[Selamat datang di Valandria]
Dalam pandangan Langit yang serba gelap, tulisan-tulisan itu berkedip-kedip. Tidak ada suara, tidak ada aroma, bahkan ia tidak bisa merasakan keberadaan otot-otot di tubuhnya.
“Apakah aku sudah mati?”
Langit mereka ulang momen-momen terakhir yang berputar seperti sebuah film dalam ingatannya.
***
Langit baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja meski jam kerja belum berakhir. Tadi pagi, selembar surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) melayang ke meja kerjanya. Tentu saja, itu artinya tidak ada pekerjaan lagi untuknya sejak hari ini.
“Anda dipecat, Pak. Senang bekerjasama dengan Anda.”
“Tentu saja kalian senang. Bayaran saya kan tidak lebih dari cleaning service di mall,” balas O sambil tersenyum.
Sampai pagi tadi, Langit bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta. Orang-orang kebanyakan barangkali berpikir bahwa biaya sekolah swasta yang mahal pasti memberikan gaji yang besar juga untuk karyawannya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian, setidaknya berdasarkan pengalaman Langit sendiri. Upah Langit jauh dari kata tinggi dan padanan kata lainnya. Jangankan tinggi, memenuhi upah minimal yang ditetnukan pemerintah saja tidak. Beban dan waktu kerjanya menyaingi perusahaan unicorn, tetapi apresiasi yang didapat seperti keledai (pun intended). Setiap keluhan karyawan hanya akan dibalas satu kata yang sama: “Ikhlas.” Jika sudah jengah, tentu saja para pebisnis berkedok yayasan amal itu akan membalas dengan surat cinta berisi pemutusan hubungan kerja. Sebab menurut mereka, penurunan perfomra sekolah disebabkan oleh karyawan-karyawan yang gagal untuk ikhlas, dan bukan karena kesalahan manajemen.
Ah, kehidupan seorang guru di Negara RI memang seperti itu. Menderita. Kasta terbawah yang paling menderita adalah guru honorer, berikutnya guru swasta—terutama guru swasta di sekolah yang yayasannya sering meminjam nama Tuhan untuk melegalkan perlakuan mereka terhadap karyawan. Ironis. Makin sering nama Tuhan disebut, rasanya makin wajib memperlakukan karyawan mereka seperti martir.
“Ikhlas! Korbankan jiwa ragamu demi Tuhan.” Terdengar seperti sebuah kultus sesat bukan? Hanya saja, mereka menggunakan nama Tuhan, bukan nama-nama berhala.
Langit memacu motornya sekencang mungkin untuk meluapkan rasa kesalnya. Di sebuah tikungan, matanya menangkap sebuah iklan kegiatan religius yang menarik. “Sudahkah Anda berbuat ikhlas hari ini?” tulisan di papan besar itu. Seorang lelaki berbaju formal memberikan gestur bertanya-tanya, terlihat tolol seperti dirinya yang sempat bertahan lama di tempat kerjanya dulu karena berharap keikhlasan juga ditegakkan para pembesarnya.
“Sampah,” Langit menggerutu. “Kenapa selalu ikhlas? Kenapa orang-orang tidak pernah berbicara tentang keadilan sosial?”
Saat tatapan Langit kembali ke jalanan, penghalang jalan sudah berada tepat di depannya. Tak pelak kendaraannya menabrak pembatas jalan itu. Langit terjungkal dan melambung ke langit—terdengar ironis, ya.
Kata mereka, berbagai kilasan peristiwa dalam hidup akan melintas di benak kita sebelum kematian menjemput. Langit pun mengalami hal itu. Ia melihat saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya, yaitu masa kecil.
Orang tua yang keras, tapi penuh perhatian. Rumah yang kecil tetapi nyaman. Ruang kamar yang selalu dia tata dan rapikan. Meja belajar yang penuh dengan majalah, komik dan novel. Lalu, rak konsol dan koleksi video game RPG (Role Playing Game) kesukaannya.
Ah, game-game itu. Sejak dewasa Langit hampir tak pernah memainkan mereka lagi. Seandainya Langit bisa mengulangi hidupnya, ia akan lebih sering memainkan mereka. Oh, tidak. Itu tidak terlalu penting. Seandainya Langit bisa mengulangi hidupnya, ia tidak akan membiarkan dirinya tertindas lagi. Ia tidak akan menjadi orang baik nan naif lagi. Ia akan lebih blak-blakan, berani dan menantang siapapun yang merundungnya baik secara langsung maupun tidak. Dan yang paling penting, Langit tidak akan membiarkan orang-orang menyalahgunakan kata “ikhlas” untuk mengambil keuntungan dari orang lain…
BUK! KRAK!
Langit dapat mendengar dan merasakan tulang-tulangnya patah. Ya, tubuh Langit telah menghantam dasar jurang. Langit telah membumi--literally…
***
[Selamat datang di Valandria]
Tulisan itu masih berkedip-kedip dalam bidang pandangnya. Langit pikir ia sedang terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma dan mati rasa, tapi ternyata ia bisa menggerakkan tubuhnya setelah berusaha lebih keras. Hanya saja, memang rasanya agak berbeda. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras di hadapannya, namun ia tidak bisa merasakan tekstur maupun suhu dari benda itu. Benda itu seperti sebuah tembok, tapi sepertinya lebih ringan. Kemudian ia mendorong benda itu ke atas.
KRIIT
Bunyi berdecit. Lalu seberkas cahaya temaram masuk lewat celah kecil yang terbentuk. Langit mendorong tembok itu lagi. Kali ini sekuat tenaga. Tembok itu ternyata sebuah papan, lebih tepatnya, sebuah penutup peti mati…
Langit mengambil sikap duduk lalu memeprhatikan keadaan sekitar. Pemandangan itu amat asing baginya. Ruangan di sekelilingnya tidak terbuat dari beton atau semen, tetapi dari batu atau tanah keras yang dipahat atau diratakan sedemikian rupa. Keempat sudut ruang itu dilubangi sebagai tempat menaruh lilin. Di salah satu sisi ruangan terdapat pintu yang terbuat dari kayu. Tidak ada penerangan yang memadai di ruang itu selain lilin-lilin kecil dengan nyala api yang kuning kemerahan. Langit-langit ruangan itu juga sama ratanya dengan tembok di sekelilingnya. Tidak ada jendela. Tidak ada ventilasi.
“Apakah ini ruang penyimpanan mayat?”
[Selamat datang di Valandria]
Tulisan itu muncul lagi dalam bidangnya pandangnya, seperti augmented reality. Jika diperhatikan, tulisan itu tidak menggunakan bahasa yang dipakainya di Negara RI. Akan tetapi, entah bagaimana, Langit bisa memahami tulisan itu.
Langit berusaha menyingkirkan tulisan itu dari pandangannya dengan cara mengibaskan tangannya. Tulisan itu hilang, tapi kemudian tulisan lain segera muncul.
[Siapa nama Anda?]
Sebuah persegi panjang berwarna hijau muda transparan muncul di bawah pertanyaan itu. Bangun datar itu adalah tempat untuk menaruh namanya.
“Hei, ini seperti adegan di video game!” seru Langit terkesan.
Langit mengelus jenggot, seperti kebiasaannya saat dia serius memikirkan sesuatu. Langit benar-benar memikirkan nama yang cocok untuk sebuah karakter game. Namun ia merasakan sesuatu yang janggal saat jemarinya menyentuh dagu. Ia tidak menemukan jenggot tipisnya.
Langit meraba dagunya sekali lagi dengan kedua tangan dan kejanggalan justru bertambah. Tidak ada jenggot di sana. Bahkan tidak ada kulit!
Langit kemudian mengangkat kedua tangan dan memperhatikan telapak tangannya.
“Uwaaaaaaaaaa!!!!!!!!!”
Langit kaget setengah mati. Eh, bukankah dirinya memang sudah mati?
~Bersambung~
Sistem saraf manusia berfungsi mengatur setiap tindakan dan tanggapan tubuh dengan cara saling bertukar sinyal lewat sel-sel reseptor. Sistem saraf manusia dibentuk oleh organ otak, sumsum tulang belakang, serta saraf somatik dan otonom. Dari bagian tersebut, saraf somatik berfungsi untuk menangkap rangsangan yang berada di tubuh bagian luar seperti kulit. Oleh karena itu, Langit tidak bisa merasakan tekstur maupun suhu saat tangannya menyentuh papan penutup peti mati, sebab wujudnya sekarang adalah sebuah rangka tanpa kulit, apalagi daging!!"Uwaaaaaaah!!"Langit tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Ia melihat ke kedua tangan, lalu ke kaki, lalu ke badan. Semuanya tinggal tulang belulang. Langit tidak menyadari itu saat mengibas tangannya untuk menghapus tulisan berkedip-kedip dalam bidang pandangnya tadi. Sekarang, ketika menyadari seluruh tubuhnya hanya berupa tulang belulang, ia tak bisa untuk tidak histeris."Uwaa! Uwa! Aaaaa!"........Langit menjerit-jerit lebih dari 20
"Hei, Narator," O memanggil suara dalam kepalanya dengan sebutan Narator. Bukan panggilan yang tepat, tapi ia tidak peduli. "Aku ada di mana sekarang?"""Anda berada di Kota Magna."" Suara jantan dan macho itu tampak tidak keberatan dipanggil Narator. ""Anda serkarang berada di dalam katakomba (kuburan bawah tanah) di bawah kota."""Hoo, kuburan, ya." O mengelus jenggotnya yang sudah tak ada lagi, "Jadi aku terlahir kembali sebagai sebuah kerangka hidup di kuburan bawah kota."O tidak protes meskipun terlahir kembali di dalam kubur. Ia sudah benar-benar menerima nasibnya. Sebaliknya ia justru menunjukkan ketertarikan. Ia sering mendengar tentang katakomba di negara PR dan negara IT yang justru menjadi tujuan wisata di dunia asalnya. Selama ini O hanya bisa mengalami katakomba lewat media internet. Ia pernah bermimpi suatu saat bisa mengunjungi katakomba itu sebagai turis. Sayangnya, gaji sebagai guru swasta yang bahkan tidak memungkinkan dirinya untuk berlibur ke seberang pulau di neg
Bayangkan kalian sedang tertidur pulas di kamar kalian yang nyaman dan tertutup. Saat itu sudah larut malam dan cahaya satu-satunya adalah lampu tidur kalian yang berpendar, menambah kenyamanan tidur kalian. Lalu, kalian terbangun karena suara seseorang terdengar dari ruangan lain. Kalian penasaran dan dengan berhati-hati membuka pintu kamar; mengintip lewat celah pintu dengan harapan sumber suara itu adalah kekasih kalian. Namun saat pintu sudah terbuka setengahnya, kalian baru teringat bahwa kalian sudah menjomblo selama bertahun-tahun dan kalian tinggal sendirian di rumah itu. Lalu pemilik suara itu menyadari kalian yang mengintip dari kamar tidur dan menyergap kalian...Apakah kalian akan ketakutan? Tentu saja, atau setidaknya kalian akan kaget bukan kepalang. Begitulah yang dirasakan O saat siluet di ujung lorong itu berlari ke arahnya dengan suara yang jelas-jelas bukan berasal dari manusia atau hewan."Aaaaah!" O berteriak sekencang-kencangnya saat siluet itu berjarak dua langk
O menghentikan semua pergerakannya dan berpura-pura mati (meskipun secara teknis ia sudah mati). Mayat hidup merayap ini pasti bergerak kemari karena suara-suara berisik dari pergumulannya beberapa waktu lalu.O berusaha menemukan jalan keluar dalam keadaan dan waktu yang sempit. Lawan mengepungnya dari depan dan belakang. Sementara senjatanya masih jauh dan lagi, O tidak tahu pasti apa yang dapat ia lakukan dengan senjata itu dengan keadaan tubuh terpisah seperti itu.""Peringatan bahaya! Betis kiri Anda telah patah. Tingkat kerusakan semakin tinggi. Perhitungan tingkat asimilasi yang digunakan untuk mengembalikan kondisi: 0,03%."" O tidak punya waktu lagi. Bertindak sekarang atau mati sia-sia. Jika ia melawan dan tetap mati, setidaknya ia sudah mencoba, bukan?O mengumpulkan semua informasi yang ia dapatkan sejauh ini. Pertama, mayat-mayat hidup ini mengincarnya, akan tetapi tidak bisa membedakan bagian yang vital. Hal ini terbukit ketika mayat hidup yang pertama kali O jumpai tida
GrAh! GRrggh!Suara-suara merintih merambat dari balik kegelapan di ujung lorong. Di balik kegelapan itu, masih ada ruangan atau apapun itu yang pastinya menampung mayat-mayat hidup yang lain. Bunyi-bunyi berisik beberapa waktu lalu pasti mengusik mayat-mayat hidup itu dan memancing mereka ke sini. O beruntung karena tidak ada mayat hidup yang berlari dan tempatnya sekarang berdiri sangat gelap karena tidak terjangkau cahaya pelita.“Sebaiknya kita mundur. Susun ulang strategi.” O menyuarakan isi pikirannya, sebuah kebiasaan baru yang tidak disadarinya.O bergegas untuk kembali ke ruangan tempat ia hidup kembali. Selain untuk mengamankan diri, ada sesuatu yang ingin diperiksanya, yaitu keahlian menggunakan senjata tongkat yang tidak dia miliki di kehidupan sebelumnya.“Narator, tampilkan daftar kemampuan!”O membuka halaman ketiga dari daftar itu. Ia menemukan jawaban dari dugaannya.~Daftar Kemampuan Pasif~Penguasaan Sihir (Lv.1)Penguasaan Tongkat (Lv.1)Penguasaan Gada (terkunci)
Kalian mungkin bertanya-tanya. Bagaimana mungkin O, seorang (mantan) guru yang tugasnya mendidik generasi bangsa, terus menerus mengumpat. Pada awalnya, O tidak seperti itu. Ia termasuk orang polos luar dalam, bahkan sampai ke tutur katanya. Hanya saja, waktu dan keadaan mengubahnya. Di kehidupan O sebelumnya, masyarakat cenderung tidak bisa membedakan antara polos dan baik; orang baik terlalu sering diasosiasikan dengan kepolosan, keikhlasan, dan kesabaran. Dengan kata lain, orang baik seringkali menjadi orang yang tidak melawan; orang lemah dan tidak berdaya. O menyadari itu beberapa tahun terakhir karirnya (juga hidupnya). Maka, ia melawan. Ia menolak menjadi pihak yang selalu salah, yang selalu berkorban, dan yang selalu merelakan. Ketika orang-orang melakukan gaslighting, O akan membalasnya dengan mengumpat. Tentu saja dengan gaya yang anggun seperti penggunaan ironi dan satir. Bagaimanapun, O tetap harus menjaga citra seorang guru, bukan?Namun, tak ada siapa-siapa di sini. Tak
O mulai membuka pintu dengan tangannya yang gemetaran. Seandainya ia punya kelenjar keringat, sekujur tubuhnya pasti akan basah sekarang. Suara menggeram dari balik pintu merambati udara, terpantul di tembok-tembok ruangan yang terbuat dari tanah keras dan padat.Kalian pernah pergi ke taman safari dan menyaksikan dari mobil safari kalian seekor singa jantan meraung? O pernah mengalaminya. Teralis besi dan kaca tebal mobil safari yang menjamin keamanannya tidak bisa mencegah raungan sang singa menggetarkan nyalinya. Kali inipun demikian. Suara yang merambat dari balik pintu itu seperti auman seekor singa, bahkan lebih menyeramkan dari yang bisa diingat O.Di balik pintu itu, O menemukan sebuah lorong yang besar. Lorong ini persis seperti lorong pertama yang dimasukinya setelah hidup kembali sebagai seorang Lich. O berpikir, jika setiap area dibuat dengan arsitektur yang serupa seperti ini, keberadaan peta mungkin tidak akan banyak membantunya.O melanjutkan langkahnya. Jika arsitektur
Suara mengaum itu benar-benar berasal dari seekor monster buas. Bayangan O tentang seekor singa jantan menjadi kenyataan, bahkan berkali-kali lipat. Monster dalam ruangan itu berwujud singa putih dan memiliki sepasang sayap yang sewarna. Ukuran monster itu sangat besar sehingga ruangan yang sangat luas itu hampir penuh. Yang lebih menakutkan lagi, monster itu tidak dalam kondisi benar-benar hidup...Sebagian daging di tubuh monster itu sudah luruh, memperlihatkan tulang yang putih pucat. Bahkan organ-organ monster itu terburai keluar; ususnya mengular ke lantai; paru-paru yang kempis menjuntai; lambungnya yang sobek meneteskan cairan asam yang membuat tanah keras mengepulkan asap. Sebelah sayapnya patah dan menggantung, sementara sayap yang satunya lagi hanya memiliki sedikit kulit dan beberapa helai bulu panjang. Sebagian wajah monster itu juga luruh. Matanya yang kuning keemasan berputar liar seperti pernak-pernik googly eyes. Di dahi monster itu, sebuah lingkaran sihir berwarna ung