Home / Fantasi / O, Yang Mulia! / Chapter 2: Namaku O

Share

Chapter 2: Namaku O

Author: Soma
last update Last Updated: 2022-12-23 20:29:23

Sistem saraf manusia berfungsi mengatur setiap tindakan dan tanggapan tubuh dengan cara saling bertukar sinyal lewat sel-sel reseptor. Sistem saraf manusia dibentuk oleh organ otak, sumsum tulang belakang, serta saraf somatik dan otonom. Dari bagian tersebut, saraf somatik berfungsi untuk menangkap rangsangan yang berada di tubuh bagian luar seperti kulit. Oleh karena itu, Langit tidak bisa merasakan tekstur maupun suhu saat tangannya menyentuh papan penutup peti mati, sebab wujudnya sekarang adalah sebuah rangka tanpa kulit, apalagi daging!!

"Uwaaaaaaah!!"

Langit tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Ia melihat ke kedua tangan, lalu ke kaki, lalu ke badan. Semuanya tinggal tulang belulang. Langit tidak menyadari itu saat mengibas tangannya untuk menghapus tulisan berkedip-kedip dalam bidang pandangnya tadi. Sekarang, ketika menyadari seluruh tubuhnya hanya berupa tulang belulang, ia tak bisa untuk tidak histeris.

"Uwaa! Uwa! Aaaaa!"

.....

...

Langit menjerit-jerit lebih dari 20 menit. Tangannya sudah meraba setiap jengkal tubuh yang dapat diraih tangannya dan tak menemukan sedikitpun serat daging atau lapisan kulit.

"Sial! Sepertinya aku benar-benar sudah mati."

Pada akhirnya, Langit menerima keadaannya. Ia sudah mati dalam kecelakaan itu. Ia sudah mati, tapi kini ia hidup kembali dalam bentuk yang lain: sebuah kerangka hidup.

Awalnya Langit berharap dirinya cuma masuk ke dalam sebuah permainan simulasi, akan tetapi semua percobaan yang dilakukannya membuktikan bahwa semua ini nyata dan asli. Apakah Tuhan menjawab angan-angannya menjelang kematian, yaitu untuk mengulangi hidup?

Ah, Langit memang hidup kembali, tapi dalam penampilan yang mengerikan. Dengan paras dan postur tubuh yang tidak jelek-jelek amat saja, hidupnya masih penuh perundungan, lantas bagaimana dengan wujud kerangka seperti ini? Entah kehidupan seperti apa yang menunggunya di dunia ini. Jika kehidupannya yang baru jadi lebih buruk dari sebelumnya, ya terus buat apa dia hidup lagi?

Akan tetapi, Langit tetap berusaha berpikir postif. Setidaknya dia punya banyak pengalaman dari kehidupan yang lalu. Ia tidak akan mudah tertipu lagi karena terlalu polos dan tulus. Di dunia baru ini, setidaknya ia bisa benar-benar membuat pilihan hidupnya sendiri tanpa ikut campur orang lain lagi. Lagipula, keadaan tubuhnya sekarang punya banyak keuntungan dibandingkan tubuh lamanya. Ia tidak punya organ selain tulang, sendi dan barangkali sepasang mata, akan tetapi ia toh masih bisa bergerak, bahkan bersuara tanpa adanya tenggorokan. Karena tidak punya organ pencernaan, kemungkinan ia juga tidak akan lapar dan buang air. Bahkan, mungkin ia juga tak butuh tidur.

"Eh, tunggu. Bisa gila karena bosan aku kalau tidak bisa tidur!" pekik Langit.

Langit merasa bahwa kebosanan adalah masalah yang lebih besar daripada wujudnya sekarang. Akan tetapi, meskipun memekik panik seperti itu, ia tidak merasakan adanya tanda-tanda stres dalam dirinya. 

Manusia akan merasa stres ketika mendapat tekanan, salah satunya dengan berpikir berlebihan atas hal-hal yang belum pasti atau tidak diketahui. Namun, sejauh ini Langit tidak merasakan bentuk stres apapun meskipun sudah berpikir keras dan berlebihan karena hal-hal di luar nalar yang sedang menimpanya.

Yah, tentu saja Langit tidak merasa stres. Stres, bahagia, takut, marah, dan emosi lain diatur oleh amigdala dan hipokampus yang merupakan bagian dari otak. Sedangkan sekarang, Langit tidak punya lagi organ bernama otak. Langit memutar bola matanya ke belakang. Ia ingin melihat ke dalam tempurung kepalanya untuk memastikan keberadaan otaknya.

"Yap, tidak ada otak di dalam sini." Langit mengetuk-ngetuk tempurungnya yang kosong. "Aneh. Lalu bagaimana aku bisa berpikir?"

Tidak ada logika yang bisa dipakai di sini. Yah, hidup kembali sebagai monster tengkorak di sebuah ruangan aneh seharusnya sudah cukup menyadarkannya bahwa tidak akan ada logika yang akan berguna, bukan? Terus berpikir dan menerka-nerka tidak akan membawanya ke mana-mana.

"Baiklah. Mari kita nikmati saja permainannya." Langit memutuskan untuk berpikir dan menatap kembali sebuah pertanyaan yang sempat diabaikannya. 

[Siapa nama Anda?]

Langit sudah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan nama lahirnya di kehidupannya yang baru ini. Ia meraih persegi panjang berwarna hijau yang melayang-layang di bidang pandangnya dengan telunjuknya.

"Hei, bagaimana menulis di kolom ini? Tidak ada keyboard!"

[Silahkan sebutkan nama Anda dengan suara lantang.]

"Eh, aneh. Kok kalimat perintahnya berubah?"

Langit tidak tahu siapa yang mendesain semua ini. Jika ini sebuah game, tim pengembangnya melakukan tugasnya dengan sangat buruk. Seharusnya, pemain diberikan narasi yang cukup ketika pertama kali memasuki game ini. Penjelasan latar belakang, jati diri karakter yang dimainkan, dan lain-lain sebagainya seharusnya dijelakan lebih dulu. Bahkan sampai saat ini tidak ada terdengar sedikitpun musik pengiring—elemen pendukung terpenting dalam seni story telling sebuah game!

Langit menepuk dahi. Ia lupa bahwa yang dia alami sekarang adalah kenyataan, bukan sebuah game. Ia kembali merenung untuk memikirkan nama baru untuk dirinya.

Ada banyak nama keren yang terlintas dalam pikirannya. Ia sempat berpikir akan memakai semua nama keren itu, tapi pada akhirnya ia mengambil pilihan nama yang paling sederhana. "Baiklah catat namaku! Sekarang, namaku adalah O."

O. Ya, O. Hanya satu huruf O. Sebuah huruf yang bentuknya seperti angka nol; sebuah simbolisasi bahwa ia akan memulai kehidupan barunya dari nol.

[Selamat datang di Valandria, Tuan O! Petualangan yang menegangkan menantikan Anda di luar sana!]

"Astaga! Kau terus menerus menanyakan namaku hanya untuk mengucapkan selamat datang lagi?!" O menepuk dahinya. Jika ini sebuah game, maka pembuat skripnya juga perlu diberi pelajaran. "Um, setidaknya, bisakah sistem ini berupa suara? Bayangkan jika pesan-pesan bertele-tele seperti ini muncul dan menghalangi pandanganku di saat-saat genting!"

[Anda ingin menggunakan mode suara?]

"Apa!? Jadi selama ini kau bisa memahami kata-kataku? Kenapa tidak berbuat apa-apa saat aku menjerit-jerit kebingunan tadi?!"

[Maaf. Saya tidak bisa mengetahui isi pikiran Anda. Harap suarakan dengan jelas keinginan Anda.]

O menepuk dahinya lagi. Tulisan-tulisan yang memenuhi bidang pandangannya itu membuatnya kesal. Ia bahkan tidak punya otak untuk bisa merasakan emosi.

[Apakah Anda ingin menggunakan mode suara?] Tulisan itu muncul lagi.

"Ya, ya! Tapi tolong, jangan banyak pessan, ya. Nanti justru akan mengganggu," balas O dengan nada sesopan mungkin. Pembawaan 'good guy' dari kehidupan sebelumnya masih terbawa secara tak sadar.

“"Baiklah, Tuan O."”

Kini kalimat itu tidak muncul sebagai tulisan yang mengganggu pandangan lagi, tapi sebagai sebuah suara dengan artikulasi jelas yang terdengar langsung di dalam kepala O.

"Eh, eh, coba kau bilang itu lagi," ada nada tidak percaya dalam kalimat O. Ia bertingkah seperti orang yang salah dengar.

“"Tuan O?"”

"Oh, no..." sahut O lesu dan tak bertenaga.

“"Apa ada yang salah, Tuan?"”

"Apa kau punya mode suara yang lain? Kau tahu, suara gadis yang lembut, atau tante-tante yang menggoda, begitu."

“"..."”

"Hmm?"

“"Maafkan saya, Tuan O."”

"Aaaargh!" O kini menjerit. Ia frustasi. Fantasinya hancur. Ia sempat membayangkan suara seorang narator perempuan yang lembut dan centil yang memanggil namanya dengan nada imut; atau suara perempuan dewasa yang tegas dan penuh karisma. Akan tetapi, yang didengarnya barusan adalah suara laki-laki yang amat berat, sangat jantan, dan macho. O jadi membayangkan seorang pemain gulat profesional penuh otot memanggilnya dengan nada centil dan otot dada yang berkedut-kedut bergantian.

"Aaargh!"

“"Ah~ Maafkan saya, Tuan~ Apakah Tuan menginginkan suara yang seperti ini~"” Nada suara itu kini melengking, terlihat sekali memaksakan diri untuk meniru intonasi dan gaya bicara seorang gadis remaja.

"Hentikan itu! Mengerikan! Kau malah terdengar seperti waria cabul!" O menangis, padahal ia tidak punya kelenjar air mata.

“"...."”

Suara dalam kepala O menghela napas. Suara itu terdengar seperti orang tua yang sudah bersusah payah memenuhi keinginan anak balitanya tapi kemudian ditolak mentah-mentah...

                                                                               ***

Begitulah kehidupan kedua Langit dimulai; di sebuah dunia baru bernama Valandria. Sekarang ia bahkan bukan manusia lagi.  Dirinya sekarang adalah sebuah kerangka hidup, seorang monster. Entah kehidupan macam apa yang menantinya di masa depan, tapi ia tetap berusaha untuk optimis—meskipun sejauh ini, hal-hal yang terjadi tidak sesuai harapannya. Sekarang ia telah memilih nama baru sebagai simbol bahwa ia akan memulai kembali kehidupannya dari nol.

Ya, namanya sekarang adalah O.

                                                                        ~Bersambung~

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
1000x Speed
Bisa2nya ngasih nama O doang,wkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • O, Yang Mulia!   Chapter 82: Cerocos

    O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,

  • O, Yang Mulia!   Chapter 81: Azia

    O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli

  • O, Yang Mulia!   Chapter 80: Atur Ulang Strategi

    O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan

  • O, Yang Mulia!   Chapter 79: Terjun

    Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda

  • O, Yang Mulia!   Chapter 78: Terbang

    "Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t

  • O, Yang Mulia!   Chapter 77: Serangan Udara

    Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting

  • O, Yang Mulia!   Chapter 76: Kabur

    Plaga tersenyum puas mengagumi sihirnya yang indah: sebuah menara api yang menjulang ke langit, dengan lidah-lidah api berbentuk tangan yang mencengkram siapapun dan apapun mejadi arang. Udara panas di sekitar melenyapkan kelembaban, membuat tanah rekah dan rumput-rumput di sekitar mengering seperti dihadapkan dengan terik belasan matahari.Sang Demon menikmati tiap detik dari momen apresiasi itu, dan bahkan membuat sebait syair yang mendeskripsikan keindahannya. Ia begitu menyukai sihir, dan itulah alasan bagi Demon sekuat dirinya melayani Master Malus.Malus bukan sekedar tuan bagi Plaga. Bagi sang Demon, Malus adalah seorang Muse, sumber inspirasinya. Apalagi, dari Keempat Tungkai, hanya dirinyalah yang menggunakan sihir sebagai senjata utama. Mars, sang Dullahan, jelas-jelas tidak tahu apapun soal merapal sihir. Fames, sang Harpy, memiliki sihir elemen angin dan kegelapan yang sangat beragam, tapi sayangnya, otak burung Fames tidak mencukupi syarat untuk mengoptimalkan sihir-sihir

  • O, Yang Mulia!   Chapter 75: Halo, Manusia

    "Mua, ha, ha, ha!" tawa O pecah, menggema di udara. Di telinga orang yang tidak mengenal O, tawa itu mungkin terdengar lebih mengerikan dari teriakan seorang Banshee ... Sementara itu, belasan Banshee di kejauhan terendam lumpur tanpa pernah tahu siapa yang menyerang mereka. "" ... "" Narator tidak bisa berkata-kata lagi. O tidak menepati perkataannya untuk berhati-hati saat menggunakn Mana. Namun, di luar itu, Narator sebenarnya mengagumi kemampuan belajar O yang luar biasa. "Grauur!"Mithra menggeram dengan nada imut. Kerangka kucing itu menari-nari di bawah hujan lumpur, meloncat dan berguling sampai tulang putihnya menjadi hitam semua. Seperti O, ia terlihat girang dengan adanya lautan lumpur yang meledak dari perut bumi secara tiba-tiba. "Ugh! Kepalaku sedikit pusing ..."""Anda terlalu banyak menggunakan Mana, Tuan."""Hmm, aku pikir dengan menjadi Lich, kapasitasku meningkat drastis," sanggah O. Ia tidak ingin disalahkan.""Beruntung tidak ada musuh lagi di sini ...""Grrr!

  • O, Yang Mulia!   Chapter 74: Sihir Medan

    O mengayunkan sabit besarnya dengan anggun. Seperti baling-baling mesin penghalus bumbu, O menebas semua mayat hidup yang merangsek ke arahnya. Tak cukup, O membuat standar tinggi, yaitu sabetan sabitnnya harus mengenai leher atau bagian kepala.SLASH! SLASH!Kepala melayang. Wajah jelek terbagi dua. Leher putus. Tubuh-tubuh mayat hidup itu bergeletakan ke tanah tanpa kepala. Sebagian mencair menjadi Nyx seluruhnya, sebagian lagi tidak menjadi apapun, tapi Nyx tetap merembes dari tubuhnya.Sabit O terus berputar dan berputar. Kepala berterbangan. Nyx berceceran. Kabut hitam mengudara dan berkumpul di kristal inti yang berada dalam rongga dada O. Kemampuan berpikir O memungkinkan semua itu terjadi secara bersamaan.Akhirnya, setelah beberapa menit berputar-putar, jumlah mayat hidup di tanah lapang itu tinggal segelintir saja."Fyuuh! Kenapa banyak sekali mayat hidup di sini?" seru O, "Apa sedang ada arisan?"O berjalan santai di antara potongan-potongan tubuh dan genangan Nyx. Sayangn

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status