Sakina meletakkan segelas minuman di meja. “Diminum dulu, Mas,” ucapnya seraya duduk di sofa berseberangan dengan sofa yang Erzha duduki. Ia masih terkejut dan sangat tidak menyangka Erzha mengetahui keberadaannya di sini.Erzha yang semula tengah menatap layar ponselnya, langsung beralih menatap Sakina. Pria itu bahkan meletakkan ponselnya di meja, tepat di samping minuman yang disuguhkan untuknya.“Terima kasih ya, Kina.” Erzha kemudian meminumnya sejenak. Setelah menaruh gelas kembali seperti semula, Erzha yang masih menatap Sakina bertanya, “Apa kabar?”Berbagai pertanyaan memenuhi benak Sakina. Tentang dari mana Erzha tahu ia ada di sini, kenapa bisa datang tepat setelah Elina pergi, mungkinkah Elina yang memberi tahu? Sungguh, Sakina penasaran tapi ia tidak tahu bagaimana memulainya. Apalagi dari sekian banyak pertanyaan, Erzha langsung bertanya tentang kabar.“Ba-baik,” jawab Sakina sedikit gugup. “Mas sendiri … gimana kabarnya?”“Buruk,” balas pria itu.Tentu saja Sakina bingu
“Aku udah tahu tentang itu, Kina,” kata Erzha sambil tersenyum hangat.“Siapa yang kasih tahu?” Sakina tentu saja penasaran.“Setelah ngikutin kamu sampai sini, aku yang menyadari kamu pengen sendiri akhirnya memutuskan buat ketemu Tante Nita.”“Apa? Mas Erzha ke tempat Mama?”“Iya, aku bersyukur kepikiran buat nemuin Tante Nita. Kalau nggak, mungkin aku selamanya bakal mengira kamu menghindar karena benci aku. Padahal kenyataannya karena kesalahpahaman konyol. Kalau waktu bisa diulang, mungkin aku bakal bilang status dudaku sejak awal kita ketemu.”“Jadi, Mama yang kasih tahu alasan aku mengindari Mas Erzha?” Meskipun penjelasan Erzha sudah sangat jelas, tapi Sakina masih butuh kepastian.“Iya, Kina. Kalau bukan dari Tante Nita, siapa lagi yang akan ngasih tahu fakta penting ini? Entah kenapa, aku juga jadi teringat pria yang waktu itu ada di apartemen kamu, semuanya jadi makin nggak masuk akal kalau kamu sama Biru mengklaim hubungan kalian sudah berjalan selama tiga bulan. Aku makin
Sakina mengembuskan napas panjang setelah duduk di hadapan sahabatnya, Fifi. Fifi yang tengah meminum es kopi lantas menunjukkan ekspresi penuh tanya. Kenapa Sakina memberikan gelagat aneh yang tak biasanya wanita itu tampilkan? Pasti ada sesuatu."Na, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Fifi.Sakina mengernyit. "Maksudnya?""Pasti ada sesuatu, kan? Hayoh, abis lihat apa barusan?" Fifi menyelidik.Seperti biasa, menyembunyikan sesuatu dari Fifi tidaklah mudah. Mungkin karena Fifi terlalu mengenal Sakina sehingga hal sekecil apa pun tak akan pernah luput dari perhatiannya. Betapa tidak, mereka sudah bersahabat semenjak kelas satu SMA. Keduanya sudah sama-sama tahu asam garamnya persahabatan, dari saling bertengkar, saling membela, bahkan sampai menyukai pria yang sama. Mereka pernah alami. Untungnya, sekarang tidak ada lagi drama-drama memperebutkan pria karena mereka berdua sudah saling memiliki pasangan. Fifi sudah menikah, sedangkan Sakina 'mengaku' akan dinikahi oleh Park Seo-Joon."Ad
"Penuh drama banget ya, padahal cuma ngasih nomor WA ke suami orang," kekeh Fifi.Saat ini Sakina dan Fifi sudah keluar dari kafe, mereka sedang dalam perjalanan ke toko sepatu ternama di sebuah mal. Eskalator terus berjalan, membawa mereka ke lantai tiga, dan di saat yang bersamaan Fifi tak henti-hentinya menggoda sahabatnya.Ya, tadi Erzha kembali memanggil Sakina untuk meminta nomor ponsel wanita itu. Awalnya Sakina ragu, ia tak tahu harus memberi atau menolak. Sampai akhirnya ia memutuskan mengetikkan nomornya di ponsel Erzha."Buruan cek, siapa tahu aja dia udah nge-chat," ledek Fifi.Sejak dulu, Fifi selalu heboh perihal pria. Mungkin karena Sakina tak kunjung menikah padahal Fifi sudah memutuskan berumah tangga sejak tiga tahun yang lalu. Namun, Sakina tak habis pikir, bagaimana mungkin Fifi seakan mendukung dirinya menjadi pelakor. Sungguh, berhubungan dalam bentuk apa pun dengan suami orang tentu membuat Sakina tak nyaman sekalipun via chat."Fi, aku wajarin ya kalau kamu jad
Waktu menunjukkan pukul 10.20 dan Sakina masih dalam perjalanan menuju kafe. Ia sebenarnya sudah rapi sejak sebelum jam 10.00, tapi ia sengaja datang terlambat. Sakina tidak mau terlihat bersemangat atau terkesan berlebihan. Jadi, ia merasa perlu datang terakhir. Biarkan Erzha yang menunggunya. Untungnya, kafe tempat mereka bertemu masih satu kawasan dengan apartemen Sakina, sehingga ia hanya perlu berjalan kaki saja.Sampai di kafe, Sakina tidak merasa sulit untuk menemukan keberadaan Erzha. Pria itu tampak menonjol dengan kaus merah cerah. Dari kejauhan saja, Sakina merasa Erzha sukses menjadi pusat perhatian. Terbukti beberapa pengunjung wanita tampak mencuri-curi pandang ke arah pria itu.Sakina berjalan pelan, berusaha bersikap sewajarnya demi menghilangkan rasa gugup. Sedangkan Erzha tampak sibuk dengan ponselnya, tidak menyadari kalau Sakina mulai mendekat. Wangi maskulin langsung tercium dan semakin terasa saat Sakina sudah ada di hadapan Erzha."Sori telat. Udah nunggu lama y
Sial. Fifi sama sekali tidak menjawab telepon Sakina. Tentu saja Sakina merasa kesal. Ia akhirnya memutuskan mendatangi tempat tinggal sahabatnya itu. Untungnya mereka tinggal di apartemen yang sama, sehingga tidak perlu membuang-buang waktu Sakina langsung berjalan kaki menuju apartemen Fifi.Setelah meminta Erzha menunggu di lobi, Sakina pun naik lift menuju lantai 15. Ia dan Fifi memang tinggal di apartemen yang sama, hanya berbeda lantai saja. Setelah sampai di depan pintu, Sakina tak sungkan untuk menekan bel. Cukup lama pintu tak kunjung dibuka, Sakina bahkan nyaris mengira sahabatnya itu tak ada di dalam. Namun, saat pintu akhirnya dibuka, Sakina bisa mengerti kenapa Fifi tak mengangkat teleponnya."Ya ampun, diteleponin nggak diangkat. Ternyata masih tidur dan sekarang baru bangun? Bagus," ujar Sakina seraya memperhatikan Fifi yang masih mengenakan piama, penampilannya pun acak-acakan khas orang baru bangun tidur."Ada apa sih, Na? Bukannya kita nggak ada acara, ya?" Suara Fif
Akhirnya, tugas Sakina sudah selesai. Lipstik sudah dibeli, dan kini ada di tangan Erzha. Sebaiknya sekarang Sakina pamit pergi. Ia tidak mau terus-terusan bersama pria itu. Lagi pula, Sakina sudah ada janji dengan Nita—mamanya. Ya, setiap hari Minggu, rutinitas Sakina yaitu mengunjungi rumah makan yang dikelola mamanya.Biasanya Sakina ke sana sore hari karena saat pagi sampai siang gravitasi kasurnya lebih kuat sehingga membuatnya lebih memilih 'hibernasi'. Namun, berhubung ia sudah rapi, lebih baik langsung ke sana sekarang. Jika kembali ke apartemen terlebih dahulu, ia bisa terserang mager kemudian tidak jadi menemui mamanya."Kamu ngapain pesan ojek online?" Suara Erzha mengalihkan fokus Sakina dari yang semula menatap ponsel, lalu beralih menatap Erzha. Sakina bahkan ingin bertanya, kenapa mata Erzha bisa sangat jeli?"Maaf, aku nggak sengaja lihat layar ponsel kamu," kata Erzha lagi.Sakina tidak langsung menjawab, ia kesal kenapa status pesanannya terus 'mencari driver' padaha
"Apa nama akun menulis kamu?" lanjut Erzha.Pertanyaan Erzha membuat Sakina menghela napas panjang. Tadinya, ia kira pria itu akan menanyakan sesuatu yang tidak-tidak. Syukurlah Erzha sekadar bertanya akun menulis."Kok diam?" tanya Erzha lagi."Kenapa nanyain akunku? Emang Mas Erzha suka baca juga?""Enggak suka baca, sih. Cuma mau tahu aja."Setelah berpikir selama beberapa saat, Sakina akhirnya menyebutkan user name-nya. Sebenarnya ia sempat ragu untuk memberi tahu Erzha nama akunnya, tapi jika tidak memberi tahu ... bukankah akan tampak mencurigakan? Apa alasan yang tepat untuk menolak memberi tahu? Malu ceritanya dibaca bukanlah alasan yang tepat, karena Erzha barusan mengatakan tidak suka membaca.Tak lama kemudian, Erzha tersenyum. Bukan, itu bukan ke arah Sakina, melainkan ke arah pintu mobil di samping Sakina. Tentu saja Sakina langsung menoleh, rupanya sang mama ada di luar pintu mobil Erzha. Tidak, jangan sampai mamanya salah paham!"Aku turun dulu, ya. Makasih udah antar s