Share

Chapter 3: Sebelum Bertualang

"Hei, Narator," O memanggil suara dalam kepalanya dengan sebutan Narator. Bukan panggilan yang tepat, tapi ia tidak peduli. "Aku ada di mana sekarang?"

""Anda berada di Kota Magna."" Suara jantan dan macho itu tampak tidak keberatan dipanggil Narator. ""Anda serkarang berada di dalam katakomba (kuburan bawah tanah) di bawah kota.""

"Hoo, kuburan, ya." O mengelus jenggotnya yang sudah tak ada lagi, "Jadi aku terlahir kembali sebagai sebuah kerangka hidup di kuburan bawah kota."

O tidak protes meskipun terlahir kembali di dalam kubur. Ia sudah benar-benar menerima nasibnya. Sebaliknya ia justru menunjukkan ketertarikan. Ia sering mendengar tentang katakomba di negara PR dan negara IT yang justru menjadi tujuan wisata di dunia asalnya. Selama ini O hanya bisa mengalami katakomba lewat media internet. Ia pernah bermimpi suatu saat bisa mengunjungi katakomba itu sebagai turis. Sayangnya, gaji sebagai guru swasta yang bahkan tidak memungkinkan dirinya untuk berlibur ke seberang pulau di negaranya sendiri menjauhkannya dari mimpi itu. Hei, akan tetapi lihatlah sekarang. Ia berada di dalam sebuah katakomba yang asli, bukan tur virtual apalagi sekedar gambar-gambar yang ditemukannya dengan mesin pencari.

O tak sabar untuk melihat-lihat bagian lain dari katakomba itu. Akan tetapi, sebelum itu ia harus mempersiapkan segala sesuatunya dulu. Keberhasilan dalam permainan RPG selalu ditentukan dari persiapanmya, bukan? Apalagi, O merasa bahwa tak akan ada kehidupan ketiga jika ia mati di luar sana.

"Narator, tunjukkan statusku!"

""Baik, Tuan."" Beberapa detik kemudian, sebuah layar muncul dalam bidang pandang O.

Nama : O

Tingkat asimilasi : 0,1%

Ras : makhluk kegelapan

Spesies : Lich (tidak sempurna)

Status : Lich (pemula)

~Afinitas:

Netral ???

Api ???

Air ???

Udara ???

Tanah ???

Kegelapan ???

Cahaya ???

~Scriptum: ???

~Kemampuan:

Terkunci

(Lihat daftar kemampuan)

"Eeeh! Kenapa aku sudah jadi Lich?" O yang sedari tadi menahan diri untuk tidak reaktif, kini kembali protes atas nasibnya. "Padahal aku ingin jadi Death Knight, Ksatria Maut!"

Dalam permainan dan kisah-kisah yang pernah dialaminya, Lich adalah sejenis monster mayat hidup yang menguasai berbagai macam sihir, sementara Death Knight adalah monster mayat hidup yang punya keterampilan bertempur dengan kekuatan fisik yang unggul. O jauh lebih menyukai karakter-karakter petarung. Baginya, mengayunkan pedang dan menembakkan anak panah jauh lebih keren daripada merapal mantra panjang yang kedengaran menggelikan dan menghasilkan efek visual yang menyakiti mata.

""Lich punya keuntungan yang lebih besar, Tuan,"" Nada Narator terdengar seperti menyanggah pikiran O. ""Lich tidak akan mati meskipun tubuhnya hancur. Selama kristal intinya masih utuh, Lich akan hidup selamanya.""

Mendengar penjelasan itu, perhatian O kemudian teralih pada rongga dadanya. Di antara tulang dada dan rusuknya, sebuah kristal bening dengan bentuk tak beraturan melayang-layang di tengah-tengah. Ukurannya sangat kecil--hanya seukuran ibu jari. Ukurannya tidak sesuai seperti yang selama ini O lihat di film-film atau game. Barangkali itulah yang membuat spesiesnya punya embel-embel 'tidak sempurna'.

"Hoo, not bad..." Meski berkata begitu, O sebenarnya masih kecewa. Ia masih ingin menjadi Death Knight, terutama yang mengayunkan pedang besar sambil menunggang kuda yang juga berwujud kerangka.

"Oh, tidak ada sistem HP (health point) atau MP (magic point). Tidak ada poin statistik untuk menentukan tingkat kekuatan juga. Artinya kematianku ditentukan oleh tingkat kerusakan fisik dari kristal inti, sementara tingkat kekuatanku ditentukan secara kualitatif."

O memahami sistemnya dengan cepat. Tentu saja, profesinya sebagia seorang guru tidak mengikis pengalamannya menjadi seorang gamer. Di eaktu-waktu tertentu, O bahkan menyempatkan diri untuk bermain video game. Banyak orang mengira bermain video game adalah hal yang membuang waktu, padahal dengan bermain video game, seseorang bisa melatih daya kritis, strategi dan kemampuan pengambilan keputusan.

"Tunjukkan daftar kemampuan!"

""Baik, Tuan.""

Sebuah tampilan layar yang baru muncul. Dalam tampilan itu daftar kemampuan dalam warna abu-abu mengular sampai ke bawah.

~Daftar Kemampuan Sihir~

Sihir Ofensif

Sihir Defensif

Sihir Suporitf

Sihir Pemanggil

(Lihat daftar sihir)

Seperti yang sudah bisa diduga, seorang Lich memiliki banyak jenis sihir. Akan tetapi, O sama sekali tidak tertarik pada kemampuan sihir. Perhatiannya justru tersedot ke daftar kemampuan di halaman berikutnya.

~Daftar Seni Perang~

Seni Senjata

(Lihat daftar seni senjata)

Teknik Bertarung

(Lihat daftar teknik)

“Lihat daftar Seni Senjata!”

~Daftar Seni Senjata~

Tongkat (terkunci)

Gada (terkunci)

Perisai (terkunci)

“….” O kehabisan kata-kata. Ia berharap akan menemukan teknik pedang di daftar itu. Ia membayangkan dirinya seperti kelas ksatria di game-game RPG yang bisa menciptakan sayatan udara dari ayunan pedangnya. “Ah, ya ampun. Cuma tiga jenis senjata. Senjata tumpul semua pula.”

Di lubuk hatinya, O masih berandai-andai menjadi Death Knight. Mungkin jurus-jurus lain bisa didapatkan nanti, pikir O. Ia sedang berusaha menghibur dirinya sendiri. Harapan O tergambar dari gestur telapak tangan yang  mengepal, menciptakan bunyi-bunyi retak yang membuat ngilu.

“”Sihir punya kelebihan, Tuan. Seni Senjata membutuhkan aura, energi khusus yang hanya bisa dimiliki orang-orang dengan bakat tertentu. Sementara sihir bisa digunakan di mana saja selama ada mana, energi yang berada di mana saja di muka bumi Valandria ini.”" Narator meyakinkan O seakan-akan ia tahu apa yang sedang dipikirkan O.

“Meh.” O mengabaikan kata-kata Narator. Ia kemudian menyebarkan pandangannya sekali lagi ke sekeliling ruangan. Meskipun ada informasi yang belum ia buka, O tidak lagi tertarik dengan daftar kemampuan yang ia duga akan terus mengecewakannya. Hal berikutnya yang ia lakukan adalah mencari benda-benda yang bisa mendukungnya. Sebuah senjata misalnya, tentunya akan sangat membantu petualangannya.

“Kosong,” kata O setelah ia selesai mengedarkan pandangan. “Pasti mayat ini dulu orang susah dan miskin, ha ha ha!”

“”Um…””

“Eh, kau mengatakan sesuatu, Narator?”

“”Tidak, Tuan.””

“Baiklah.” Karena tak menemukan apapun selain lilin-lilin yang bergeming di sudut ruang, perhatian O kembali kepada peti matinya. Semiskin apapun, pasti ada sedikit harta benda yang dibawa mati, bukan? Meskipun hanya selembar baju kematian misalnya.

“Oho! Lihat apa yang kita temukan.” O menemukan sebuah tongkat kayu panjang. Bentuknya mirip seperti tongkat baseball tapi panjangnya melebihi tinggi tubuh O. “Apa ini? Pentungan panjang?”

“”Anda bisa memeriksanya dengan Sihir Identifikasi.””

O berpura-pura tidak mendengar Narator. Ia tidak tertarik soal sihir. Alih-alih menggunakan Sihir Identifikasi, O justru mengayunkan tongkat itu ke udara beberapa kali, lalu ke penutup peti mati.

BUKK! BUKK!! BUKKK!!!

“Hiyaa! Jurus Tongkat Pemukul Anjing!” O berteriak-teriak sambil membayangkan film-film pendekar favoritnya.

“”…””

“Baiklah. Sepertinya pentungan ini cukup," kata O sambil mengambil langkah menuju pintu kayu yang masih tertutup. Pintu itu tidak terkunci, tapi sebuah mekanisme knop memungkinkan agar pintu itu tidak akan terbuka dengan sendirinya.

KLIK

O memutar knop itu dan membuka pintu ruangan. Ia berharap dapat segera menemukan jalur keluar ke permukaan. Ia membayangkan sebuah tangga menuju permukaan kuburan; menuju suasana yang tidak sempit dan temaram. Dan tentunya, O menantikan petualangannya menjelajahi tempat-tempat menakjubkan seperti dalam cerita-cerita fantasi yang pernah dibaca atau ditontonnya. Akan tetapi, saat pintu terbuka lebar, hanya sebuah lorong temaram yang menyambut O. Di ujung lorong itu, seonggok siluet hitam bergerak-gerak di lantai…

Siluet itu tiba-tiba saja berdiri tegap, dan segera berlari ke arah O!

                                                                      ~Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status