"Penuh drama banget ya, padahal cuma ngasih nomor WA ke suami orang," kekeh Fifi.
Saat ini Sakina dan Fifi sudah keluar dari kafe, mereka sedang dalam perjalanan ke toko sepatu ternama di sebuah mal. Eskalator terus berjalan, membawa mereka ke lantai tiga, dan di saat yang bersamaan Fifi tak henti-hentinya menggoda sahabatnya.
Ya, tadi Erzha kembali memanggil Sakina untuk meminta nomor ponsel wanita itu. Awalnya Sakina ragu, ia tak tahu harus memberi atau menolak. Sampai akhirnya ia memutuskan mengetikkan nomornya di ponsel Erzha.
"Buruan cek, siapa tahu aja dia udah nge-chat," ledek Fifi.
Sejak dulu, Fifi selalu heboh perihal pria. Mungkin karena Sakina tak kunjung menikah padahal Fifi sudah memutuskan berumah tangga sejak tiga tahun yang lalu. Namun, Sakina tak habis pikir, bagaimana mungkin Fifi seakan mendukung dirinya menjadi pelakor. Sungguh, berhubungan dalam bentuk apa pun dengan suami orang tentu membuat Sakina tak nyaman sekalipun via chat.
"Fi, aku wajarin ya kalau kamu jadi tim hore saat aku PDKT sama pria lajang, tapi sumpah ... kenapa kamu seolah ngedukung aku buat jadi pelakor, sih? Enggak banget."
"Ya bercanda, Na. Jangan ngambek dong," kekeh Fifi tanpa sedikit pun merasa berdosa. "Tapi tunggu, kamu bilang umurnya 30 tahun?"
Sakina hanya bergumam, apalagi mereka sudah sampai di toko sepatu yang biasa Fifi datangi. "Ini bagus, Fi," kata Sakina seraya menujuk sepatu olahraga yang dipajang paling depan. Ia memang sengaja mengalihkan pembahasan.
Fifi sama sekali tak merespons ucapan Sakina. Ia masih asyik membahas tentang Erzha. "Berarti dia nikah empat atau lima tahun yang lalu dong. Kamu perhatiin anaknya nggak, sih? Umurnya sekitar empat tahunan deh."
Sakina menghela napas, ia sudah muak dengan pembahasan ini. Akhirnya, ia pun menghindar dari Fifi, terus berkeliling toko sepatu, berpura-pura mencari yang cocok untuknya. Sakina butuh mengalihkan semuanya. Entah kenapa, getaran itu masih tetap sama. Ya, sama seperti saat pertama kali mengenal Erzha.
"Na, mau ke mana?"
"Aku juga mau nyari sepatu. Cepetan cari yang mau kamu beli, Fi. Kalau ngobrol terus, kapan kelarnya?"
Syukurlah, hal ini berhasil mengalihkan Fifi dari segala pembahasan tentang Erzha.
***
"Ide sialan!" gerutu Sakina. Bagaimana tidak, terhitung sudah dua jam ia duduk di depan laptop, selama itu pula tak ada satu kalimat pun berhasil ia ketik. Padahal, wanita itu sudah berjanji kepada para pembacanya, bahwa ia akan meng-update ceritanya jam 9 di malam Minggu.
Sejak tadi Sakina hanya menggerakkan kursi putarnya ke kanan dan kiri, terus menatap layar laptop yang menampilkan Microsoft Word kosong. Hanya ada insertion point yang terus berkedip, seakan berteriak agar Sakina segera menggerakkan jari tangannya di keyboard.
Tak tahan dengan semua ini, Sakina pun bangun untuk membuat kopi ketiganya. Diliriknya jam dinding yang kini menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, itu artinya sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ia janjikan untuk update cerita. Ah, pasti para pembaca setianya sedang menunggu. Mereka pasti kecewa dengan hal ini.
Sakina bingung, ia jarang sekali mengalami kebuntuan ide terlebih ini malam Minggu, tapi ada apa dengannya sekarang? Mungkinkah karena Erzha? Ya, bisa jadi benar, karena pria itu terus bermain di benak Sakina. Sungguh, Sakina ingin menyangkalnya, berpikir bahwa pertemuannya dengan Erzha tidak ada pengaruhnya sama sekali dengan kebuntuan ide dan ini hanyalah kebetulan. Namun, semakin Sakina menyangkal, pikirannya malah terus tertuju pada pria itu. Ya ampun, sepertinya Sakina akan benar-benar mengecewakan para pembacanya malam ini.
Selesai membuat kopi, wanita itu meletakkan cangkirnya di meja. Ia kembali duduk seraya menyentuh mouse agar layar laptopnya kembali aktif. Tetap saja, ide seolah enggan menghampirinya. Tak lama kemudian, Sakina baru sadar ponselnya berkedip tanda ada notifikasi masuk. Entah kenapa satu hal yang ia pikirkan yaitu, jangan-jangan itu chat dari Erzha.
Setelah memeriksanya, rupanya itu bukan dari Erzha. Melainkan SMS dari jasa pinjaman online yang menawarkan pinjaman dengan bunga kecil dan proses pencairan cepat. Sakina tidak merasa heran karena SMS-SMS sialan itu hampir setiap hari menghiasi kotak masuknya.
Sakina ingin mengutuk dirinya sendiri, bisa-bisanya berpikir itu adalah Erzha. Pria beristri yang seharusnya tidak ada dalam riwayat chat-nya. Lagi pula, pria itu tidak memiliki alasan sedikit pun untuk menghubungi Sakina.
Sakina seharusnya melupakan cinta pertama yang konyol itu karena tidak ada gunanya mengingat itu semua. Namun, tetap saja rasa penasaran terus bergejolak. Dengan penuh kesadaran, wanita itu mengetikkan nama akun di fitur pencarian salah satu media sosial.
Sial, akunnya digembok!
Niatnya ingin stalking, hanya saja Sakina harus mengurungkan niatnya karena akun Erzha di-private. Wanita itu merasa gengsi meskipun sekadar mengklik follow. Setelah bertahun-tahun kehilangan kontak dan sama sekali tidak pernah berkomunikasi, baru seminggu yang lalu Sakina menemukan akun yang diduga I* milik Erzha.
Hanya saja, sampai detik ini ia tidak pernah mengikuti akun tersebut, dan entah kebetulan macam apa ia kembali dipertemukan dengan pria itu.
Cinta pertama bukan berarti pacar pertama, Erzha juga belum pernah menjadi pacar Sakina. Itu artinya ... pria itu bukanlah mantannya. Hanya saja, kenapa rasanya seperti ini? Sakina merasa ini sangat mengganggu fokusnya.
Tiba-tiba, ponsel yang masih digenggam oleh Sakina bergetar. Kali ini bukan operator atau SMS penipuan, bukan juga tawaran pinjaman online. Ya, itu dari nomor asing yang Sakina yakini merupakan Erzha.
"Maaf harus kirim chat malam-malam. Besok jam 10 pagi temui aku di kafe tadi ya. Tolong nggak usah dibalas, cukup datang aja ke tempat itu besok. Nanti aku bakal jelasin alasannya. Thanks ya, Sakina."
Tunggu, Erzha mau apa lagi, sih?
Sakina tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat melihat sampel novel yang dibawa Elina. “Wah, ini bagus banget covernya,” puji Sakina. “Saat masih dalam bentuk soft copy aja aku udah jatuh cinta banget sama covernya, ternyata versi fisiknya lebih bikin aku terpesona.”“Ini Tayo yang bikin,” kata Elina. “Tadi aku mampir ke percetakan dan sekalian bawa sampelnya deh. Mas Erzha kemarin telepon buat ngasih tahu kalau kalian udah sampai rumah. Aku senang banget,” sambungnya.“Makasih ya, El. Udah mau bawain ini.”“Kamu cek lagi, Na. Takutnya ada yang kelewat, kalau ada revisi tinggal kasih tahu Tayo aja. Setelah semuanya aman … bakal diperbanyak. Rencana pre-order Minggu depan, kan?”“Iya, El. Rencananya Minggu depan. Eh, tapi Mas Erzha ke mana? Kamu udah sempat ketemu, kan?”“Di gudang depan sama Ujang dan Tayo karena kebetulan ada novel yang baru aja datang. Mau ke sana?”“Boleh,” balas Sakina.“Ngomong-ngomong, honeymoon-nya lancar, kan?” tanya Elina saat mereka sudah berjalan
“Sayang … bangun yuk,” ucap Erzha seraya mengelus-elus rambut panjang Sakina. Ia bahkan sesekali mengecup pipi sang istri yang kini masih tertidur lelap. Padahal, matahari sudah semakin naik.Sakina menggeliat, membuat Erzha spontan sedikit memundurkan tubuhnya. “Ini jam berapa, Mas?” tanyanya dengan suara khas orang baru bangun tidur, matanya bahkan belum seratus persen terbuka.“Jam setengah sembilan, Sayang. Jadi pergi hari ini, kan?”Mendengar itu, Sakina langsung membuka lebar matanya. “Ya ampun, Mas … aku belum mandi dan siap-siap.”“Makanya ayo bangun, Kina. Selagi kamu mandi dan siap-siap … aku bakal siapin sarapan buat kita.”Hari ini, tepat dua bulan mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Selama itu pula mereka melakukan perjalanan panjang. Ya, Sakina dan Erzha baru pulang dari acara bulan madu keliling Eropa.Semenjak menikah, Erzha menyerahkan beberapa bisnisnya kepada manajer profesional, kecuali Aluna Publishing yang ia percayakan pada Biru sampai dirinya kembali. Se
Kata orang, menjelang pernikahan akan banyak sekali cobaan dan rintangan yang biasanya dihadapi para calon pengantin. Namun, Sakina dan Erzha bersyukur tidak menemukan cobaan-cobaan yang berat selama enam bulan menjelang hari H. Ya, mereka akhirnya memutuskan pernikahan akan dilangsungkan enam bulan setelah kepergian Aluna.Mungkin waktu akan terasa begitu singkat karena baik Erzha maupun Sakina sama-sama sibuk bekerja. Erzha dan Sakina memang melakukan rutinitas seperti biasa. Sakina bahkan berhasil melakukan self edit sekaligus merevisi cerita bersambungnya dan kini tinggal ia serahkan ke meja editor. Ya, Biru akan mengeditnya dan kemungkinan bisa terbit dalam waktu beberapa bulan ke depan.Formasi Aluna Publishing masih tetap sama dan mereka semakin kompak, terlebih saat Ujang dan Sutaryo mengetahui rencana pernikahan Sakina dan Erzha. Dua pria itu benar-benar super heboh.Biru? Pria itu masih tetap sama, kadang marah-marah tak jelas jika naskah yang dieditnya begitu banyak kesalah
Sherly cukup lama sendirian berada di makam Aluna, ia tahu hari ini pasti tiba. Hanya saja, wanita itu tidak menyangka betapa cepatnya Aluna pergi meninggalkannya. Sebagai seorang ibu, hatinya hancur. Sangat hancur. Namun, tidak ada pilihan selain berusaha merelakan dan berdoa agar Aluna tenang di alam sana.Saat keluar dari area pemakaman, Sherly mendapati Biru sedang berdiri di dekat gerbang. Sepertinya pria itu sedang menunggunya. Ya, tidak ada siapa-siapa di sini, sudah pasti Biru ingin berbicara dengannya.Menghampiri pria itu, Sherly kemudian bertanya, “Belum pulang?”Biru memperhatikan raut wajah Sherly yang begitu jelas menunjukkan kesedihannya. Matanya bahkan sembap. “Lo belum makan, kan?” tanya Biru kemudian.“Belum. Lo juga belum?”Mereka kemudian memutuskan untuk mencari restoran terdekat. Keduanya sama-sama membawa mobil sehingga mereka mengemudikan mobilnya masing-masing.“Gue turut berduka cita ya, Sher,” ucap Biru yang sudah kesekian kalinya. Saat ini mereka berdua sud
"Kina....""I-iya, Mas?" balas Sakina gugup.“Gimana keadaan kamu?” tanya Biru.Sakina tidak langsung menjawab, ia memperhatikan Biru yang sepertinya sudah bersikap seperti biasa seolah pembicaraan kemarin sekaligus penolakannya tidak pernah terjadi. Jujur, Sakina masih merasa canggung. Sangat.“Wah, malah ngelamun. Tapi kamu kelihatannya udah sehat, sih. Buktinya datang ke sini sendiri,” kata Biru lagi.“Itu tahu. Ngapain nanya?” balas Sakina dengan nada bercanda demi mengusir kecanggungan. Ya, mulanya Sakina pikir hubungannya dengan Biru akan sangat canggung, tapi melihat sikap dan ekspresi pria itu ternyata seperti biasa jelas membuatnya sangat lega.“Emang pria yang udah ditolak nggak berhak nanya, ya?”“Bu-bukan begitu, Mas.”“Tapi?”“Maaf, kita seharusnya nggak membahas ini, Mas. Terlebih di sini,” balas Sakina.“Sori, sori. Bercanda.”“Oh iya, kalau boleh tahu … apa Mas Biru tahu Aluna sakit apa?” tanya Sakina kemudian.“Tumor otak,” jawab Biru. “Erzha sama Sherly rapi banget m
Setelah tertidur hampir lima jam, Sakina mengerjapkan matanya perlahan. Saat matanya sudah terbuka sepenuhnya, ia memperhatikan sekeliling. Tidak salah lagi, kini ia berada di ruangan rumah sakit. Terlebih infus terpasang di tangannya yang semakin mendukung keyakinannya.“Kina, kamu udah bangun.”Menoleh ke sumber suara, Sakina mendapati Fifi sedang duduk di sofa dan kini mendekat ke arahnya. Sakina tidak akan heran kalau Biru yang ada di sini karena ingatan terakhirnya yaitu sedang berbicara serius dengan Biru. Namun, bagaimana bisa Fifi yang berada di sini?“Kenapa kamu di sini?” tanya Sakina sambil berusaha duduk. Tentu saja Fifi secepatnya membantu.“Pertanyaan kamu ada-ada aja. Aku di sini karena kamu ada di sini, Kina.”“Kamu yang bawa aku ke sini? Thanks banget kalau gitu.”“Aku sama Biru,” jawab Fifi.Sakina mengernyit. “Kok bisa?”“Biru nelepon aku. Dia nggak tahu harus menghubungi siapa lagi selain aku.”“Kok dia tahu nomor kamu?”“Bukan itu yang penting, Kina. Sekarang piki