"Mana Gibran?" tanya Bu Rasti, ibunda Dewi. "Marni bilang dia tadi telpon Gibran, kenapa kamu malah datang sama Wina?" Suara Bu Rasti sangat lemah. Meski sudah lolos dari masa kritis, kondisinya masih sangat lemah. Diabetes yang diderita Bu Rasti, membuat jantung wanita itu bermasalah juga.
"Mas Gibran ....""Gibran di sini, Bu." Gibran menyela ucapan Dewi begitu memasuki kamar rawat ibu mertuanya dan mendengar ibu mertuanya menanyakan keberadaannya. "Tadi Gibran parkir mobil dulu, jadi Dewi dan Wina ke sini duluan," dusta Gibran."Oh, syukurlah. Sini, Nak ...." Bu Rasti melambaikan tangannya pada sang menantu.Sementara Dewi memilih menjauh, mengambil apel dan mengupasnya untuk sang ibu. Duduk di sofa bersama Mbak Marni. Sungguh, hati Dewi belum sebesar itu untuk bisa berdekatan dengan laki-laki yang telah mengkhianati pernikahan mereka.Wina pun mengikuti sahabatnya. Menatap wanita yang kini wajahnya tampak mendung padahal biasanya wajah Dewi secerah matahari. Wina tak berani bertanya, hanya memperhatikan gelagat sepasang suami istri itu. Toh, kalau nanti Dewi merasa sudah bisa mengatasi masalahnya, dia pasti tanpa ditanya akan bercerita."Gimana kabar Ibu?" tanya Gibran sembari meraih jemari keriput ibu mertuanya dan menciumnya dengan takzim. Gibran memang seperhatian dan selembut itu. Itu salah satu hal yang dulu membuat Dewi akhirnya luluh dan mau menikah."Ibu sudah membaik," ucap Bu Rasti dengan suara lirih. "Tapi, Ibu tidak tahu, sampai kapan Ibu bisa bertahan.""Sstt, Ibu enggak boleh bicara begitu. Ibu harus sehat. Harus panjang umur. Bukankah Ibu ingin melihat cucu Ibu nanti?"Bu Rasti menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dadanya masih sesak jika harus berbicara. "Bilang sama Dewita, untuk tidak terlalu sibuk. Agar kalian, bisa segera punya anak.""Iya, Bu, pasti. Kami akan usahakan biar Ibu bisa segera menimang cucu."Dewi tersenyum sinis. Sungguh ia baru tahu kalau ternyata lelaki yang ia yakini untuk dinikahi ternyata selihai itu bersandiwara. Itu artinya, selama ini kemungkinan sikap baiknya itu hanya sekadar sandiwara. Tidak benar-benar tulus dari hatinya.Dewi mencuri pandang ke arah ibunya yang masih bersama dengan Gibran."Ibu titip Dewita, Nak," ucap Bu Rasti lagi. Masih dengan suara yang sama. Lemah dan lirih meski masih bisa terdengar.Gibran mengangguk. "Iya, Bu.""Walaupun Dewita keras, tegas, mandiri, dan selalu terlihat ceria, sebenarnya hatinya itu sangat lembut .... Sangat sensitif, hanya saja ... dia sangat pandai menyimpannya. Kadang Ibu sendiri terkecoh dan menganggap dia kuat dan baik-baik saja. Padahal dia sangat terluka."Mendengar itu mata Dewi terasa panas. Terlebih mengingat apa yang telah dilakukan Gibran dan Rindu. Rasanya ia ingin memeluk sang ibu, menangis di pangkuannya dan menceritakan segalanya. Seperti saat ia kecil dulu, saat teman-temannya mengolok-oloknya tidak punya ayah. Walaupun dengan teman-temannya ia akan melawan bahkan menghajar mereka, tetapi terkadang ia tidak sanggup juga menahannya sendiri dan akhirnya lari ke pelukan sang ibu."Bu, Mas Gibran udah nikah lagi ...." Ingin rasanya Dewi mengatakan itu. Namun, kalimat itu hanya menggema di rongga dadanya.Sementara Bu Rasti yang tidak tahu apa-apa, masih menaruh harapan besar pada menantunya itu. Kedua jemari Bu Rasti menggenggam jemari Gibran. "Jangan sakiti Dewita, ya, Nak .... Hidupnya sudah terlalu sakit dan pahit. Kamu tahu sendiri seperti apa dia. Tolong ... bahagiakan dia. Dia sudah mempercayakan hidupnya sama Nak Gibran. Jangan sampai Nak Gibran mengecewakan dia. Ibu takut dia kembali hancur dan tidak akan bisa bangkit lagi."Kontan mata Gibran dipenuhi dengan cairan hangat. Ia sangat merasa bersalah kepada Dewi. Ia telah terbuai dengan kelembutan dan sikap manja Rindu yang tidak pernah ia dapatkan dari Dewi."Kenapa diam, Nak? Nak Gibran mau berjanji, kan?""Bu, sudah," sela Dewi. "Ibu belum boleh bicara banyak-banyak. Mas Gibran juga pasti bakal jaga Dewi, kok. Kalau pun enggak, Dewi ini udah besar. Udah bisa jaga diri Dewi sendiri. Ibu tenang aja. Yang penting sekarang, Ibu harus sehat dulu, ya?"Bu Rasti tersenyum dan mengangguk menatap putrinya yang berjalan mendekatinya. Lalu menyuapi apel yang telah ia kupas dan potong dadu."Ya udah, Mas, sana kamu ke kantor duluan! Kerjaan kamu masih banyak, kan? Nanti aku balik sama Wina aja enggak apa-apa," usir Dewi yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan Gibran.Lelaki itu menatap Dewi beberapa saat sebelum akhirnya menuruti perintahnya. "Ya udah, Bu. Gibran balik ke kantor dulu, ya? Nanti pulang kerja, Gibran ke sini lagi sama Dewi.""Iya, Nak. Hati-hati, ya!"Setelah mencium takzim punggung tangan ibu mertuanya, Gibran mengusap-usap puncak kepala Dewi kemudian mengecupnya. Seolah-olah mereka sedang tidak ada masalah apa-apa."Aku duluan, ya, Wi."Dengan jengah Dewi menjawab, "Iya, hati-hati.""Sama suami yang lembut, loh, Wi ...." Nasehat Bu Rasti melihat sikap putrinya saat berbicara dengan Gibran barusan."Kalau Dewi lembut, nanti orang-orang enggak bisa bedain mana Dewi mana Rindu!" ucap Dewi asal. Ia masih terbawa rasa kesalnya terhadap Gibran.Bu Rasti hanya menghela napas melihat sikap putrinya itu. Memang bukan salah Dewi tumbuh menjadi wanita yang keras seperti itu. Karena sejak kecil, ia telah dihadapkan pada keadaan sulit orang tuanya."Mbak Dewi," panggil Mbak Marni."Iya, Mbak?""Sebenarnya tadi sebelum Ibu jatuh sakit, saya ... mau minta izin sama Mbak Dewi.""Izin?""Iya, Mbak. Anak saya di kampung juga masuk rumah sakit. Kena DB. Dia minta saya buat pulang secepatnya."Dewi memandang ibunya sekilas. Kemudian kembali menatap Mbak Marni yang duduk di sofa."Oh, ya udah, Mbak, enggak apa-apa. Silakan kalau Mbak Marni mau pulang dulu. Ibu biar aku yang jaga.""Iya, Mbak. Terima kasih.""Sama-sama, Mbak. Aku yang banyak terima kasih sama Mbak Marni sudah jaga ibu. Tapi Mbak Marni pulang sorean enggak apa-apa, ya? Nanti aku pesankan shuttle. Habis ini aku ada meeting soalnya.""Iya, Mbak. Enggak apa-apa, kok."Bu Rasti kemudian menyahut. "Jadi, nanti pulang dari rumah sakit, sementara Ibu tinggal di rumah kamu, Wi? Kamu sama Gibran apa enggak keganggu?""Ah, Ibu. Ya enggak, lah. Masa keganggu, sih?" sahut Dewi sembari tersenyum lebar. Meski sebenarnya ia pusing karena ibunya belum memungkinkan untuk mengetahui kondisi pernikahannya yang sebenarnya."Ngapain kamu ke sini?" tanya Dewi dengan nada dingin kepada Gibran saat mereka berpapasan di lobi rumah sakit. Sore itu Dewi baru selesai meeting dan Gibran baru pulang dari kantor."Ngapain?" Gibran justru balik bertanya. "Ya jelas aku mau besuk Ibu, Wi.""Makasih buat perhatiannya. Tapi, enggak usah repot-repot! Dia bukan ibu mertua kamu lagi!""Wi, Ibu lagi sakit, enggak baik kita kayak gini. Gimana kalau sampai ibu tahu?""Dengarkan aku baik-baik, Mas Gibran!" Dewi menatap Gibran dengan tajam. "Pertama, bukan aku yang meminta perceraian kita, tapi kamu. Aku cuma menyetujui. Yang kedua, Rindu udah hamil anak kamu, terlepas pernikahan kalian sah atau enggak, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku enggak mau punya suami yang sudah menghamili perempuan lain. Yang ketiga, aku enggak akan jadikan kondisi ibu yang sakit, sebagai alasan untuk menunda apalagi membatalkan perceraian kita!""Tapi, Wi, gimana kalau Ibu sampai tahu? Kondisinya pasti akan memburuk!""Kamu tenang aja, Mas. Tugasmu
[Wi, di sini ada Mas Gibran. Dia minta agar aku pulang aja. Enggak enak aku jadinya. Aku pulang enggak apa-apa?] Dewi buru-buru membuka mukena begitu membaca pesan dari Wina."Keras kepala sekali Mas Gibran!" gumamnya dengan kesal. Dewi sampai tidak melipat dengan benar mukenanya, hanya menggulung-gulungnya bersama sajadah. Lalu ia membalas pesan Wina.[Iya, Win. Enggak apa-apa. Makasih, ya, udah jagain ibuku.][Santai. Kalau ada butuh apa-apa, hubungi aku, yes?][Sip.]Dewi langsung bersiap dan menuju rumah sakit. Tiba di ruang rawat, tampak Gibran sedang menyuapi ibunya dan mata sang ibu terlihat berbinar menatap menantunya itu."Wi," panggil Bu Rasti saat melihat putrinya datang. "Udah makan?""Belum, Bu. Gampang nanti aja." Dewi berusaha tersenyum meski hatinya sangat tidak suka melihat keberadaan Gibran."Ini aku bawain ayam goreng dari warung langganan kamu, Wi," ucap Gibran. "Makan dulu, gih! Nanti kamu ikutan sakit, lagi."Muak sekali Dewi mendengar ucapan basa-basi seperti i
Dewi menatap wajah ibunya yang sedang terlelap. Wajah tua yang tampak damai meski gurat-gurat lelah bekas perjuangan untuk bertahan hidup membesarkan seorang putri seorang diri masih tergambar jelas di sana. Namun, Dewi tak melihat penderitaan pada garis wajah itu. Yang Dewi lihat justru wajah ibunya tampak tenang dan bahagia. Garis senyum terukir indah seperti hati pemiliknya."Apa sedamai itu, Bu?" bisik Dewi. "Melepas laki-laki bergelar suami yang tega mengkhianati? Dewi lihat, Ibu enggak menyesal sama sekali, walaupun ibu harus menempuh jalan yang enggak mudah untuk tetap berdiri."Dewi menghela napas panjang lalu mengambil jemari ibunya dan menciumnya dengan hati-hati. Cukup lama. Kemudian ia tempelkan ke kening. Seolah-olah Dewi sedang meminta kekuatan pada sang ibu."Dewi pasti juga akan sekuat Ibu," bisiknya lagi. "Berjanjilah untuk tetap berdiri di sisi Dewi, Bu. Apapun yang terjadi. Karena saat ini, hanya Ibu satu-satunya yang Dewi miliki. Ibu enggak boleh seperti mereka, pe
Di taman Bu Rasti banyak diam. Meski sudah bisa memaafkan dan menerima segala yang terjadi pada pernikahannya, tetapi tetap saja pertemuannya dengan sang mantan layaknya mengorek luka lama. Luka di hati Bu Rasti yang sebelumnya telah tertutup rapat, kini kembali tergores dan berdarah. Terlebih melihat wajah Pak Wisnu membuat Bu Rasti mengingat apa yang dulu dilakukan lelaki itu kepada Dewi, darah dagingnya sendiri. Rasanya kesakitan itu melebihi saat dirinya terusir dari rumah besar yang mereka bangun berdua.Bu Rasti masih ingat betul saat Dewi pulang dari rumah ayahnya dan menangis. Dewi tidak terima dengan sikap sang ayah. Terlebih ia melihat fasilitas yang dimiliki oleh Rindu."Aku juga anak ayah, kan, Bu?" tanya Dewi saat itu sembari menangis meraung-raung. "Aku anak kandung ayah, kan?"Saat itu Dewi kemudian menceritakan apa yang terjadi di rumah ayahnya. Apa yang Dewi lihat di sana dan apa yang dilakukan ayahnya kepadanya.Hati Bu Rasti tercabik-cabik mendengar itu. Tidak ada
Gibran meremas kuat kertas berisi surat tugas itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi sudah mempersiapkan semua ini. Gibran tersenyum getir. Kini ia benar-benar sadar sedang berhadapan dengan siapa.Padahal saat tahu kalau Bu Rasti akan pulang ke rumahnya, Gibran membayangkan akan punya kesempatan untuk kembali berbaikan dengan Dewi. Ia bahkan sudah membayangkan akan melakukan apa saja agar Dewi bisa kembali jatuh dalam pelukannya. Karena saat ada Bu Rasti mau tidak mau ia dan Dewi harus bersikap seolah-olah di antara mereka tidak ada masalah apa-apa. Namun ternyata, Dewi justru sudah bertindak sejauh ini."Kalian lagi ada masalah apa, sih?" tanya Wina saat melihat Gibran semarah itu. "Enggak biasanya banget marahan sampai berhari-hari gini?"Gibran hanya tersenyum getir. Ia dan Dewi memang jarang sekali bertengkar. Dewi tidak begitu suka membesar-besarkan masalah. Sementara Gibran lebih sering mengalah jika harus mendebatkan sesuatu dengan Dewi. Karena sikap Dewi yang jarang s
"I-ibu? Ke-kenapa Ibu di sini?" tanya Gibran yang sangat terkejut dan gugup melihat keberadaan ibu mertuanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau ibu mertuanya akan menyusulnya ke pinggir jalan tempat mobil Rindu terparkir. Padahal dari teras jaraknya jauh karena terdapat halaman yang lumayan luas."Kenapa Ibu di sini kamu bilang!?" hardik Bu Rasti. Wajah ibunda dari Dewi itu sudah merah padam, matanya menatap nyalang pada menantu yang selama ini ia pikir lelaki baik. Pasalnya dari gelagat Gibran Bu Rasti melihat ada sesuatu yang tidak beres."I-iya, Bu." Gibran salah tingkah tidak tahu harus berkata apa lagi. Dalam hati ia merutuki sikap keras kepala Rindu. Karena sebenarnya Gibran tidak mengizinkan Rindu menjemputnya di area rumah, tetapi istri barunya itu tidak mau mendengarkannya. "Kenapa dia di sini? Kenapa dia yang jemput kamu?" Bu Rasti mengintrogasi Gibran dengan tatapan tajam. Tidak akan ia biarkan menantunya itu sedikit pun berkelit darinya."I-itu, Bu ....""Jawab yang be
"Wi, ngapain kita ke sini?" tanya Gibran dengan panik saat tahu mobil yang Dewi kendarai menuju rumah ayah Dewi."Mas ...." Rindu pun kembali merengek. Ia juga tidak siap jika harus bertemu dengan Pak Wisnu. Terlebih dalam keadaan seperti sekarang ini.Dewi tidak memedulikan sama sekali rengekan Rindu maupun pertanyaan-pertanyaan dengan nada penuh ketakutan dari Gibran. Ia justru heran dan semakin penasaran dibuatnya."Apa Ayah enggak tahu pernikahan mereka?" batin Dewi. "Lalu siapa yang jadi wali nikahnya?"Banyak sekali pertanyaan bermunculan di kepala Dewi. Ia jadi teringat saat bertemu ayahnya di rumah sakit. Saat ia berkata untuk menjaga istri dan anaknya agar tidak menghancurkan pernikahan orang lain lagi, lelaki itu memang tampak bingung. Hanya saja saat itu Dewi memilih tidak peduli."Wi, mau apa kamu ke sini?" tanya Gibran lagi. "Udahlah, Wi. Jangan memperumit keadaan. Aku harus kerja juga," bujuk Gibran.Dewi sama sekali tidak merespon. Ia justru semakin tertantang untuk mem
"A-apa?" gumam Bu Rasti.Pak Wisnu menghela napas panjang. Dengan penuh penyesalan ia menoleh ke arah mantan istrinya. "Iya, Ras. Ternyata dia bukan anakku! Aku memang bodoh. Aku laki-laki paling bodoh di dunia! Aku menyia-nyiakan putriku sendiri dan membesarkan anak laki-laki lain," aku Pak Wisnu. Mata tua Pak Wisnu berkaca-kaca. Bu Rasti tersenyum getir. Ia ingat betul bagaimana laki-laki itu bersikeras menceraikannya. Mengancamnya segala rupa sehingga mau tidak mau ia mengalah dan meninggalkan rumah. Kini Bu Rasti melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba yang teraniaya. Dan doa orang yang teraniaya itu benar-benar diijabah.Sebenarnya Bu Rasti tidak pernah mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan keburukan bagi Pak Wisnu ataupun Asih, ia hanya ingin Tuhan membuat lelaki yang telah membuangnya itu menyesal. Menyesal atas apa yang dilakukan, seumur hidupnya. Karena itu jauh lebih menyakitkan dari apapun. Dan Tuhan menjawab d