[Wi, di sini ada Mas Gibran. Dia minta agar aku pulang aja. Enggak enak aku jadinya. Aku pulang enggak apa-apa?]
Dewi buru-buru membuka mukena begitu membaca pesan dari Wina."Keras kepala sekali Mas Gibran!" gumamnya dengan kesal. Dewi sampai tidak melipat dengan benar mukenanya, hanya menggulung-gulungnya bersama sajadah. Lalu ia membalas pesan Wina.[Iya, Win. Enggak apa-apa. Makasih, ya, udah jagain ibuku.][Santai. Kalau ada butuh apa-apa, hubungi aku, yes?][Sip.]Dewi langsung bersiap dan menuju rumah sakit. Tiba di ruang rawat, tampak Gibran sedang menyuapi ibunya dan mata sang ibu terlihat berbinar menatap menantunya itu."Wi," panggil Bu Rasti saat melihat putrinya datang. "Udah makan?""Belum, Bu. Gampang nanti aja." Dewi berusaha tersenyum meski hatinya sangat tidak suka melihat keberadaan Gibran."Ini aku bawain ayam goreng dari warung langganan kamu, Wi," ucap Gibran. "Makan dulu, gih! Nanti kamu ikutan sakit, lagi."Muak sekali Dewi mendengar ucapan basa-basi seperti itu. Ia dan Gibran memang sangat berlawanan. Mungkin seharusnya Gibran yang perempuan Dewi yang laki-laki, karena sikap mereka cenderung berkebalikan.Gibran banyak bicara dan pintar berbasa-basi, sementara Dewi lebih suka bicara langsung ke intinya dan juga seperlunya. Gibran bisa bermanis-manis di depan orang, sementara Dewi apa adanya. Gibran suka pencitraan dan itu yang paling Dewi tidak suka dari Gibran sejak dulu. Apalagi sekarang saat dirinya sudah tidak mau menjadi istri lelaki pengkhianat itu lagi."Hm, iya nanti." Di depan ibunya Dewi berusaha agar hubungannya dengan Gibran terlihat baik-baik saja. Meski ia sangat muak melakukan itu. Namun, demi kesehatan ibunya, maka ia lakukan."Apa perlu aku suapin juga kayak Ibu?" canda Gibran. Namun, Dewi justru semakin muak mendengar itu."Hm, makasih." Dewi berusaha tersenyum. Meski senyumnya malah menyerupai seringaian.Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Dewi kembali membuka laptop dan fokus dengan pekerjaan seperti biasanya. Wanita itu memang segila kerja itu.Sejak mengerti kalau dirinya tidak dipedulikan oleh sang Ayah, Dewi memang bertekad untuk menjadi wanita yang sukses. Apapun bidangnya ia akan tekuni itu secara total. Ia berjanji akan menunjukkan kesuksesannya kepada Pak Wisnu dan suatu saat ingin membuat lelaki itu meminta maaf dan berlutut meminta bantuannya. Dewi benar-benar menunggu momen itu.Rasa sakit saat melihat kehidupan Rindu bergelimang harta sementara dirinya harus berjuang memeras keringat untuk sesuap nasi saat remaja, menjadi bahan bakar semangat kerja Dewi. Dewi bertekad untuk lebih kaya dan lebih sukses dari ayahnya. Terlebih ada sang Ibu yang selalu ingin ia bahagiakan."Alhamdulillah, habis," seru Gibran begitu selesai menyuapi Bu Rasti. Seperti habis menyuapi anak kecil. Bu Rasti sampai tersenyum melihat tingkah menantunya itu.Setelah itu Gibran pamit ke kamar mandi. Pada saat itu, ponsel Gibran yang ada di meja samping laptop Dewi bergetar. Ada pesan masuk, tetapi Dewi abaikan. Padahal sebelum ada masalah antara dirinya dengan Gibran, Dewi sering membuka-buka ponsel Gibran. Apalagi jika ada pesan masuk, ia tidak sungkan-sungkan untuk membukanya tanpa meminta izin pada Gibran. Bagaimanapun trauma akibat perselingkuhan ayahnya tidak bisa hilang dari kepala. Sehingga sangat sulit untuk Dewi bisa 100% percaya.Tak lama setelah getar notifikasi pesan masuk, ponsel ber-casing hitam itu kembali bergetar. Kini ada panggilan masuk. Karena terganggu, Dewi menoleh. Ingin menolak panggilan itu. Namun, kemudian ia tertegun melihat nama dan foto yang tertera di sana."Rendi?" gumam Dewi, sementara ia sangat mengenali foto yang ada di profil penelepon itu. Foto seorang wanita dengan dagu lancip dan berpakaian merah menyala bisa Dewi lihat dengan jelas."Jadi, kontak Rindu kamu namai Rendi, Mas?" batin Dewi. Ia tersenyum getir. Dadanya kembali tersayat. Perih sekali. "Ternyata aku masih bisa kamu kelabui, ya, Mas? Kamu pasti menertawakan kebodohanku selama ini."Dewi memejamkan kedua bola matanya dan meraup udara dengan rakus. Dadanya teramat sesak melihat kecurangan lelaki yang selama ini ia percaya. Sebenarnya jika tidak melihat secara langsung, Dewi seperti tidak percaya Gibran bisa curang seperti ini kepadanya. Namun, dengan apa yang Gibran katakan malam itu, lalu apa yang ia lihat pagi itu di rumah ibu mertuanya, kemudian apa yang Rindu katakan, dan sekarang nomor kontak Rindu yang Gibran beri nama Rendi itu membuatnya tidak bisa mengelak lagiGibran telah mengkhianati pernikahan mereka. Benar-benar mengkhianatinya. Sekali lagi Dewi menghela napas panjang.Selama ini Dewi memang sering mengecek pesan masuk di ponsel Gibran. Namun, ia tidak pernah mengecek satu per satu kontak yang tersimpan di ponsel itu. Sementara Gibran selalu menghapus riwayat percakapannya dengan Rindu di ponselnya.Ponsel Gibran kembali bergetar. Kini bukan lagi panggilan melainkan pesan masuk. Langsung saja Dewi meraih ponsel itu dan membuka pesannya. Meski ingin mengabaikan, tetapi ia penasaran dengan pesan yang Rindu kirim untuk lelaki yang masih berstatus suaminya itu.[Mas Sayang ....][Mas Sayang, sekarang penyihir itu lagi di rumah sakit, kan? Aku ke rumah, ya? Dia nginap di rumah sakit, kan? Yey! Malam ini aku nemenin Mas Sayang sampe pagi di atas ranjang lagi!]Meski sudah memutuskan bercerai dengan Gibran, membaca pesan itu dada Dewi masih terasa panas dan terbakar. Ia sampai kegerahan padahal di ruangan itu ada AC yang masih menyala. Dewi kemudian keluar kamar dengan membawa ponsel Gibran. Ia ingin segera mengusir lelaki itu dari kamar rawat ibunya."Bangs*t!" umpat Dewi dalam hati sembari meremas ponsel Gibran sekuat tenaga.Beberapa saat Gibran kemudian muncul menyusul Dewi dan mencari ponselnya.Dewi langsung berbalik menghadap lelaki itu dengan tatapan tajam. Dipukulkannya ponsel itu ke dada Gibran, kemudian dia berkata, "Dicariin Rendi!"Mata Gibran melebar."Tapi jangan coba-coba kalian berzina di atas ranjang yang aku beli dengan hasil keringatku!" ancam Dewi. "Kalau kamu melakukannya lagi, aku akan kerahkan warga buat arak kalian berdua!"Dewi menatap wajah ibunya yang sedang terlelap. Wajah tua yang tampak damai meski gurat-gurat lelah bekas perjuangan untuk bertahan hidup membesarkan seorang putri seorang diri masih tergambar jelas di sana. Namun, Dewi tak melihat penderitaan pada garis wajah itu. Yang Dewi lihat justru wajah ibunya tampak tenang dan bahagia. Garis senyum terukir indah seperti hati pemiliknya."Apa sedamai itu, Bu?" bisik Dewi. "Melepas laki-laki bergelar suami yang tega mengkhianati? Dewi lihat, Ibu enggak menyesal sama sekali, walaupun ibu harus menempuh jalan yang enggak mudah untuk tetap berdiri."Dewi menghela napas panjang lalu mengambil jemari ibunya dan menciumnya dengan hati-hati. Cukup lama. Kemudian ia tempelkan ke kening. Seolah-olah Dewi sedang meminta kekuatan pada sang ibu."Dewi pasti juga akan sekuat Ibu," bisiknya lagi. "Berjanjilah untuk tetap berdiri di sisi Dewi, Bu. Apapun yang terjadi. Karena saat ini, hanya Ibu satu-satunya yang Dewi miliki. Ibu enggak boleh seperti mereka, pe
Di taman Bu Rasti banyak diam. Meski sudah bisa memaafkan dan menerima segala yang terjadi pada pernikahannya, tetapi tetap saja pertemuannya dengan sang mantan layaknya mengorek luka lama. Luka di hati Bu Rasti yang sebelumnya telah tertutup rapat, kini kembali tergores dan berdarah. Terlebih melihat wajah Pak Wisnu membuat Bu Rasti mengingat apa yang dulu dilakukan lelaki itu kepada Dewi, darah dagingnya sendiri. Rasanya kesakitan itu melebihi saat dirinya terusir dari rumah besar yang mereka bangun berdua.Bu Rasti masih ingat betul saat Dewi pulang dari rumah ayahnya dan menangis. Dewi tidak terima dengan sikap sang ayah. Terlebih ia melihat fasilitas yang dimiliki oleh Rindu."Aku juga anak ayah, kan, Bu?" tanya Dewi saat itu sembari menangis meraung-raung. "Aku anak kandung ayah, kan?"Saat itu Dewi kemudian menceritakan apa yang terjadi di rumah ayahnya. Apa yang Dewi lihat di sana dan apa yang dilakukan ayahnya kepadanya.Hati Bu Rasti tercabik-cabik mendengar itu. Tidak ada
Gibran meremas kuat kertas berisi surat tugas itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi sudah mempersiapkan semua ini. Gibran tersenyum getir. Kini ia benar-benar sadar sedang berhadapan dengan siapa.Padahal saat tahu kalau Bu Rasti akan pulang ke rumahnya, Gibran membayangkan akan punya kesempatan untuk kembali berbaikan dengan Dewi. Ia bahkan sudah membayangkan akan melakukan apa saja agar Dewi bisa kembali jatuh dalam pelukannya. Karena saat ada Bu Rasti mau tidak mau ia dan Dewi harus bersikap seolah-olah di antara mereka tidak ada masalah apa-apa. Namun ternyata, Dewi justru sudah bertindak sejauh ini."Kalian lagi ada masalah apa, sih?" tanya Wina saat melihat Gibran semarah itu. "Enggak biasanya banget marahan sampai berhari-hari gini?"Gibran hanya tersenyum getir. Ia dan Dewi memang jarang sekali bertengkar. Dewi tidak begitu suka membesar-besarkan masalah. Sementara Gibran lebih sering mengalah jika harus mendebatkan sesuatu dengan Dewi. Karena sikap Dewi yang jarang s
"I-ibu? Ke-kenapa Ibu di sini?" tanya Gibran yang sangat terkejut dan gugup melihat keberadaan ibu mertuanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan menyusulnya ke pinggir jalan tempat mobil Rindu terparkir. Padahal dari teras jaraknya jauh karena terdapat halaman yang lumayan luas."Kenapa Ibu di sini kamu bilang!?" hardik Bu Rasti. Wajah ibunda dari Dewi itu sudah merah padam, matanya menatap nyalang pada menantu yang selama ini ia pikir lelaki baik. Pasalnya dari gelagat Gibran Bu Rasti melihat ada sesuatu yang tidak beres."I-iya, Bu." Gibran salah tingkah tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam hati ia merutuki sikap keras kepala Rindu. Karena sebenarnya Gibran tidak mengizinkan Rindu menjemputnya di area rumah, tetapi istri barunya itu tidak mau mendengarkannya. "Kenapa dia di sini? Kenapa dia yang jemput kamu?" Bu Rasti mengintrogasi Gibran dengan tatapan tajam. Tidak akan ia biarkan menantunya itu sedikit pun berkelit darinya."I-itu, Bu ....""Jawab yang be
"Wi, ngapain kita ke sini?" tanya Gibran dengan panik saat tahu mobil yang Dewi kendarai menuju rumah ayah Dewi."Mas ...." Rindu pun kembali merengek. Ia juga tidak siap jika harus bertemu dengan Pak Wisnu. Terlebih dalam keadaan seperti sekarang ini.Dewi tidak memedulikan sama sekali rengekan Rindu maupun pertanyaan-pertanyaan dengan nada penuh ketakutan dari Gibran. Ia justru heran dan semakin penasaran dibuatnya."Apa Ayah enggak tahu pernikahan mereka?" batin Dewi. "Lalu siapa yang jadi wali nikahnya?"Banyak sekali pertanyaan bermunculan di kepala Dewi. Ia jadi teringat saat bertemu ayahnya di rumah sakit. Saat ia berkata untuk menjaga istri dan anaknya agar tidak menghancurkan pernikahan orang lain lagi, lelaki itu memang tampak bingung. Hanya saja saat itu Dewi memilih tidak peduli."Wi, mau apa kamu ke sini?" tanya Gibran lagi. "Udahlah, Wi. Jangan memperumit keadaan. Aku harus kerja juga," bujuk Gibran.Dewi sama sekali tidak merespon. Ia justru semakin tertantang untuk mem
"A-apa?" gumam Bu Rasti.Pak Wisnu menghela napas panjang. Dengan penuh penyesalan ia menoleh ke arah mantan istrinya. "Iya, Ras. Ternyata dia bukan anakku! Aku memang bodoh. Aku laki-laki paling bodoh di dunia! Aku menyia-nyiakan putriku sendiri dan membesarkan anak laki-laki lain," aku Pak Wisnu. Mata tua Pak Wisnu berkaca-kaca. Bu Rasti tersenyum getir. Ia ingat betul bagaimana laki-laki itu bersikeras menceraikannya. Mengancamnya segala rupa sehingga mau tidak mau ia mengalah dan meninggalkan rumah. Kini Bu Rasti melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba yang teraniaya. Dan doa orang yang teraniaya itu benar-benar diijabah.Sebenarnya Bu Rasti tidak pernah mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan keburukan bagi Pak Wisnu ataupun Asih, ia hanya ingin Tuhan membuat lelaki yang telah membuangnya itu menyesal. Menyesal atas apa yang dilakukan, seumur hidupnya. Karena itu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Dan Tuhan menjawab d
"Pa, kenapa Papa enggak biarin aku hidup tenang?" Rindu terisak-isak. Ia tidak terima dengan apa yang Pak Wisnu katakan. "Aku dan Mama udah nerima Papa usir kami berdua seperti tikus. Tapi, tolong ... jangan hancurkan aku lagi dengan mengacaukan masa depanku ....""Kamu minta orang lain tidak mengacaukan masa depanmu?" hardik Bu Rasti. "Sementara apa yang kamu lakukan telah menghancurkan masa depan Dewita, putriku! Apa di rumah kamu tidak punya cermin?""Bu, Mas Gibran yang terus merayuku. Dia bilang sendiri kalau sudah enggak nyaman dengan Dewi. Dia bilang sendiri jenuh dengan pernikahannya apalagi dengan sikap Dewi yang seenaknya sendiri. Mas Gibran yang merayuku, Bu. Mas Gibran yang selalu bilang kalau dia lebih nyaman saat bersamaku. Kalau dia lebih punya gairah hidup saat bersamaku, bukan saat bersama Dewi. Bukan aku yang merayunya!" kilah Rindu."Bohong!" seru Gibran. "Bu, Wi, apa yang dia katakan bohong, Wi ....""Diam kamu, Gibran!" bentak Bu Rasti. Matanya menatap tajam pada
"Jangan kamu pikir dengan masuk dan memporak-porandakan sebuah pernikahan yang bahagia, hidup kalian akan bisa bahagia juga. Tidak akan!" tegas Bu Rasti pada Asuh. "Yang akan kalian dapat justru kehancuran melebihi sesuatu yang telah kalian hancurkan. Semua hanya soal waktu, dan aku selalu minta pada Tuhan untuk memberiku umur panjang untuk melihat itu."Sorot mata Asih meredup mengingat yang terjadi pada dirinya. Wanita yang telah ia renggut kebahagiaannya benar. Setelah menjadi istri Pak Wisnu, Asih tak pernah benar-benar bahagia. Meski ia memang menguasai harta Pak Wisnu, tetapi ia tidak benar-benar memilikinya. Terlebih hati Pak Wisnu. Meski raganya telah berhasil ia miliki seutuhnya. Namun, Asih tahu, raga itu kosong karena jiwanya turut pergi bersama Bu Rasti dan Dewi. Hanya saja lelaki itu pintar menyimpannya. Mungkin Pak Wisnu tidak ingin orang lain tahu, kalau keputusan yang telah ia ambil salah. Sehingga ia berusaha bersikap seolah-olah hidup bahagia."Ayo, Bu!" ajak Dewi p