Tubuh Serin menegang. Ia tidak menyangka calon suami mendiang Liora akan semarah itu padanya. “A-aku tidak bermaksud melukai siapapun. Aku hanya menerima tawaran dari pihak yayasan,” jawab Serin. Suaranya melemah, nyaris seperti seorang anak yang tidak mengerti kenapa ia harus disalahkan atas sesuatu yang di luar kendalinya. “Aku mengerti, Serin. Tapi, pria itu sepertinya sedang kehilangan akal sehat.” Dara menegaskan, suaranya semakin cemas.Kemudian, gadis itu mencodongkan tubuh ke depan, supaya Serin bisa mendengar suaranya dengan lebih jelas. “Nanti saat penghilatanmu sudah pulih, kamu harus mengingat ciri-ciri pria itu. Dia berwajah tampan, bermata hazel, tingginya sekitar 180cm, dan penampilannya seperti eksekutif muda.”Serin mencoba membayangkan seseorang dengan ciri-ciri itu dalam benaknya. Namun, semuanya masih gelap. Yang terlintas di pikirannya, justru sosok seorang pria dewasa yang garang dan tak mengenal belas kasihan. “…dan kalau aku tidak salah dengar, namanya Jev
Suasana di ruang makan keluarga Albantara tampak tenang, tetapi samar-samar ada ketegangan yang menyelinap. Jeandra dan Rakyan baru saja turun dari lantai atas. Dengan langkah ringan, kedua kakak beradik itu duduk di samping Suri dan Romeo.Jeandra melirik sekeliling meja dan bertanya dengan nada heran, “Mama, Jevan belum turun?” Suri, yang tengah menuangkan susu ke dalam cangkir Rakyan, mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis.“Bukan belum turun, justru Jevan sudah pergi. Katanya mau jalan-jalan sebentar, lalu langsung ke kantor.”“Benarkah, Ma?” tanya Jeandra terkejut, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Rakyan ikut mengernyit, meletakkan sendoknya, dan menyandarkan punggung ke kursi. “Mama yakin dia pergi ke kantor? Kak Jevan masih terguncang dan kondisi emosinya belum stabil. Seharusnya, dia tidak boleh pergi sendirian,” ujar Rakyan. Ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan dari suaranya. “Mama dan Papa tidak bisa mencegahnya,” ujar Suri pelan, jemarinya saling mengge
Tak berselang lama, Jevandro memanggil Mateo melalu interkom. Begitu asistennya itu masuk, Jevandro memberikan sebuah instruksi tegas, tanpa memalingkan wajahnya dari layar.“Mateo, batalkan rencana mencari detektif.”“Maaf, Tuan?” tanya Mateo hati-hati, seolah tak yakin akan perintah yang baru saja keluar.“Kemarilah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."Jevandro memutar laptopnya menghadap Mateo. Telunjuknya terangkat, menunjuk lurus ke arah foto yang masih terbuka di layar laptop. “Gadis itu yang kucari," katanya lirih, “dan, dia akan menjadi karyawan Verdant Group.”Mata Mateo ikut tertuju ke layar. Ia memandangi wajah yang sama—Serin Aurelia. Ia mengingat jelas bagaimana Jevandro menyelamatkan gadis itu di lobi kantor beberapa waktu lalu. Gadis yang buta, yang kini akan menjadi bagian dari perusahaan. Seketika Mateo mengangguk pelan. Namun, ada sesuatu yang terasa mengganggu benaknya—sorot mata Jevandro.Bukan hanya ketegasan yang ia lihat di sana, tetapi juga kobaran emosi y
Dara, yang sejak tadi setia di sisi Serin, segera menarik tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Pelukan yang erat, lembut, dan menenangkan—seolah menjadi jembatan antara kegelapan di masa lalu, dan terang yang sudah terbit di masa depan. “Serin, ini keajaiban,” bisik Dara dengan suara serak, menahan tangis.Serin tersenyum sambil mengangguk perlahan. Masih menatap kagum ke sekelilingnya, seperti seorang bayi yang baru pertama kali melihat dunia.Dokter pun mendekat, setelah memberi waktu sebentar bagi Serin untuk menenangkan diri. Dengan ketelitian profesional, ia mulai memeriksa kondisi kedua mata Serin secara menyeluruh.“Sekarang, saya akan memeriksa pupil dan reaksi mata terhadap cahaya,” ujar sang dokter sembari mengarahkan senternya. “Tolong tatap ke arah cahaya ini, lalu gerakkan matamu ke kiri, kanan, atas, dan bawah.”Serin mengikuti setiap instruksi yang diberikan kepadanya. Sang dokter memperhatikan dengan cermat bagaimana pupil Serin bereaksi, sekaligus memastikan tidak ada
Di balik gorden jendela apartemen yang terbuka separuh, Jeandra berdiri di hadapan cermin besar. Mata wanita itu menatap bayangan dirinya sendiri dengan tatapan penuh keyakinan. Hari yang mendebarkan akhirnya tiba. Hari di mana ia bukan lagi desainer ternama, Jeandra Albantara, melainkan seorang sekretaris baru yang memiliki misi tersembunyi.Untuk penampilan perdananya, Jeandra mengenakan blouse putih gading dengan kerah bulat, dan rok span abu-abu yang jatuh hingga selutut—gaya yang sopan, bersih, dan cenderung konservatif. Rambutnya yang sebelumnya cokelat terang kini telah berubah menjadi hitam legam. Kali ini, ia membiarkan rambut itu terurai menyentuh bahunya, dan dijepit sedikit di sisi kanan agar tetap rapi. Jeandra hanya mengenakan riasan tipis, dengan alas bedak ringan dan sedikit blush on yang menambahkan rona sehat. Namun, ada satu hal yang mencolok: bibirnya yang kini dilapisi lipstik merah mawar matte keluaran brand mewah —lipstik tanpa jejak, yang tak akan meninggalkan
Kenan mengerjap, seolah tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Ia menatap Jeandra selama tiga detik penuh dengan bibir terkatup rapat. Sementara, Jeandra yang masih memegang gelang di tangan, melangkah mundur seperti sedang menghadapi makhluk gaib. Namun seketika, suasana berubah tegang saat suara berat Kenan memecah udara.“Jangan sentuh gelang-gelang itu!” serunya tajam, matanya menatap langsung ke arah tangan Jeandra.Refleks, karena terkejut dan gugup, Jeandra menjatuhkan gelang warna-warni yang sedari tadi ia pegang. Gelang itu jatuh berputar di udara, sebelum menggelinding dan mendarat dengan bunyi pelan di lantai marmer.“Ah, maaf—” gumam Jeandra panik.Kenan maju dengan cepat. Ia membungkuk hendak mengambil gelang tersebut, bersamaan dengan Jeandra yang juga ikut merunduk. Alhasil, dahi mereka saling bertubrukan dalam satu hentakan kecil yang tak terduga.Duk!“Aduh,” keluh Jeandra terpekik kaget.Keduanya mendongak bersamaan. Bukan hanya dahi mereka yang bertemu, tetapi t
Begitu ucapan itu meluncur dari mulut sang manajer HRD, kelopak mata Jeandra terbelalak lebar, seolah baru saja mendengar kabar bahwa bumi akan berhenti berputar. Ia menatap Pak Andika dengan sorot tak percaya. Dalam hatinya, genderang protes sudah ditabuh habis-habisan.Sekalipun ia belum memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat—bahkan dalam lima tahun ke depan pun tidak —namun tetap saja, larangan seperti itu melanggar ranah privasi seseorang. Dengan kata lain, Pradipta Group telah mencampuri urusan pribadi pegawainya, dengan mengatasnamakan “kontrak kerja”.“Maaf, Pak, apakah saya tidak salah dengar tadi?” tanya Jeandra hati-hati, kembali duduk di kursi di hadapan meja kerja Pak Andika. “Larangan menikah? Bukankah itu melanggar hak pribadi seseorang?”Pak Andika tersenyum tenang, tetapi senyum itu justru membuat dada Jeandra terasa makin sesak. Ekspresinya seolah mengatakan, bahwa pekerjaan terkadang bisa lebih kejam daripada percintaan.“Bukankah tadi saya sudah menyuruh
Di sudut kota yang lain, seorang gadis muda bernama Serin sedang bersiap memulai babak baru dalam hidupnya. Udara pagi yang masih segar menyentuh kulit wajahnya, menyusup lembut ke balik rambutnya yang tersanggul rapi. Hatinya penuh semangat dan debar-debar kecil yang tak henti berdentang.Setelah bersiap, Serin keluar dari kos sembari menggandeng tangan kecil Tristan. Ia ingin mengantar sang keponakan ke sekolah, sebelum berangkat ke kantor Verdant Group.Dengan pelukan hangat dan bisikan semangat di telinga Tristan, Serin melepas bocah kecil itu ke dalam gerbang sekolah. Kemudian, ia melangkah ringan menuju pinggir jalan, menunggu ojek motor yang telah ia pesan sejak tadi.Tangan kiri Serin menggenggam map berisi berkas-berkas penting yang diminta oleh Bu Marisa —identitas, fotokopi ijazah, dan buku tabungan. Mengingat hari ini adalah hari pertamanya bekerja, ia sengaja berangkat lebih pagi. Bukan hanya tak ingin terlambat, melainkan karena adanya dorongan yang begitu kuat di dalam
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya
Dalam keheningan kamar VIP, perlahan-lahan kelopak mata Serin mulai bergetar, seakan berusaha menembus kabut kesadaran yang berat. Dengan napas yang masih lemah, ia membuka mata, beradu dengan cahaya menyilaukan yang menyambutnya.Dunia yang awalnya samar-samar menjadi kian jelas di hadapannya. Aroma antiseptik serta rasa berat pada tangan kirinya, segera memberi petunjuk pada Serin bahwa ia tidak lagi berada di kamar apartemen.Kesadarannya yang telah pulih, membawa Serin pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana tidak.Di sampingnya, dalam pelukan yang masih erat, seorang pria terlelap dengan napas teratur.Jevandro Albantara.Pria itu tampak berbeda dari sosok CEO dingin dan dominan yang biasa ia kenal di kantor. Kini wajahnya terlihat damai, tenang, bahkan hampir mengundang rasa kasihan, dengan jejak kelelahan yang membayang di garis rahangnya yang kokoh.Serin membeku beberapa detik, tubuhnya kaku antara rasa malu dan terkejut.Dengan gerakan seh
Di kamarnya yang sunyi, Jevandro masih menempelkan ponsel di telinga, memanggil-manggil nama Serin dengan suara cemas. Namun dari seberang, hanya hening yang ia dapatkan. Tak ada jawaban, tak ada suara, hanya desis samar napas yang akhirnya menghilang. Merasakan firasat buruk yang mencengkeram hatinya, Jevandro segera mengakhiri panggilan. Ia melirik sekilas ke jam di layar ponsel—pukul setengah sebelas malam. Tak ingin menunda sedetik pun, Jevandro menyambar jaket yang tergantung di sandaran kursi, lalu meraih kunci mobil. Dengan langkah lebar penuh kegelisahan, ia meninggalkan kamar.Suasana mansion telah sunyi, hanya sesekali terdengar derit angin malam menerpa pepohonan di taman. Semua penghuni telah terlelap dalam damai, kecuali Jevandro yang kini bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu depan, mengabaikan dinginnya udara yang menerpa kulit. Tanpa ragu, Jevandro menyalakan mesin mobil, suara raungannya memenuhi halaman mansion. Dalam sekejap, mobil itu melesat membelah malam