Maya memalingkan muka. Omaigot malu sekali rasanya. Reynand memergokinya menangis karena alasan yang konyol. Entah harus sedih atau bahagia dia kali ini. Yang jelas dia malu pada Reynand karena mendapati keadaanya kacau seperti ini.Ah sudah terlanjur ketahuan, biar sajalah. Namun Maya masih bingung harus berkata apa. Reynand memgambil kursi dan duduk di hadapannya saat ini."Berhenti nangisnya, kita ke butik kalau memang kamu mau ke butik. Aku antar, tapi janji nggak nangis kayak gini."Ah manis sekali sih sikap Reynand ini. Membuat Maya membuncah di dalam hati. Entah kemana larinya semua kosakata yang ada di otaknya, sehingga Maya tidak bisa menyusun kalimat yang tepat untuk dikatakan saat ini.Reynand mendekat untuk menghapus air mata dengan tisu yang masih dipegangnya. Pipi Maya memerah mendapat perhatian yang manis seperti itu."Aku bisa sendiri," katanya meraih tisu dari tangan Reynand. Dia tidak mau Reynand menyadari pipinya yang semakin merona karena malu."Kita sarapan dulu s
"Maaf kalau Om harus menyampaikan hal ini, Maya. Tapi hasil lab memang mengatakan demikian. Memang ada racun dalam obat yang kamu konsumsi selama ini," jelas Dokter Wira setelah menerima hasil uji lab obat yang dikonsumsi Maya.Dokter Wira adalah dokter keluarga Maya sekaligus sahabat almarhum papanya."Tapi siapa, Om? Siapa orang yang tega melakukan hal ini?" Maya berkata lemah. Saat ini Maya tengah berada di ruang Dokter Wira, menunggu dijemput untuk pulang setelah tiga hari dirawat di rumah sakit.Butiran air mata nampak meleleh di kedua pipinya. Maya tak menyangka ada orang yang tega meracuni dirinya. Disaat dia berjuang melawan penyakit autoimun yang dideritanya, justru dia dihadapkan pada kenyataan pahit. Ada orang yang menginginkan dia mati.Maya coba mengingat siapa kira-kira yang tega berbuat jahat kepadanya. Obat itu diantarkan suaminya ke kamar setiap pagi. Ditaruh dalam sebuah piring kecil dan diletakkan di meja dekat jendela kamarnya. Tidak mungkin rasanya kalau Mas Bram y
"Saya ... " kata seseorang yang baru masuk ke ruangan itu."Reynand ...? Jadi kamu yang meminta Om Wira untuk uji lab?" tanya Maya. Reynand adalah asisten pribadi Maya dan sudah satu tahun bekerja padanya."Iya, Nona. Maaf jika saya tidak meminta ijin terlebih dahulu," jawab asisten pribadinya itu sambil duduk di kursi samping Maya."Iya, dengan sedikit memaksa juga waktu itu kan, Rey?" kali ini Dokter Wira yang berbicara sambil tersenyum."Iya Om, maaf. Karena saya tahu kinerja Om Wira itu seperti apa. Selama masa terapi yang Nona Maya lakukan, sedikitpun tidak ada tanda-tanda kemajuan. Saya jadi curiga. Harusnya dua minggu menjalani terapi, Nona Maya sudah membaik. Tapi ini malah semakin drop."Reynand benar, siapa yang tidak kenal dengan Dokter Wiratama, Dokter Spesialis Penyakit Dalam itu sangat terkenal di dunia kedokteran. Mempunyai pasien paling banyak dan rata-rata semuanya puas dengan kinerja dokter berambut ikal yang sudah mulai ditumbuhi uban itu.Maya membenarkan kata Reyna
Maya pingsan, untung ada Reynand di sampingnya yang sigap menagkap tubuh Maya."Gimana ini, Om?" tanya Reynand. "Bawa ke UGD aja dulu, Rey. Ini hanya efek dari racun itu saja kok. Nanti setelah sadar baru dibawa pulang."Reynand menggendong Maya ke ruang UGD. Sekitar sepuluh menit Maya akhirnya sadar. Maya mengerjapkan mata untuk memperjelas pandangannya. Dia melihat Reynand yang tersenyum berdiri di samping tempat tidur.."Nona sudah baikan?""Aku dimana Rey?""Nona di ruang UGD, tadi Nona pingsan.""Terus aku harus dirawat lagi?""Tidak, Nona. Ini hanya efek dari racun itu saja. Kata Om Wira, setelah minum obat penetralisir racun, Nona akan baik-baik saja. Nona memang harus bersabar untuk sementara waktu. Karena efek samping dari racun itu akan terus Nona rasakan sebelum racunnya benar-benar bersih dari tubuh Nona."Maya berusaha bangun, Reynand membantunya sampai bisa duduk dengan benar."Nona masih lemah. Tapi sudah boleh pulang. Saya sudah memanggil perawat untuk membawakan kurs
Maya sudah merasa jauh lebih baik. Rencananya dia akan ke kantor hari ini. Dia sedang duduk di kursi rias ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya."Masuk," jawab Maya."Selamat pagi, Nona."Ah ... ternyata Reynand yang datang. Dari cermin rias dia melihat Reynand datang mendekatinya lalu berdiri tepat di belakangnya.Maya memejamkan mata sebentar, menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari tubuh asistennya. Maya sangat menyukai aroma citrus itu. Desiran itu datang lagi. Desiran aneh tiap kali berdekatan dengan Reynand. Entahlah, Maya juga tidak tahu apa."Nona, agenda Anda pagi ini adalah bertemu dengan Pak Kevin, dari PT Global Blue. Beliau ingin membicarakan kelanjutan kerjasama pembuatan iklan untuk produk kecantikan dari klien kita. Terus agenda siang nanti Anda akan ...."Reynand menghentikan laporannya karena Maya mengangkat tangan isyarat Reynand harus berhenti memberikan laporan."Rey, bisa nggak kalau satu agenda saja? Kalau dua agenda kayaknya aku belum kuat d
Mang Darto menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk Kafe Biru, tempat yang disepakati Kevin untuk pertemuan mereka pagi ini. Kafe Biru memang benar-benar berwarna biru, mulai dari warna dinding, meja kursi, lampu, hiasan, dan pernak-perniknya semua bernuansa biru. Begitu masuk ke dalam kafe mereka disambut musik slowrock yang mengalun pelan. Membuat para pengunjung betah berlama-lama duduk sambil mengobrol dengan teman ataupun rekan kerja. Maya dan Reynand berjalan beriringan menuju meja resepsionis. "Atas nama Bapak Kevin?" tanya Reynand pada pelayan di situ. "O iya, Bapak Kevin sudah menunggu di ruang VVIP, mari saya antar," jawab pelayan itu ramah. Mereka dibawa masuk ke arah pintu sebelah kiri kafe, melewati beberapa gazebo out door dan ruang meeting. Mereka tiba pada sebuah ruangan tertutup dengan pernak-pernik bulan dan bintang yang juga berwarna biru tua. "Silahakan Tuan ... Nyonya. Bapak Kevin sudah menunggu di dalam," kata pelayan itu. "Terima kasih," jawab Maya da
Reynand duduk di depan Maya sambil membolak-balik berkas kerjasama dengan Kevin. Dia tidak berani banyak bicara karena nona mudanya sedang merajuk."Nona, jangan marah begini-lah. Saya minta maaf," kata Reynand pasang muka memelas.Saat ini mereka sudah berada di kantor seusai acara sarapan di Kafe Biru bersama Kevin.Maya diam, masih terus menandatangi berkas-berkas yang menumpuk di mejanya tanpa mempedulikan kata-kata Reynand."Pak Kevin berpesan kepada saya untuk menyampaikan seperti itu. Dia ingin melihat berkas kerjasama untuk mengetahui sudah sejauh mana pengerjaan proyek ini.""Dan kamu mengiyakan begitu saja?""Saya tidak tahu kalau ternyata bukan berkas itu yang Pak Kevin inginkan. Sumpah, Nona. Beneran saya tidak tahu."Maya menaruh berkas ditangannya agak sedikit kasar dan menatap tajam asistennya. Reynand blingsatan, dia menunduk salah tingkah."Diam kamu, lain kali kalau ada appointment konfirmasi dulu. Selalunya kan juga begitu, Rey. Atau jangan-jangan kamu kerjasama ya s
"Mama ...?" Maya kaget melihat Mama Widya berada di dalam ruang Bram."Kok Mama ada di sini? Ngapain?"Maya heran karena tidak biasanya ibu tirinya itu datang ke kantor. Widya memang salah satu pemegang saham di perusahaan tapi bukan tipe yang suka mencampuri urusan pekerjaan.Justru cenderung malas berurusan dengan seluk beluk perusahaan. Dia hanya datang ketika ada rapat pemegang saham saja. Selebihnya semua urusan pekerjaan dia serahkan ke staf-stafnya. Jadi agak mengherankan ketika tiba-tiba mama tirinya itu berada di kantor sepagi ini.Semenjak ditemukan fakta bahwa obatnya mengandung racun, Maya memang mulai berhati-hati dengan siapapun. Biarpun itu keluarganya sendiri. Maka tidak salah jika sekarang Maya juga menaruh curiga terhadap mama tirinya.Entah apa yang sedang direncanakan oleh Widya dan suaminya, yang jelas saat ini Maya harus waspada."Oo ini Mama lagi ada perlu sebentar sama Bram. Tadi Mama nyari di rumah nggak ada, kata Bi Munah suamimu ini berangkat pagi, jadi Mama