Share

Nama Lain

Penulis: Srirama Adafi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-20 09:22:47

[Wi, di sini ada Mas Gibran. Dia minta agar aku pulang aja. Enggak enak aku jadinya. Aku pulang enggak apa-apa?]

Dewi buru-buru membuka mukena begitu membaca pesan dari Wina.

"Keras kepala sekali Mas Gibran!" gumamnya dengan kesal. Dewi sampai tidak melipat dengan benar mukenanya, hanya menggulung-gulungnya bersama sajadah. Lalu ia membalas pesan Wina.

[Iya, Win. Enggak apa-apa. Makasih, ya, udah jagain ibuku.]

[Santai. Kalau ada butuh apa-apa, hubungi aku, yes?]

[Sip.]

Dewi langsung bersiap dan menuju rumah sakit. Tiba di ruang rawat, tampak Gibran sedang menyuapi ibunya dan mata sang ibu terlihat berbinar menatap menantunya itu.

"Wi," panggil Bu Rasti saat melihat putrinya datang. "Udah makan?"

"Belum, Bu. Gampang nanti aja." Dewi berusaha tersenyum meski hatinya sangat tidak suka melihat keberadaan Gibran.

"Ini aku bawain ayam goreng dari warung langganan kamu, Wi," ucap Gibran. "Makan dulu, gih! Nanti kamu ikutan sakit, lagi."

Muak sekali Dewi mendengar ucapan basa-basi seperti itu. Ia dan Gibran memang sangat berlawanan. Mungkin seharusnya Gibran yang perempuan Dewi yang laki-laki, karena sikap mereka cenderung berkebalikan.

Gibran banyak bicara dan pintar berbasa-basi, sementara Dewi lebih suka bicara langsung ke intinya dan juga seperlunya. Gibran bisa bermanis-manis di depan orang, sementara Dewi apa adanya. Gibran suka pencitraan dan itu yang paling Dewi tidak suka dari Gibran sejak dulu. Apalagi sekarang saat dirinya sudah tidak mau menjadi istri lelaki pengkhianat itu lagi.

"Hm, iya nanti." Di depan ibunya Dewi berusaha agar hubungannya dengan Gibran terlihat baik-baik saja. Meski ia sangat muak melakukan itu. Namun, demi kesehatan ibunya, maka ia lakukan.

"Apa perlu aku suapin juga kayak Ibu?" canda Gibran. Namun, Dewi justru semakin muak mendengar itu.

"Hm, makasih." Dewi berusaha tersenyum. Meski senyumnya malah menyerupai seringaian.

Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Dewi kembali membuka laptop dan fokus dengan pekerjaan seperti biasanya. Wanita itu memang segila kerja itu.

Sejak mengerti kalau dirinya tidak dipedulikan oleh sang Ayah, Dewi memang bertekad untuk menjadi wanita yang sukses. Apapun bidangnya ia akan tekuni itu secara total. Ia berjanji akan menunjukkan kesuksesannya kepada Pak Wisnu dan suatu saat ingin membuat lelaki itu meminta maaf dan berlutut meminta bantuannya. Dewi benar-benar menunggu momen itu.

Rasa sakit saat melihat kehidupan Rindu bergelimang harta sementara dirinya harus berjuang memeras keringat untuk sesuap nasi saat remaja, menjadi bahan bakar semangat kerja Dewi. Dewi bertekad untuk lebih kaya dan lebih sukses dari ayahnya. Terlebih ada sang Ibu yang selalu ingin ia bahagiakan.

"Alhamdulillah, habis," seru Gibran begitu selesai menyuapi Bu Rasti. Seperti habis menyuapi anak kecil. Bu Rasti sampai tersenyum melihat tingkah menantunya itu.

Setelah itu Gibran pamit ke kamar mandi. Pada saat itu, ponsel Gibran yang ada di meja samping laptop Dewi bergetar. Ada pesan masuk, tetapi Dewi abaikan. Padahal sebelum ada masalah antara dirinya dengan Gibran, Dewi sering membuka-buka ponsel Gibran. Apalagi jika ada pesan masuk, ia tidak sungkan-sungkan untuk membukanya tanpa meminta izin pada Gibran. Bagaimanapun trauma akibat perselingkuhan ayahnya tidak bisa hilang dari kepala. Sehingga sangat sulit untuk Dewi bisa 100% percaya.

Tak lama setelah getar notifikasi pesan masuk, ponsel ber-casing hitam itu kembali bergetar. Kini ada panggilan masuk. Karena terganggu, Dewi menoleh. Ingin menolak panggilan itu. Namun, kemudian ia tertegun melihat nama dan foto yang tertera di sana.

"Rendi?" gumam Dewi, sementara ia sangat mengenali foto yang ada di profil penelepon itu. Foto seorang wanita dengan dagu lancip dan berpakaian merah menyala bisa Dewi lihat dengan jelas.

"Jadi, kontak Rindu kamu namai Rendi, Mas?" batin Dewi. Ia tersenyum getir. Dadanya kembali tersayat. Perih sekali. "Ternyata aku masih bisa kamu kelabui, ya, Mas? Kamu pasti menertawakan kebodohanku selama ini."

Dewi memejamkan kedua bola matanya dan meraup udara dengan rakus. Dadanya teramat sesak melihat kecurangan lelaki yang selama ini ia percaya. Sebenarnya jika tidak melihat secara langsung, Dewi seperti tidak percaya Gibran bisa curang seperti ini kepadanya. Namun, dengan apa yang Gibran katakan malam itu, lalu apa yang ia lihat pagi itu di rumah ibu mertuanya, kemudian apa yang Rindu katakan, dan sekarang nomor kontak Rindu yang Gibran beri nama Rendi itu membuatnya tidak bisa mengelak lagi

Gibran telah mengkhianati pernikahan mereka. Benar-benar mengkhianatinya. Sekali lagi Dewi menghela napas panjang.

Selama ini Dewi memang sering mengecek pesan masuk di ponsel Gibran. Namun, ia tidak pernah mengecek satu per satu kontak yang tersimpan di ponsel itu. Sementara Gibran selalu menghapus riwayat percakapannya dengan Rindu di ponselnya.

Ponsel Gibran kembali bergetar. Kini bukan lagi panggilan melainkan pesan masuk. Langsung saja Dewi meraih ponsel itu dan membuka pesannya. Meski ingin mengabaikan, tetapi ia penasaran dengan pesan yang Rindu kirim untuk lelaki yang masih berstatus suaminya itu.

[Mas Sayang ....]

[Mas Sayang, sekarang penyihir itu lagi di rumah sakit, kan? Aku ke rumah, ya? Dia nginap di rumah sakit, kan? Yey! Malam ini aku nemenin Mas Sayang sampe pagi di atas ranjang lagi!]

Meski sudah memutuskan bercerai dengan Gibran, membaca pesan itu dada Dewi masih terasa panas dan terbakar. Ia sampai kegerahan padahal di ruangan itu ada AC yang masih menyala. Dewi kemudian keluar kamar dengan membawa ponsel Gibran. Ia ingin segera mengusir lelaki itu dari kamar rawat ibunya.

"Bangs*t!" umpat Dewi dalam hati sembari meremas ponsel Gibran sekuat tenaga.

Beberapa saat Gibran kemudian muncul menyusul Dewi dan mencari ponselnya.

Dewi langsung berbalik menghadap lelaki itu dengan tatapan tajam. Dipukulkannya ponsel itu ke dada Gibran, kemudian dia berkata, "Dicariin Rendi!"

Mata Gibran melebar.

"Tapi jangan coba-coba kalian berzina di atas ranjang yang aku beli dengan hasil keringatku!" ancam Dewi. "Kalau kamu melakukannya lagi, aku akan kerahkan warga buat arak kalian berdua!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
bangsat tuh manusia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • OKE, MARI BERCERAI    Membagi Bahagia

    Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek

  • OKE, MARI BERCERAI    Mimpi

    Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj

  • OKE, MARI BERCERAI    Kesempatan yang Kau Beri

    Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha

  • OKE, MARI BERCERAI    Siang dan Malam

    Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg

  • OKE, MARI BERCERAI    Bertemu

    Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon

  • OKE, MARI BERCERAI    Dosa

    Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status