Langit hanya seorang lelaki biasa yang dipecat karena memperjuangkan nasibnya sebagai guru swasta. Sudah jatuh tertimpa tangga--di tengah-tengah perjalanan pulang, ia mengalami kecelakaan tunggal yang meremukkan seluruh tulangnya. Saat ia berpikir bahwa dirinya sudah mati, ia justru mendapati dirinya terlahir kembali di dunia lain, di Valandria; sebuah dunia di mana fantasi adalah kenyataan yang dapat ditemukan di setiap sudutnya. Sayangnya, Langit tidak terlahir kembali di kalangan orang-orang berkuasa, tidak pula sebagai seorang terpilih dengan bakat luar biasa yang mampu menaklukkan segala tantangan. Ia bahkan tidak terlahir kembali sebagai makhluk hidup. Ya, dia terlahir kembali sebagai seorang undead (mayat hidup), tepatnya sebagai seorang skeleton (monster rangka); salah satu bagian dari makhluk kegelapan yang menjadi musuh bebuyutan umat manusia di Valandria. Eits, berita buruk belum selesai. Langit tersadar di sebuah katakomba di Kota Magna, sebuah kota mati yang terkutuk dan kini telah menjadi hunian mayat-mayat hidup, makhluk kegelapan, dan kutukan. Parahnya, makhluk-makhluk kegelapan di Kota Magna ingin menghabisinya karena sebuah alasan yang belum diketahui. Harapannya untuk menikmati petualangan seru dan menakjubkan di Valandria akhirnya harus ia sisihkan di sudut sampai ia berhasil keluar dari tempat tertukut itu. Untuk itu, tentu saja, ia harus menjadi lebih kuat untuk dapat mengalahkan musuh-musuh yang berdatangan tanpa henti. Selain itu, rintangan yang dihadapi Langit rupanya bukan hanya makhluk-makhluk kegelapan, tetapi juga misteri pekat yang menyelubungi Kota Magna itu sendiri. Setidaknya, Langit memiliki sebuah sistem pemandu yang dipanggilnya dengan sebutan Narator. Dengan bantuan Narator, Langit menapaki jalan menuju puncak evolusi meski hanya sejengkal demi sejengkal karena, yah, Narator ternyata bukan sistem yang sempurna… Di kehidupan kedua ini, Langit memutuskan untuk menanggalkan identitas lamanya. Langit yang dulu sudah mati, sekarang nama barunya adalah O. Ya, O. Hanya satu huruf, O. Sebuah huruf yang mirip dengan angka nol; sebuah filosofi bahwa ia akan mengulangi kehidupannya kembali dari titik nol.
View More[Selamat datang di Valandria]
Dalam pandangan Langit yang serba gelap, tulisan-tulisan itu berkedip-kedip. Tidak ada suara, tidak ada aroma, bahkan ia tidak bisa merasakan keberadaan otot-otot di tubuhnya.
“Apakah aku sudah mati?”
Langit mereka ulang momen-momen terakhir yang berputar seperti sebuah film dalam ingatannya.
***
Langit baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja meski jam kerja belum berakhir. Tadi pagi, selembar surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) melayang ke meja kerjanya. Tentu saja, itu artinya tidak ada pekerjaan lagi untuknya sejak hari ini.
“Anda dipecat, Pak. Senang bekerjasama dengan Anda.”
“Tentu saja kalian senang. Bayaran saya kan tidak lebih dari cleaning service di mall,” balas O sambil tersenyum.
Sampai pagi tadi, Langit bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta. Orang-orang kebanyakan barangkali berpikir bahwa biaya sekolah swasta yang mahal pasti memberikan gaji yang besar juga untuk karyawannya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian, setidaknya berdasarkan pengalaman Langit sendiri. Upah Langit jauh dari kata tinggi dan padanan kata lainnya. Jangankan tinggi, memenuhi upah minimal yang ditetnukan pemerintah saja tidak. Beban dan waktu kerjanya menyaingi perusahaan unicorn, tetapi apresiasi yang didapat seperti keledai (pun intended). Setiap keluhan karyawan hanya akan dibalas satu kata yang sama: “Ikhlas.” Jika sudah jengah, tentu saja para pebisnis berkedok yayasan amal itu akan membalas dengan surat cinta berisi pemutusan hubungan kerja. Sebab menurut mereka, penurunan perfomra sekolah disebabkan oleh karyawan-karyawan yang gagal untuk ikhlas, dan bukan karena kesalahan manajemen.
Ah, kehidupan seorang guru di Negara RI memang seperti itu. Menderita. Kasta terbawah yang paling menderita adalah guru honorer, berikutnya guru swasta—terutama guru swasta di sekolah yang yayasannya sering meminjam nama Tuhan untuk melegalkan perlakuan mereka terhadap karyawan. Ironis. Makin sering nama Tuhan disebut, rasanya makin wajib memperlakukan karyawan mereka seperti martir.
“Ikhlas! Korbankan jiwa ragamu demi Tuhan.” Terdengar seperti sebuah kultus sesat bukan? Hanya saja, mereka menggunakan nama Tuhan, bukan nama-nama berhala.
Langit memacu motornya sekencang mungkin untuk meluapkan rasa kesalnya. Di sebuah tikungan, matanya menangkap sebuah iklan kegiatan religius yang menarik. “Sudahkah Anda berbuat ikhlas hari ini?” tulisan di papan besar itu. Seorang lelaki berbaju formal memberikan gestur bertanya-tanya, terlihat tolol seperti dirinya yang sempat bertahan lama di tempat kerjanya dulu karena berharap keikhlasan juga ditegakkan para pembesarnya.
“Sampah,” Langit menggerutu. “Kenapa selalu ikhlas? Kenapa orang-orang tidak pernah berbicara tentang keadilan sosial?”
Saat tatapan Langit kembali ke jalanan, penghalang jalan sudah berada tepat di depannya. Tak pelak kendaraannya menabrak pembatas jalan itu. Langit terjungkal dan melambung ke langit—terdengar ironis, ya.
Kata mereka, berbagai kilasan peristiwa dalam hidup akan melintas di benak kita sebelum kematian menjemput. Langit pun mengalami hal itu. Ia melihat saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya, yaitu masa kecil.
Orang tua yang keras, tapi penuh perhatian. Rumah yang kecil tetapi nyaman. Ruang kamar yang selalu dia tata dan rapikan. Meja belajar yang penuh dengan majalah, komik dan novel. Lalu, rak konsol dan koleksi video game RPG (Role Playing Game) kesukaannya.
Ah, game-game itu. Sejak dewasa Langit hampir tak pernah memainkan mereka lagi. Seandainya Langit bisa mengulangi hidupnya, ia akan lebih sering memainkan mereka. Oh, tidak. Itu tidak terlalu penting. Seandainya Langit bisa mengulangi hidupnya, ia tidak akan membiarkan dirinya tertindas lagi. Ia tidak akan menjadi orang baik nan naif lagi. Ia akan lebih blak-blakan, berani dan menantang siapapun yang merundungnya baik secara langsung maupun tidak. Dan yang paling penting, Langit tidak akan membiarkan orang-orang menyalahgunakan kata “ikhlas” untuk mengambil keuntungan dari orang lain…
BUK! KRAK!
Langit dapat mendengar dan merasakan tulang-tulangnya patah. Ya, tubuh Langit telah menghantam dasar jurang. Langit telah membumi--literally…
***
[Selamat datang di Valandria]
Tulisan itu masih berkedip-kedip dalam bidang pandangnya. Langit pikir ia sedang terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma dan mati rasa, tapi ternyata ia bisa menggerakkan tubuhnya setelah berusaha lebih keras. Hanya saja, memang rasanya agak berbeda. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras di hadapannya, namun ia tidak bisa merasakan tekstur maupun suhu dari benda itu. Benda itu seperti sebuah tembok, tapi sepertinya lebih ringan. Kemudian ia mendorong benda itu ke atas.
KRIIT
Bunyi berdecit. Lalu seberkas cahaya temaram masuk lewat celah kecil yang terbentuk. Langit mendorong tembok itu lagi. Kali ini sekuat tenaga. Tembok itu ternyata sebuah papan, lebih tepatnya, sebuah penutup peti mati…
Langit mengambil sikap duduk lalu memeprhatikan keadaan sekitar. Pemandangan itu amat asing baginya. Ruangan di sekelilingnya tidak terbuat dari beton atau semen, tetapi dari batu atau tanah keras yang dipahat atau diratakan sedemikian rupa. Keempat sudut ruang itu dilubangi sebagai tempat menaruh lilin. Di salah satu sisi ruangan terdapat pintu yang terbuat dari kayu. Tidak ada penerangan yang memadai di ruang itu selain lilin-lilin kecil dengan nyala api yang kuning kemerahan. Langit-langit ruangan itu juga sama ratanya dengan tembok di sekelilingnya. Tidak ada jendela. Tidak ada ventilasi.
“Apakah ini ruang penyimpanan mayat?”
[Selamat datang di Valandria]
Tulisan itu muncul lagi dalam bidangnya pandangnya, seperti augmented reality. Jika diperhatikan, tulisan itu tidak menggunakan bahasa yang dipakainya di Negara RI. Akan tetapi, entah bagaimana, Langit bisa memahami tulisan itu.
Langit berusaha menyingkirkan tulisan itu dari pandangannya dengan cara mengibaskan tangannya. Tulisan itu hilang, tapi kemudian tulisan lain segera muncul.
[Siapa nama Anda?]
Sebuah persegi panjang berwarna hijau muda transparan muncul di bawah pertanyaan itu. Bangun datar itu adalah tempat untuk menaruh namanya.
“Hei, ini seperti adegan di video game!” seru Langit terkesan.
Langit mengelus jenggot, seperti kebiasaannya saat dia serius memikirkan sesuatu. Langit benar-benar memikirkan nama yang cocok untuk sebuah karakter game. Namun ia merasakan sesuatu yang janggal saat jemarinya menyentuh dagu. Ia tidak menemukan jenggot tipisnya.
Langit meraba dagunya sekali lagi dengan kedua tangan dan kejanggalan justru bertambah. Tidak ada jenggot di sana. Bahkan tidak ada kulit!
Langit kemudian mengangkat kedua tangan dan memperhatikan telapak tangannya.
“Uwaaaaaaaaaa!!!!!!!!!”
Langit kaget setengah mati. Eh, bukankah dirinya memang sudah mati?
~Bersambung~
O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,
O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli
O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan
Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda
"Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t
Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments