Seharusnya, malam itu menjadi salah satu malam paling bahagia dalam hidupnya. Deana Sazmeen dan Alan, tunangannya.
Sedang menuju butik tempat mereka akan melakukan fitting baju pernikahan. Semua terasa begitu sempurna.
Namun, hanya dalam hitungan detik, segalanya hancur.
Malam itu hujan turun dengan deras. Petir menyambar, menggema di antara gedung-gedung tinggi, namun tak ada yang lebih memekakkan telinganya selain suara tembakan yang merenggut nyawa pria yang dicintainya.
“ALAN!” teriak Deana, suaranya pecah.
Alan terhuyung, tangannya yang tadi hendak membuka pintu mobil kini terangkat lemah ke dadanya, berusaha menghentikan darah yang terus mengalir. Wajahnya yang tampan mulai kehilangan warna. Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk ke trotoar, tepat di samping mobil.
Deana bergegas keluar dari mobil. Ia jatuh berlutut di samping Alan, tangannya gemetar saat menyentuh wajah pria itu.
“Alan, bertahanlah! Tolong, bertahanlah!"
Suaranya pecah dalam keputusasaan, napasnya memburu. Degup jantungnya berdetak cepat, seakan dunia berhenti berputar.
Alan berusaha tersenyum, tapi yang keluar hanyalah batuk lemah. Darah merembes dari sudut bibirnya.
"Maaf ... aku tidak bisa menepati janjiku ..."
Mata Deana membelalak.
"Tidak! Jangan bicara begitu, ambulans akan datang! Kau akan baik-baik saja!"
“Deana ...” suara Alan nyaris tak terdengar, hanya bisikan pelan di tengah kekacauan yang terjadi. “Aku ... aku mencintaimu.”
Air mata Deana jatuh tanpa henti. Tangannya semakin erat menggenggam Alan, tetapi darah terus membanjiri trotoar.
Tatapan Alan perlahan meredup. Mata yang penuh kehidupan itu akhirnya tertutup. Dingin mulai merayapi tubuhnya, membuatnya lemas dalam pelukan Deana. Saat napas terakhirnya diembuskan, dunia Deana runtuh.
"Tidak Alan! TIDAK!"
Jeritan Deana bercampur dengan deru hujan yang mengguyur tubuhnya. Ia mengguncang tubuh Alan, berharap keajaiban terjadi. Tapi pria itu tetap diam, tetap tak bergerak.
Sirene memecah keheningan malam. Lampu merah dan biru berkedip-kedip di balik kabut hujan. Orang-orang berkerumun, berbisik pelan, beberapa menghindari pandangan, tak sanggup menyaksikan tragedi itu.
"Nona, Anda harus ikut kami!" Seorang paramedis mencoba menariknya.
"TIDAK! Aku tidak akan meninggalkannya!"
Deana memberontak, tangannya masih erat memeluk tubuh Alan yang mulai dingin.
"Dia butuh pertolongan!"
Seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam datang mendekat, menyentuh bahunya.
"Nona, Anda harus pergi sekarang. Ini berbahaya."
Deana mendongak dengan tatapan nanar. Air mata dan hujan bercampur di wajahnya. Deana ingin berteriak, ingin melawan, tapi kepalanya mendadak terasa ringan.
Pandangannya berputar, tubuhnya melemas. Samar-samar, ia merasakan seseorang menangkapnya sebelum semuanya menjadi gelap.
Tidak ada yang menyadari bahwa dalam kegelapan malam, sepasang mata mengawasinya.
Malam itu, Deana kehilangan Alan—dan juga kehilangan sebagian dari dirinya.
*
Hari-hari berlalu dengan menyiksa. Rumah sakit, pemakaman, dan ruangan kosong yang kini terasa begitu sunyi tanpa suara Alan.
Deana kehilangan arah, tenggelam dalam jurang duka yang tak berujung. Foto-foto mereka bersama menjadi saksi bisu betapa bahagianya ia dulu.
Kini, semuanya hanyalah kenangan pahit yang terus menghantuinya.
“Aku akan menemukan mereka yang melakukan ini, Al. Aku akan membuat mereka membayar…” bisiknya di depan pusara Alan, air matanya jatuh membasahi tanah yang masih basah.
Namun, bagaimana? Ia hanya seorang wanita biasa, tak tahu apa-apa tentang dunia gelap yang merenggut nyawa tunangannya.
Seakan doanya langsung didengar, seseorang datang ke pemakaman Alan, menawarkan jalan untuk membalaskan dendam Deana.
Deana menatap pria di hadapannya dengan waspada. William—seorang detektif dengan sorot mata tajam dan rahasia yang tersimpan rapi dalam senyumannya.
“Kau ingin balas dendam?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku bisa membantumu.”
Deana mengepalkan tangan.
“Siapa yang melakukannya?”
“Bastian Alexanders.”
Nama itu diucapkan dengan penuh kehati-hatian, seolah menyebut iblis itu saja sudah cukup untuk membangkitkan malapetaka.
Deana mengulanginya dalam hati. Bastian Alexanders.
Orang yang telah menghancurkan hidupnya.
“Apa yang harus kulakukan?”
William menyeringai tipis.
“Kau harus masuk ke dunianya.”
Saat itu, untuk pertama kalinya sejak kehilangan Alan, Deana merasakan sesuatu yang lain selain kesedihan.
Kemarahannya menyala. Dan itu akan menjadi senjatanya.
*
Malam itu, angin dingin merayapi kulit Deana saat ia berdiri di depan jendela sebuah kamar hotel. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Alan, tunangannya yang meregang nyawa tepat di hadapannya, tanpa daya, tanpa perlawanan.
Setiap detik yang berlalu sejak tragedi itu terasa seperti belati yang menancap di dadanya, semakin dalam, semakin menyiksa.
"Kau sudah memikirkan tawaranku?" suara William terdengar pelan namun tajam.
Deana menoleh, menatap pria itu dengan mata yang berkilat penuh tekad.
"Bastian Alexanders... aku akan menghancurkannya."
Di sudut lain kota, Deana berjalan pelan di jalanan yang gelap. Langkah-langkahnya terasa ringan meski pikirannya berat. Ia tahu bahwa bermain-main dengan Bastian adalah tarian berbahaya, tapi ia tak punya pilihan lain. Jika dia ingin membalas dendam dan menyelesaikan misi yang diembannya, Bastian adalah kunci dari semuanya.Namun, tatapan penuh kebencian Raya tadi masih terbayang jelas di benaknya. Deana tahu betul bahwa wanita itu tidak akan tinggal diam. Raya memiliki pengaruh, uang, dan—yang paling penting—akses langsung ke kehidupan Bastian. Jika Raya merasa terancam, dia akan melakukan apa saja untuk menjatuhkan Deana.Tapi aku tidak akan gentar, pikir Deana, matanya memandang jauh ke depan, seolah mencari kepastian di tengah kegelapan. Jika Raya ingin bermain, aku siap meladeninya. Tapi ini adalah permainanku, dan aku tidak akan kalah.Malam itu, di bawah langit kota yang gelap dan sunyi, Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa pun rencana Raya, dia akan selalu selangkah
Deana berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Bastian yang memandangnya dengan tatapan membara. Deana tahu bahwa obsesi Bastian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Pria itu akan terus mengejarnya, menghantui setiap langkahnya, tetapi Deana tidak akan menyerah. Ia memiliki misinya sendiri, dan itu jauh lebih penting daripada sekadar menjadi milik seseorang.Saat Deana keluar dari ruangan, ia bisa merasakan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Malam ini mungkin baru permulaan, tetapi Deana berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, inilah saat di mana ia akan mulai benar-benar memainkan permainannya.Bastian berpikir dia memegang kendali. Tapi Deana tahu, dalam diam, dialah yang akan menulis akhir cerita ini.Raya menatap punggung Deana yang semakin menjauh, rahangnya mengeras dengan perasaan iri dan cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Selama ini, Bastian memang dikenal sebagai pria yang tidak pernah setia pada satu wanita, bahka
Bastian tersentak dengan pernyataan itu. Untuk pertama kalinya, Deana bisa melihat sedikit keraguan di mata pria itu. Tapi sebelum Bastian sempat menjawab, Raya tiba-tiba muncul di ambang pintu, memecah ketegangan yang menggantung di udara."Apa yang terjadi di sini?" suara Raya terdengar ceria, meski ada rasa curiga yang tersirat dalam tatapannya. Ia mendekati mereka berdua dengan senyuman lebar, seolah tidak menyadari intensitas yang baru saja terjadi.Deana melirik ke arah Raya dengan tenang, kemudian kembali menatap Bastian, yang tampaknya sedang berusaha menenangkan diri dari badai emosinya."Aku hanya memastikan bahwa Bastian tahu apa yang ia inginkan," jawab Deana dengan senyum penuh arti.Raya memandang Bastian dengan tatapan penuh harapan, seolah mencari kepastian. "Bastian? Apa maksudnya ini?"Bastian berdiri tegap, mengalihkan pandangannya dari Deana ke Raya. Ada ketegangan di sana, namun Deana tahu bahwa pria itu tidak akan memperlihatkan kelemahannya di depan Raya.“Kau t
"Aku bukan milik siapa pun, Bastian. Bahkan kau," ucap Deana dengan suara yang lebih kuat daripada yang ia rasakan. Kata-kata itu adalah tantangan yang tak bisa ia tarik kembali.Bastian membalas dengan cengkeraman yang lebih kuat di bahunya, matanya menyala dengan amarah yang membara."Kau salah besar jika berpikir bisa lari dariku. Aku akan memastikan kau tetap di sisiku, bahkan jika itu berarti menghancurkan semua yang kau miliki."Deana merasa ada yang berubah dalam sikap Bastian. Ada sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang memberinya sedikit celah. Apakah mungkin ia mulai terperangkap dalam permainan Lady Dee? Deana tidak ingin kehilangan momentum ini. Jika Bastian mulai goyah, maka ia harus memanfaatkannya."Kau selalu ingin memiliki segalanya,"Deana mendekatkan wajahnya ke Bastian, suara lembut namun penuh tipu muslihat."Tapi aku akan memberimu pilihan. Jika aku memang milikmu, maka kau harus memilih antara aku… atau Raya."Bastian terdiam sejenak, jelas terkejut dengan pernya
Raven berbalik, meninggalkan Deana dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Pria itu jelas berbahaya, dan sekarang dia telah menjadi bagian dari lingkaran yang semakin menjeratnya ke dalam permainan penuh intrik ini. Pertemuan mereka malam ini hanyalah permulaan, dan Deana tahu bahwa dia harus lebih berhati-hati lagi mulai sekarang.Deana berdiri sejenak di ruangan itu, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Bastian mungkin berkuasa di permukaan, tetapi Raven adalah bayangan di balik semua itu, mengamati dan menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Pertemuan ini bukanlah kebetulan; Raven sengaja mengujinya, mencoba melihat seberapa kuat ia mampu bertahan dalam permainan yang lebih besar daripada dirinya.Dan Deana, meski terjebak di tengah-tengahnya, harus memastikan bahwa dia tetap memegang kendali atas dirinya sendiri. Tidak ada ruang untuk kesalahan.*Bastian berjalan kembali ke kamar dengan langkah berat dan tatapan yang dingin, amarahnya belum mereda. Ia merasa dipermainkan, tida
Deana menatap Bastian dengan mata yang tak sedikitpun goyah, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa situasi ini jauh dari aman. Kehadiran Bastian yang mendadak dan nada suaranya yang dingin seperti es memberi tanda jelas bahwa pria itu tidak senang. Raven, di sisi lain, berdiri dengan senyum licik yang seolah menikmati ketegangan di antara mereka."Aku tidak sedang melakukan sesuatu yang salah, Bastian," Deana berbicara dengan nada rendah namun tegas. Dia tahu dia harus berhati-hati dalam memilih kata-kata, karena satu kesalahan kecil bisa membuat situasi ini meledak dalam sekejap.Bastian melangkah lebih dekat, tatapannya tajam menembus Deana. "Tidak ada yang berada di ruangan ini tanpa seizinku. Dan kau tahu itu."Deana tidak mundur. "Aku hanya memenuhi undangan Raven," jawabnya, sambil melirik ke arah Raven yang masih tersenyum penuh tipu muslihat.Raven, yang sejak tadi hanya menyaksikan, kini melangkah maju, menempatkan dirinya di tengah-tengah ketega