"Eh maaf, Mas, lupa." Aku tersenyum malu. Abang ojol hanya melegos, seperti tampak kesal. Biar aja lah, memang aku salah.Segera aku menuju di mana beberapa orang tengah menonton pertunjukan didepan rumah Mbak Desi."Ada apa ini, Bu?" tanyaku pada Ibu-ibu yang tengah asik ngehibah."Itu loh si, Jali dan Desi. Lagi sedang ada yang nagih. Lebih serem dari rentenir!" ujar salah satu Ibu."Kalau menurutku sih bukan nagih, tapi meminta uang. Soalnya tadi saya dengar. Laki-laki yang datang berteriak jika meminta jali menyerahkan uangnya." Ibu yang berada disebelahnya kembali berujar.Aku hanya manggut-manggut. Namun, masih penasaran dengan apa yang terjadi. Ingin mendekat tapi sepertinya tak memungkinkan. Laki-laki paruh baya keluar dengan emosi. Memegang perhiasan Mbak Desi. Melihatnya dengan segsama namun, semenit kemudian melemparkannya tepat disaat Mbak Desi keluar.PranggSuara khas benda logam jatuh."Miris! Kalian mau menipu aku dengan memberikan perhiasan palsu?" Laki-laki itu emosi
"Kok malah nangis, Cha. Kenapa?" Aku mengepuk-epuk punggungnya. "Hikzz, gara-gara pernikahan aku yang batal, Tan. Sekarang Mama sama Bapa kesusahan. Dia punya banyak hutang, terlebih pihak laki-laki menuntut semuanya kembali termasuk uang yang telah Mbak Desi makan. Huuuhuuu ...." Icha makin keras menangis.Oh itu yang membuat Mbak Sarah dan Mas Rian akhirnya pergi kerumah Mbak Desi. Mungkin ingin menyelesaikan semuanya. Lagian Mbak Desi juga keterlaluan. Sama keponakan sendiri malah di cari untung."Jadi Mas Rian kerumah Mbak Desi untuk menyelesaikan masalah itu, Cha?" Mas Bayu membuka suara. Kali ini Icha mengeleng. Tentu membuat kami makin bingung."Lah terus?" Mas Bayu kembali bertanya."Sebenarnya ada masalah lain. Ini lebih memalukan, Om, Tante. Disisi lain aku bersyukur bisa membatalkan pernikahan ini. Karena ternyata Udin itu ...." Icha menggantung ucapannya."Udin itu ... Pacarnya Mbak Desi." Icha akhirnya menyelesaikan ucapannya."Pacar? Maksud kamu ... Pacar Mbak Desi dulu
"Eh, Mbak Melan. Sedang apa?" Mas Bayu juga mengenalinya. Aku menyempitkan mata, bahkan terdengar nada ramah pada Mas Bayu. Apa jangan-jangan ...."Oh, ini pengen makan bebek bakar aja. Apa aku boleh gabung?" tanya wanita yang di panggil Mas Bayu dengan sebutan Melan.Apa? Gabung. Yang benar saja. Bahkan sejak awal, dia tak melirikku sama sekali. Seolah aku dianggap hantu sama dia. Ganjen."Boleh, silahkan. Perkenalkan dia istriku Fitri dan itu anakku Ilham." Akhirnya wanita itu baru mau memandangku, tersenyum sedikit kemudian malah duduk disebelah Mas Bayu. Duh ... Kesal."Sama siapa? Ngga sama Engkong?" tanya Mas Bayu. Aku tak mengerti siapa yang di panggil engkong."Ngga, sendirian aja. Kalau sama engkong suka lama! Lama jalannya." Dia berbisik di akhir kata. Tapi aku tetap bisa mendengar. Siapa engkong dan siapa Melan. Ingin bertanya lebih jauh tapi sepertinya waktunya belum tepat.Melan bercerita pada Mas Bayu tanpa beban. Seolah sudah kenal Mas Bayu lama. Aku hanya menyimak d
"Hitung menghitung? Apa maksud kamu, Mbak?" tanyaku langsung yang baru keluar."Nah ini orangnya!" Mbak Desi langsung merebut kertas yang dipegang Mas Bayu."Baca ini! Semua ini biaya suamimu selama kami rawat dulu! Apa kamu mau membayarnya?" Aku mengambil kertas yang ia sodorkan. Berisi catatan panjang. Tentang biaya makan tiga kali kemudian dikalikan berapa ribu. Aku bahkan tak mudeng dengan yang di tuliskan."Ini apaan, Mbak?" tanyaku."Itu semua rinjian biaya Bayu dulu! Jumplah saja, siapa tahu kamu mau menggantinya. Kita tinggal itung-itung saja. Potong utangku yang sepuluh juta kemarin. Masih kembali banyak kan ke aku?"Aku melihat nominal dibawah sana yang mendekati di angka seratus juta."Itu pakai totalan dulu. Kalau nilai rupiah sekarang. Kamu tahu kan berapa kali lipat?""Ini maksudnya Mbak Desi mau minta bayaran atas apa yang Mbak berikan pada Mas Bayu dulu? Mbak ngga iklhas?" Aku mulai kesal. Dia seolah menggunakan kesempatan untuk memeras kami."Tidak! Sudah pantas aku
"Bagaimana bisa sampai aku tak tahu? Atau aku lupa?" Aku mengingat keras. Apa aku pelupa karena sibuk atau ....Aku berusaha membuka chat dari Mbak Saras. Takutnya aku ngga baca atau terlewat. Tak ada chat dari dia? Kemudian aku mencari kontak Mas Rian juga tapi nihil."Kenapa?" tanya Mas Bayu yang mulai naik keranjang. Mungkin heran melihatku bermain ponsel dengan gugup."Ini, Mas. Kamu udah lihat grup kan?" tanyaku penasaran.Dia mengangguk. "Tentang acara lamaran Icha?" tanya Mas Bayu kemudian."Iya, Mas. Kamu tahu, kok ngga ngabarin aku. Kan kita bisa datang. Kalau begini kita jadi ketinggalan. Ngga enak sama mereka," ujarku."Aku juga baru tahu saat lihat di grup. Mereka ngga ngabarin kita, artinya kehadiran kita tidak diharapkan bukan?" Mas Bayu menatapku intens.Benar juga. Kalau mereka tak mengabari tentang acara itu. Artinya mereka tak ingin kami hadir. Tiba-tiba ada rasa nyeri di ulu hati."Sudahlah. Tak perlu di pikirkan. Lagian, bukannya kemarin mereka juga tak datang saat
Apa? Kok Bisa? Aku langsung menatap pada mereka. "Kenapa? Apa kalian ngga butuh pekerjaan atau? Bukankah masalah gaji sudah kita sepakati kemarin?" tanyaku kemudian. Aku mengira mereka mungkin protes tentang gaji. Padahal menurutku sudah sepadan. Apa lagi karyawan baru."Bu-bukan itu, Bu. Kami hanya dengar desas desus yang membuat nyali kami menciut untuk bekerja disini. Kami memang sangat membutuhkan pekerjaan ini tapi ... Kalau nyawa kita taruhannya. Tentu kami tak mau. Apa lagi anak kita masih kecil-kecil." Salah satu dari mereka buka suara. Seorang wanita muda berusia 35 tahun, janda mati bernama Mariana. "Maksud kalian apa? Nyawa? Kerja di tempatku ini hanya butuh tenaga dan ketelatenan. Ngga ada hubungannya dengan nyawa!" Aku masih tak mengerti dengan apa yang mereka sampaikan. Bahkan Mas Bayu saja kini hanya bisa terdiam."Bukan begitu, Bu. Kami dengar jika pemilik toko ini menggunakan pesugihan. Maaf, Bu. Kami cuma takut di tumbalkan."Astaghfirullah!Aku baru nggeh jika ar
"Nah itu dia!" tunjuk Mbak Desi pada sebuah mobil pickup warna putih yang tentunya bukan milikku.Tunggu? Kenapa ada Natasya juga di mobil dan kenapa?Aku makin heran karena mobil yang datang adalah mobil yang tadi juga mengantar motor Hani. Kali ini mobil itu juga membawa motor baru. Apa tadi ada kesalahan hingga harus di tukar?Mas Bayu turun juga di ikuti Natasya. Wajah Mbak Desi terlihat sumringah sekali. Aku jadi curiga?"Mas Itu motor siapa?" tanyaku menunjuk pada motor jenis yang sama dengan motor Hani. Hanya beda warna. Hani pun keluar. Ia tampak kebingungan."Loh kok ngirim lagi? Emang salah ya, Bang?" tanya Hani pada Salwa motor itu."Nggak kok, Mbak." "Lah terus?" Hani penasaran. Sedangkan aku yang ingin bertanya pada Mas Bayu, dia tengah membantu menurunkan motor."Hei, Lu! Emang cuma kamu yang boleh di belikan motor sama Bayu. Natasya keponakannya juga berhak dong!" jawab Mba Desi dengan pongah.Seketika aku melonggo. Mas Bayu membelikan motor Natasya? Motor yang sama de
Aku dan Ibu langsung keluar dan melihat keatap, namun tak ada asap ataupun apa diatas sana."Ibu tadi dengar kan?" tanyaku memastikan. "Dengarlah. Masa suara sekencang itu ngga denger?" Kini Mas Bayu juga tergoboh dengan hanya menggunakan sarung dan telanjang dada."Tadi ada apa, Fit? Kok kaya ada yang nyalain petasan?" tanya Mas Bayu dengan mata masih sempit."Ngga tahu, Mas. Tapi di cari ngga ada apa-apa. Aku sama Ibu sampai bingung." jawabku."Ya sudah, Fit. Kita masuk saja. Berdo'a saja jika tadi bukan apa-apa," ujar Ibu. Aku dan Mas Bayu menganguk."Kamu tidur telanjang dada begitu. Apa ngga masuk angin, Mas?"tanyaku pada Mas Bayu yang tak biasa. "Ngga tahu nih, Fit. Malam ini tidur kok rasanya gerah banget," jawab Mas Bayu yang kemudian membantu aku menutup pintu.Ternyata hawa panas seperti ini memang tengah kami rasakan. Setelah selesai menutup pintu. Kami bersiap masuk kekamar. Tentu, Hani membawa kunci sendiri agar bisa masuk kerumah.Saat kami akan terlelap dalam mimpi.