Perjuangan Dewita dalam mempertahankan pernikahan ternyata sia-sia. Sikap baiknya, penerimaannya terhadap laki-laki seperti Gibran tak berbalas sebaliknya. Ia justru menerima ajakan berpisah dari Gibran. Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
View More"Sepertinya aku enggak bisa melanjutkan pernikahan kita, Wi."
"Loh, kenapa, Mas? Ada masalah apa? Aku ada salah apa?" Dewi yang sejak tadi fokus dengan laptopnya langsung menoleh begitu mendengar ucapan suaminya.Gibran sama sekali tidak berani menatap wajah Dewi. Ia terus menunduk sembari memandangi kedua jemarinya yang saling bertaut di antara kedua lututnya."Kamu enggak salah apa-apa, Wi. Kamu sempurna. Justru aku yang bermasalah.""Maksud kamu?" Dewi menggeser kursinya. Kini ia menatap lurus suaminya yang masih menunduk di sofa."Kamu ... terlalu sempurna untuk laki-laki sepertiku, Wi. Aku ....""Jangan bercanda, Mas!" potong Dewi. "Ini enggak lucu. Jangan sampai ucapan kamu itu menjadi talak. Hati-hati kalau bicara, Mas!"Dewi masih menepis berbagai prasangka yang menyerbu rongga dadanya. Ia yakin kalau pernikahannya dengan Gibran baik-baik saja. Tidak ada masalah sama sekali. Bahkan selama ini mereka jarang sekali bertengkar karena Gibran lebih sering memilih diam dan mengalah.Bisa saja saat ini Gibran sedang mengerjainya. Bisa saja laki-laki itu ingin memberi kejutan sehingga ingin membuatnya menangis terlebih dahulu. Begitu yang Dewi tanamkan di kepala."Aku enggak lagi bercanda, Wi. Aku serius." Gibran menatap mata Dewi.Pada saat itu Dewi baru menyadari kalau suaminya tidak sedang bercanda atau ingin mengerjainya."Tapi kenapa, Mas? Aku salah apa? Bukankah selama ini kita baik-baik aja?" Mata Dewi mulai memanas. Ia sama sekali tidak pernah berpikir suaminya akan mengatakan hal semengerikan ini kepadanya."Sekali lagi, kamu enggak salah apa-apa, Wi. Aku yang punya banyak salah.""Emang kamu ngelakuin apa, Mas? Kamu selingkuh?"Gibran menggeleng. "Enggak. Aku cuma ngerasa kamu itu terlalu sempurna untuk laki-laki sepertiku yang banyak sekali kekurangannya, Wi. Kamu shalihah, kamu independen, urusan rumah tangga pun kamu sempurna. Kamu enggak punya celah kekurangan sedikit pun, Wi. Dan itu buat aku jadi ngerasa enggak ada apa-apanya di depan kamu.""Aku enggak ngerti maksud kamu, Mas. Jadi, aku harus kayak gimana? Aku harus jadi istri yang kayak gimana biar kamu enggak merasa kaya gitu?""Aku enggak ingin kamu berubah jadi gimana-gimana, Wi. Kamu sempurna sebagai seorang perempuan. Hanya saja, sepertinya lelaki seperti aku enggak sebanding sama kamu. Aku yakin, di luar sana kamu akan bertemu dengan lelaki yang sepadan sama kamu. Bukan lelaki yang seperti aku."Dewi menghela napas. Berusaha mengelola emosi yang datang laksana ombak yang bergulung di dadanya. "Sebenarnya ada masalah apa? Apa kamu punya wanita lain yang ingin kamu nikahi?""Enggak, Wi! Enggak! Aku cuma ngerasa capek harus terus berusaha ngejar level kamu, nyamain posisi kamu. Aku capek, Wi. Aku juga capek, setiap saat aku yang harus mengalah saat kita berdebat. Aku kayak enggak punya ... sesuatu yang bisa membuat aku kayak untuk ada di atas kamu. Kamu selalu merasa kalau kamu itu paling benar, kamu paling pintar, kamu paling ngerti segalanya. Aku laki-laki, Wi. Aku enggak bisa terus-menerus mengalah dan ada di bawah kendali kamu.""Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Mas. Enggak harus bercerai!""Enggak, Wi. Itu sudah jadi watak kamu. Dan aku yakin, watak itu akan sulit sekali diubah."Dewi menatap Gibran tidak percaya. Dari sorot mata Gibran Dewi bisa melihat kalau lelaki itu sudah sangat yakin untuk bercerai dengan dirinya."Aku udah mikirin ini matang-matang. Besok pagi, aku yang akan pergi dari rumah ini. Rumah, mobil, silakan kamu pakai. Untuk tabungan lain, nanti kita bahas di persidangan sebagai harta gono-gini."Gibran bangkit, berjalan menuju ranjang mengambil bantal dan selimut. Kemudian ia memilih tidur di ruang keluarga.Sementara Dewi masih duduk di tempat semula. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi dalam pernikahannya yang selama ini ia pikir sempurna.Semalaman Dewi tidak bisa tidur. Ia terus berpikir harus melakukan apa agar Gibran mau mengubah keputusannya. Dewi benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika akhirnya pernikahannya dengan Gibran berakhir. Sementara keberadaan Gibran benar-benar seperti penyempurna hidupnya.Dewi ingin bercerita dengan ibunya, tetapi takut membuat wanita itu jadi kepikiran, stress, dan akhirnya sakit. Ingin menelepon ibu mertuanya, tetapi ia merasa lebih baik besok pagi datang langsung ke sana. Sementara kalau harus menghubungi sahabatnya, Dewi merasa belum sanggup karena ia memang ingin semua orang jangan sampai melihat permasalahan yang sedang dihadapinya.Keesokan paginya saat keluar kamar, Dewi sudah tidak melihat Gibran. Hanya selimut dan bantal yang semalam dipakai Gibran tidur kini teronggok di sofa. Di ruangan rumah yang lainnya pun lelaki itu tidak ada."Mas Gibran benar-benar sudah pergi?" tanya Dewi pada dirinya sendiri. Sakit sekali rasanya menyadari kalau ternyata selama ini Gibran telah merencanakan perceraian mereka. Padahal dulu Gibranlah yang memintanya untuk menikah, Gibran yang meyakinkannya kalau dirinya akan menjadi suami yang baik untuk Dewi. Namun, ternyata ... lelaki itu juga yang mengakhiri tanpa alasan yang pasti."Ya Allah, aku sebenarnya salah apa?" Tubuh Dewi luruh. Ia bersimpuh di atas karpet ruang keluarga. Rasanya sakit sekali harus bercerai di saat ia menganggap semua baik-baik saja. Bahkan pagi hari sebelum malamnya Gibran minta bercerai pun, mereka masih sarapan bersama seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda sama sekali Gibran akan meminta cerai dengannya."Aku salah apa sebenarnya?" Air mata Dewi luruh. Ia puas-puaskan menangis lagi itu sebelum akhirnya berangkat kerja.Setelah puas menangis, Dewi bersiap untuk berangkat kerja. Pagi ini ia tak sarapan, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia belum sanggup jika harus sarapan sendiri sementara tiga tahun terakhir ini ia selalu sarapan bersama Gibran.Sebelum ke kantor, Dewi memutuskan untuk ke rumah ibu mertuanya terlebih dahulu. Ia ingin meminta ibu mertuanya untuk menasehati Gibran agar suaminya itu mau membatalkan niatnya untuk bercerai.Tiba di rumah ibu mertuanya, Dewi agak heran karena sepagi ini sudah ada mobil yang terparkir di halaman rumah."Siapa tamu sepagi ini?" gumam Dewi. Namun, ia tidak begitu memikirkan hal itu. Ia hanya ingin bertemu ibu mertuanya dan memintanya untuk menasehati Gibran.Pintu ruang tamu tidak terkunci, jadi setelah mengucap salam, Dewi langsung masuk. Ruang tamu tampak kosong, Dewi kemudian masuk ke ruang keluarga yang di ruangan itu juga terdapat meja makan.Mata Dewi melebar seketika saat memasuki ruang keluarga. Pasalnya di sana ia melihat suaminya sedang disuapi seorang wanita sembari terkikik begitu asyiknya.Dada Dewi terbakar melihat itu. Kontan ia langsung berkata dengan suara keras nyaris menggelegar. "Oh, jadi dia perempuan yang kamu anggap sepadan dengan kamu, Mas? Dasar pengkhianat!"Gibran terpaku menatap gundukan tanah bertabur bunga di depannya. Ia masih tidak percaya kalau Rindu telah meninggalkannya untuk selamanya. Padahal ia baru saja menggantung harapan kalau Rindu akan pulih kembali bersamaan dengan terbangunnya dia dari koma. Ternyata ia salah. Rindu terbangun hanya untuk melihat dunia untuk terakhir kalinya dan memastikan kalau Dewi sudah memaafkannya.Gibran menghela napas panjang, kemudian berkata dalam hati. "Pergilah, Rin! Pergilah dengan tenang! Dewi udah maafin kamu dan aku akan merawat Fathan dengan baik. Kamu tenang aja. Berkumpullah lagi dengan mamamu! Aku tahu, kamu pasti sangat merindukannya, kan? Sampai kamu pergi secepat ini."Lagi, Gibran menghela napas panjang. Dadanya terlalu sesak saat berusaha menerima kalau dirinya sudah tidak akan bisa melihat sosok Rindu lagi. "Pergilah, Rin! Aku ... ikhlas." Gibran mengusap matanya yang basah. "Makasih udah hadir dalam hidupku. Meski yang kita lewati ternyata seperti ini. Tapi aku yakin, mulai sek
Gibran tertawa sumbang mendengar candaan Andan. Sementara Adnan tertawa lepas karena benar-benar bersyukur Gibran telah melepas Dewi dan kini wanita yang dulu begitu susah ia taklukan, bisa menjadi istrinya."Ya udah, Bran. Kami pamit dulu, ya? Anak-anak udah nunggu di rumah. Kamu yang semangat, ya! Semoga istri kamu bisa segera pulih," pamit Adnan."I-iya." Gibran tergagap karena merasa tertohok dengan salah satu kata yang terlontar dari mulut Adnan. "Anak-anak?" tanya Gibran dalam hati. "Jadi selain Cantika ada anak lain lagi? Apa itu artinya Dewi dan Pak Adnan udah punya anak juga?"Hawa panas menjalari dada Gibran. Meski Dewi sudah bukan istrinya lagi, tetapi tetap saja ia merasa cemburu. Ia masih belum sepenuhnya rela dengan kenyataan yang ada. Karena sejak bertemu kembali dengan Dewi di klinik, apalagi dengan kehadiran Dewi ke rumahnya hari ini, ia masih menaruh harapan besar untuk bisa kembali dengan mantan istrinya itu. Namun ternyata, harapan tinggal harapan. Dewi sudah menj
Beberapa kali Dewi mengulang ucapannya, tetapi Rindu tak merespon sama sekali. Sudah lebih dari setengah jam. Dewi sampai diambilkan kursi plastik untuk duduk oleh Bu Santi. Sebenarnya Dewi berpikir mungkin Rindu akan bereaksi kalau dirinya menyentuhnya. Namun, entah mengapa masih ada tembok besar yang belum bisa Dewi runtuhkan untuk sampai di level mau menyentuh Rindu. Sampai akhirnya Bu Santi meminta Dewi dengan penuh harap. Dewi akhirnya mengangguk setuju. Disentuhnya jemari Rindu yang tinggal tulang dilapisi kulit tipis. Jemari yang terasa kaku dan dingin. Setelah meremas-remasnya dengan perlahan dengan kedua tangannya, Dewi kemudian kembali berkata, "Rindu, kamu ingin ketemu sama aku, kan? Ini aku Dewi. Aku udah di sini. Ayo, buka mata kamu!"Beberapa saat masih tidak ada respon. Sampai Dewi terus mengulanginya sembari menepuk-nepuk lembut punggung tangan Rindu. Dan akhirnya buliran bening mulai mengalir dari ujung mata Rindu."Rindu, ayo buka mata kamu!" titah Dewi. Namun, ha
Seperti janji Dewi, setelah shalat ashar Dewi pergi ke alamat rumah Gibran. Karena belum pernah ke daerah tersebut, ia memilih menggunakan taksi online. Begitu tiba dan turun dari taksi, Dewi tertegun menatap rumah kontrakan Gibran. Bangunan semipermanen itu terlihat sudah cukup tua. Dinding bagian bawah terbuat dari tembok permanen kemudian setengahnya menggunakan papan kayu dengan cat putih yang sudah pudar dan mengelupas dimana-mana.Dari tempat Dewi berdiri, ia bisa melihat warung kelontong milik Gibran. Bukan seperti warung kelontong kebanyakan karena bisa dilihat dengan jelas kalau ruangan tersebut tidak cukup terisi barang-barang dagangan. Hanya sedikit sekali barang dagangan mereka. Dewi benar-benar tidak tega melihatnya. Kehidupannya dengan kehidupan mantan semuanya itu seperti siang dan malam.Tak mau berlama-lama berdiri di pinggir jalan, Dewi kemudian melangkah menuju teras rumah Gibran. Ia mengetuk pintu yang setengah terbuka dan mengucap salam. Tak butuh waktu lama hingg
Langkah Dewi terhenti mendengar permintaan Gibran. Sungguh, ia sudah tidak ingin lagi berurusan apapun dengan masa lalunya. Wanita bermata jernih itu kemudian menoleh. "Maaf, aku udah enggak mau berurusan apapun dengan kalian. Aku udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf."Gibran langsung berdiri di depan Dewi. "Aku mohon, Wi! Lima tahun, hanya nama kamu yang Rindu sebut. Dia bahkan enggak sekalipun menyebut namaku, Fathan, atau siapapun! Tapi, nama kamu selalu keluar dari mulutnya. Aku yakin, Wi, aku yakin sekali kalau dia ingin ketemu kamu. Rindu pasti ingin minta maaf sama kamu secara langsung. Kamu mungkin udah maafin kami, tapi kami belum meminta maaf sama kamu. Aku mohon, Wi ....""Maaf, aku enggak bisa," tolak Dewi dengan wajah datar."Wi, kamu lihat ini dulu! Setelah itu, apapun keputusan kamu, aku enggak akan protes lagi." Gibran merogoh ponsel di saku celana, kemudian membuka kunci layar dan memutar sebuah video. "Lihat ini, Wi!" titahnya sembari menyerahkan pon
Dewi pun membeku melihat lelaki yang kini sedang menatapnya tak percaya. Dadanya bergemuruh, ia ingin menghilang bersama Cantika saat itu juga. Dewi benar-benar belum siap mempertemukan Cantika dengan Gibran. Apalagi mengenalkan keduanya sebagai bapak dan anak. Tanpa memedulikan apapun lagi, Dewi langsung menggendong Cantika dan membawanya keluar dari ruangan itu."Wi! Dewi! Tunggu!" seru Gibran yang masih memangku Fathan. Fathan yang terkejut dengan teriakan ayahnya pun beringsut duduk. "Ada apa, Yah?" tanya anak itu kebingungan.Sementara Gibran celingukan karena menjadi pusat perhatian semua orang yang sedang mengantre di ruangan itu."Fathan, kamu tunggu di sini, ya! Ayah mau ketemu orang di luar sebentar."Fathan tak mengangguk ataupun menggeleng karena anak itu masih kebingungan melihat sikap ayahnya.Tanpa memedulikan respon Fathan, Gibran bergegas keluar mengejar Dewi."Wi! Tunggu!" panggil Gibran saat melihat Dewi sedang membantu Cantika naik ke jok mobil.Karena tidak bisa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments