Share

Bab 5. Aneh

Penulis: Teteh ley
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-22 21:35:59

"Ar,"

"Ya Bu?" Arsya menatapku lewat cermin motornya.

"Ibu kamu nyuruh beli obat untuk kapan?"

"Buat nanti malam, Bu, kalau untuk sore ini kayaknya masih ada," jawabnya dengan nada yang serius. "Memangnya ada apa Bu?"

"Di samping kanan kita ada suami saya dan Tante Elsa, saya mau mengikuti mereka berdua," ucapku sambil menoleh ke arah mereka yang terlihat asyik bercengkerama.

Sesekali Mas Andre mencawil dagunya. Andai saja aku tidak bisa menahan diri, mungkin aku sudah melabraknya. Mempermalukan mereka berdua di depan semua pengendara.

"Boleh, Bu. Tapi kalau menurut saya, ibu jangan pake baju yang ini, nanti Pak Andre curiga."

"Terus saya harus bagaimana?" Belum paham dengan ucapan Arsya. Kalau aku gak pake baju ini, lalu aku harus pake apaan.

"Pake jaket sama kacamata saya, Bu." Arsya membuka jaket yang ia pakai. Tak lupa juga ia memberikan kacamata dan masker yang ia ambil dari tas kecil yang ia bawa. "Ibu gak usah khawatir, jaketnya masih bersih kok," paparnya sambil terkekeh.

Laki-laki berkulit putih tersebut terlihat tampan ketika ia tertawa.

"Terima kasih ya," ucapku. Menerima jaket berikut dengan kacamata dan maskernya. Sedangkan Arsya, ia hanya memakai masker untuk menutupi wajahnya.

Setelah selesai, kami berdua langsung mengikuti dua sejoli yang sudah lebih dulu melajukan roda empatnya.

"Bu, ternyata mereka berdua sehati sama ibu, sama-sama mau ke Mall. Apa ibu mau gabung sama mereka?" tanyanya. Mungkin maksud Arsya apa aku mau melabraknya atau hanya mengikutinya saja.

"Kalau kamu nyuruh saya gabung, lalu buat apa kamu nyuruh saya pake jaket dan masker segala?" tanyaku ketika mendengar pertanyaan Arsya.

"Hehehe." Hanya cengengesan sambil garuk-garuk kepala.

"Suami saya itu pamitnya mau ketemu sama kliennya, eh ternyata malah pergi sama Tante Elsa." Aku mengungkapkan ucapan Mas Andre tadi siang, mulai berjalan mengikuti langkah Mas Andre sama Tante girang, eh Tante Elsa maksudnya.

"Saya ikut apa nunggu si sini, Bu?" tanya Arysa ketika aku sudah mulai mengikuti mereka berdua. Andre sendiri masih berdiri di tempat.

"Ikut, sekalian bawain barang belanjaan saya." Tanpa menoleh ke belakang. Fokus ke dua makhluk yang paling aku benci.

"Siap, Bu." Arsya langsung mengiyakan permintaan-ku. Mengikuti langkahku dari belakang. Khas seperti seorang bodyguard yang tengah menjaga atasannya.

"Kayaknya mereka berdua ke tempat perhiasan deh Bu."

Aku mengangguk. "Ayo ikuti!" ajak ku sambil melangkah menuju tempat mereka berdua berada.

"Sayang, boleh minta yang ini?" Tante Elsa menunjuk sebuah cincin yang harganya akan membuat isi dompet Mas Andre terkuras cukup besar.

Dasar matre.

"Boleh dong sayang, apa sih yang nggak buat kamu." Mas Andre terlihat melingkarkan tangan di pinggang Tante Elsa. Hal yang membuat hati ini serasa terbakar.

Sakit!

Ya tentu saja hatiku sakit.

"Buat maskawin ya Mas?" goda penjual perhiasan ketika melihat dua orang tersebut tengah memilih cincin dan kalung yang akan mereka beli.

"Doain aja ya Bu, semoga bisa secepatnya," jawab Tante Elsa yang langsung di Amini oleh si pemilik toko. Kembali mencoba perhiasan lainnya.

Tes.

Tanpa sadar aku meneteskan airmata. Bohong, jika aku baik-baik saja saat melihat kemesraan mereka berdua.

"Yang sabar ya Bu," bisik Arsya, ia terlihat menatapku iba.

"Aku gak kuat Sya, hatiku sakit." Aku mengusap sudut mataku. Setengah berlari aku pergi meninggalkan Mall tersebut diikuti oleh Arysa dibelakang.

Tahu bakal begini, ngapain aku ikuti mereka. Ternyata aku sudah kalah sebelum berperang.

Ya Allah.... Kuatkan hati hamba.

.

"Bu, ini sudah malam. Apa ibu mau tetap di sini?" tanya Arsya setelah beberapa lama aku menghabiskan waktu di sebuah taman.

"Saya tidak mau pulang, Sya." Aku menjawab pertanyaan Arsya dengan nada yang lirih. Mengusap sudut mata dengan ujung hijab. "Aku sudah kalah sama Tante Elsa. Mungkin sebaiknya aku tidak usah pura-pura kuat dan sabar lagi ya Sya?"

"Kalau ibu mau, saya siap kok jadi bahan pelampiasan." Bukannya menenangkan, Arsya malah berucap yang membuat aku berpikir keras akan ucapannya.

"Maksud kamu?" Aku menoleh ke arahnya.

"Kalau ibu mau, saya siap kok jadi pacar pura-pura ibu." Ia terlihat duduk di sampingku. Menegakkan tubuhnya, lalu melanjutkan ucapannya, "mereka sudah tega berkhianat. Gak ada salahnya kan kalau Ibu membalasnya?"

"Apa rencana kamu?"

"Ada dua pilihan yang bisa ibu lakukan. Pertama, bikin Tante Elsa cemburu dengan kemesraan yang ibu tunjukkan sama Pak Andre. Ke-dua: Ibu balas mereka berdua dengan pura-pura pacaran sama saya."

Boleh juga idenya.

"Lalu?"

"Nanti saya kasih tahu, untuk sekarang lebih baik ibu jalankan misi ini dulu. Percayalah jika saya ada di pihak Ibu."

"Baiklah."

Setelah beberapa saat aku terdiam, akhirnya aku menyetujui saran dari Arsya.

"Nanti di jalan, saya beli obat dulu ya Bu." Sebelum menghidupkan mesin motor, Arsya bilang jika ia mau beli obat dulu buat bi Darsih.

"Iya," jawabku singkat.

.

Setelah membeli obat dari apotek, Arsya kembali melajukan motornya.

"Bu, tidak apa-apa kan kalau ke rumah saya dulu?" tanyanya ketika motor yang dikendarainya hendak masuk ke gang dimana rumahnya berada. "Nanti setelah saya kasih obat sama Mama, saya akan antar ibu pulang ke rumah."

"Iya." Singkat jawabanku.

"Terima kasih, Bu." Arsya kembali melajukan motornya, hingga akhirnya motor tersebut tiba di halaman sebuah rumah yang terlihat sederhana tapi terlihat rapi dan bersih.

Tok tok tok

"Assalamualaikum." Arsya mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah.

"Waalaikumsalam. Tunggu sebentar..." Terdengar suara bi Darsih dari dalam. Tak lama kemudian bi Darsih muncul dari balik pintu dengan wajah yang terlihat kaget.

"Walah, sama Bu Rania rupanya. Masuk Bu!"

Ramah dan sopan bi Darsih menyambut kedatanganku.

"In Syaa Allah, lain kali saya akan mampir." Aku menolak tawarannya dengan nada yang halus.

"Ma, ini obatnya." Arsya menyerahkan bungkusan obat yang ia beli barusan. Setelahnya ia pamit untuk mengantar aku pulang ke rumah.

"Makasih ya Sya," ucapku ketika motor yang dikendarai olehnya tiba di halaman rumah.

"Sama-sama Bu, kalau gitu saya pulang dulu." Arsya kembali naik ke atas motor miliknya. "Kalau Pak Andre ngasih jamu lagi sama ibu, tolong jangan di minum ya Bu."

Aneh, kok Arysa bisa tahu kalau Mas Andre suka ngasih jamu sama aku?

Hanya anggukan kepala dariku. Berjalan menuju pintu masuk.

Namun, angkah kakiku terhenti ketika melihat Mas Andre berdiri di ambang pintu. Tatapan matanya terlihat menyipit ketika melihat motor Arysa keluar dari halaman rumah.

Mas Andre denger nggak ya obrolan kami?

"Ngapain si Arysa ikut campur urusan kita?"

Degh.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 27. Akhir kisah

    Aku terbangun dari tidur saat mendengar Adzan subuh berkumandang. Mata ini rasanya berat banget. Rasa ngantuk masih belum mau pergi. Beberapa kali aku menguap. "Mau kemana?" Baru juga mau bangun, Arsya malah melingkarkan tangannya di pinggangku. Posisi kami berdua tidur di satu selimut yang sama. Matanya masih terpejam sempurna. Wajah khas bangun tidur masih terpampang jelas di hadapanku. "Udah adzan. Aku mau mandi." Bibir berucap demikian lain halnya dengan tubuh yang seakan menikmati momen romantis ini. Menikmati pelukan hangatnya. Suami muda ku ini benar-benar sudah membuat aku dimabuk kepayang dengan sentuhan cintanya. Gak nyangka aku akan dicintai secara ugal-ugalan olehnya. "Sebentar lagi. Masih kangen." Kali ini ia membuka mata. Bibirnya merekah saat aku tengah menatapnya. "I love you." Satu sentuhan kecil ia daratkan di kening. "Terima kasih juga buat yang semalam." "I love you too." Menelusupkan wajah di dada bidangnya. Malu karena Arka teru

  • Obat Herbal Dari Suamiku    bab 26. Menuju ending

    Wanita bertubuh tambun itu terlihat bingung dengan pertanyaan-ku. Sedangkan Bu Maya dan Arsya, keduanya tampak tenang seperti tidak terpengaruh dengan ucapan wanita tersebut. Bahkan keduanya malah tertawa kecil saat melihat ekspresi wajahnya dan wajahku. "I love you." Arsya malah berbisik hal yang membuatku kesal. Bagaimana gak kesal, di saat bingung seperti ini Arsya malah seakan tidak ingin menjelaskan tentang pertanyaan-ku ini. "Nak Rania salah orang kali. Di keluarga kami tidak ada yang namanya Bram." Ia kembali menjelaskan. Entah aku yang lupa atau mungkin wanita tersebut yang lupa. Tapi bodo amat lah, biar nanti saja aku tanyakan langsung sama Bu Maya. Acara keluarga kami berjalan dengan lancar. Ada acara doa bersama yang dipimpin oleh seorang ustadz setempat. Mungkin istilahnya acara malam ini bisa disebut acara resepsi kecil-kecilan yang Arsya lakukan. Ada acara sambutan dari Arsya juga. Dia bilang sudah lama suka sama aku dan berniat untuk menikah

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 25. Siapa Bram?

    Sepanjang perjalanan menuju salon, aku dibuat berpikir keras. Berpikir, seperti apa kehidupan Arsya sampai mau ketemuan saja harus tampil sempurna. Aku juga heran, seperti apa sih kehidupan Arsya di keluarganya. Selian itu, aku juga berpikir, mampukah Arsya bayar salon? Secara perawatan di salon itu cukup menguras isi dompet. Atau mungkin salon kecantikannya yang sederhana dan murah? Sebenarnya siapa sih sosok Suami dadakan ku itu? Dia hanya datang pake motor tapi sering kali beli makanan atau keperluan rumah yang harganya diluar isi pikiran ku. Lamunanku buyar saat motor yang dikendarai oleh Arsya tiba di halaman salon kecantikan. Sebuah salon kecantikan yang menurut aku hanya bisa digunakan oleh orang berduit saja. "Kenapa?" Arsya menatapku. Melihatku hanya bengong di tempat. "Yakin mau kesini?" Takutnya Arsya gak bisa bayar. Nanti aku juga yang malu karena sudah sok menginginkan kecantikan dan perawatan tapi gak mampu bayar. "Seratus persen

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 24. Suamiku

    Akhirnya, setelah beberapa kali aku membujuk, Arsya mau mengantar aku ke restoran dimana aku bekerja selama ini. "Maaf ya, gak bisa antar sampai dalam." Ucapan Arsya saat aku mencium punggung tangannya. Senyum di bibirnya tak pernah lepas. Nada cintanya terus menerobos masuk lewat tatapan matanya. Memaksa aku supaya membalasnya. "Nggak papa, Mas." Aku tersenyum tulus. Pamit masuk kedalam restoran. "Selamat Pagi, Bu Rania." Masuk kedalam restoran, aku langsung disambut oleh sapaan hangat dari Leni. Mengekor langkahku dari belakang. "Pagi Len. Apa hari ini ada orderan dari Klein baru?" Menapaki anak tangga satu persatu menuju lantai atas. Menuju sebuah ruangan dimana aku bekerja selama ini. Kerjaan aku meng-input data pengeluaran dan pemasukan barang berikut jumlah uang hasil dari penjualan kami. Baik yang hari ini maupun yang Minggu lalu. "Kalau dari luar gak ada, Bu. Tapi tadi pagi Bu Maya telpon saya untuk menyiapkan makanan untuk tamu undangannya.

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 23. kesiangan bangun

    Melihat pintu kamar mandi dibuka, buru-buru aku menyimpan kembali ponsel Arsya di meja. Pura-pura tidak tahu siapa yang sudah menghubunginya. Biar waktu yang akan menjawab semuanya. Andai saja bi darsih bukan ibu kandungnya, aku yakin ada hal yang membuat Arsya berbuat demikian. Pasti akan ada alasan lainnya. Mendengar ponsel miliknya berbunyi, Arsya langsung mengambilnya. Menatap lalu mengangkatnya. Obrolannya juga biasa-biasa saja, tidak layak seperti seorang anak sama ibunya. Selepas itu ia kembali mematikannya. Lebihnya lagi, Arsya tidak bicara apa-apa soal bi darsih. Obrolan kami dilanjut setalah selesai makan malam. Kini, posisi kami berdua sudah berada di dalam kamar tidur. Lebih tepatnya kami duduk sedikit berjauhan. Kalau ditanya alasannya, ya malu. Rasanya agak gimana gitu, tiba-tiba saja harus jadi istrinya Arsya secara mendadak. "Mbak, ehh Rania maksudnya." Arsya tampak ragu dengan panggilannya. Sepertinya gak biasa manggil aku dengan sebutan nama.

  • Obat Herbal Dari Suamiku    bab 22. Sah

    "Kami berdua tidak berbuat sesuatu, Pak." Aku berusaha untuk menjelaskan prihal kejadian barusan. Posisi kami sekarang berada di rumah Pak RT. Setelah ketahuan oleh dua laki-laki yang kebetulan lewat. Setelah itu kami berdua digiring ke rumah Pak RT yang ada di ujung jalan. Keadaan lampu juga sudah kembali menyala. "Halah, pake ngeles segala. Sudah ketahuan juga." Laki-laki bertubuh kurus langsung menyela penjelasan ku. Tatapan matanya terlihat jijik seiring dengan seringai kecilnya. "Lagian buat apa juga kami bohong, gak ada manfaatnya buat kami." Menoleh ke arah temannya yang langsung menganggukkan kepala. "Tapi Pak, kami benar-benar tidak melakukannya." Aku masih kekeh dengan pendirianku, menoleh ke arah Arysa yang hanya diam saja. Pura-pura sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lakukan. Yang jelas aku sedikit kesal dengan tingkahnya. Bukannya ikut menjelaskan kek, apa kek. "Panggil Pak penghulu sama Pak ustad." Setelah anget obrolan kami, Pak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status