Share

O, Yang Mulia!
O, Yang Mulia!
Penulis: Soma

Chapter 1: Apakah Aku sudah Mati?

[Selamat datang di Valandria]

Dalam pandangan Langit yang serba gelap, tulisan-tulisan itu berkedip-kedip. Tidak ada suara, tidak ada aroma, bahkan ia tidak bisa merasakan keberadaan otot-otot di tubuhnya.

“Apakah aku sudah mati?”

Langit mereka ulang momen-momen terakhir yang berputar seperti sebuah film dalam ingatannya.

                                                                                 ***

Langit baru saja pulang dari sekolah tempatnya bekerja meski jam kerja belum berakhir. Tadi pagi, selembar surat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) melayang ke meja kerjanya. Tentu saja, itu artinya tidak ada pekerjaan lagi untuknya sejak hari ini.

“Anda dipecat, Pak. Senang bekerjasama dengan Anda.”

“Tentu saja kalian senang. Bayaran saya kan tidak lebih dari cleaning service di mall,” balas O sambil tersenyum.

Sampai pagi tadi, Langit bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta. Orang-orang kebanyakan barangkali berpikir bahwa biaya sekolah swasta yang mahal pasti memberikan gaji yang besar juga untuk karyawannya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian, setidaknya berdasarkan pengalaman Langit sendiri. Upah Langit jauh dari kata tinggi dan padanan kata lainnya. Jangankan tinggi, memenuhi upah minimal yang ditetnukan pemerintah saja tidak. Beban dan waktu kerjanya menyaingi perusahaan unicorn, tetapi apresiasi yang didapat seperti keledai (pun intended). Setiap keluhan karyawan hanya akan dibalas satu kata yang sama: “Ikhlas.” Jika sudah jengah, tentu saja para pebisnis berkedok yayasan amal itu akan membalas dengan surat cinta berisi pemutusan hubungan kerja. Sebab menurut mereka, penurunan perfomra sekolah disebabkan oleh karyawan-karyawan yang gagal untuk ikhlas, dan bukan karena kesalahan manajemen.

Ah, kehidupan seorang guru di Negara RI memang seperti itu. Menderita. Kasta terbawah yang paling menderita adalah guru honorer, berikutnya guru swasta—terutama guru swasta di sekolah yang yayasannya sering meminjam nama Tuhan untuk melegalkan perlakuan mereka terhadap karyawan. Ironis. Makin sering nama Tuhan disebut, rasanya makin wajib memperlakukan karyawan mereka seperti martir.

“Ikhlas! Korbankan jiwa ragamu demi Tuhan.” Terdengar seperti sebuah kultus sesat bukan? Hanya saja, mereka menggunakan nama Tuhan, bukan nama-nama berhala.

Langit memacu motornya sekencang mungkin untuk meluapkan rasa kesalnya. Di sebuah tikungan, matanya menangkap sebuah iklan kegiatan religius yang menarik. “Sudahkah Anda berbuat ikhlas hari ini?” tulisan di papan besar itu. Seorang lelaki berbaju formal memberikan gestur bertanya-tanya, terlihat tolol seperti dirinya yang sempat bertahan lama di tempat kerjanya dulu karena berharap keikhlasan juga ditegakkan para pembesarnya. 

“Sampah,” Langit menggerutu. “Kenapa selalu ikhlas? Kenapa orang-orang tidak pernah berbicara tentang keadilan sosial?”

Saat tatapan Langit kembali ke jalanan, penghalang jalan sudah berada tepat di depannya. Tak pelak kendaraannya menabrak pembatas jalan itu. Langit terjungkal dan melambung ke langit—terdengar ironis, ya.

Kata mereka, berbagai kilasan peristiwa dalam hidup akan melintas di benak kita sebelum kematian menjemput. Langit pun mengalami hal itu. Ia melihat saat-saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya, yaitu masa kecil.

Orang tua yang keras, tapi penuh perhatian. Rumah yang kecil tetapi nyaman. Ruang kamar yang selalu dia tata dan rapikan. Meja belajar yang penuh dengan majalah, komik dan novel. Lalu, rak konsol dan koleksi video game RPG (Role Playing Game) kesukaannya.

Ah, game-game itu. Sejak dewasa Langit hampir tak pernah memainkan mereka lagi. Seandainya Langit bisa mengulangi hidupnya, ia akan lebih sering memainkan mereka. Oh, tidak. Itu tidak terlalu penting. Seandainya Langit bisa mengulangi hidupnya, ia tidak akan membiarkan dirinya tertindas lagi. Ia tidak akan menjadi orang baik nan naif lagi. Ia akan lebih blak-blakan, berani dan menantang siapapun yang merundungnya baik secara langsung maupun tidak. Dan yang paling penting, Langit tidak akan membiarkan orang-orang menyalahgunakan kata “ikhlas” untuk mengambil keuntungan dari orang lain…

BUK! KRAK!

Langit dapat mendengar dan merasakan tulang-tulangnya patah. Ya, tubuh Langit telah menghantam dasar jurang. Langit telah membumi--literally…

                                                                               ***

[Selamat datang di Valandria]

Tulisan itu masih berkedip-kedip dalam bidang pandangnya. Langit pikir ia sedang terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma dan mati rasa, tapi ternyata ia bisa menggerakkan tubuhnya setelah berusaha lebih keras. Hanya saja, memang rasanya agak berbeda. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras di hadapannya, namun ia tidak bisa merasakan tekstur maupun suhu dari benda itu. Benda itu seperti sebuah tembok, tapi sepertinya lebih ringan. Kemudian ia mendorong benda itu ke atas.

KRIIT

Bunyi berdecit. Lalu seberkas cahaya temaram masuk lewat celah kecil yang terbentuk. Langit mendorong tembok itu lagi. Kali ini sekuat tenaga. Tembok itu ternyata sebuah papan, lebih tepatnya, sebuah penutup peti mati…

Langit mengambil sikap duduk lalu memeprhatikan keadaan sekitar. Pemandangan itu amat asing baginya. Ruangan di sekelilingnya tidak terbuat dari beton atau semen, tetapi dari batu atau tanah keras yang dipahat atau diratakan sedemikian rupa. Keempat sudut ruang itu dilubangi sebagai tempat menaruh lilin. Di salah satu sisi ruangan terdapat pintu yang terbuat dari kayu. Tidak ada penerangan yang memadai di ruang itu selain lilin-lilin kecil dengan nyala api yang kuning kemerahan. Langit-langit ruangan itu juga sama ratanya dengan tembok di sekelilingnya. Tidak ada jendela. Tidak ada ventilasi.

“Apakah ini ruang penyimpanan mayat?”

[Selamat datang di Valandria]

Tulisan itu muncul lagi dalam bidangnya pandangnya, seperti augmented reality. Jika diperhatikan, tulisan itu tidak menggunakan bahasa yang dipakainya di Negara RI. Akan tetapi, entah bagaimana, Langit bisa memahami tulisan itu.

Langit berusaha menyingkirkan tulisan itu dari pandangannya dengan cara mengibaskan tangannya. Tulisan itu hilang, tapi kemudian tulisan lain segera muncul.

[Siapa nama Anda?]

Sebuah persegi panjang berwarna hijau muda transparan muncul di bawah pertanyaan itu. Bangun datar itu adalah tempat untuk menaruh namanya.

“Hei, ini seperti adegan di video game!” seru Langit terkesan.

Langit mengelus jenggot, seperti kebiasaannya saat dia serius memikirkan sesuatu. Langit benar-benar memikirkan nama yang cocok untuk sebuah karakter game. Namun ia merasakan sesuatu yang janggal saat jemarinya menyentuh dagu. Ia tidak menemukan jenggot tipisnya.

Langit meraba dagunya sekali lagi dengan kedua tangan dan kejanggalan justru bertambah. Tidak ada jenggot di sana. Bahkan tidak ada kulit!

Langit kemudian mengangkat kedua tangan dan memperhatikan telapak tangannya.

“Uwaaaaaaaaaa!!!!!!!!!”

Langit kaget setengah mati. Eh, bukankah dirinya memang sudah mati?

                                                                                     ~Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status