"Apa nama akun menulis kamu?" lanjut Erzha.
Pertanyaan Erzha membuat Sakina menghela napas panjang. Tadinya, ia kira pria itu akan menanyakan sesuatu yang tidak-tidak. Syukurlah Erzha sekadar bertanya akun menulis.
"Kok diam?" tanya Erzha lagi.
"Kenapa nanyain akunku? Emang Mas Erzha suka baca juga?"
"Enggak suka baca, sih. Cuma mau tahu aja."
Setelah berpikir selama beberapa saat, Sakina akhirnya menyebutkan user name-nya. Sebenarnya ia sempat ragu untuk memberi tahu Erzha nama akunnya, tapi jika tidak memberi tahu ... bukankah akan tampak mencurigakan? Apa alasan yang tepat untuk menolak memberi tahu? Malu ceritanya dibaca bukanlah alasan yang tepat, karena Erzha barusan mengatakan tidak suka membaca.
Tak lama kemudian, Erzha tersenyum. Bukan, itu bukan ke arah Sakina, melainkan ke arah pintu mobil di samping Sakina. Tentu saja Sakina langsung menoleh, rupanya sang mama ada di luar pintu mobil Erzha. Tidak, jangan sampai mamanya salah paham!
"Aku turun dulu, ya. Makasih udah antar sampai sini," ucap Sakina terburu-buru. "Loh, Mas Erzha mau ke mana?" tanya Sakina begitu melihat Erzha yang sepertinya hendak ikut turun.
"Itu Tante Nita, kan? Aku masih ingat," jawab Erzha. "Aku mau menyapa sebentar. Aku baru tahu rumah makan ini milik Tante Nita," lanjutnya.
Ya Tuhan, Sakina tidak menyangka, sebenarnya ingatan Erzha terbuat dari apa, sih? Kenapa masih mengingat wajah mamanya, padahal sudah bertahun-tahun yang lalu.
"Maaf, Mas. Gimana kalau lain kali aja? Aku ada urusan sama mama, dan ini nggak bisa ditunda lagi," ucap Sakina sengaja berbohong. Ia tidak mau mamanya berkata yang tidak-tidak, terlebih tidak tahu kalau Erzha adalah pria beristri.
"Oh, baiklah," balas Erzha mengurungkan niatnya untuk turun. "Kalau begitu, salamin aja ya sama Tante Nita."
Sakina mengangguk. "Sekali lagi makasih ya, Mas," pamitnya. Sampai kemudian wanita itu benar-benar turun dari mobil Erzha.
Tidak butuh waktu berlama-lama, mobil Erzha sudah pergi meninggalkan pekarangan rumah makan Nita. Rumah makan yang sudah berdiri semenjak kepergian papa Sakina untuk selama-lamanya.
"Itu siapa?" tanya Nita seraya mengerlingkan mata nakal.
"Mama kayak nggak biasanya aja. Itu sopir online," jawab Sakina berbohong. Untuk menghindari pembahasan, ia segera masuk ke rumah makan dan mencari kesibukan apa saja yang bisa mengalihkan Nita.
"Kok ngobrolnya lama banget? Mau bohongin mama, ya?" goda Nita. "Pria tadi juga senyum ke mama loh," lanjutnya.
Sakina tidak menjawab, ia malah langsung mengelap beberapa piring dan gelas yang baru saja dicuci oleh salah satu karyawan mamanya. Sungguh, ia sangat tidak ingin Nita salah paham, tapi kenyataannya sang mama justru sudah salah paham.
Boleh dibilang, Nita tidak penah melihat Sakina bersama pria apalagi diantar sampai rumah makan. Setahu Nita, anaknya itu sudah bertahun-tahun menjomlo. Ya, setidaknya itu yang Nita tahu, karena Sakina memang selalu menghindari pembahasan tentang pacar, terlebih calon suami. Padahal sebenarnya, di usia Sakina yang menginjak 27 tahun ini, Nita ingin sekali anak tunggalnya itu bertemu jodohnya.
"Pria tadi senyum ke Mama supaya dapet tip sama bintang lima, Ma," jawab Sakina akhirnya.
"Mama nggak akan marah loh kalau kamu beneran punya pacar, justru mama happy," kata Nita yang kini sudah mengambil posisi di samping Sakina.
"Udah ya, Ma. Pembahasan ini pasti ujung-ujungnya ke arah yang aku nggak suka. Cukup orang-orang yang nyuruh aku cepat nikah, tolong Mama jangan."
Nita mengerti, anaknya itu memang berwatak keras. "Oh ya, tumben kamu datang jam segini?"
"Mau bantu-bantu aja, Ma. Minggu, kan, biasanya lebih ramai," jawab Sakina. Tidak mungkin ia mengatakan alasan yang sebenarnya.
Nita mengangguk. "Ke sini setiap hari juga nggak apa-apa, Na. Mama malah senang. Daripada kamu suntuk."
Ya, hari ini tepat satu bulan Sakina resign dari pekerjaannya. Dalam kata lain, wanita itu sudah satu bulan menjadi pengangguran. Suntuk? Memang iya. Hari-hari pertama resign memang nikmat, Sakina bisa bersantai sesuka hati. Rasanya seperti akhir pekan setiap hari. Namun, belakangan ini Sakina mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lagi. Sakina merasa tidak bisa terus-terusan seperti ini. Tabungannya pun mulai berkurang karena hanya ada pengeluaran tanpa pemasukan.
Andai saja tidak ada masalah yang pelik di kantor tempatnya bekerja dulu, Sakina tidak akan memilih jalan resign. Baginya, resign adalah sesuatu yang harus ada perencanaan yang matang. Wanita itu bahkan memiliki prinsip; sebelum resign, ia harus memiliki pekerjaan lain yang bisa dipastikan lebih baik. Jika tidak, ia harus benar-benar merasa sudah kaya raya sampai bingung cara menghabiskan uang. Hanya dua alasan itu yang akan membuat Sakina resign. Namun, kenyataannya Sakina keluar dari pekerjaannya karena alasan konyol dan memalukan. Betapa tidak, hanya karena seorang pria, Sakina rela mengundurkan diri.
Sama sekali tidak ada yang tahu alasan Sakina resign. Hanya Sakina dan 'pria bajingan' itu yang tahu. Sedangkan Nita, Fifi bahkan teman sekantornya tidak ada yang tahu, mereka hanya tahu kalau Sakina ingin rehat.
Meskipun sebenarnya Nita dan Fifi curiga ada sesuatu yang terjadi, tapi melihat Sakina tidak mau mengatakannya, mereka berusaha tidak memaksa. Untuk masalah ini, Sakina merasa jangan sampai ada yang tahu bahkan wanita itu ingin menutupnya rapat-rapat sampai tidak ada celah sekecil apa pun itu. Selamanya.
***
Sakina sedari tadi sibuk dengan layar laptopnya. Setelah meng-update ceritanya, kini fokusnya beralih pada situs web terpercaya yang menyajikan lowongan pekerjaan. Sepertinya satu bulan cukup, kini ia harus mencari kesibukan selain makan, tidur dan menulis cerita bersambung.
Sejak pulang ke apartemennya tadi sore, Sakina tidak menemukan ponselnya di mana-mana. Ia mencoba mengingat-ingat kapan terakhir menggunakannya. Sakina merasa saat di rumah makan mamanya sibuk membantu karena ramainya pengunjung. Ia bahkan sama sekali tidak ingat dengan ponselnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirimkan pesan pada sang mama menggunakan W******p Web di laptopnya. Sakina sangat berharap ponselnya ketinggalan di sana dan saat ini berada di tangan Nita.
Jangankan mengirim pesan, W******p Web-nya tidak bisa dibuka. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Diliriknya jam yang menunjukkan pukul 19.53. Tanpa diberi tahu pun Sakina sudah bisa menebak siapa yang datang. Fifi.
"Fifi, ngapain malam-malam ke—" Sakina spontan menghentikan ucapannya saat melihat siapa yang sebenarnya datang. Bukan Fifi, melainkan Alfian si pria bajingan itu. Sontak Sakina langsung menutup kembali pintunya, sialnya kaki Alfian berhasil menahan sehingga pintu kembali terbuka.
"Ngapain kamu ke sini?!" bentak Sakina.
Alfian langsung merangsek masuk tanpa menutup pintunya rapat-rapat. "Kita harus bicara, Sakina!" ucapnya tajam. "Aku ke sini karena kamu memblokir nomor ponsel aku, ditambah lagi ... saat aku telepon kamu pakai nomor lain, kamu nggak mau angkat teleponnya. Padahal aku telepon kamu berkali-kali. Mau kamu apa, sih?"
Perasaan Sakina jadi tidak enak. Kalau ponselnya ketinggalan di rumah makan mamanya, pasti mamanya akan mengangkat telepon saat ponselnya berdering terus-menerus. Jadi, di mana ponsel Sakina sebenarnya? Tidak mungkin ketinggalan di mobil Erzha, kan? Tadi Sakina memang sangat buru-buru saat turun dari mobil Erzha. Tapi sungguh, ia tidak mau itu terjadi. Sudah cukup ia berurusan dengan suami orang tersebut.
"Sakina! Jawab!" Alfian setengah berteriak. Membuat Sakina makin menyadari betapa salah langkahnya dulu sempat menyukai pria bertopeng baik ini. Sungguh, karakter asli Alfian benar-benar tidak layak dijadikan teman, apalagi teman hidup.
"Memangnya apa yang perlu dibicarakan?! Semuanya udah berakhir tanpa ada kekacauan," balas Sakina. Melihat wajah Alfian, rasa sakit itu kembali datang. Ia sempat mencintai Alfian, mendekati sangat. Namun, melihat wajah pria itu sekarang, rasanya menyakitkan dan menjijikkan dalam waktu yang bersamaan. Sakina menyesal sudah pernah menjalin hubungan dengan pria itu.
"Aku udah pergi dari sana. Aku mengalah, kamu masih belum puas juga?" ucap Sakina lagi.
"Sintya bilang, dia sempat bertemu kamu di mal. Kamu punya rencana apa, hah?!" bentak Alfian.
"Kamu sinting? Sana bikin mal sendiri buat Sintya biar aku sama dia nggak akan kebetulan ketemu. Asal kamu tahu, aku nggak mau buang-buang energi buat ngurusin pria bajingan kayak kamu!"
"Dari kemarin aku bertanya-tanya, kenapa Sintya kayak bete banget sama aku. Aku pikir alasannya karena kamu ngomong sesuatu sama dia. Sebenarnya apa yang kamu omongin sama calon istriku, hah?!"
"Sumpah ya, aku nggak ngomong apa-apa. Kamu tanya sendiri sama dia kalau masih nggak percaya!"
Menurut Sakina, Alfian memang pria berengsek. Bisa-bisanya pria itu menuduh Sakina setelah apa yang dilakukannya selama ini. Lagi pula, untuk apa Sakina repot-repot menjelaskan sesuatu yang ingin dipendamnya, terlebih pada Sintya.
Saat itu, Sakina bisa saja tetap bertahan bekerja meskipun harus menelan kenyataan yang sangat pahit. Ia hanya cukup diam. Namun, wanita itu lebih memilih resign. Ia malu pada dirinya sendiri, bisa-bisanya menjadi selingkuhan Alfian. Bukan, Sakina bukan wanita jahat yang bermaksud merebut kekasih orang karena ia sama sekali tidak tahu kalau Alfian dan Sintya adalah sepasang kekasih. Dalam kata lain, Sakina juga korban, tapi tetap saja Sakina muak berada di sana sehingga lebih memilih mengundurkan diri padahal ini bukanlah kesalahannya. Ini murni karena Alfian yang memang berengsek dan gila!
"Kamu ada rencana balas dendam, kan?" tanya Alfian.
"Kalau mau balas dendam, kenapa nggak dari sebulan yang lalu saat aku masih di sana? Lama-lama otak kamu makin nggak ada, ya."
"Terus kenapa sikap Sintya jadi beda setelah ketemu sama kamu? Sadar, Sakina ... kalau kamu balas dendam dengan cara memisahkan aku sama Sintya, kamu pikir aku mau balik sama kamu, begitu?"
Ya Tuhan, Sakina tidak menyangka Alfian bisa berkata seperti itu. Sumpah demi apa pun Sakina tidak seperti yang Alfian pikirkan. Jangankan kembali menjadi kekasih Alfian, bahkan berteman atau sekadar kenal pun Sakina tidak mau. Selama ini Sakina berharap dengan tidak lagi bekerja di tempat yang sama dengan Alfian, ia tidak akan bertemu dengan pria itu lagi. Namun nyatanya, Alfian malah mendatangi apartemennya. Benar-benar menjengkelkan.
"Kenapa nanyanya sama aku? Aku bukan Sintya," balas Sakina. "Satu lagi, aku nggak berharap sedikit pun buat balik sama pria berengsek kayak kamu!"
Alfian bergerak maju, membuat Sakina refleks mundur. Sakina terus mundur sampai kemudian punggungnya bersentuhan dengan tembok. Namun, Sakina bukan wanita yang akan tinggal diam. Begitu Alfian merapatkan tubuhnya, Sakina langsung melayangkan tangannya untuk menampar pipi pria itu. Tentu saja Alfian dengan sigap menahan tangan Sakina.
Sambil memegang tangan Sakina, Alfian mendekatkan wajahnya pada wajah Sakina. "Kamu akan menyesal kalau terjadi apa-apa dengan hubunganku sama Sintya," ancam Alfian.
Alih-alih menjawab, Sakina langsung menginjak kaki Alfian kuat-kuat, membuat pria itu meringis seraya bergerak mundur menjauh dari tubuh Sakina.
"Kalau gila jangan diborong semua dong! Aku bahkan nggak mau ada satu orang pun yang tahu tentang hubungan sialan itu," balas Sakina. "Please, sekarang pergi dan jangan pernah datang ke sini lagi," lanjutnya mengusir Alfian.
"Aku nggak mau ketemu kamu lagi. Di mana pun dan dengan alasan apa pun," kata Sakina lagi. Ia kemudian berjalan ke arah pintu yang memang tidak tertutup rapat.
Saat membuka pintu lebih lebar untuk mempersilakan Alfian keluar dari apartemennya, Sakina melihat sesuatu yang sangat tidak terduga. Ya, ia sama sekali tidak pernah menduga Erzha sudah berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh bel seperti siap menekannya.
Berbagai pertanyaan muncul di benak Sakina. Dari mana Erzha tahu kalau ia tinggal di sini? Lalu, apa maksud kedatangan Erzha? Parahnya lagi, kenapa waktunya sangat tidak pas seperti ini? Sial, bahkan Alfian masih di dalam!
Sakina tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat melihat sampel novel yang dibawa Elina. “Wah, ini bagus banget covernya,” puji Sakina. “Saat masih dalam bentuk soft copy aja aku udah jatuh cinta banget sama covernya, ternyata versi fisiknya lebih bikin aku terpesona.”“Ini Tayo yang bikin,” kata Elina. “Tadi aku mampir ke percetakan dan sekalian bawa sampelnya deh. Mas Erzha kemarin telepon buat ngasih tahu kalau kalian udah sampai rumah. Aku senang banget,” sambungnya.“Makasih ya, El. Udah mau bawain ini.”“Kamu cek lagi, Na. Takutnya ada yang kelewat, kalau ada revisi tinggal kasih tahu Tayo aja. Setelah semuanya aman … bakal diperbanyak. Rencana pre-order Minggu depan, kan?”“Iya, El. Rencananya Minggu depan. Eh, tapi Mas Erzha ke mana? Kamu udah sempat ketemu, kan?”“Di gudang depan sama Ujang dan Tayo karena kebetulan ada novel yang baru aja datang. Mau ke sana?”“Boleh,” balas Sakina.“Ngomong-ngomong, honeymoon-nya lancar, kan?” tanya Elina saat mereka sudah berjalan
“Sayang … bangun yuk,” ucap Erzha seraya mengelus-elus rambut panjang Sakina. Ia bahkan sesekali mengecup pipi sang istri yang kini masih tertidur lelap. Padahal, matahari sudah semakin naik.Sakina menggeliat, membuat Erzha spontan sedikit memundurkan tubuhnya. “Ini jam berapa, Mas?” tanyanya dengan suara khas orang baru bangun tidur, matanya bahkan belum seratus persen terbuka.“Jam setengah sembilan, Sayang. Jadi pergi hari ini, kan?”Mendengar itu, Sakina langsung membuka lebar matanya. “Ya ampun, Mas … aku belum mandi dan siap-siap.”“Makanya ayo bangun, Kina. Selagi kamu mandi dan siap-siap … aku bakal siapin sarapan buat kita.”Hari ini, tepat dua bulan mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Selama itu pula mereka melakukan perjalanan panjang. Ya, Sakina dan Erzha baru pulang dari acara bulan madu keliling Eropa.Semenjak menikah, Erzha menyerahkan beberapa bisnisnya kepada manajer profesional, kecuali Aluna Publishing yang ia percayakan pada Biru sampai dirinya kembali. Se
Kata orang, menjelang pernikahan akan banyak sekali cobaan dan rintangan yang biasanya dihadapi para calon pengantin. Namun, Sakina dan Erzha bersyukur tidak menemukan cobaan-cobaan yang berat selama enam bulan menjelang hari H. Ya, mereka akhirnya memutuskan pernikahan akan dilangsungkan enam bulan setelah kepergian Aluna.Mungkin waktu akan terasa begitu singkat karena baik Erzha maupun Sakina sama-sama sibuk bekerja. Erzha dan Sakina memang melakukan rutinitas seperti biasa. Sakina bahkan berhasil melakukan self edit sekaligus merevisi cerita bersambungnya dan kini tinggal ia serahkan ke meja editor. Ya, Biru akan mengeditnya dan kemungkinan bisa terbit dalam waktu beberapa bulan ke depan.Formasi Aluna Publishing masih tetap sama dan mereka semakin kompak, terlebih saat Ujang dan Sutaryo mengetahui rencana pernikahan Sakina dan Erzha. Dua pria itu benar-benar super heboh.Biru? Pria itu masih tetap sama, kadang marah-marah tak jelas jika naskah yang dieditnya begitu banyak kesalah
Sherly cukup lama sendirian berada di makam Aluna, ia tahu hari ini pasti tiba. Hanya saja, wanita itu tidak menyangka betapa cepatnya Aluna pergi meninggalkannya. Sebagai seorang ibu, hatinya hancur. Sangat hancur. Namun, tidak ada pilihan selain berusaha merelakan dan berdoa agar Aluna tenang di alam sana.Saat keluar dari area pemakaman, Sherly mendapati Biru sedang berdiri di dekat gerbang. Sepertinya pria itu sedang menunggunya. Ya, tidak ada siapa-siapa di sini, sudah pasti Biru ingin berbicara dengannya.Menghampiri pria itu, Sherly kemudian bertanya, “Belum pulang?”Biru memperhatikan raut wajah Sherly yang begitu jelas menunjukkan kesedihannya. Matanya bahkan sembap. “Lo belum makan, kan?” tanya Biru kemudian.“Belum. Lo juga belum?”Mereka kemudian memutuskan untuk mencari restoran terdekat. Keduanya sama-sama membawa mobil sehingga mereka mengemudikan mobilnya masing-masing.“Gue turut berduka cita ya, Sher,” ucap Biru yang sudah kesekian kalinya. Saat ini mereka berdua sud
"Kina....""I-iya, Mas?" balas Sakina gugup.“Gimana keadaan kamu?” tanya Biru.Sakina tidak langsung menjawab, ia memperhatikan Biru yang sepertinya sudah bersikap seperti biasa seolah pembicaraan kemarin sekaligus penolakannya tidak pernah terjadi. Jujur, Sakina masih merasa canggung. Sangat.“Wah, malah ngelamun. Tapi kamu kelihatannya udah sehat, sih. Buktinya datang ke sini sendiri,” kata Biru lagi.“Itu tahu. Ngapain nanya?” balas Sakina dengan nada bercanda demi mengusir kecanggungan. Ya, mulanya Sakina pikir hubungannya dengan Biru akan sangat canggung, tapi melihat sikap dan ekspresi pria itu ternyata seperti biasa jelas membuatnya sangat lega.“Emang pria yang udah ditolak nggak berhak nanya, ya?”“Bu-bukan begitu, Mas.”“Tapi?”“Maaf, kita seharusnya nggak membahas ini, Mas. Terlebih di sini,” balas Sakina.“Sori, sori. Bercanda.”“Oh iya, kalau boleh tahu … apa Mas Biru tahu Aluna sakit apa?” tanya Sakina kemudian.“Tumor otak,” jawab Biru. “Erzha sama Sherly rapi banget m
Setelah tertidur hampir lima jam, Sakina mengerjapkan matanya perlahan. Saat matanya sudah terbuka sepenuhnya, ia memperhatikan sekeliling. Tidak salah lagi, kini ia berada di ruangan rumah sakit. Terlebih infus terpasang di tangannya yang semakin mendukung keyakinannya.“Kina, kamu udah bangun.”Menoleh ke sumber suara, Sakina mendapati Fifi sedang duduk di sofa dan kini mendekat ke arahnya. Sakina tidak akan heran kalau Biru yang ada di sini karena ingatan terakhirnya yaitu sedang berbicara serius dengan Biru. Namun, bagaimana bisa Fifi yang berada di sini?“Kenapa kamu di sini?” tanya Sakina sambil berusaha duduk. Tentu saja Fifi secepatnya membantu.“Pertanyaan kamu ada-ada aja. Aku di sini karena kamu ada di sini, Kina.”“Kamu yang bawa aku ke sini? Thanks banget kalau gitu.”“Aku sama Biru,” jawab Fifi.Sakina mengernyit. “Kok bisa?”“Biru nelepon aku. Dia nggak tahu harus menghubungi siapa lagi selain aku.”“Kok dia tahu nomor kamu?”“Bukan itu yang penting, Kina. Sekarang piki