"Hm, baiklah. Biar saya yang beli semuanya. Cash. Dan lebih baik saya sekarang datang ke rumah mbak Dinda untuk melihat rumah dan sawah itu. Bagaimana?"Dinda melongo dan tampak tidak percaya. "Baiklah. Deal!"Dinda menatap ke arah lawan bicaranya. "Apa pak Adinata serius ingin membeli semua aset saya tersebut?"Adinata tertawa. "Saya sebenarnya tidak suka mengulangi ucapan saya. Tapi baiklah kali ini saya akan mengulangi nya lagi, jadi dengarkan baik-baik ya mbak Dinda. Saya bersedia membeli rumah, sawah, dan mobil mbak Dinda, cash. Apa sudah jelas, Mbak?" tanya Adinata tegas. "Sudah jelas. Tapi yang saya belum mengerti kenapa pak Adi melakukan nya? Saya tidak mau kalau bapak membelinya karena merasa kasihan pada saya," ujar Dinda. Adinata menghembus kan nafas panjang. "Tadi kan mbak Dinda minta tolong saya untuk membantu penjualan aset. Sekarang begitu ada pembelinya, kenapa mbak Dinda justru ragu-ragu? Yang penting kan ada yang beli dan tunai. Kalau alasan untuk membeli, ya te
Malam sebelumnya,"Ibu! Kita ketahuan!" seru Dita begitu sampai di homestay yang ditempatinya. Dita menghenyakkan pantatnya di kasur samping ibunya. Ambar mengerutkan keningnya. "Ketahuan gimana maksudmu?""Mas Herman dan maminya tahu kalau aku pura-pura hamil. Bahkan mereka memaksaku untuk USG. Aku tidak bisa mengelak lagi. Jadi saat mereka tahu kalau aku berbohong, mas Herman dengan tegas menolak menikahiku, Bu! Huhuhu! Bagaimana ini?!""Astaga! Kok kamu nggak ngeles sih saat mereka membawa kamu untuk USG! Gimana kehidupan kita selanjutnya? Biaya tinggal di homestay dan biaya makan sehari-hari terus berjalan. Kamu harus memaksa Herman untuk menikah!""Tapi dia sudah benar-benar tidak mau menikah denganku, Bu!"Ambar tampak berpikir sejenak. "Kalau begitu pak Andre! Dia kan juga suka sama kamu! Minta uang dan minta dia untuk mencari sekaligus membayarkan kontrakan untuk kita!" seru Ambar dengan bersemangat. "Ah, ibu ini. Dita takut dengan Bu Cici. Galak! Ngomong-ngomong bagaimana
Seketika wajah Herman memucat menatap ke arah anak semata wayangnya."Pa, kenapa papa diam aja? Jadi selama ini papa nggak pulang-pulang ke rumah karena akan menikah dengan mamanya Rina?" tanya Windi mendekat ke arah Herman yang memucat. Dinda menatap Windi dengan hati tak tega. Siapakah di dunia ini ibu yang tega melihat anaknya menangis karena bapak dan ibunya akan bercerai?"Pa, jawab Windi, Pa! Huhuhu! Papa jahat!" tukas Windi akhirnya karena bapaknya yang tidak mau kunjung menjawab pertanyaan nya dan hanya terdiam."Win, tunggu! Papa bisa menjelaskan!" seru Herman sambil berusaha mengejar anaknya yang masuk kamar. Bi Inah pun segera mengejar Windi, sedangkan Dinda cepat-cepat menghalangi Herman yang akan masuk ke dalam kamar anaknya."Mas, kita sudah dalam proses cerai. Aku anggap hubungan kita sudah selesai. Jadi jangan harap kamu bisa masuk ke kamar Windi!" desis Dinda seraya berlari dan menghadang langkah kaki Herman. Dinda bahkan membentangkan kedua tangannya untuk menghala
Beberapa hari yang lalu,"Gimana? Dita dan ibunya mau tinggal di rumah kita?" tanya Tuti saat Herman baru saja pulang dari kantor nya. Diletakan nya helm dan dicantolkannya ke kaca spion motor. Lelaki itu nenghela nafas kasar dan duduk di samping ibunya di teras rumah. "Iya. Mau. Tapi ..." Herman menjeda kalimat nya. Dia mencomot pisang goreng yang masih hangat di hadapannya lalu mengunyah nya dengan nikmat. "Tapi apa?" "Dita minta mas kawin lima belas juta dan semua gajiku diserahkan padanya," sahut Herman setelah menelan pisang goreng. Mata Tuti membeliak sempurna. "Apa? Lalu kamu mengiyakan saja tuntutan tak masuk akal dari perempuan itu?" tanya Tuti berang. Herman mengangguk. "Hah? Kamu ini bagaimana sih? Dita dan keluarga nya akan numpang di rumah ini tapi dia meminta uang gajimu secara utuh? Apa-apaan pula permintaan mas kawinnya itu?! Beda sekali dengan Dinda yang dulu meminta seperangkat alat salat dan cincin tiga juta saja," ujar Tuti. Nadanya terdengar menyalahkan Her
Herman membuka amplop coklat agak tebal itu. Matanya membulat saat membaca isi surat yang merupakan surat panggilan untuk sidang besok lusa dari pengadilan agama. Dia terperangah saat melihat surat panggilan itu. "Hm, kemarin sewaktu aku mengundang nya menghadiri acara akadku, sepertinya Dinda tidak datang. Sekarang yang datang justru surat panggilan dari pengadilan agama. Ah, ribet banget mending aku nggak usah datang. Toh, percuma saja datang. Lagipula aku sudah menikah lagi. Dan aku juga nggak mungkin mendapatkan hak harta gono-gini karena Dinda mempunyai foto ku dan Dita sebagai ancaman. Ah, sudahlah. Emang gue pikirin!' batin Herman. "Om, kenapa diam saja?! Ayo berangkat, Om. Nanti aku telat ke sekolah," ujar Rina polos. Herman menatap ke arah bocah perempuan yang duduk di boncengan nya. Seketika ingatan nya melintas pada Windi. Mendadak rindu menyerang hatinya yang terdalam. Herman menghela nafas panjang. Dia tidak keberatan Rina memanggil nya Om dan bukan papa, karena bag
Herman mengendarai motornya dengan perasaan campur aduk di sepanjang jalan. Dia tidak tahu kemana harus menghentikan laju motornya saat ini. Lelaki itu menghela nafas berat lalu akhirnya memutuskan untuk berhenti di alun-alun kota. Herman memarkirkan motor nya lalu berjalan tak tentu arah di salah satu tempat duduk panjang dari besi bercat putih di sudut alun-alun. Waktu yang menunjuk pukul sembilan malam, tidak menunjukkan tanda-tanda sepi pada alun-alun ini. Bahkan masih tampak ramai. Di sana sini banyak pedagang asongan yang menjajakan dagangannya dan orang-orang yang menikmati malam minggu bersama keluarga atau kekasih nya. Herman termangu menatap langit yang semarak dengan layang-layang yang mempunyai hiasan lampu kelap kelip. Malam ini memang angin sedang kencang. Herman mengeratkan jaketnya. Beberapa pemuda tampak duduk dan bercerita bergerombol sembari merokok dan tertawa-tawa. Herman akhirnya memutuskan untuk mendekati salah satu lapak penjual aneka makanan dan minuman ri
Beberapa hari yang lalu, Herman menatap rekening nya dengan wajah sumringah. "Yess, akhirnya keluar juga nih dana proposal iklan produk," ujar Herman saat dia melihat saldo di rekening nya. Proposal Herman memang terpilih untuk mengiklankan produk baru di perusahaan Santosa onderdil motor. Dan dia yang mengetuai nya. Dengan bersiul-siul, Herman segera mencari informasi tentang penjualan mobil bekas yang masih bagus. "Ah, otakku ini memang cerdas. Banyak penjualan produk baru yang melonjak karena promosi yang kugencarkan. Seharusnya sih tahun ini aku naik jabatan menjadi manajer. Tapi kok tetap stagnan di posisi asisten manajer sih," gumam Herman lantas menggulir mouse di meja kerjanya. Matanya terpana dan berbinar menatap satu persatu mobil yang ada di layar laptop nya. "Wah, ini lumayan masih bagus dan terlihat kuat, murah lagi. Tapi uang ku tidak cukup untuk beli cash. Apa enaknya aku beli pakai uang muka ya? Uang nilep perusahaan dapat dua puluh lima juta. Ah, lebih baik aku
Semua pandangan para karyawan yang diundang ke acara aqiqah langsung tertuju ke arah Dita yang masuk kedalam kolam renang dan basah kuyup!Dinda dan semua yang hadir di acara aqiqah itu seketika tercengang saat melihat Dita yang tercebur ke dalam kolam sedalam dua meter. Dita yang tidak bisa berenang sampai megap-megap dan kedua tangannya menggapai-gapai air kolam di sekitar nya berharap segera bertemu dengan tepian kolam atau menyentuh tangan penyelamat nya. Dinda yang sedang terkejut, segera menyadari bahaya. Tapi karena dia juga tidak bisa berenang, dia hanya bisa meminta tolong kepada orang-orang di sekitarnya. "Tolong! Tolong! Ada orang tenggelam!"Windi segera melesat ke arah Herman yang sedang mengobrol di ruang tengah dengan Gunawan. Gadis kecil itu terdiam sejenak saat melihat bapaknya yang kini terasa asing untuk nya. Tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk memanggil bapaknya. "Papa! Tolong Tante Dita. Aku lihat sendiri saat Tante Dita tercebur kolam ketika mencoba me