เข้าสู่ระบบVivian sudah tidak sanggup berpikir jernih lagi. Kenikmatan yang diberikan Rusdi terlalu menguasai dirinya."Punya kamu, Rus... ahhh! Punya kamu!" erang Vivian tanpa malu-malu, mengakui dosa terbesarnya. "Punya kamu lebih besar... lebih terasa... tolong, Rus, jangan berhenti! Rusakkan saya!"Mendengar pengakuan liar itu, ego laki-laki Rusdi serasa meledak. Ia menggeram panjang seperti binatang buas. Tangannya mencengkeram pinggang Vivian semakin erat untuk menahan tubuh wanita itu agar tidak lari dari serangannya."Anjing betina yang nakal," umpat Rusdi kasar namun penuh gairah. "Kalau begitu terima ini. Terima semuanya sampai kamu tidak bisa jalan besok pagi."Rusdi tidak lagi menahan diri. Ia memacu gerakannya secepat mungkin, menghantam Vivian tanpa ampun, mengejar puncak kenikmatan yang sudah menanti di depan mata.Hantaman pinggul Rusdi semakin cepat dan tidak beraturan. Ia bisa merasakan gelombang panas yang menggumpal di pusat selangkangannya, siap untuk meledak kapan saja. Sen
Mendengar izin mutlak itu, Rusdi tidak lagi menunggu. Ia menundukkan wajahnya, mulai menciumi leher jenjang Vivian dengan penuh nafsu, sementara tangannya yang besar mulai menjelajahi setiap inci tubuh halus yang kini pasrah sepenuhnya di bawah kendalinya.Bibir Rusdi segera bergerilya. Ia mulai menciumi leher jenjang Vivian, memberikan hisapan-hisapan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit putih itu. Vivian mendongak, mendesah panjang saat merasakan kumis tipis Rusdi bergesekan dengan kulit lehernya yang sensitif.Tangan Rusdi yang besar dan kasar kini beralih meremas gundukan dada Vivian yang sintal. Ia memperlakukan bagian tubuh itu dengan antusias, seolah seorang musafir yang kehausan menemukan sumber mata air. Jemarinya memainkan ujung dada Vivian yang sudah mengeras, memilinnya pelan namun tegas, membuat wanita di bawahnya itu menggeliat liar.Puas memanjakan bagian atas, tangan Rusdi kembali turun. Jari-jemarinya mengait pinggiran celana dalam renda tipis yang menjadi
Mendengar pujian itu, keberanian Rusdi semakin membara. Ia mengangkat wajahnya sejenak, menatap wajah Vivian yang kini memerah padam karena gairah, lalu kembali membenamkan wajahnya di paha wanita itu. Ia menghirup aroma tubuh Vivian yang wangi dan memabukkan dalam-dalam, seolah aroma itu adalah udara yang paling ia butuhkan untuk bernapas.Akan tetapi, di tengah suasana yang semakin memanas itu, Vivian tiba-tiba menarik bahu Rusdi agar ia kembali tegak. Napas wanita itu terdengar putus-putus, matanya menatap tajam ke arah kaos putih Rusdi yang basah kuyup oleh keringat dan menempel di badan."Kaos basah ini mengganggu sekali," keluh Vivian dengan nada tidak sabar, tangannya menyentuh dada Rusdi yang terhalang kain.Tanpa menunggu jawaban, tangan lentik Vivian bergerak cepat meraih ujung bawah kaos Rusdi. "Lepaskan saja. Saya ingin melihat badan kamu yang kuat itu tanpa terhalang kain basah dan kotor ini."Rusdi menurut tanpa membantah sedikit pun. Ia segera mengangkat kedua tangannya
Aroma tubuh wanita itu kini bercampur dengan wangi AC yang dingin, menusuk indra penciuman Rusdi. Vivian kemudian kembali duduk di tepi ranjang, lalu menepuk bagian lantai yang dilapisi karpet bulu di dekat kakinya."Duduklah di bawah sini," titah Vivian sambil menunjuk lantai di depannya. "Ingat, kamu di sini untuk memijat kaki saya, kan?"Rusdi mengangguk pelan, merasa sedikit lega namun juga kecewa di saat yang bersamaan. Ia pun menekuk lututnya, duduk bersimpuh di atas karpet tebal tepat di hadapan kaki jenjang majikannya. Posisi ini membuatnya harus mendongak untuk melihat wajah Vivian, sebuah posisi yang kian menegaskan siapa yang memegang kendali saat ini.Vivian lantas menyodorkan kaki kanannya ke pangkuan Rusdi. Telapak kaki itu terasa halus dan dingin saat bersentuhan dengan paha Rusdi yang terbalut celana jeans kasar."Mulailah dari betis, Rus," perintah Vivian sambil memejamkan mata, seolah sedang menikmati antisipasi sentuhan itu. "Otot kaki saya tegang sekali seharian in
"Kamu sepertinya menikmati sekali mandi keringat begitu, Rus."Suara itu terdengar lembut, namun dampaknya seketika membuat tubuh Rusdi membeku. Gunting rumput di tangannya berhenti di udara. Lantas, saat ia berbalik badan, napasnya langsung tercekat karena melihat siapa yang berdiri di sana.Ternyata itu Nyonya Vivian.Akan tetapi, penampilannya hari ini sungguh berbeda. Tidak ada pakaian kantor yang kaku atau gaun pesta mewah seperti biasanya. Kali ini, hanya sehelai lingerie sutra merah menyala yang membungkus tubuhnya. Kain itu begitu tipis dan licin, jatuh pas mengikuti lekuk pinggang serta pinggulnya.Apalagi ketika angin siang menyingkap sedikit ujung gaun itu, paha putih mulusnya terpampang nyata. Pemandangan itu sangat kontras dengan tangan Rusdi yang kotor dan kasar akibat tanah kebun."Nyo—Nyonya?" Rusdi tergagap sambil buru-buru menunduk. Meskipun begitu, bayangan lekuk tubuh itu sudah terlanjur membakar matanya."Kenapa menunduk?" Vivian terkekeh pelan seraya melangkah ma







