Share

Sandiwara

Author: Srirama Adafi
last update Last Updated: 2024-03-23 12:07:50

"Mana Gibran?" tanya Bu Rasti, ibunda Dewi. "Marni bilang dia tadi telpon Gibran, kenapa kamu malah datang sama Wina?" Suara Bu Rasti sangat lemah. Meski sudah lolos dari masa kritis, kondisinya masih sangat lemah. Diabetes yang diderita Bu Rasti, membuat jantung wanita itu bermasalah juga.

"Mas Gibran ...."

"Gibran di sini, Bu." Gibran menyela ucapan Dewi begitu memasuki kamar rawat ibu mertuanya dan mendengar ibu mertuanya menanyakan keberadaannya. "Tadi Gibran parkir mobil dulu, jadi Dewi dan Wina ke sini duluan," dusta Gibran.

"Oh, syukurlah. Sini, Nak ...." Bu Rasti melambaikan tangannya pada sang menantu.

Sementara Dewi memilih menjauh, mengambil apel dan mengupasnya untuk sang ibu. Duduk di sofa bersama Mbak Marni. Sungguh, hati Dewi belum sebesar itu untuk bisa berdekatan dengan laki-laki yang telah mengkhianati pernikahan mereka.

Wina pun mengikuti sahabatnya. Menatap wanita yang kini wajahnya tampak mendung padahal biasanya wajah Dewi secerah matahari. Wina tak berani bertanya, hanya memperhatikan gelagat sepasang suami istri itu. Toh, kalau nanti Dewi merasa sudah bisa mengatasi masalahnya, dia pasti tanpa ditanya akan bercerita.

"Gimana kabar Ibu?" tanya Gibran sembari meraih jemari keriput ibu mertuanya dan menciumnya dengan takzim. Gibran memang seperhatian dan selembut itu. Itu salah satu hal yang dulu membuat Dewi akhirnya luluh dan mau menikah.

"Ibu sudah membaik," ucap Bu Rasti dengan suara lirih. "Tapi, Ibu tidak tahu, sampai kapan Ibu bisa bertahan."

"Sstt, Ibu enggak boleh bicara begitu. Ibu harus sehat. Harus panjang umur. Bukankah Ibu ingin melihat cucu Ibu nanti?"

Bu Rasti menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dadanya masih sesak jika harus berbicara. "Bilang sama Dewita, untuk tidak terlalu sibuk. Agar kalian, bisa segera punya anak."

"Iya, Bu, pasti. Kami akan usahakan biar Ibu bisa segera menimang cucu."

Dewi tersenyum sinis. Sungguh ia baru tahu kalau ternyata lelaki yang ia yakini untuk dinikahi ternyata selihai itu bersandiwara. Itu artinya, selama ini kemungkinan sikap baiknya itu hanya sekadar sandiwara. Tidak benar-benar tulus dari hatinya.

Dewi mencuri pandang ke arah ibunya yang masih bersama dengan Gibran.

"Ibu titip Dewita, Nak," ucap Bu Rasti lagi. Masih dengan suara yang sama. Lemah dan lirih meski masih bisa terdengar.

Gibran mengangguk. "Iya, Bu."

"Walaupun Dewita keras, tegas, mandiri, dan selalu terlihat ceria, sebenarnya hatinya itu sangat lembut .... Sangat sensitif, hanya saja ... dia sangat pandai menyimpannya. Kadang Ibu sendiri terkecoh dan menganggap dia kuat dan baik-baik saja. Padahal dia sangat terluka."

Mendengar itu mata Dewi terasa panas. Terlebih mengingat apa yang telah dilakukan Gibran dan Rindu. Rasanya ia ingin memeluk sang ibu, menangis di pangkuannya dan menceritakan segalanya. Seperti saat ia kecil dulu, saat teman-temannya mengolok-oloknya tidak punya ayah. Walaupun dengan teman-temannya ia akan melawan bahkan menghajar mereka, tetapi terkadang ia tidak sanggup juga menahannya sendiri dan akhirnya lari ke pelukan sang ibu.

"Bu, Mas Gibran udah nikah lagi ...." Ingin rasanya Dewi mengatakan itu. Namun, kalimat itu hanya menggema di rongga dadanya.

Sementara Bu Rasti yang tidak tahu apa-apa, masih menaruh harapan besar pada menantunya itu. Kedua jemari Bu Rasti menggenggam jemari Gibran. "Jangan sakiti Dewita, ya, Nak .... Hidupnya sudah terlalu sakit dan pahit. Kamu tahu sendiri seperti apa dia. Tolong ... bahagiakan dia. Dia sudah mempercayakan hidupnya sama Nak Gibran. Jangan sampai Nak Gibran mengecewakan dia. Ibu takut dia kembali hancur dan tidak akan bisa bangkit lagi."

Kontan mata Gibran dipenuhi dengan cairan hangat. Ia sangat merasa bersalah kepada Dewi. Ia telah terbuai dengan kelembutan dan sikap manja Rindu yang tidak pernah ia dapatkan dari Dewi.

"Kenapa diam, Nak? Nak Gibran mau berjanji, kan?"

"Bu, sudah," sela Dewi. "Ibu belum boleh bicara banyak-banyak. Mas Gibran juga pasti bakal jaga Dewi, kok. Kalau pun enggak, Dewi ini udah besar. Udah bisa jaga diri Dewi sendiri. Ibu tenang aja. Yang penting sekarang, Ibu harus sehat dulu, ya?"

Bu Rasti tersenyum dan mengangguk menatap putrinya yang berjalan mendekatinya. Lalu menyuapi apel yang telah ia kupas dan potong dadu.

"Ya udah, Mas, sana kamu ke kantor duluan! Kerjaan kamu masih banyak, kan? Nanti aku balik sama Wina aja enggak apa-apa," usir Dewi yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan Gibran.

Lelaki itu menatap Dewi beberapa saat sebelum akhirnya menuruti perintahnya. "Ya udah, Bu. Gibran balik ke kantor dulu, ya? Nanti pulang kerja, Gibran ke sini lagi sama Dewi."

"Iya, Nak. Hati-hati, ya!"

Setelah mencium takzim punggung tangan ibu mertuanya, Gibran mengusap-usap puncak kepala Dewi kemudian mengecupnya. Seolah-olah mereka sedang tidak ada masalah apa-apa.

"Aku duluan, ya, Wi."

Dengan jengah Dewi menjawab, "Iya, hati-hati."

"Sama suami yang lembut, loh, Wi ...." Nasehat Bu Rasti melihat sikap putrinya saat berbicara dengan Gibran barusan.

"Kalau Dewi lembut, nanti orang-orang enggak bisa bedain mana Dewi mana Rindu!" ucap Dewi asal. Ia masih terbawa rasa kesalnya terhadap Gibran.

Bu Rasti hanya menghela napas melihat sikap putrinya itu. Memang bukan salah Dewi tumbuh menjadi wanita yang keras seperti itu. Karena sejak kecil, ia telah dihadapkan pada keadaan sulit orang tuanya.

"Mbak Dewi," panggil Mbak Marni.

"Iya, Mbak?"

"Sebenarnya tadi sebelum Ibu jatuh sakit, saya ... mau minta izin sama Mbak Dewi."

"Izin?"

"Iya, Mbak. Anak saya di kampung juga masuk rumah sakit. Kena DB. Dia minta saya buat pulang secepatnya."

Dewi memandang ibunya sekilas. Kemudian kembali menatap Mbak Marni yang duduk di sofa.

"Oh, ya udah, Mbak, enggak apa-apa. Silakan kalau Mbak Marni mau pulang dulu. Ibu biar aku yang jaga."

"Iya, Mbak. Terima kasih."

"Sama-sama, Mbak. Aku yang banyak terima kasih sama Mbak Marni sudah jaga ibu. Tapi Mbak Marni pulang sorean enggak apa-apa, ya? Nanti aku pesankan shuttle. Habis ini aku ada meeting soalnya."

"Iya, Mbak. Enggak apa-apa, kok."

Bu Rasti kemudian menyahut. "Jadi, nanti pulang dari rumah sakit, sementara Ibu tinggal di rumah kamu, Wi? Kamu sama Gibran apa enggak keganggu?"

"Ah, Ibu. Ya enggak, lah. Masa keganggu, sih?" sahut Dewi sembari tersenyum lebar. Meski sebenarnya ia pusing karena ibunya belum memungkinkan untuk mengetahui kondisi pernikahannya yang sebenarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OKE, MARI BERCERAI    Membagi Bahagia

    Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek

  • OKE, MARI BERCERAI    Mimpi

    Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj

  • OKE, MARI BERCERAI    Kesempatan yang Kau Beri

    Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha

  • OKE, MARI BERCERAI    Siang dan Malam

    Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg

  • OKE, MARI BERCERAI    Bertemu

    Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon

  • OKE, MARI BERCERAI    Dosa

    Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status