Share

Tersangka Pertama

Maya pingsan, untung ada Reynand di sampingnya yang sigap menagkap tubuh Maya.

"Gimana ini, Om?" tanya Reynand. 

"Bawa ke UGD aja dulu, Rey. Ini hanya efek dari racun itu saja kok. Nanti setelah sadar baru dibawa pulang."

Reynand menggendong Maya ke ruang UGD. Sekitar sepuluh menit Maya akhirnya sadar. Maya mengerjapkan mata untuk memperjelas pandangannya. Dia melihat Reynand yang tersenyum berdiri di samping tempat tidur..

"Nona sudah baikan?"

"Aku dimana Rey?"

"Nona di ruang UGD, tadi Nona pingsan."

"Terus aku harus dirawat lagi?"

"Tidak, Nona. Ini hanya efek dari racun itu saja. Kata Om Wira, setelah minum obat penetralisir racun, Nona akan baik-baik saja. Nona memang harus bersabar untuk sementara waktu. Karena efek samping dari racun itu akan terus Nona rasakan sebelum racunnya benar-benar bersih dari tubuh Nona."

Maya berusaha bangun, Reynand membantunya sampai bisa duduk dengan benar.

"Nona masih lemah. Tapi sudah boleh pulang. Saya sudah memanggil perawat untuk membawakan kursi roda. O iya tadi Om Wira pamit karena harus visit pasien."

Maya mengannguk mendengar penjelasan Reynand. Tak berapa lama perawat yang dimaksud datang membawakan kursi roda.

"Biar saya saja," kata Reynand pada perawat yang akan mendorong Maya.

Sesampainya di mobil Reynand membuka pintu belakang dan bersiap mau menggendong Maya.

"Eh ... gak usah digendong. Aku bisa jalan Rey. Cuma masuk mobil aja kok."

Maya sungkan. Tidak ... lebih tepatnya Maya menghindari desiran halus di hatinya yang selalu datang setiap kali berdekatan dengan Reynand.

"Nona masih lemah, jangan terlalu dipaksakan."

"Udah nggak pa-pa. Bantuin jalan aja."

Nah kan ... desiran ini entah apa Maya tidak tahu. Yang jelas dia sangat bahagia mendapatkan perlakuan istimewa dari Reynand. Berbeda sekali dengan suaminya, yang entah sekarang berada dimana. Harusnya kan dia yang menjemput Maya dari rumah sakit.

"Kita masuk lewat gerbang samping saja ya, Nona. Langsung ke paviliun. Tadi saya sudah menghubungi Mang Darto untuk membuka gerbang samping," ucap Reynand setelah mobil mereka memasuki area rumah.

Maya yang duduk di kursi belakang tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Reynand melirik dari kaca spion depan. Maya terlihat murung.

"Anda baik-baik saja, Nona?" Maya tak menjawab. Akhirnya Reynand memilih diam.

Mang Darto menyambut kedatangan mereka di gerbang samping. Reynand melajukan mobil pelan dan berhenti tepat di depan paviliun yang ditempati Maya.

Reynand membukakan pintu untuk Maya dan bermaksud menggendongnya.

"Rey ... aku bisa sendiri," sekali lagi Maya menolak.

Reynand mengalah dan membiarkan Maya turun sendiri. Baru berjalan beberapa langkah kaki Maya goyah. Sebelum jatuh Reynand berhasil menangkap tubuh Maya.

"Bandel ...," kata Reynand pelan. Lalu menuntun Maya, mereka beriringan masuk ke paviliun.

"Apa tadi kamu bilang?" tanya Maya sambil berpegangan pada lengan Reynand yang kokoh.

"Nona tidak boleh kemana-mana sebelum sembuh benar. Semua keperluan Nona akan disiapkan Bi Munah. Urusan kantor biar saya yang handle."

"Bukan itu ...."

"Saya tidak mengatakan apa-apa Nona."

"Ah tadi aku dengar kok."

"Tidak." 

Maya memilih diam daripada bedebat. Reynand tersenyum merasa menang. Sikap manja Maya membuat Reynand senang sekali menggoda Nona Mudanya ini.

Bi Munah sudah menunggunya di kamar. Wanita separuh baya itu sangat mengkhawatirkan keadaan Maya.

"Non, gimana? Udah baikan? Sini-sini cepat berbaring. Nona masih harus banyak istirahat," katanya sambil memegang dahi Maya.

"Bibik ini apaan sih, kayak anak kecil aja pakai dipegang dahi. Aku udah pulang itu tandanya aku udah sehat, Bik."

Bi Munah tersenyum penuh kasih sayang.

"Ya udah, Bibik buatin sup ya, Non. Biar badannya hangat."

Maya mengangguk, Bi Munah lalu keluar ruangan untuk membuatkan sup. Ketika melewati Reynand Bi Munah tersenyum dan melirik penuh arti.

Bram yang mengetahui Maya sudah pulang ke rumah, langsung masuk ke kamar dengan terburu-buru lalu duduk di samping Maya.

"Sayang, gimana? Udah sehat? Maaf ya, di kantor banyak sekali kerjaan. Jadi aku nggak sempat jemput kamu." kata Bram sambil meraih tangan Maya.

Reynand yang menyaksikan pemandangan itu merasakan sedikit nyeri di dadanya. Reynand merasa Bram telah mengabaikan Maya. Sepenting itukah pekerjaannya sampai mengabaikan istrinya sendiri.

"Nggak pa-pa kok, Mas. Aku udah baikan, lagi pula ada Reynand," kata Maya lemah.

"Lain kali tolong sempatkan waktu untuk Nona, Tuan," entah kenapa Reynand nyeletuk begitu saja. Ada nada tidak terima di situ.

Bram tersulut emosi. 'Bisa-bisanya dia mengajari aku. Dasar tak tahu diri' katanya dalam hati. Bram berdiri dan berkacak pinggang lalu mendekati Reynand 

"Eh ... jaga omongan kamu ya. Kamu tahu apa soal aku, hah? Pandai sekali kamu bicara. Jangan karena kamu asisten pribadi Maya terus kamu bisa ngomong seenaknya seolah kamu tahu semua tentang kehidupan Maya. Aku ngurus kerjaan, bukan jalan-jalan, paham?"

"Sudahlah, Mas. Nggak usah diributkan," kata Maya tidak ingin terjadi keributan di kamarnya.

"Dia ini nih yang cari gara-gara. Sekarang sebaiknya kamu keluar. Jangan terlalu ikut campur urusanku dengan istriku."

Reynand juga sebenarnya geram, ingin rasanya ditonjok muka si Bram itu kalau tidak mengingat kesehatan Maya. Dia kemudian mendekati Maya dan membungkuk hormat.

"Saya permisi, Nona. Kalau perlu apa-apa saya ada di luar."

Maya hanya mengangguk pelan. Setelah Reynand keluar Bram kembali duduk si samping Maya.

"Mau kurang ajar dia ini. Sembarangan ngomong," Bram menggerutu sendiri.

"Sudahlah, Mas. Jangan terlalu diambil hati. Reynand kan hanya menjalankan tugasnya."

"Kamu juga, jangan terlalu dikasih hati dong. Jadi ngelunjak kan?"

"Duuhh ... cekepnya kalau lagi cemburu," kata Maya sambil mencubit lembut pipi suaminya. Berharap dengan sikap manis seperti itu hati Bram melunak dan balas memberikan perhatian.

"Yeee ... siapa juga yang cemburu. Aku cemburu sama dia? Nggak level lah."

"Nggak mau ngaku nih?"

Maya memperhatikan ekspresi yang diberikan Bram. Datar saja, biasa saja. Ah sepertinya Maya terlalu berharap suaminya ini sedikit memberikan perhatian manis sepeti Reynand memperlakukannya.

Eh ... kenapa jadi Reynand lagi? Hatinya bertanya. Suaminya Bram tapi Reynand yang selalu memberikan perhatian.

"O iya, Sayang. Besok aku berangkat ke kantor lebih awal. Ada berkas yang harus aku selesaikan. Biasanya aku bawa pulang, tapi ini tadi buru-buru karena pengen cepet ketemu kamu. Obatnya nanti aku taruh di tempat biasa ya. Jangan lupa diminum."

Tuh kan, baru saja Maya ingin bermanja Bram sudah membahas soal kerjaan. Membuat mood hilang saja.

"Kata Om Wira udah nggak perlu lagi minum yang itu kok, Mas. Ini tadi dibawain resep yang baru."

"Kok gitu? Nggak bisa dong. Kamu harus tetap minum obat yang biasanya. Kalau nggak bisa panjang urusannya, Maya. Obat itu kan sudah ada ...."

Bram menutup mulut menghentikan kalimatnya.

"Sudah ada apanya, Mas?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status