Share

Bayang Masa Lalu

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Dewi dengan nada dingin kepada Gibran saat mereka berpapasan di lobi rumah sakit. Sore itu Dewi baru selesai meeting dan Gibran baru pulang dari kantor.

"Ngapain?" Gibran justru balik bertanya. "Ya jelas aku mau besuk Ibu, Wi."

"Makasih buat perhatiannya. Tapi, enggak usah repot-repot! Dia bukan ibu mertua kamu lagi!"

"Wi, Ibu lagi sakit, enggak baik kita kayak gini. Gimana kalau sampai ibu tahu?"

"Dengarkan aku baik-baik, Mas Gibran!" Dewi menatap Gibran dengan tajam. "Pertama, bukan aku yang meminta perceraian kita, tapi kamu. Aku cuma menyetujui. Yang kedua, Rindu udah hamil anak kamu, terlepas pernikahan kalian sah atau enggak, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku enggak mau punya suami yang sudah menghamili perempuan lain. Yang ketiga, aku enggak akan jadikan kondisi ibu yang sakit, sebagai alasan untuk menunda apalagi membatalkan perceraian kita!"

"Tapi, Wi, gimana kalau Ibu sampai tahu? Kondisinya pasti akan memburuk!"

"Kamu tenang aja, Mas. Tugasmu cuma satu. Tutup mulut kamu rapat-rapat! Itu aja. Enggak usah ikut pusing-pusing mikirin ibuku. Pikirin aja istri baru kamu yang lagi hamil. Biar lancar dan sehat sampai lahiran. Urusan Ibu, itu urusanku!"

"Tapi, Wi ...."

"Udah, kamu pergi aja! Enggak usah repot-repot buat besuk ibuku!"

"Wi ...."

Tanpa memedulikan Gibran lagi, Dewi melanjutkan langkah menuju kamar dimana ibunya dirawat.

"Kesini sama siapa, Wi?" tanya Bu Rasti saat putri semata wayangnya masuk ke kamar rawatnya.

"Sendiri, Bu. Dewi selesai meeting langsung ke sini." Dewi mendekati ibunya dan mencium tangan wanita yang kini terbaring lemah itu. "Ibu udah makan?"

Bu Rasti mengangguk. "Harusnya kamu pulang dulu, mandi, istirahat, baru ke sini."

"Enggak apa-apa, Bu. Kasihan Mbak Marni belum siap-siap buat pulang." Dewi kemudian menyerahkan paper bag berisi makanan yang tadi ia beli saat di restoran.

"Mbak Marni makan dulu, habis itu aku antar pulang," titah Dewi.

"Saya pulang pakai angkot aja enggak apa-apa, Mbak. Kasihan ibu kalau ditinggal sendiri," tolak Marni.

"Gibran enggak ke sini, Wi?" tanya Bu Rasti.

"Mas Gibran lembur, Bu. Nanti aku minta tolong sama Wina buat jaga Ibu pas aku antar Mbak Marni." Dewi kembali menoleh ke arah Mbak Marni. "Ya udah, Mbak Marni makan dulu, aku telpon Wina dulu."

Dewi langsung mengambil ponselnya di tas, kemudian menghubungi Wina.

"Win, aku mau minta tolong," ucap Dewi begitu Wina mengangkat teleponnya.

"Yes?"

"Kamu ke rumah sakit, ya! Terus tolong beliin aku baju ganti buat di sini."

"Oke. Apalagi?"

"Sementara itu dulu."

"Oke, habis mandi dan makan aku langsung ke situ."

"Sip." Dewi langsung mematikan sambungan teleponnya.

Dewi memang selalu berbicara langsung pada intinya. Tidak terbiasa berbasa-basi dengan siapapun. Sangat berbeda dengan Gibran yang pandai berbicara panjang kali lebar.

"Setelah Wina ke sini, aku antar Mbak Marni, ya?" ucap Dewi.

"Iya, Mbak. Makasih."

"Ibu mau makan apa?" tawar Dewi pada ibunya.

Bu Rasti menggeleng-gelengkan kepala.

"Ya udah, ibu istirahat dulu."

Dewi langsung duduk di sofa, membuka tas kerjanya dan mengeluarkan laptop. Segera ia membuat laporan hasil meeting-nya hari ini dan menyelesaikan beberapa hal yang harus ia kerjakan.

Bagi Dewi pekerjaan adalah segalanya. Dulu ia bahkan sudah bertekad untuk tidak akan menikah karena trauma atas pernikahan orang tuanya.

Hidup susah bersama sang ibu yang membesarkannya seorang diri, membuat Dewi tumbuh menjadi perempuan mandiri dan tangguh. Ia selalu ingat pesan ibunya kalau jadi perempuan itu harus kuat, harus mandiri, agar tidak 100% bergantung kepada laki-laki.

Bu Rasti berpesan demikian karena pengalaman hidup yang mengajarkannya. Dulu Bu Rasti seorang ibu rumah tangga yang hanya tahu dicukupi segala kebutuhannya oleh suami. Menjadi nyonya seorang kontraktor besar, membuat hidup Bu Rasti berkecukupan tanpa harus ikut bekerja.

Namun, seiring berjalannya waktu semua berubah. Hidupnya yang tadinya bergelimang harta, menjadi tak punya apa-apa. Ia tersingkir oleh seorang wanita muda yang digandrungi oleh suaminya. Bu Rasti terusir dengan membawa pergi buah hatinya dengan bekal harga gono-gini yang tak seberapa.

Itu sebabnya Bu Rasti selalu berpesan kepada Dewi agar menjadi perempuan yang mandiri. Namun, ternyata apa yang terjadi pada Dewi di luar dugaan Bu Rasti.

Dewi, gadis pendiam itu menyimpan trauma besar dan mendalam atas perceraian orang tuanya. Dewi tidak mau menjalin hubungan asmara dengan laki-laki. Menganggap semua laki-laki sama seperti sang ayah yang mencampakkan istri dan juga anaknya. Dewi tidak mau menikah.

Berkali-kali Bu Rasti berusaha menjodohkan Dewi dengan anak kenalannya, tak satu pun yang berhasil. Semua hanya satu kali kencan, setelahnya Dewi tidak mau bertemu lagi. Sampai Bu Rasti putus asa dan lelah sendiri. Ia pasrah dan hanya bisa melangitkan doa untuk putrinya tercinta. Hingga kabar kalau Dewi dekat dengan seorang laki-laki sampai di telinganya.

Perjuangan Gibran dalam mendekati Dewi pun bukan sesuatu yang mudah. Dewi dengan segala luka dan traumanya, nyaris tidak memiliki rasa percaya kepada semua orang yang ditemuinya. Pintu hatinya tertutup rapat, nyaris tidak akan bisa terbuka. Hingga butuh waktu cukup lama bagi Gibran untuk bisa meyakinkannya. Tak hanya dalam hitungan bulan, tetapi tahun. Tiga tahun lebih, baru Gibran bisa berhasil meruntuhkan kerasnya pertahanan Dewi. Dewi mau menerima cintanya dan menikah dengannya.

Bahkan saat itu Gibran harus mempertaruhkan pekerjaannya. Karena jika menikah dengan Dewi, maka salah satu di antara keduanya harus mutasi ke kantor cabang lain, atau keluar dari perusahaan. Sementara tidak akan mungkin bagi Dewi untuk melepas pekerjaannya. Jadi, mau tidak mau Gibranlah yang harus mengalah.

Untungnya pada saat mereka menikah, kantor cabang baru yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka tengah dibangun. Sehingga Dewi meminta pada atasannya agar Gibran dimutasi ke kantor baru itu saja menunggu selesai pembangunannya. Karena Dewi merupakan karyawan yang masuk dalam perhitungan, maka permintaannya disetujui.

Untuk sementara Gibran masih satu kantor dengan Dewi sampai kantor cabang baru siap beroperasi. Seharusnya akhir tahun ini Gibran menempati kantor barunya. Namun, pernikahan mereka malah kemungkinan besar berakhir.

Menjelang maghrib Wina tiba di rumah sakit sembari membawakan pesanan Dewi. Dewi pun langsung mandi dan berganti pakaian. Setelahnya ia mengantar Marni ke rumah Bu Rasti. Karena Marni sudah Dewi pesankan shuttle, jadi Dewi langsung pamit. Ia pulang terlebih dahulu untuk mengambil keperluannya seperti charger, sikat gigi, skincare, dan lain sebagainya.

Saat Dewi tiba di rumah, pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Begitu ia membuka pintu, ruangan luas ruang tamunya terlihat lengang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalamnya.

"Mas Gibran enggak pulang," gumam Dewi. Menyadari hal itu, ada bagian di dalam rongga dadanya yang berdenyut nyeri. Dadanya sesak. Ada sesuatu yang seperti tercabut paksa dari dalam sana. Sehingga meninggalkan bekas yang dalam dan menganga.

Dewi memukul-mukul dadanya. "Kenapa sesesak ini?" Berkali-kali ia meraup udara dengan rakus. Hingga akhirnya satu per satu buliran bening berjatuhan dari pelupuk matanya.

Kilas masa lalu kembali terbayang di depan mata Dewi. Bagaimana ia harus berjuang untuk bisa sekolah, mengejar beasiswa agar bisa terus kuliah. Karena pernah sebelum itu, pada saat Dewi SMA dan harus membayar uang gedung yang baginya dan sang ibu cukup besar, ia mendatangi rumah megah ayahnya.

Namun, apa yang terjadi? Dewi bahkan tidak dipersilakan masuk sama sekali oleh sang ayah. Ia hanya dipersilakan duduk di kursi teras. Jangan ditanya apakah istri baru ayahnya keluar menemuinya, karena sudah pasti jawabannya tidak.

Pada saat Pak Wisnu masuk, Dewi termenung memandangi rumah yang besarnya mungkin sekitar lima kali lipat dari rumah petak yang ditempatinya bersama sang ibu. Ada dua mobil mewah terparkir di halaman. Sementara ia dan ibunya kemana-mana menggunakan angkutan umum.

Dulu Dewi berpikir, bukankah ada haknya di rumah besar itu? Meski ia dan sang ibu telah bertahun-tahun pergi dari sana, bukankah ia juga anak ayahnya? Anak yang seharusnya juga mendapatkan hak yang sama dengan anak ayahnya dari istri barunya? Sayangnya, Dewi tidak mendapatkan itu sama sekali. Ia seperti orang asing bagi sang ayah, bagi laki-laki yang seharusnya menjadi cinta pertamanya.

Pak Wisnu, lelaki yang Dewi panggil ayah itu keluar dengan membawa dua air putih dalam kemasan gelas di tangan besarnya. Ia mengangsurkan satu untuk Dewi dan satu lagi ia minum sendiri. Lalu setelahnya, laki-laki yang duduk di kursi sebelah Dewi itu berkata, "Maaf, Wi, Ayah saat ini belum bisa ngasih kamu uang. Adik kamu juga sedang banyak butuh biaya. Kamu masuk sekolah lain saja yang biayanya lebih murah. Bukankah di sekolah negeri itu gratis?"

Lalu Pak Wisnu mengangsurkan selembar uang lima puluh ribu rupiah ke depan Dewi. "Pulanglah naik taksi, bayar dengan ini!"

Dewi hanya tertegun memandang wajah sang ayah. Tidak menerima ataupun menolak uang itu. Membiarkan tangan sang ayah terkatung di depannya. Baru saat terdengar deru mobil memasuki halaman luas rumah megah sang ayah, Dewi menoleh dan memandang mobil berwarna merah menyala itu. Tampak seorang gadis dengan usia seumuran dirinya turun dari dalamnya.

Dewi tahu, gadis itu bernama Rindu. Ia pernah sekali dua kali bertemu. Putri sang ayah dengan istri barunya. Gadis beruntung yang mendapatkan segalanya dari laki-laki yang seharusnya juga memberikan segalanya untuknya. Laki-laki yang Dewi panggil dengan sebutan Ayah.

Dewi memejamkan mata rapat-rapat. Dadanya semakin sesak saat mengingat itu semua.

"Kenapa harus Rindu, Mas? Kenapa harus Rindu? Kenapa harus anak dari perempuan yang telah merebut suami ibuku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status