Cantik itu luka.
Kecantikan adalah kemalangan bagi si miskin.
Kecantikan bagai pedang bermata tua bagi perempuan yang tidak mempunyai kekuasan. Berkah sekaligus kutukan.
Bagi perempuan seperti Elea, kecantikan bukanlah tiket menuju kebahagiaan. Sebaliknya kecantikan adalah belenggu yang membuatnya terjerat dalam obsesi dan hasrat seorang pria yang memiliki segalanya. Seorang pria yang menganggapnya properti, bukan manusia.
Kecantikan telah membuat Elea kehilangan kebebasannya, tubuhnya, bahkan dirinya sendiri. Dia tahu, dalam dunia yang tidak adil ini, kecantikan tanpa harta atau kuasa hanyalah perangkap yang menyilaukan.
Betapa ironis.
Kecantikan yang selalu mendatangkan pujian dari banyak orang — entah itu secara tulus atau tidak — kini menjadi penyebab pria seperti Rendra Adiguna Kartanegara menjadikannya boneka hidup dalam genggaman.
Pria itu selalu mengagumi kecantikannya. Elea tahu itu. Memuja tubuhnya. Elea lebih mengetahui itu. Sebabnya pria itu begitu terobsesi kepadanya hanya karena wajah dan tubuhnya.
Awalnya Elea menerima itu dengan hati yang lebih tegar karena menganggap obsesi Rendra tak akan lama bertahan, sekedar keinginan pria kaya yang sedang terpesona.
Masih banyak perempuan yang lebih cantik dengan tubuh yang tak kalah indah, ditunjang dengan latar belakang yang pastinya lebih pantas bersama lelaki itu. Dengan pemikiran itu, Elea menganggap Rendra pasti akan cepat bosan dengannya.
Namun, waktu berlalu, Elea menyadari bahwa dugaannya salah. Obsesi Rendra tidak pernah memudar. Justru semakin mendalam, semakin tak terkendali, semakin gila. Ketika dia berusaha menjauh, pria itu kembali menariknya dan tidak lagi memberikan celah untuk melarikan diri lagi.
Dengan dia diasingkan di sebuah vila yang cukup jauh dari hiruk pikuk kota semakin menegaskan jika Rendra tak lebih menganggapnya sebuah koleksi. Sebuah boneka hidup yang dirancang untuk menghiasi kehidupannya, tanpa memiliki kebebasan untuk mengatur jalan hidupnya sendiri.
Meskipun vila itu persis seperti tempat tinggal yang Elea inginkan, namun itu tak lebih dari sangkar emas yang Rendra buat untuknya.
Bangunannya yang megah dengan arsitektur klasik yang menyatu dengan alam berdiri di tengah hamparan alam hijau, dikelilingi pepohonan rindang yang memberikan keteduhan alami.
Halaman vila dihiasi oleh kolam air yang dirancang begitu artistik dan dilengkapi oleh air terjun kecil. Di sekitar vila, bunga-bunga cantik bermekaran dalam warna-warna yang cerah, menghiasi taman yang dirancang dengan penuh keindahan.
Terdapat rumah kaca di sisi vila. Yang dipenuhi beragam koleksi bunga-bunga cantik yang dirawat dengan begitu telaten. Tempat itu seperti diciptakan memang untuk Elea karena Elea sangat menyukai keindahan flora dan menjadikan merangkai bunga sebagai salah satu bentuk pelariannya.
Tak hanya rumah kaca, keseluruhan vila pun seperti memang surga kecil yang diciptakan untuk perempuan itu. Karena ada satu tempat lainnya yang menjadi favorit Elea, yaitu sebuah danau kecil buatan, tempat Elea merenung atau menghabiskan waktunya di sana untuk membaca buku.
Vila itu begitu indah, asri, tenang, persis sebuah tempat tinggal yang Elea inginkan. Seolah wujud nyata impiannya, sebuah tempat tinggal yang dirancang dengan sempurna sesuai kesukaannya.
Namun, apa artinya semua itu jika Elea merasa seperti burung tanpa sayap?
Keberadaan penjaga yang ditempatkan oleh Rendra di sekitar vila adalah bukti bahwa kebebasan bukanlah bagian dari hidupnya. Elea bisa merangkai bunga, merenung di danau, atau membaca di bawah cahaya lampu temaram balkon, tapi tak ada satu pun dari semua itu yang mampu memberikan kebahagian sejati.
Bagi Elea, vila itu adalah ironi.
Dia mencintai suasana asri dan keindahannya, namun sebanyak apa pun dia mencintai tempatnya, dia tidak bisa melupakan keberadaannya di sana bukanlah pilihannya, melainkan paksaan.
Dia begitu kesepian. Hampa. Tersiksa. Terpenjara. Frustrasi. Dan fakta Rendra tak setiap hari pulang ke vila adalah hal lainnya yang buat Elea merasa begitu kosong.
Meskipun kehadiran pria itu lebih sering melukai daripada mengobati, namun setidaknya ketika Rendra ada, dia merasa dirinya nyata. Bukan seorang tawanan, bukan sekadar sosok yang terjebak di dalam sangkar emas.
***
Dua bulan berlalu, selama itu pula Elea tinggal di vila yang bagaikan sangkar emas untuknya.
Meskipun lebih seperti dikurung, setidaknya masih ada hal yang bisa Elea syukuri karena Rendra membebaskannya untuk bertemu ibunya — meski ditemani oleh pengawal dan pelayan pria itu.
Ibunya berhasil melewati operasi dengan baik. Sekarang sedang proses pemulihan. Ibu tidak lagi bekerja di mansion keluarga Kartanegara. Elea yang meminta agar ibu rehat, apalagi sudah sering sakit-sakitan dan puncaknya operasi itu.
Lalu, apa ibunya tahu hubungannya dengan Rendra?
Tahu.
Bahkan mungkin ibunya menjadi salah satu alasan yang buat Elea semakin terikat dengan pria itu.
Jujur saja, Elea terluka atas sikap ibu yang waktu itu memintanya untuk memohon kepada Rendra agar menolong kakaknya. Meski sudah terluka, Elea tetap tidak bisa menunjukkan hal itu kepada ibunya, karena bagaimana pun ibunya akan selalu menjadi orang yang dia sayangi. Meskipun secara tidak langsung, ibu ikut andil dalam proses menjual tubuh anaknya kepada sang tuan.
Sudah seminggu berlalu, Rendra tidak berkunjung ke vila.
Dan hari ini Elea tanpa sengaja mendengar percakapan dua pelayan yang sedang membicarakan, “malam ini katanya tuan Rendra akan bertunangan.”
“Iya. Kasian ya nona Elea.”
“Mau bagaimana lagi. nona Elea bukan berasal dari kalangan seperti tuan Rendra. Bahkan bisa dibilang nona Elea satu kalangan seperti kita.”
“Iya, benar. Bagaimana ya dengan nasib nona Elea ke depannya?” Pelayan itu terdengar bertanya dengan nada prihatin. “Apa dia tahu soal pertunangan tuan Rendra?”
“Mungkin sudah. Soalnya kabar tuan Rendra akan bertunangan dengan nona Celine sudah cukup lama tersebar, kan? Tapi kasihan sekali dia. Dia sudah cukup menderita. Bayangkan tinggal di tempat indah seperti ini, tapi nggak punya siapa-siapa. Aku sering liat dia cuma melamun aja. Wajahnya selalu keliatan sendu. Beda banget dengan dulu saat pertama kali kita melihatnya. Nona Elea anaknya ramah, ceria, aktif. Sekarang kayak sudah nggak punya gairah hidup. Seperti burung yang kehilangan sayapnya.”
“Iya,” jawab pelayan yang lain. Suaranya menurun menjadi lebih pelan. “Aku heran kenapa tuan Rendra memperlakukannya seperti ini. Nggak ada keluarga, nggak ada teman dan sekarang mungkin… dia akan lebih merasa terluka jika tahu tuan Rendra sudah resmi jadi tunangan orang.”
“Apalagi jika alasan tuan Rendra memperlakukan nona Elea seperti koleksi kesayangannya jika bukan karena nona Elea cantik? Lagian tipikal bangsawan pasti selalu atau pernah punya wanita simpanan.”
“Aku juga berpikir, mungkin tuan Rendra hanya ingin menyimpannya seperti hiasan. Bukan untuk dicintai, tapi hanya untuk dimiliki. Seperti barang langka di mana cuma dia yang bisa memilikinya.”
“Kecantikan itu memang seringkali menjadi malapetaka untuk orang-orang kecil kayak kita. Menjadi favorit bagi penguasa-penguasa seperti tuan Rendra. Apalagi nona Elea itu bukan sekedar cantik, tapi punya aura yang menarik. Apa yang disebutnya… aku nggak tahu sih tapi aku saja selalu suka memandang nona Elea karena memang semenyenangkan itu untuk dilihat.”
Kedua pelayan itu sama-sama menghela napas dengan berat. Terjadi hening sejenak, sebelum satu di antara mereka kembali bersuara.
“Tapi kalau kamu jadi nona Elea, kamu mau nggak jadi simpanan tuan Rendra? Kita liat sendiri, tuan Rendra menyediakan kemewahan ini untuk nona Elea. Belum lagi wajah tuan Rendra sendiri sangat tampan. Maksud aku… apa salahnya ya gitu sedikit menikmati?”
“Iya, sih. Tapi kalau harus hidup kayak boneka, aku nggak mau. Kamu liat sendiri nona Elea, keliatan banget kesepiannya. Harus menukar kebebasan dengan kemewahan, aku sih ogah ya.”
“Tapi, kamu sadar nggak sih tuan Rendra sebenarnya kayak cinta sama nona Elea? Kamu ingat nggak waktu nona Elea jatuh, dia marah-marah sama kita sama pengawal karena anggap kita nggak becus jagain nona Elea. Padahal nona Elea pun cuma dapet luka kecil, tapi marah-marahnya kayaknya nona Elea kecelakaan besar saja. Dan itu adalah pertama kalinya aku liat tuan Rendra marah sebesar itu. Kita sendiri tahu, selama ini tuan Rendra terkenal tenang. Nggak pernah aku denger tuan Rendra marah-marah sama pelayan.”
“Iya bener, aku ingat banget! Waktu itu aku bahkan liat tuan Rendra panik banget liat tangan nona Elea berdarah. Dan bahkan tuan Rendra sendiri yang merawat luka nona Elea. Nggak repot-repot nyuruh kita, tapi dia sendiri yang turun tangan.”
“Nah itu dia! Terus waktu nona Elea sakit bulan lalu, kamu inget nggak? Tuan Rendra langsung pulang waktu dia tahu nona Elea sakit. Terus besoknya nggak pergi kerja seharian karena nona Elea sakitnya masih parah.”
“Iya, iya, benar!” Pelayan yang lainnya lagi mengangguk-angguk semangat. Mereka berdua yang semula bersimpati karena tahu Elea seperti dijadikan burung tanpa sayap, berubah menjadi orang yang bersemangat seperti menceritakan momen-momen romantis dari pasangan selebriti favorit.
“Terus waktu itu juga waktu nona Elea bilang suka bunga hydrangea, tiba-tiba aja kebun vila ini penuh bunga itu. Jelas tuan Rendra yang beli semua itu karena tahu nona Elea suka.”
“Jangan lupakan juga tuan Rendra selalu meminta laporan tentang nona Elea setiap harinya.”
“Jangan lupakan juga si Chiko. Dia juga kan awalnya kucing liar yang masuk ke vila. Terus nona Elea minta biar kucing itu nggak diusir. Padahal aku dengar tuan Rendra sebenarnya nggak suka kucing, tapi karena nona Elea bilang mau memeliharanya, jadi dia setuju kucing itu tinggal. Bahkan dia nyuruh kita buat beli mainan dan makanan terbaik buat kucing itu.”
“Iya, ya. Si kucing yang akhirnya jadi teman satu-satunya nona Elea.”
“Kayaknya tuan Rendra memang cinta deh sama nona Elea.”
“Tapi, percuma sih kalau memang cinta juga kalau ujung-ujungnya nona Elea tetap jadi wanita simpanannya. Kasian nona Eleanya.”
“Mau bagaimana lagi. Mungkin tuan Rendra juga lebih peduli sama status dan nama keluarganya, dibanding perasaannya atau perasaan nona Elea.”
“Susah sih. Mereka itu bagaikan bumi dan langit. Jadi, mungkin tuan Rendra memang cukup menjadikan nona Elea sebagai simpanannya. Toh dia tetap memiliki nona Elea, tapi ya itu yang tetap jadi korban sesungguhnya adalah nona Elea.”
“Malah jadi cinta yang menimbulkan obsesi dibanding bahagia, ya.”
Pelayan satunya lagi mengangguk. “Bukti nona Elea nggak lebih kayak dikurung di sini pun menunjukkan kalau tuan Rendra memang kayak obsesi. Memperlakukan nona Elea persis kayak miliknya sendiri yang nggak boleh tersentuh dunia luar,” sahutnya dengan suara yang dipelankan.
Elea mendengar semua percakapan itu.
Tentang pertunangan Rendra. Percakapan yang menaruh simpati untuknya. Juga percakapan yang menduga Rendra mencintainya.
Elea tahu Rendra akan bertunangan. Tapi, tidak tahu jika itu terjadi malam ini. Mungkin Elea sudah terlalu mati rasa, hingga bingung juga harus bereaksi bagaimana jika status Rendra sekarang sudah resmi mempunyai pasangan yang siap menjadi calon istrinya.
Satu yang pasti, Elea merasa semakin hina.
Lalu, soal yang ketiga, itu malah membuat Elea ikut mengingat kejadian-kejadian yang dua pelayan itu ceritakan.
Elea tidak percaya Rendra mencintainya. Baginya itu hanya bentuk Rendra menjaga propertinya agar tidak terluka. Rendra sendiri pernah bilang tidak menyukai luka sekecil apa pun di tubuhnya.
Makanya waktu itu dia pernah dengan sengaja melukai dirinya sendiri hanya agar Rendra jijik. Tapi, anehnya tidak berhasil. Yang ada pria itu malah mengurus luka-lukanya dengan baik. Dan tetap saja menyetubuhinya meskipun lukanya belum memudar sepenuhnya.
Saat itu Elea merasa aneh. Bukankah Rendra tidak akan bernafsu karena dia punya bekas luka yang bagi pria itu pasti seperti noda yang tidak enak dipandang?
Malam ini, Elea kembali menghabiskan waktunya di balkon sembari membaca buku. Selimut tebal di pangkuan sangat mampu menghalau dingin yang menusuk.
Matanya itu tidak hanya terfokus ke buku. Tapi sesekali melihat ke arah gerbang. Seperti menunggu sesuatu atau seseorang muncul dari sana.
Seminggu ke belakang ini, tanpa sadar Elea selalu melihat ke arah gerbang. Entah menunggu waktunya dia bisa keluar lewat gerbang itu dan tidak pernah masuk lagi untuk selamanya atau justru menunggu ada yang masuk.
Untuk ke sekian kalinya lagi, Elea melihat ke arah gerbang. Meskipun jelas tahu, tidak akan ada yang mungkin datang. Apalagi malam ini, malam di mana satu-satunya orang yang akan datang ke tempat ini sedang meresmikan statusnya dengan perempuan lain.
Ada perasaan aneh yang tiba-tiba merasuk ke dalam hatinya. Namun, Elea menepisnya cepat-cepat dengan kembali memusatkan atensinya pada bacaan di pangkuan. Tapi, sesaat kemudian terdistraksi karena kucingnya, Chiko, tiba-tiba naik ke atas pangkuannya dan meringkuk di sana dengan manja.
Elea tersenyum kecil. Memilih menyimpan bukunya sebentar untuk mengelus-ngelus bulu kucing liar yang berubah menjadi peliharaannya itu.
Dia tiba-tiba teringat percakapan dua pelayan tadi yang mengatakan Rendra tidak menyukai kucing, tapi karena dirinya, dia membiarkan seorang kucing tinggal di vilanya.
Elea kembali menepis perasaan aneh yang kembali menyelimuti hatinya. Dia mengambil bukunya lagi dan kembali membacanya. Waktu berlalu, Elea mulai merasakan kantuk menyerang.
Namun, dia terlalu malas untuk beranjak dari sofa empuk di balkon. Hingga tanpa sadar dia sudah terlelap.
.
.
Elea terusik dari tidurnya ketika merasakan kecupan di keningnya, pipinya dan berakhir di bibirnya. Lalu, sesaat kemudian tubuhnya melayang di udara. Sebelum sempat melihat wajah sosok yang menggendongnya pun, Elea sudah langsung tahu dari aroma yang memenuhi hidungnya.
Aroma yang tidak pernah gagal dikenalinya. Bagaimana tidak gagal jika aroma itu adalah aroma yang selalu membungkus setiap kedekatan mereka.
Seiring tubuhnya digendong, dibawa masuk ke dalam kamar, kesadaran Elea sepenuhnya kembali.
Dan fakta Rendra ada di sini di malam di saat dia yakin pria itu tidak mungkin datang, membuatnya cukup kaget.
Kenapa Rendra ada di sini? Bukankah seharusnya sekarang pria itu sedang menghabiskan waktu dengan tunangannya?
“Kalau sudah mengantuk, masuk kamar. Jangan malah tidur di balkon. Angin malam tidak baik buat kesehatan kamu.” Rendra membaringkan Elea di tempat tidur selagi mengatakan itu dengan nada bicara yang monoton.
Elea tidak merespons apa pun. Jika biasanya dia selalu menghindari menatap Rendra, kali ini dia malah melakukannya.
Rambut pria itu masih serapi biasanya. Pakaiannya pun formal seperti biasa, meskipun tidak ada jas yang melekat di tubuhnya, juga kancing teratas kemejanya pun sudah terbuka. Begitu pun lengan kemejanya yang sudah digulung sampai siku dengan asal-asalan.
Secara keseluruhan, Elea tidak melihat penampilan Rendra seperti penampilan orang yang baru selesai dari acara pertunangannya sendiri. Karena biasanya pun Rendra selalu tampil seperti itu.
Lalu, matanya tiba-tiba jatuh pada tangan Rendra. Melihat cincin yang mungkin tersemat di sana. Namun satu-satunya perhiasan yang dia temukan hanyalah gelang cartier… gelang yang sama yang dipakai olehnya.
“Kenapa di sini?” Elea tak kuasa untuk tidak mengeluarkan pertanyaan itu.
“Apa sekarang aku juga nggak boleh menginjakkan kaki di vilaku sendiri?”
“Bukan gitu,” sanggah Elea pelan. Seolah tidak ingin memancing perdebatan dengan pria itu. “Aku nggak nyangka aja kamu datang malam ini.”
“Aku bisa datang kapan pun aku mau, Lea,” jawab Rendra sambil merapi-rapikan rambut di kening Elea.
Iya, memang benar. Pria itu bisa datang kapan pun dirinya mau, tapi Elea tidak bisa pergi sesuai kemauannya.
Terjadi hening sejenak.
Elea dengan isi pikirannya yang meronta ingin dikeluarkan. Dan Rendra yang duduk di tepi kasur dengan terus menatap Elea dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kapan kamu bosen sama aku?” tanya Elea kemudian. Matanya menatap langit-langit kamar.
Respons Rendra tidak langsung terdengar.
“Tenang saja, Lea. Aku mungkin nggak akan pernah bosan sama kamu.”
Elea sontak menoleh mendengar jawaban itu. “Mas!” serunya tertahan. Dia menghela napas lelah. “Apa harga tubuhku semurah itu sampai setelah dua tahun pun aku nggak bisa membayar semua bantuan yang sudah kamu berikan untuk menolong keluargaku?”
Rendra hanya menatap Elea tanpa ekspresi. Lalu, dia tiba-tiba bilang, “tidurlah lagi.”
“Mas!” Elea kembali berseru lebih tinggi dari sebelumnya, menahan tangan pria itu yang hendak berdiri. Di saat yang sama Elea pun membawa tubuhnya untuk duduk. “Kamu sudah tunangan. Apa kamu masih akan mengkhianati nona Celine seperti ini?”
“Entahlah. Apa dia merasa aku khianati? Terlebih ini hanya pertunangan bisnis, Lea. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan soal itu.”
Elea diam sejenak. Tidak ada tanda-tanda Rendra punya niat membebaskannya.
“Mas, aku capek,” ungkapnya jujur. Dadanya sesak. Elea menundukkan kepala, menyembunyikan matanya yang mungkin berkaca-kaca. “Aku capek jadi simpanan kamu. Aku capek dianggap properti kamu, dianggap boneka, diperlakukan kayak burung….” Elea menghembuskan napas berat, “aku capek dijadiin kayak tawanan kayak gini. Aku harus apa supaya kamu punya rasa belas kasih sedikit saja sama aku?” Dia mendongak, memberanikan menatap Rendra, memberanikan diri untuk memperlihatkan kerapuhannya.
Yang sebelumnya selalu dia tahan karena tidak mau buat Rendra semakin angkuh, kali ini Elea menunjukkan itu dengan harapan Rendra mau mengasihaninya. Karena dia sudah tidak bisa lagi berpura-pura tegar. Terlebih dengan mentalnya yang seiring waktu semakin lemah.
Rendra bergeming. Menatap sepasang bola mata cantik Elea yang memerah bergantian. Mata yang langsung menariknya bagaikan magnet sejak pertemuan pertama mereka di rumah pohon.
“Cintai aku… Elea.”
“….”
“Cintai aku.”
“….”
“Setelah itu mungkin aku akan membiarkan kamu pergi.”
[]