Nyonya Puas Abang Lemas   5. Kedatangan suami

    Vivian sudah tidak sanggup berpikir jernih lagi. Kenikmatan yang diberikan Rusdi terlalu menguasai dirinya."Punya kamu, Rus... ahhh! Punya kamu!" erang Vivian tanpa malu-malu, mengakui dosa terbesarnya. "Punya kamu lebih besar... lebih terasa... tolong, Rus, jangan berhenti! Rusakkan saya!"Mendengar pengakuan liar itu, ego laki-laki Rusdi serasa meledak. Ia menggeram panjang seperti binatang buas. Tangannya mencengkeram pinggang Vivian semakin erat untuk menahan tubuh wanita itu agar tidak lari dari serangannya."Anjing betina yang nakal," umpat Rusdi kasar namun penuh gairah. "Kalau begitu terima ini. Terima semuanya sampai kamu tidak bisa jalan besok pagi."Rusdi tidak lagi menahan diri. Ia memacu gerakannya secepat mungkin, menghantam Vivian tanpa ampun, mengejar puncak kenikmatan yang sudah menanti di depan mata.Hantaman pinggul Rusdi semakin cepat dan tidak beraturan. Ia bisa merasakan gelombang panas yang menggumpal di pusat selangkangannya, siap untuk meledak kapan saja. Sen

  • Nyonya Puas Abang Lemas   4. Permainan gila

    Mendengar izin mutlak itu, Rusdi tidak lagi menunggu. Ia menundukkan wajahnya, mulai menciumi leher jenjang Vivian dengan penuh nafsu, sementara tangannya yang besar mulai menjelajahi setiap inci tubuh halus yang kini pasrah sepenuhnya di bawah kendalinya.Bibir Rusdi segera bergerilya. Ia mulai menciumi leher jenjang Vivian, memberikan hisapan-hisapan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit putih itu. Vivian mendongak, mendesah panjang saat merasakan kumis tipis Rusdi bergesekan dengan kulit lehernya yang sensitif.Tangan Rusdi yang besar dan kasar kini beralih meremas gundukan dada Vivian yang sintal. Ia memperlakukan bagian tubuh itu dengan antusias, seolah seorang musafir yang kehausan menemukan sumber mata air. Jemarinya memainkan ujung dada Vivian yang sudah mengeras, memilinnya pelan namun tegas, membuat wanita di bawahnya itu menggeliat liar.Puas memanjakan bagian atas, tangan Rusdi kembali turun. Jari-jemarinya mengait pinggiran celana dalam renda tipis yang menjadi

  • Nyonya Puas Abang Lemas   3. Gangguan kecil

    Mendengar pujian itu, keberanian Rusdi semakin membara. Ia mengangkat wajahnya sejenak, menatap wajah Vivian yang kini memerah padam karena gairah, lalu kembali membenamkan wajahnya di paha wanita itu. Ia menghirup aroma tubuh Vivian yang wangi dan memabukkan dalam-dalam, seolah aroma itu adalah udara yang paling ia butuhkan untuk bernapas.Akan tetapi, di tengah suasana yang semakin memanas itu, Vivian tiba-tiba menarik bahu Rusdi agar ia kembali tegak. Napas wanita itu terdengar putus-putus, matanya menatap tajam ke arah kaos putih Rusdi yang basah kuyup oleh keringat dan menempel di badan."Kaos basah ini mengganggu sekali," keluh Vivian dengan nada tidak sabar, tangannya menyentuh dada Rusdi yang terhalang kain.Tanpa menunggu jawaban, tangan lentik Vivian bergerak cepat meraih ujung bawah kaos Rusdi. "Lepaskan saja. Saya ingin melihat badan kamu yang kuat itu tanpa terhalang kain basah dan kotor ini."Rusdi menurut tanpa membantah sedikit pun. Ia segera mengangkat kedua tangannya

  • Nyonya Puas Abang Lemas   2. Pijat++

    Aroma tubuh wanita itu kini bercampur dengan wangi AC yang dingin, menusuk indra penciuman Rusdi. Vivian kemudian kembali duduk di tepi ranjang, lalu menepuk bagian lantai yang dilapisi karpet bulu di dekat kakinya."Duduklah di bawah sini," titah Vivian sambil menunjuk lantai di depannya. "Ingat, kamu di sini untuk memijat kaki saya, kan?"Rusdi mengangguk pelan, merasa sedikit lega namun juga kecewa di saat yang bersamaan. Ia pun menekuk lututnya, duduk bersimpuh di atas karpet tebal tepat di hadapan kaki jenjang majikannya. Posisi ini membuatnya harus mendongak untuk melihat wajah Vivian, sebuah posisi yang kian menegaskan siapa yang memegang kendali saat ini.Vivian lantas menyodorkan kaki kanannya ke pangkuan Rusdi. Telapak kaki itu terasa halus dan dingin saat bersentuhan dengan paha Rusdi yang terbalut celana jeans kasar."Mulailah dari betis, Rus," perintah Vivian sambil memejamkan mata, seolah sedang menikmati antisipasi sentuhan itu. "Otot kaki saya tegang sekali seharian in

  • Nyonya Puas Abang Lemas   1. Godaan

    "Kamu sepertinya menikmati sekali mandi keringat begitu, Rus."Suara itu terdengar lembut, namun dampaknya seketika membuat tubuh Rusdi membeku. Gunting rumput di tangannya berhenti di udara. Lantas, saat ia berbalik badan, napasnya langsung tercekat karena melihat siapa yang berdiri di sana.Ternyata itu Nyonya Vivian.Akan tetapi, penampilannya hari ini sungguh berbeda. Tidak ada pakaian kantor yang kaku atau gaun pesta mewah seperti biasanya. Kali ini, hanya sehelai lingerie sutra merah menyala yang membungkus tubuhnya. Kain itu begitu tipis dan licin, jatuh pas mengikuti lekuk pinggang serta pinggulnya.Apalagi ketika angin siang menyingkap sedikit ujung gaun itu, paha putih mulusnya terpampang nyata. Pemandangan itu sangat kontras dengan tangan Rusdi yang kotor dan kasar akibat tanah kebun."Nyo—Nyonya?" Rusdi tergagap sambil buru-buru menunduk. Meskipun begitu, bayangan lekuk tubuh itu sudah terlanjur membakar matanya."Kenapa menunduk?" Vivian terkekeh pelan seraya melangkah ma

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status