"Saya ... " kata seseorang yang baru masuk ke ruangan itu.
"Reynand ...? Jadi kamu yang meminta Om Wira untuk uji lab?" tanya Maya. Reynand adalah asisten pribadi Maya dan sudah satu tahun bekerja padanya."Iya, Nona. Maaf jika saya tidak meminta ijin terlebih dahulu," jawab asisten pribadinya itu sambil duduk di kursi samping Maya."Iya, dengan sedikit memaksa juga waktu itu kan, Rey?" kali ini Dokter Wira yang berbicara sambil tersenyum."Iya Om, maaf. Karena saya tahu kinerja Om Wira itu seperti apa. Selama masa terapi yang Nona Maya lakukan, sedikitpun tidak ada tanda-tanda kemajuan. Saya jadi curiga. Harusnya dua minggu menjalani terapi, Nona Maya sudah membaik. Tapi ini malah semakin drop."Reynand benar, siapa yang tidak kenal dengan Dokter Wiratama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu sangat terkenal di dunia kedokteran. Mempunyai pasien paling banyak dan rata-rata semuanya puas dengan kinerja dokter berambut ikal yang sudah mulai ditumbuhi uban itu.Maya membenarkan kata Reynand. Dua minggu dia melakukan terapi pengobatan, harusnya dia sudah mulai membaik. Bukannya semakin drop seperti sekarang ini.Maya mulai sering sakit semenjak ditinggal Ayah tercinta untuk selama-lamanya enam bulan yang lalu. Jiwanya terguncang, dia belum siap kehilangan orang yang paling dia sayangi. Dan itu berpengaruh pada kesehatannya. Baru setelah menjalani berbagai cek kesehatan, dua minggu yang lalu Maya divonis menderita autoimun."Terus gimana dong ini, Om? Gimana Rey?" kata Maya panik sambil melihat mereka bergantian."Tenang, Nona. Kita pikirkan hal ini pelan-pepan," kawab Reynand."Tenang-tenang ngawur kamu," kali ini Maya sewot lalu memukul punggung Reynand dengan clutch di tangannya, "ini taruhannya nyawa loh bisa-bisanya disuruh tenang.""Auw ... sakit, Nona," Reynand meringis. Tapi diam-diam tersenyum tanpa sepengetahuan Maya. Reynand lalu menunjukkan sesuatu dalam genggaman tangan kanannya. Reynand paling tahu apa yang dibutuhkan Maya disaat dia sedang panik begini."Lohhh ... squishy-ku? Aku cari-cari nggak ada loh ini tadi. Kok bisa ada di kamu?""Ketinggalan di kamar, tadi sebelum ke sini saya cek ke kamar dulu, ternyata Nona sudah ada di sini." jawab Reynand."Lain kali tunggu saya, Nona. Untung itu hidung melekat, kalau tidak mungkin juga ketinggalan."Sengaja dia ingin menggoda Nona Mudanya itu. Reynand suka sekali dengan reaksi gemas Maya tiap kali Reynand bertingkah jahil, seperti sekarang ini. Maya bersungut-sungut makin sewot."Sudah-sudah jangan gaduh. Tapi memang benar kata Reynand, dalam situasi seperti ini kita tidak boleh gegabah. Sementara nanti aku kasih obat penetralisir racunnya dulu. Sambil kita lihat perkembangannya berikutnya ya," kata Dokter Wira berwibawa."Dan kamu Rey ... pastikan Maya tidak meminum obat yang diberikan Bram lagi. Entah bagaimana caranya kamu atur sendiri. Yang jelas jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Jangan sampai orang-orang tahu kalau Maya tidak meminum obat itu," lanjutnya"Siap laksanakan, Om. Sesuai arahan," kata Reynand sambil memberi tanda hormat dengan tangannya.Maya ikut tersenyum, ada perasaan tenang dalam hatinya mendengar kesungguhan Reynand.Beruntung sekali dia mempunyai Reynand sebagai asisten pribadi yang selalu siap membantu pekerjaannya. Banyak hal di-handle Reynand dengan sangat baik. Bukan hanya pekerjaan kantor saja, untuk hal pribadi yang menyangkut keamanannya, Reynand akan pasang badan paling depan untuk melindungi Maya.Pernah suatu ketika Andini mengamuk hanya karena handuknya terpakai oleh Maya. Andini marah besar sampai mengacungkan pisau dapur yang dia rebut dari tangan Bi Munah dan diacungkan ke arah Maya. Dengan sigap Reynand merebut pisau dari tangan Andini. Pisau berhasil direbut tapi tangan Reynand terluka.Maya lalu menoleh memandang Reynand dengan seksama. Diam-diam dia mengagumi wajah tampan yang ada di sampingnya ini. Reynand dibawa papanya sekitar satu tahun yang lalu. Ketika itu Maya baru saja pulang dari Malaysia."Maya, sini Nak. Papa kenalkan kamu dengan seseorang."Maya yang sedang mempelajari beberapa berkas di ruangannya lalu berdiri mendekat ke arah papanya."Siapa ini, Pa?" tanya Maya memperhatikan lelaki yang berdiri di samping papanya itu."Namanya Reynand. Dia ini nanti yang akan membantu kamu. Baik urusan kantor maupun urusan pribadi."Maya maju selangkah untuk lebih dekat dengan lelaki yang dibawa papanya ini. 'Mmhh ... ganteng juga, badannya kekar dan gagah. Kulit sawo matang, hidung mancung, tinggi sekitar 180 cm. Tinggi sekali,' batin Maya.Mata mereka bertemu. Sesaat Maya tenggelam dalam manik hitam menghanyutkan itu. Seperti ada sebuah danau yang dalam mendamaikan. Maya seperti tidak asing dengan pandangan mata itu. Maya berusaha mengingat sesuatu tapi buntu."Maya ...," panggil papanya setelah Maya hanya diam memperhatikan Reynand."Eh ... i ... iya, Pa," Maya gelagapan , "jadi ini asisten pribadi Maya?""Ya ... benar sekali.""Tapi Maya nggak butuh asisten, Pa. Maya bisa sendiri. Di Malaysia juga Maya kerja sendiri tanpa asisten. Maya nggak mau ah, kayak anak kecil aja mesti dibantu-bantu.""Di sini lain, Sayang. Situasinya berbeda.""Tapi, Pa ....""Eits ... tidak boleh menolak. Percaya sama Papa, kamu akan sangat membutuhkan bantuan Reynand nantinya. Satu lagi, Reynand ini bekerja langsung sama Papa. Jadi kamu, Bram, Mama ataupun yang lainnya tidak bisa memberhentikan Reynand. Oke, cantik?" kata Pak Wijaya tersenyum.Dia tahu Maya pasti akan menolak, itu sebabnya dia membawa orang kepercayaannya langsung. Dia sangat kenal karakter anak gadisnya itu. Dia gadis yang sangat tangguh, mandiri dan brilliant.Mengingat papanya tiba-tiba kepala Maya berdenyut. Telinganya berdengung kencang, seperti ada suara-suara sangat riuh yang tidak bisa ditejemahkan. Maya memegang kepalanya yang terasa sangat pusing."Anda baik-baik saja, Nona?" tanya Reynand khawatir."Kamu kenapa, Maya?" Dokter Wira tak kalah khawatir.Maya merasa kepalanya berdenyut semakin kuat. Suara Reynand dan Dokter Wira tenggelam oleh riuh di dalam telinganya. Pandangannya kabur kemudian gelap. Dan Maya ambruk tak sadarkan diri.Bersambung ....Duuh ... kasian sekali Maya ya.Untung punya Reynand he he he ...Jangan lupa tap love dan komen ya.Terima kasih.Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
Reynand sengaja bangun lebih pagi dan berkutat di dapur. Dia membuat bubur untuk Maya. Mudah-mudahan hari ini keadaanya sudah membaik. Beruntung hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak diburu pekerjaan.Berbeda dari biasanya, kali ini Reynand membuatkan bubur sumsum. Yaitu bubur khas Jawa Tengah yang dibuat dari tepung beras dengan kuah yang terbuat dari rebusan gula jawa dan daun pandan sebagai pewangi.Masakan simpel itu hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja. Setelah siap Reynand membawa bubur itu ke kamar Maya.Reynand mengetuk pintu meskipun kamar Maya terlihat terbuka. Dilihatnya gadis cantik itu tengah memilih-milih buku. Maya memang mewarisi hobi ayahnya yang suka membaca. Berbagai buku dari mulai filosofi, fiksi, hukum, dan motivasi berjajar rapi dalam rak sudut di pojok kamarnya.Tok ... tok ... tokMaya menoleh untuk melihat siapa yang datang. "Masuk, Rey." Maya memasukkan kembali buku seri dari Chicken Soup For The Soul ke dalam rak karena tahu Reynand memba
Reynand panik begitu mendapat telfon dari Mang Darto. Rasa bersalah tiba-tiba menguasai hatinya. Tapi tadi pagi nonanya itu baik-baik saja. Sakit apakah? Apakah racunnya menyerang lagi? Apakah Maya lupa meminum obat penetralisir racun pagi tadi? Wah ... bahaya kalau memang situasinya seperti itu. Meskipun efeknya halus tapi tetap saja membahayakan keselamatannya. Itulah makanya dia selalu menjaga Maya selama ini. Karena jiwa gadis itu terancam. Bukan cuma dari musuh-musuh bisnisnya tapi juga dari racun yang ada di dalam rubuhnya."Loh, memang nona sakit apa Mang? Tadi baik-baik saja. Bukannya nona masih di kantor? Kok sudah sama Mang Darto? Memang sekarang nona di mana Mang?" Reynand memberondong dengan banyak pertanyaan.[Mamang nggak tau, Den. Tadi tuh nona telpon Mamang minta diantar ke butik. Suruh jemput di lobi kantor. Tapi begitu Mamang datang Nona nangis, kepalanya sakit katanya. Terus minta pulang saja. Den Reynand di mana ini? Sebaiknya segera pulang, Den]"Saya masih di ka
"Nona, Anda baik-baik saja?" Mang Darto tiba-tiba sudah berdiri di belakang Maya. Dia menepuk pundak nona mudanya itu sangat pelan agar tidak mengejutkannya.Maya buru-buru menghapus air matanya tanpa menoleh ke arah Mang Darto. Dia malu kalau sampai Mang Darto memergokinya menangis tanpa alasan yang jelas.Kemudian dia menarik nafas dalam untuk menetralisir sesak di dadanya. Sambil tersenyum dia menoleh."Ah iya, Mang. Sa-saya hanya pu-pusing sedikit. Iya ... pusing, Mang. Hehe ...."Ah pasti jelek sekali mimik mukanya saat ini. Mudah-mudahan Mang Darto tidak menyadari kalau tadi dia menangis."Loooh ... pusing kok malah minta diantar ke butik? Nona sudah makan? Atau Mamang antar pergi makan dulu saja?"Soal perhatian Mang Darto dan Bik Munah jagonya. Perasaan sayang mereka ke Maya juga tulus. Maya sungguh bersyukur memiliki dua orang itu. Kalau saja tidak sedang berada di lobi pasti air matanya makin tumpah saat itu j
"Selamat pagi, Bu Maya," sapa Pak Johan ramah.Lelaki berumur sekitar 45 tahun itu memang selalu murah senyum. Pelayanannya yang cepat dan baik hati membuat Maya nyaman bekerja sama dengannya."O iya, selamat pagi juga, Pak Johan. Mari silahkan. Kita duduk di kursi sebelah sana saja ya."Maya mempersilahkan Pak Johan duduk di ruang khusus untuk menerima tamu. Tak lama berselang datang Karin membawakan dua cangkir kopi latte dengan sedikit kue untuk cemilan."Mari silahkan kopinya, Pak. Kita ngobrol santai saja ya.""Iya, terima kasih, Bu Maya."Pak Johan mengeluarkan berkas perceraian Maya dengan Bram. Ada beberapa lembar yang perlu ditanda tangani."Maaf, Pak. Ini saya terima jadi saja loh ya. Untuk biaya saya ngikut aja. Maaf karena jadwal saya padat, jadi saya mohon kerja samanya.""Bu Maya tenang saja. Setelah proses penandatangan ini, surat cerai akan segera kami proses dan kami kirim ke alamat ibu. Setelah itu selesai. Silahkan Bu Maya tanda tangan di sini."Pak Johan menunjukka
Setelah lebih dari tiga hari istirahat di rumah, hari ini akhirnya Maya datang ke kantor. Selain ada temu janji dengan pengacaranya yaitu Pak Johan, ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Termasuk koordinasi dengan EO yang menangani pelaksanaan Gathering Perusahaan sebentar lagi.Maya tampak anggun melangkah memasuki kantor. Gadis cantik itu mengenakan kemeja putih dengan hiasan syal kecil untuk mempermanis penampilannya. Celana kulot berwarna coklat mocca dengan blazer warna senada membuat penampilannya semakin mempesona. Rambutnya yang panjang dia buat agak curly agar kelihatan lebih feminim.Di belakangnya tanpak Reynand yang selalu setia mendampingi orang nomor satu di Wijaya Corp itu. Setelan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja tanpa dasi berwarna putih membuat penampilannya hari ini tampak memukau. Wajah tampan khas asli orang Indonesia tak membuatnya kalah dengan wajah-wajah blasteran Indo. Reynand memang memiliki khar