"Audrey ... duduk sini!" lirih Mas Gibran seraya menepuk kedua pahanya.
Astaga! Dia menyuruhku duduk di pangkuannya?
"Ogah ah! Nanti dilihat Mama!" tolakku. Namun sepertinya penolakanku tidak bermakna. Tiba-tiba saja aku sudah dia angkat dan didudukkan di pangkuannya.
"Mas!" pekikku. Entah apa yang ada di otak Mas Gibran. Bisa-bisanya dia memangkuku di saat mama juga masih di rumah. Gimana kalau mama lihat?
"Nanti dilihat Mama loh!" kesalku. Namun, Mas Gibran ya tetaplah Mas Gibran. Dia tidak peduli dengan protesku. Malah dengan santai dia menyuapiku.
"A ... " Mas Gibran menyuruhku membuka mulut. Akupun mendengus kesal melihat tingkahnya pagi ini. "Kenapa? Gak mau disuapin pakai tangan? Ok!" Tak lama dia menggigit rotiku kemudian mengarahkannya ke mulutku.
"Mas!" geramku. Namun ... sudah bisa ditebak, Mas Gibran tetap kekeh menyuruhku memakan roti yang dia arahkan padaku dengan mulutnya. "Gak mau!" ketusku. Aku ber
"Selamat pagi, Pak Gibran," sapa Diana, asisten Tian. Entahlah kenapa Tian harus memiliki asisten?Em ... mungkin pekerjaannya sebagai sekertaris kesayangan Mas Gibran membuat pria yang tidak kalah tampan dengan Jay itu mengemban banyak tugas, jadi dia butuh bantuan orang lain untuk menghandle, sehingga dipilihlah Diana sebagai asistennya."Pagi, Diana," balas Mas Gibran. "Jadwal Saya hanya meeting selepas makan siang 'kan?"Wanita 29 tahun itu masih terpaku. Pandangannya sedari tadi tertuju pada genggaman tangan Mas Gibran di tanganku. Tampaknya dia terkejut melihat kedatanganku bersama boss besarnya."Diana!" Suara bariton Mas Gibran mulai mengintimidasi."I-iya, Pak. Jadwal Bapak hanya ada meeting selepas makan siang nanti.""Ok, bawakan semua dokumen yang harus Saya periksa dan letakkan di meja Saya!" titah Mas Gibran yang kemudian menarik lembut tanganku untuk berjalan masuk ke ruang kerjanya. Disusul oleh Diana dan setumpuk dokumen.Wah ... mewvaah sekali ruang kerjanya. Ruangan
"Yaudah besok kita nikah, yuk!" ajak Mas Gibran dengan senyum jahil yang tiba-tiba terbit di wajah tampannya. "Gila!" "Kamu yang buat Aku gila, Audrey." Suara serak khas pria yang sedang menuju 'pengen' mulai terdengar dari mulutnya. Tak lama kecupan hangat mulai aku rasakan di sepanjang garis rahangku. Perlahan naik ke arah pipi dan bermuara di bibir ranumku. Kini bibir kami mulai saling bertaut. Kami mulai saling mencumbu mesra. Saling memainkan lidah, menciptakan suara-suara kecupan yang renyah. Tanpa aba-aba Mas Gibran menggangkat kedua kakiku, menggendongku seperti anak koala. "Mas!" pekikku. Om Tampanku hanya tersenyum. Kemudian bibirnya kembali meraih bibirku. Dia kembali melahap bibirku dengan sangat intim. Perlahan dia berjalan, membawaku ke meja kerjanya tanpa melepas sedetikpun tautan bibir kami. Mas Gibran mendudukkanku di atas meja kerjanya, tepat di sebelah tumpukan dokumen yang baru selesai dia periksa. "Apa bisa Aku menaikkan levelku?" tanya Mas Gibran dengan waja
"Mas ... " lirihku lagi untuk kesekian kalinya. Aktivitas panas ini berlangsung tak terlalu lama. Tampaknya Mas Gibran takut kami tidak kuasa menahan diri untuk menuju ke level kenikmatan yang lebih lagi. CEO tampan itu mencium keningku cukup lama. Kemudian dia membantuku untuk duduk, membantuku memasang kembali penutup dadaku, sebuah benda berenda berwarna hitam yang tadi dia singkirkan dari tubuhku. Seraya memasangkan kaitan penutup dadaku, Mas Gibran sesekali mengecup punggungku, sontak membuat hasrat kami berdua kembali muncul. Namun seketika Mas Gibran menghentikannya. Dia bergegas membantu memakai kemejaku. Menutup akses yang membuat hasrat kami kembali bergejolak. "Rapikan dulu penampilanmu," pinta Mas Gibran sambil menunjuk cermin besar di sudut kamar istirahat ini dengan dagunya. "Aku mau menenangkan si dedek dulu." "Menenangkan si dedek?" tanyaku kebingungan. "Ya." Mas Gibran mengarahkan matanya ke sesuatu di antara kedua pangkal pahanya yang tampak mencuat. Astaga ...
Sesampainya di cafetaria kantor pusat Adinata Group, semua mata tertuju pada kami bertiga. Mungkin para pengunjung cafetaria itu bingung melihat Mas Gibran menggandeng tanganku padahal di sebelah kami ada sosok penyanyi hits, Clara Pambudi.Pasti mereka bertanya-tanya, siapa wanita berwajah blasteran yang digandeng CEO tampan mereka? Dan ... kenapa bukan menggandeng Clara yang konon adalah kekasihnya? Eh ... malah Mas Gibran menggandengku, si gadis blasteran."Gibran ... " terdengar suara manja-manja lenyeh Clara. Sesekali dia mendekatkan badannnya ke Mas Gibran, berbisik-bisik, entah apa yang dibisikkan. Namun tetap saja genggaman Mas Gibran di tanganku tidak mengendur sedikitpun.2 - 0 ya Mbak Clara, hehehe."1 salad sayur dan 1 teh tawar." Ooo ... eat clean seperti artis pada umumnya yang selalu menjaga body. "Kamu pesan apa, Audrey?""Soto ayam dan 1 teh manis," jawabku. "Mas apa?""Nasi padang dengan lauk rendang, otak, dan telur dadar.""Minum apa?""Hot lemon tea," timpal Clara
Setelah seharian menemani Mas Gibran dan bonus makan siang bersama Clara, akhirnya kini aku sudah di dalam mobil berdua bersama Mas Gibran menuju rumahku. "Mas ... ""Hem ... "Aku memberanikan diri menanyakan apa Mas Gibran masih sering bertemu Clara sampai-sampai dia tau bahwa Mas Gibran akan pergi ke London dalam minggu ini?"Mungkin dia tau dari Revan. Aku akan ke London bersamanya.""Revan sepupu Kalian?"Mas Gibran menjawab dengan sebuah anggukan."Mas ... ""Hem ... ""Apa aku boleh tanya sesuatu yg sifatnya sangat pribadi?""Apa?" Mas Gibran langsung melirikku.Aku sebenarnya sangat penasaran dengan perkataan Clara tadi ketika makan siang. Penyanyi semok itu bilang, bulan lalu Mas Gibran masih menginap di apartemennya, em ... apa mereka memang seintim itu? Tapi aku takut Mas Gibran tersinggung. Lagipula kejadian terakhir juga bulan lalu, artinya di saat Mas Gibran belum menjadi kekasihku."Kok malah diam? Katanya mau tanya sesuatu yang pribadi?""Ah, tidak. Aku hanya ingin ta
'Sesuatu yang membuat Kami harus di jalan yang berbeda.'Kalimat itu terus berdengung di pikiranku. Satu detik, satu menit, dan ... Mas Gibran tetap saja bungkam. Tidak ada lagi kelanjutan dari kalimatnya.Ah ... ya sudahlah! Kalau Mas Gibran tidak mau menceritakannya, mungkin dia merasa belum saatnya Aku tau. OK! Yang penting sekarang Aku segalanya 'kan bagi Mas Gibran? Jadi tetap lebih istimewa dari yang istimewa 'kan? Ya ... semoga saja. Amin!Aku memilih kembali melanjutkan menikmati sajian ice cream di hadapanku. Betul kata Mas Gibran, perempuan itu tidak akan pernah membenci ice cream, kecuali dia lagi diet, hehehe."Audrey ... Aku sulit mengungkapkan perasaanku pada seseorang. Tapi kalau sampai Aku berani menyatakan perasaan itu, artinya Aku sungguh-sungguh. Kamu bisa pegang omonganku," ujar Mas Gibran seraya menggenggam tanganku.Akupun mengangguk dan membalas genggamannya. Kutatap manik mata hitamnya. Mencoba mencari kebohongan di sana.Tapi ... entah lah, sorot mata Mas Gibr
Sepanjang perjalanan pulang dari kedai ice cream Bobby menuju rumah, aku terus saja berpikir tentang dugaan kak Mina tentang orientasi sexual Clara. Apalagi ditambah dengan keanehan Mas Gibran yang tiba-tiba memborbardirku dengan banyak pertanyaan mengenai perasaanku terhadap kedua sahabat gesrekku, Shabina dan Mentari. Seakan memastikan bahwa aku tidak memiliki ketertarikan ke sesama jenis.Sontak hal tersebut membuat sel-sel otakku berusaha merangkai puzzle yang ada untuk menemukan jawaban dari kekepoanku ini. Apa memang betul si Clara bisexual? Apa Mas Gibran mengetahui itu? Oleh karenanya hubungan mereka berakhir? Karena walau bagaimanapun rasanya aku belum menemukan alasan yang tepat mengapa mereka mengakhiri hubungan asmara.Seperti yang aku bilang, Clara itu bibit unggul, bobot excellent, dan bebet istimewa. Ditambah lagi cerita masa lalu mereka berdua. 12 tahun, gaes! 12 tahun jelas bukan waktu yang singkat bagi sepasang kekasih menjalin kisah kasih asmara. Pasti banyak kenang
Hari ini adalah hari terakhir Mas Gibran di London. Selama di sana, pria tampan itu selalu menyempatkan waktu itu melakukan facetime denganku walau hanya satu atau dua menit. Kecuali kemarin, Mas Gibran bilang, kemarin dia sedang super sibuk, sehingga tidak bisa walau hanya sekedar sekian detikpun facetime denganku.Okelah, sebagai kekasih yang pengertian, aku tidak mau banyak protes. Kasihan juga Mas Gibran pasti sudah lelah dengan urusan bisnisnya, jadi aku tidak mau menambah level kelelahannya hanya karena rengekan manjaku.Walau sejujurnya rasa rinduku sudah semakin memuncak. Ya namanya juga pasangan kekasih baru yang masih anget-anget kuku. Eh, malah harus berpisah 10 hari. Kemput-kemput rasanya hati ini 'kan!"8,5 dari 10 untuk kopi caramel ini," terdengar suara Shabina di salah satu sudut meja makan rumahku. Aku dan mama sedang mengundang dua komentator terbaik, Shabina dan Mentari, untuk menilai 2 menu kopi dan 1 menu cake terbaru kreasi mama dan Tim Alina Gump."9 dari 10 unt