"Dinda, HRD tempat Herman bekerja adalah teman baik ayah. Ayah tidak terima dengan perlakuan Herman padamu. Dulu sebelum kalian menikah dan masih dalam masa pendekatan, ayah lah yang membantu nya masuk ke perusahaan itu dengan bantuan teman ayah. Sekarang ayah akan membuatnya dipecat dengan tidak hormat melalui teman ayah juga dengan alasan moralitas pegawai!"Dinda menoleh ke arah ayahnya. "Tidak usah, Yah. Ayah tidak perlu mengotori tangan Ayah untuk membuat mas Herman dipecat. Lagipula tidak baik memutuskan rejeki orang. Kalau pun mas Herman dipecat, aku ingin mas Herman dipecat atas kesalahannya sendiri. Bukan karena peristiwa ini.""Apa kamu tidak sakit hati atas perlakuan suami kamu? Aku saja yang istrinya mas Chandra merasa sakit hati lo, Din. Masa kamu biasa aja sih?" tanya Via. "Wah, jangan tanya perasaan ku, Mbak. Aku bahkan sampai memposting video dan foto saat Dita, selingkuhannya mas Herman yang saling berkelahi dengan anggota arisan di akun sosial warung seafood tempat
"Dit, kita harus mencari kontrakan segera. Kita kan tinggal di homestay ini sehari bayar seratus ribu. Sekarang sudah tiga hari dan kita belum juga dapat kontrakan baru," ujar Ambar dengan nada cemas pada Dita. Dita menghela nafas berat sambil menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang ada di kamar homestay nya. "Ibu benar. Tapi aku juga sedang pusing dan banyak pikiran. Rina baru saja dibully oleh teman-temannya yang mengatainya anak pelakor, aku juga diusir oleh maminya mas Herman yang tidak rela jika aku menjadi menantunya. Aku bingung, Bu."Ambar mendelik mendengar kata-kata Dita. "Teman Rina berani mengatai Rina? Padahal masih kelas dua SD! Kur*ng ajar! Kita pindah sekolah saja, Dit. Ibu tidak terima kalau cucu ibu dihina-hina. Kalau perlu ibu akan labrak teman Rina dan orang tuanya sekalian, agar tidak seenaknya pada Rina!""Hm, iya Bu. Nanti kita pikirkan hal itu. Aku sungguh bingung kita akan pindah kemana!""Kamu minta sama Herman saja. Kamu pernah bilang kan kalau Herman
Dinda melajukan mobilnya dan berhenti di depan rumah mewah dan megah. "Permisi, Pak. Apa di sini rumah pak Adinata?" tanya Dinda dari balik kemudi saat kedua satpam menghentikan laju mobilnya di depan gerbang besar rumah itu. "Oh, benar. Nama ibu siapa dan ada perlu apa dengan pak Adi?" tanya salah satu satpam dengan tegas. "Nama saya Dinda. Saya kemari karena menemukan dompet atas nama pak Adinata dan akan mengembalikannya pada beliau."Kedua satpam yang ada di hadapan Dinda berpandangan. "Hm, baiklah. Tunggu sebentar, Bu."Dinda mengangguk lalu membelai rambut Windi."Kamu nggak apa-apa ikut mama kesini? Makan siang kamu tertunda kan?" tanya Dinda. Windi tersenyum. "Hm, nggak apa-apa, Ma. Windi memang pingin jalan-jalan dulu sekaligus ingin tahu pemilik dompet ini," sahut Windi. Dinda tersenyum. "Kamu jujur sekali, Sayang. Mama bangga padamu. Kamu memberikan dompet ini pada ibu padahal bisa saja kamu diam saja dan justru membuangnya."Windi tersenyum. "Kan mama yang mengajark
"Hm, baiklah. Biar saya yang beli semuanya. Cash. Dan lebih baik saya sekarang datang ke rumah mbak Dinda untuk melihat rumah dan sawah itu. Bagaimana?"Dinda melongo dan tampak tidak percaya. "Baiklah. Deal!"Dinda menatap ke arah lawan bicaranya. "Apa pak Adinata serius ingin membeli semua aset saya tersebut?"Adinata tertawa. "Saya sebenarnya tidak suka mengulangi ucapan saya. Tapi baiklah kali ini saya akan mengulangi nya lagi, jadi dengarkan baik-baik ya mbak Dinda. Saya bersedia membeli rumah, sawah, dan mobil mbak Dinda, cash. Apa sudah jelas, Mbak?" tanya Adinata tegas. "Sudah jelas. Tapi yang saya belum mengerti kenapa pak Adi melakukan nya? Saya tidak mau kalau bapak membelinya karena merasa kasihan pada saya," ujar Dinda. Adinata menghembus kan nafas panjang. "Tadi kan mbak Dinda minta tolong saya untuk membantu penjualan aset. Sekarang begitu ada pembelinya, kenapa mbak Dinda justru ragu-ragu? Yang penting kan ada yang beli dan tunai. Kalau alasan untuk membeli, ya te
Malam sebelumnya,"Ibu! Kita ketahuan!" seru Dita begitu sampai di homestay yang ditempatinya. Dita menghenyakkan pantatnya di kasur samping ibunya. Ambar mengerutkan keningnya. "Ketahuan gimana maksudmu?""Mas Herman dan maminya tahu kalau aku pura-pura hamil. Bahkan mereka memaksaku untuk USG. Aku tidak bisa mengelak lagi. Jadi saat mereka tahu kalau aku berbohong, mas Herman dengan tegas menolak menikahiku, Bu! Huhuhu! Bagaimana ini?!""Astaga! Kok kamu nggak ngeles sih saat mereka membawa kamu untuk USG! Gimana kehidupan kita selanjutnya? Biaya tinggal di homestay dan biaya makan sehari-hari terus berjalan. Kamu harus memaksa Herman untuk menikah!""Tapi dia sudah benar-benar tidak mau menikah denganku, Bu!"Ambar tampak berpikir sejenak. "Kalau begitu pak Andre! Dia kan juga suka sama kamu! Minta uang dan minta dia untuk mencari sekaligus membayarkan kontrakan untuk kita!" seru Ambar dengan bersemangat. "Ah, ibu ini. Dita takut dengan Bu Cici. Galak! Ngomong-ngomong bagaimana
Seketika wajah Herman memucat menatap ke arah anak semata wayangnya."Pa, kenapa papa diam aja? Jadi selama ini papa nggak pulang-pulang ke rumah karena akan menikah dengan mamanya Rina?" tanya Windi mendekat ke arah Herman yang memucat. Dinda menatap Windi dengan hati tak tega. Siapakah di dunia ini ibu yang tega melihat anaknya menangis karena bapak dan ibunya akan bercerai?"Pa, jawab Windi, Pa! Huhuhu! Papa jahat!" tukas Windi akhirnya karena bapaknya yang tidak mau kunjung menjawab pertanyaan nya dan hanya terdiam."Win, tunggu! Papa bisa menjelaskan!" seru Herman sambil berusaha mengejar anaknya yang masuk kamar. Bi Inah pun segera mengejar Windi, sedangkan Dinda cepat-cepat menghalangi Herman yang akan masuk ke dalam kamar anaknya."Mas, kita sudah dalam proses cerai. Aku anggap hubungan kita sudah selesai. Jadi jangan harap kamu bisa masuk ke kamar Windi!" desis Dinda seraya berlari dan menghadang langkah kaki Herman. Dinda bahkan membentangkan kedua tangannya untuk menghala
Beberapa hari yang lalu,"Gimana? Dita dan ibunya mau tinggal di rumah kita?" tanya Tuti saat Herman baru saja pulang dari kantor nya. Diletakan nya helm dan dicantolkannya ke kaca spion motor. Lelaki itu nenghela nafas kasar dan duduk di samping ibunya di teras rumah. "Iya. Mau. Tapi ..." Herman menjeda kalimat nya. Dia mencomot pisang goreng yang masih hangat di hadapannya lalu mengunyah nya dengan nikmat. "Tapi apa?" "Dita minta mas kawin lima belas juta dan semua gajiku diserahkan padanya," sahut Herman setelah menelan pisang goreng. Mata Tuti membeliak sempurna. "Apa? Lalu kamu mengiyakan saja tuntutan tak masuk akal dari perempuan itu?" tanya Tuti berang. Herman mengangguk. "Hah? Kamu ini bagaimana sih? Dita dan keluarga nya akan numpang di rumah ini tapi dia meminta uang gajimu secara utuh? Apa-apaan pula permintaan mas kawinnya itu?! Beda sekali dengan Dinda yang dulu meminta seperangkat alat salat dan cincin tiga juta saja," ujar Tuti. Nadanya terdengar menyalahkan Her
Herman membuka amplop coklat agak tebal itu. Matanya membulat saat membaca isi surat yang merupakan surat panggilan untuk sidang besok lusa dari pengadilan agama. Dia terperangah saat melihat surat panggilan itu. "Hm, kemarin sewaktu aku mengundang nya menghadiri acara akadku, sepertinya Dinda tidak datang. Sekarang yang datang justru surat panggilan dari pengadilan agama. Ah, ribet banget mending aku nggak usah datang. Toh, percuma saja datang. Lagipula aku sudah menikah lagi. Dan aku juga nggak mungkin mendapatkan hak harta gono-gini karena Dinda mempunyai foto ku dan Dita sebagai ancaman. Ah, sudahlah. Emang gue pikirin!' batin Herman. "Om, kenapa diam saja?! Ayo berangkat, Om. Nanti aku telat ke sekolah," ujar Rina polos. Herman menatap ke arah bocah perempuan yang duduk di boncengan nya. Seketika ingatan nya melintas pada Windi. Mendadak rindu menyerang hatinya yang terdalam. Herman menghela nafas panjang. Dia tidak keberatan Rina memanggil nya Om dan bukan papa, karena bag