Di lobi gedung Pradipta Group, suasana yang biasanya tertib dan tenang kini dipenuhi bisik-bisik tak tertahankan. Mata para karyawan—terutama yang wanita—membulat dengan rasa iri dan kagum. Sedangkan yang pria, tanpa malu-malu, berhenti berjalan demi memperjelas pandangan. Semua kepala serempak menoleh ke satu arah yang sama: ke lorong utama yang menghubungkan lobi dengan lift khusus CEO.Di sana, langkah Kenan yang tegas dan angkuh tampak tak berubah sedikit pun. Namun, yang membuat kantor nyaris mendidih bukanlah gaya berjalannya. Melainkan tangannya yang menggenggam tangan seorang wanita.Sang CEO yang terkenal dingin bak salju abadi, nyaris tak tersentuh oleh siapapun, kini memperlihatkan sisi yang begitu asing. Beberapa orang bahkan mengerjapkan mata, seolah tak percaya. Tatapan mereka tertuju pada perempuan yang berada di samping Kenan—tinggi semampai, berkulit bening, dan memiliki garis wajah yang nyaris sempurna.Semula mereka mengira pasangan Kenan adalah aktris atau model
Taksi melambat di depan gerbang megah Universitas Asta Mandala, lalu berhenti tepat di bawah pepohonan rindang yang tumbuh di sisi halaman. Serin membuka pintu dan melangkah turun.Ia berusaha mengusir kekalutan yang masih melekat dari peristiwa semalam. Tatapan matanya mencoba mencari ketenangan pada arsitektur megah universitas, yang seakan memberi semangat baru.Tanpa ingin larut dalam pikiran yang melelahkan, Serin melangkah ke dalam lobi utama. Dengan sopan, ia bertanya pada petugas dan diarahkan menuju kantor administrasi. Langkah gadis itu mantap memasuki ruangan pendaftaran mahasiswa baru. Setelah mengisi beberapa formulir identitas, ia diarahkan untuk melakukan pendaftaran ulang secara digital melalui perangkat yang disediakan. Jemari Serin bergerak cekatan di atas layar sentuh komputer. Ia memasukkan data diri, memilih jurusan bisnis sebagai pilihan studinya, dan mengunggah dokumen-dokumen yang sudah ia siapkan. Hati kecilnya berdoa agar langkah ini menjadi awal dari kehid
Kepala Jevandro terasa seperti dihantam palu besi. Berat, berdenyut, dan dipenuhi kabut yang menggantung. Lelaki itu mengerang pelan di bawah selimut yang membungkus tubuhnya. Dengan satu tangan, ia memegangi pelipis, mencoba menenangkan denyutan yang seakan memukul-mukul dari dalam. Napasnya tertahan ketika mencoba duduk, punggungnya bersandar pada kepala ranjang yang dingin dan kokoh.Pandangan Jevandro berkunang sebentar, lalu kembali fokus. Dalam benaknya, satu demi satu potongan memori tadi malam bermunculan seperti kilatan cahaya. Denting gelas anggur, wajah Mr. Kenshiro, lalu tubuhnya yang digiring pulang ke apartemen oleh Mateo dalam keadaan setengah sadar.Ketika Jevandro menyibakkan selimut, dadanya terasa ditekan sesuatu yang tidak kasatmata. Tubuhnya polos, tanpa sehelai benang pun.Dengan cepat, mata hazel pria itu menelusuri permukaan tempat tidur yang acak-acakan, lalu berhenti pada satu titik kecil yang tak bisa diabaikan—noda merah samar yang tercetak di atas sprai.
Sembari menggigit ujung kukunya, Serin memutuskan untuk membantu Jevandro. Perlahan ia membungkuk, membelai lengan pria itu dengan ragu.“Kak Jevandro,” bisiknya, menyentuh pipi Jevandro yang hangat, “saya bantu ke kamar, ya? Kakak harus istirahat.”Pria itu hanya menggumam, mata setengah terpejam, tubuhnya nyaris tak bergerak.Serin menghela napas sekali lagi, lalu menunduk lebih dalam dan meraih lengan Jevandro yang berat untuk diletakkan di atas bahunya sendiri. Satu lengannya melingkar di pinggang pria itu, mencoba menopangnya agar berdiri.Langkah demi langkah, ia menyeret tubuh suaminya dengan susah payah. Tubuh Jevandro yang tegap dan tinggi menjulang membuat Serin terseok, seperti menahan beban yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil. Sesekali kaki Serin tergelincir di lantai marmer yang licin. Peluh mengembun di pelipisnya, tetapi ia tidak menyerah.“Kita sudah hampir sampai… sedikit lagi,” gumamnya lirih.Ketika mereka tiba di ambang ranjang, tubuh Serin sudah
Serin masih berdiri sejenak di depan pintu lobi. Angin dari pintu otomatis yang terbuka dan tertutup perlahan menyentuh wajahnya, sementara langkah-langkah orang asing berlalu-lalang di belakangnya. Gadis itu menarik napas dalam, sebelum melangkah ke dalam lift yang berdinding kaca mengilap.Tangannya menekan angka lantai yang sudah akrab di luar kepala—tempat unit Jevandro berada. Lift meluncur naik dalam keheningan, hingga membuat Serin bisa mendengar napasnya sendiri.Ketika pintunya telah terbuka, gadis itu melangkah keluar lalu menyusuri lorong sunyi menuju pintu apartemen. Jari-jarinya menekan angka-angka pada keypad digital—kode yang diberikan oleh Jevandro beberapa waktu lalu. Dalam sekejap, kunci terbuka dengan bunyi klik yang halus.Pintu berayun, memperlihatkan interior apartemen yang mewah dengan desain kontemporer. Namun semua keindahan itu tak mampu menyingkirkan rasa hampa yang menyergap.Tristan dan Bi Janti kini tinggal di mansion, bergabung dengan keluarga besar Alba
Sisa embun pagi masih terlihat di permukaan jendela apartemen. Di dalam kamar, Kenan duduk santai di sisi ranjang. Tubuhnya bertumpu pada satu sikunya yang menekan permukaan kasur empuk. Tatapannya tak beranjak sedikit pun dari sosok yang tengah berdiri di depan meja rias. Kenan masih mengenakan baju yang telah ia pakai sejak kemarin. Ia memang tidak membawa baju ganti saat memutuskan untuk bermalam di apartemen istrinya—sebuah keputusan spontan yang kini memberinya alasan untuk menatap Jeandra dalam momen yang tak biasa: saat berdandan.Pandangan mata Kenan menelusuri setiap gerakan tangan Jeandra di hadapan meja rias. Lincah, anggun, dan terampil—begitulah wanita itu memainkan kuas, membingkai wajahnya dengan gradasi warna yang mempertegas kelopak mata. Cermin di meja rias memantulkan bayangan Jeandra yang tampak berbeda dari citra yang selama ini tertanam dalam benaknya. Istrinya itu memiliki kecantikan luar biasa, yang sengaja disembunyikan di balik riasan sederhana seorang sek
Bibir Kenan kembali menyunggingkan senyum. Itu adalah senyum yang hangat dan sangat langka—senyum yang mungkin hanya pernah dilihat oleh Jeandra.Jemari panjang Kenan lantas membelai punggung Jeandra, memberikan kenyamanan pada wanita itu.“Hanya karena tersinggung, seorang Jeandra Albantara rela menyamar jadi sekretarisku?”Jeandra menelan ludah. Dadanya terasa sesak oleh sejumlah keraguan. Apakah malam ini adalah malam yang tepat untuk mengungkap semuanya?Haruskah ia berkata jujur dan membuka lembaran lain dari alasan yang lebih gelap? Haruskah ia mengaku, bahwa ia pernah menuduh Kenan mencuri desain dari perusahaan keluarganya? Dalam beberapa detik, Jeandra menatap mata Kenan yang kini menunggu dengan sabar, tanpa paksaan, hanya menantikan sebuah keterbukaan.Jeandra kemudian membenamkan wajahnya pada dada bidang Kenan, membiarkan dirinya larut dalam ketenangan ritme napas pria itu. Detak jantung Kenan teratur, stabil, penuh keyakinan, seperti melodi lembut yang perlahan menyihi
Jeandra tidak pernah membayangkan bahwa malam pertamanya—malam yang selama ini hanya ada dalam angan-angan—justru akan terjadi di apartemennya sendiri. Terlebih, ia akan melewatinya bersama pria yang pernah membuatnya kesal, bingung, dan tanpa sadar jatuh cinta. Kamar yang awalnya dingin dan tenang, kini berubah hangat oleh keintiman yang tidak bisa lagi dicegah. Seluruh tubuh Jeandra gemetar, menanti detik-detik yang menegangkan sekaligus menggetarkan. Malam pertama adalah hal yang baru baginya, sesuatu yang hanya akan ia persembahkan untuk sang suami.Gerakan Kenan yang perlahan menurun, menelusuri setiap garis tubuhnya dengan sentuhan memuja, membuat napas Jeandra tercekat. Ia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri, bahwa ini tak mungkin dihentikan. Ini bukan tentang keberanian atau logika, tetapi tentang dua jiwa yang akhirnya saling menginginkan tanpa batas, tanpa penghalang. Mustahil, ia melarang Kenan melakukan hal yang lebih, sementara jantungnya sudah berdebar begitu ke
Usai merayakan pesta pernikahan Jevandro dan Serin di hotel, Jeandra bersama kedua orangtuanya dan Rakyan, memutuskan kembali ke mansion. Deru mobil yang mengantar mereka melaju dengan tenang, membelah jalanan kota yang mulai diselimuti langit senja. Jeandra menyandarkan kepalanya pada jendela. Senyum masih tertinggal di bibirnya saat mengingat pernikahan Jevandro. Namun, sesampainya di halaman depan mansion yang luas, Jeandra baru tersadar akan sesuatu yang membuat napasnya tercekat—waktu.Pandangan matanya segera tertumbuk pada jam tangan mungil di pergelangan tangan kiri. Detik-detik yang berputar menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari satu jam, Kenan akan tiba untuk menjemputnya pindah ke apartemen pria itu. Degup jantung Jeandra terasa lebih kencang. Gaun pesta emerald green yang masih membalut tubuhnya, serta riasan wajah yang memancarkan kecantikan maksimal, semuanya kini terasa tidak tepat.Ia harus kembali ke apartemen secepat mungkin. Harus berganti pakaian, dan mengha