Share

Chapter 2: Namaku O

Sistem saraf manusia berfungsi mengatur setiap tindakan dan tanggapan tubuh dengan cara saling bertukar sinyal lewat sel-sel reseptor. Sistem saraf manusia dibentuk oleh organ otak, sumsum tulang belakang, serta saraf somatik dan otonom. Dari bagian tersebut, saraf somatik berfungsi untuk menangkap rangsangan yang berada di tubuh bagian luar seperti kulit. Oleh karena itu, Langit tidak bisa merasakan tekstur maupun suhu saat tangannya menyentuh papan penutup peti mati, sebab wujudnya sekarang adalah sebuah rangka tanpa kulit, apalagi daging!!

"Uwaaaaaaah!!"

Langit tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Ia melihat ke kedua tangan, lalu ke kaki, lalu ke badan. Semuanya tinggal tulang belulang. Langit tidak menyadari itu saat mengibas tangannya untuk menghapus tulisan berkedip-kedip dalam bidang pandangnya tadi. Sekarang, ketika menyadari seluruh tubuhnya hanya berupa tulang belulang, ia tak bisa untuk tidak histeris.

"Uwaa! Uwa! Aaaaa!"

.....

...

Langit menjerit-jerit lebih dari 20 menit. Tangannya sudah meraba setiap jengkal tubuh yang dapat diraih tangannya dan tak menemukan sedikitpun serat daging atau lapisan kulit.

"Sial! Sepertinya aku benar-benar sudah mati."

Pada akhirnya, Langit menerima keadaannya. Ia sudah mati dalam kecelakaan itu. Ia sudah mati, tapi kini ia hidup kembali dalam bentuk yang lain: sebuah kerangka hidup.

Awalnya Langit berharap dirinya cuma masuk ke dalam sebuah permainan simulasi, akan tetapi semua percobaan yang dilakukannya membuktikan bahwa semua ini nyata dan asli. Apakah Tuhan menjawab angan-angannya menjelang kematian, yaitu untuk mengulangi hidup?

Ah, Langit memang hidup kembali, tapi dalam penampilan yang mengerikan. Dengan paras dan postur tubuh yang tidak jelek-jelek amat saja, hidupnya masih penuh perundungan, lantas bagaimana dengan wujud kerangka seperti ini? Entah kehidupan seperti apa yang menunggunya di dunia ini. Jika kehidupannya yang baru jadi lebih buruk dari sebelumnya, ya terus buat apa dia hidup lagi?

Akan tetapi, Langit tetap berusaha berpikir postif. Setidaknya dia punya banyak pengalaman dari kehidupan yang lalu. Ia tidak akan mudah tertipu lagi karena terlalu polos dan tulus. Di dunia baru ini, setidaknya ia bisa benar-benar membuat pilihan hidupnya sendiri tanpa ikut campur orang lain lagi. Lagipula, keadaan tubuhnya sekarang punya banyak keuntungan dibandingkan tubuh lamanya. Ia tidak punya organ selain tulang, sendi dan barangkali sepasang mata, akan tetapi ia toh masih bisa bergerak, bahkan bersuara tanpa adanya tenggorokan. Karena tidak punya organ pencernaan, kemungkinan ia juga tidak akan lapar dan buang air. Bahkan, mungkin ia juga tak butuh tidur.

"Eh, tunggu. Bisa gila karena bosan aku kalau tidak bisa tidur!" pekik Langit.

Langit merasa bahwa kebosanan adalah masalah yang lebih besar daripada wujudnya sekarang. Akan tetapi, meskipun memekik panik seperti itu, ia tidak merasakan adanya tanda-tanda stres dalam dirinya. 

Manusia akan merasa stres ketika mendapat tekanan, salah satunya dengan berpikir berlebihan atas hal-hal yang belum pasti atau tidak diketahui. Namun, sejauh ini Langit tidak merasakan bentuk stres apapun meskipun sudah berpikir keras dan berlebihan karena hal-hal di luar nalar yang sedang menimpanya.

Yah, tentu saja Langit tidak merasa stres. Stres, bahagia, takut, marah, dan emosi lain diatur oleh amigdala dan hipokampus yang merupakan bagian dari otak. Sedangkan sekarang, Langit tidak punya lagi organ bernama otak. Langit memutar bola matanya ke belakang. Ia ingin melihat ke dalam tempurung kepalanya untuk memastikan keberadaan otaknya.

"Yap, tidak ada otak di dalam sini." Langit mengetuk-ngetuk tempurungnya yang kosong. "Aneh. Lalu bagaimana aku bisa berpikir?"

Tidak ada logika yang bisa dipakai di sini. Yah, hidup kembali sebagai monster tengkorak di sebuah ruangan aneh seharusnya sudah cukup menyadarkannya bahwa tidak akan ada logika yang akan berguna, bukan? Terus berpikir dan menerka-nerka tidak akan membawanya ke mana-mana.

"Baiklah. Mari kita nikmati saja permainannya." Langit memutuskan untuk berpikir dan menatap kembali sebuah pertanyaan yang sempat diabaikannya. 

[Siapa nama Anda?]

Langit sudah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan nama lahirnya di kehidupannya yang baru ini. Ia meraih persegi panjang berwarna hijau yang melayang-layang di bidang pandangnya dengan telunjuknya.

"Hei, bagaimana menulis di kolom ini? Tidak ada keyboard!"

[Silahkan sebutkan nama Anda dengan suara lantang.]

"Eh, aneh. Kok kalimat perintahnya berubah?"

Langit tidak tahu siapa yang mendesain semua ini. Jika ini sebuah game, tim pengembangnya melakukan tugasnya dengan sangat buruk. Seharusnya, pemain diberikan narasi yang cukup ketika pertama kali memasuki game ini. Penjelasan latar belakang, jati diri karakter yang dimainkan, dan lain-lain sebagainya seharusnya dijelakan lebih dulu. Bahkan sampai saat ini tidak ada terdengar sedikitpun musik pengiring—elemen pendukung terpenting dalam seni story telling sebuah game!

Langit menepuk dahi. Ia lupa bahwa yang dia alami sekarang adalah kenyataan, bukan sebuah game. Ia kembali merenung untuk memikirkan nama baru untuk dirinya.

Ada banyak nama keren yang terlintas dalam pikirannya. Ia sempat berpikir akan memakai semua nama keren itu, tapi pada akhirnya ia mengambil pilihan nama yang paling sederhana. "Baiklah catat namaku! Sekarang, namaku adalah O."

O. Ya, O. Hanya satu huruf O. Sebuah huruf yang bentuknya seperti angka nol; sebuah simbolisasi bahwa ia akan memulai kehidupan barunya dari nol.

[Selamat datang di Valandria, Tuan O! Petualangan yang menegangkan menantikan Anda di luar sana!]

"Astaga! Kau terus menerus menanyakan namaku hanya untuk mengucapkan selamat datang lagi?!" O menepuk dahinya. Jika ini sebuah game, maka pembuat skripnya juga perlu diberi pelajaran. "Um, setidaknya, bisakah sistem ini berupa suara? Bayangkan jika pesan-pesan bertele-tele seperti ini muncul dan menghalangi pandanganku di saat-saat genting!"

[Anda ingin menggunakan mode suara?]

"Apa!? Jadi selama ini kau bisa memahami kata-kataku? Kenapa tidak berbuat apa-apa saat aku menjerit-jerit kebingunan tadi?!"

[Maaf. Saya tidak bisa mengetahui isi pikiran Anda. Harap suarakan dengan jelas keinginan Anda.]

O menepuk dahinya lagi. Tulisan-tulisan yang memenuhi bidang pandangannya itu membuatnya kesal. Ia bahkan tidak punya otak untuk bisa merasakan emosi.

[Apakah Anda ingin menggunakan mode suara?] Tulisan itu muncul lagi.

"Ya, ya! Tapi tolong, jangan banyak pessan, ya. Nanti justru akan mengganggu," balas O dengan nada sesopan mungkin. Pembawaan 'good guy' dari kehidupan sebelumnya masih terbawa secara tak sadar.

“"Baiklah, Tuan O."”

Kini kalimat itu tidak muncul sebagai tulisan yang mengganggu pandangan lagi, tapi sebagai sebuah suara dengan artikulasi jelas yang terdengar langsung di dalam kepala O.

"Eh, eh, coba kau bilang itu lagi," ada nada tidak percaya dalam kalimat O. Ia bertingkah seperti orang yang salah dengar.

“"Tuan O?"”

"Oh, no..." sahut O lesu dan tak bertenaga.

“"Apa ada yang salah, Tuan?"”

"Apa kau punya mode suara yang lain? Kau tahu, suara gadis yang lembut, atau tante-tante yang menggoda, begitu."

“"..."”

"Hmm?"

“"Maafkan saya, Tuan O."”

"Aaaargh!" O kini menjerit. Ia frustasi. Fantasinya hancur. Ia sempat membayangkan suara seorang narator perempuan yang lembut dan centil yang memanggil namanya dengan nada imut; atau suara perempuan dewasa yang tegas dan penuh karisma. Akan tetapi, yang didengarnya barusan adalah suara laki-laki yang amat berat, sangat jantan, dan macho. O jadi membayangkan seorang pemain gulat profesional penuh otot memanggilnya dengan nada centil dan otot dada yang berkedut-kedut bergantian.

"Aaargh!"

“"Ah~ Maafkan saya, Tuan~ Apakah Tuan menginginkan suara yang seperti ini~"” Nada suara itu kini melengking, terlihat sekali memaksakan diri untuk meniru intonasi dan gaya bicara seorang gadis remaja.

"Hentikan itu! Mengerikan! Kau malah terdengar seperti waria cabul!" O menangis, padahal ia tidak punya kelenjar air mata.

“"...."”

Suara dalam kepala O menghela napas. Suara itu terdengar seperti orang tua yang sudah bersusah payah memenuhi keinginan anak balitanya tapi kemudian ditolak mentah-mentah...

                                                                               ***

Begitulah kehidupan kedua Langit dimulai; di sebuah dunia baru bernama Valandria. Sekarang ia bahkan bukan manusia lagi.  Dirinya sekarang adalah sebuah kerangka hidup, seorang monster. Entah kehidupan macam apa yang menantinya di masa depan, tapi ia tetap berusaha untuk optimis—meskipun sejauh ini, hal-hal yang terjadi tidak sesuai harapannya. Sekarang ia telah memilih nama baru sebagai simbol bahwa ia akan memulai kembali kehidupannya dari nol.

Ya, namanya sekarang adalah O.

                                                                        ~Bersambung~

Comments (1)
goodnovel comment avatar
1000x Speed
Bisa2nya ngasih nama O doang,wkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status