LOGINLetta yang dari awal memotret itu terdiam sejenak. Ia mengangkat kepala dan melihat Nathan yang kelihatan menawarkan diri dengan begitu tenang sekali.
“Ah, kamu pasti bercanda,” Letta menolak.
“Tidak, Letta. Ini juga demi pekerjaanmu. Aku punya jadwal meeting penting dan juga akan lebih banyak menghubungimu. Jadi, lebih baik kamu beli ponsel baru,” ujar Nathan.
“Tidak usah, Nathan. Aku akan beli kalau aku sudah terima gaji saja,” tolak Letta.
“Lalu bagaimana dengan hutangmu yang lain? Pengobatan adikmu?” singgung Nathan.
Letta terdiam setelah mendengar ucapan Nathan. Ucapan tersebut memang ada benarnya. Tidak ada waktu bagi Letta untuk menghamburkan uang untuk sekedar membeli ponsel. Bahkan untuk membeli baju saja sebenarnya ia tidak ada uang sama sekali.
Nathan melihat Letta yang demikian hanya bisa menghela napas. Ia kemudian menyumpitkan salah satu sushi dan memberikan kepada Letta.
“Sekarang lupakan bebanmu dulu. Lebih baik makan, dan pikirkan kedepannya nanti,” ujar Nathan.
Ia masih bisa makan. Air mata tak terbendung saat pertama kali mencoba gigitan dari sushi yang ia makan. Setelah sekian lama hanya bisa makan sedikit, dengan lauk seadanya, kini, Letta bisa makan sushi untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Wajah senangnya tak bisa ia sembunyikan sama sekali. Bahkan, kali ini Letta merasa seperti sempat hidup untuk beberapa saat.
Selain mentraktirnya makan, Nathan juga mengajaknya bermain ke timezone untuk bisa menenangkan perasaannya. Tanpa sadar, Letta terhanyut dengan cara Nathan yang mengajaknya bermain.
Permainan capit boneka yang diberikan Nathan kepadanya. Sebuah boneka pinguin yang lucu membuat Letta tersenyum lebar. Belum pernah seumur hidupnya ia mendapatkan pemberian seperti ini.
Bermain lempar botol, game center yang menghasilkan banyak sekali kupon. Letta tak pernah sesenang ini setelah ia terjerat banyak hutang yang tidak ia miliki sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia tertawa lepas, melepaskan segalanya.
“Ini menyenangkan sekali, Nathan!” seru Letta yang girang.
“Benar, kan? Aneh sekali Jenna tak pernah mau aku ajak kemari!” balas Nathan yang masih tersenyum.
Seketika senyuman Letta langsung sirna. Ia baru ingat bahwa dia datang kemari, bersenang-senang dengan suami sahabatnya sendiri. Baru saja menoleh ke arah Nathan yang masih memandangi hadiah dari tukar kupon itu membuat Letta gugup.
“Kamu, tak pernah datang kemari dengan Jenna?” tanya Letta, memastikan ucapannya tadi.
“Iya. Dia tidak pernah mau. Kamu tahu sendiri bagaimana dia sibuk dengan dunianya,” sahut Nathan.
Ingatannya sejak awal Jenna membangun bisnis terlintas di dalam benak Letta. Benar. Jenna selalu sibuk dan bahkan untuk sekedar membuat kopi saja Jenna tidak bisa. Yang ada, dia selalu menyuruh Letta.
Letta merasakan debaran berbeda dalam dirinya sambil menatap Nathan. Ini kali pertama ia melihat Nathan dengan tatapan demikian. Yang ada, perasaannya semakin tidak karuan selama beberapa saat.
“Ada apa, Letta?” tanya Nathan sambil melihat ke arah Letta yang dari awal memperhatikan.
“A- Apa? Tidak! Tidak ada!” Letta buru-buru menjawab.
Letta langsung buang muka sambil menggigit ujung bibirnya. Ia menyesalkan apa yang barusan dilakukannya.
‘Sadar Letta! Dia itu suami sahabatmu!’ tegas Letta dalam hatinya.
Sementara itu, Nathan menyadari bahwa sikap Letta sekarang jauh lebih santai dan nyambung ketimbang hari sebelumnya. Letta mulai membuka panjang jarak di antara mereka yang membuat Nathan menyeringai.
‘Bagus, Letta. Kamu akan masuk kandangku,’ batin Nathan.
Setelah bersenang-senang, hari sudah mulai gelap. Letta diantarkan oleh Nathan untuk pulang ke apartemen yang disewakan olehnya tersebut. Baru saja sampai dan hendak turun, Letta baru teringat akan satu hal yang hendak ia sampaikan.
“Kalau semisal aku sudah punya uang cukup dengan hutangku yang lunas, aku akan bayar hutangku padamu dan juga biaya sewa apartemen ini,” ujar Letta.
“Sudahlah, Letta. Aku benar-benar tulus membantumu,” Nathan menolak.
Senyuman Nathan itu membuat jantung Letta kembali tak bisa merasa tenang. Senyuman itu seperti sengaja menghipnotisnya, dan membuat Letta jadi malu bukan kepalang.
“Tak bisa begitu, Nathan,” Letta masih bersikeras.
“Daripada kamu keras kepala begini, bagaimana kalau kamu menuruti satu permintaanku?” ujar Nathan.
“Permintaan? Permintaan macam apa?” tanya Letta.
“Besok, kamu datang saja ke rumah siangnya. Aku akan memberitahumu,” sahut Nathan.
Mendengarnya tak membuat Letta langsung percaya. Yang ada ia malah curiga dan jadi salah sangka dengan cara Nathan yang barusan bicara.
“Kamu tak berusaha menjebakku, kan?” tanya Letta.
“Menjebak? Kamu pikir aku akan menjebakmu?” Nathan merasa sedikit tersinggung.
“Oh, tidak, tidak. Maaf, maksudku bukan begitu. Aku, aku akan datang besok sesuai perintah,” Letta terburu-buru menjawab.
Setelah ia pergi meninggalkan mobil, Nathan tersenyum licik melihat kepergian wanita tersebut. Ia menelan salivanya dan bahkan bisa melepaskan ekspresi wajah yang daritadi ia tahan dari tadi.
‘Bagus, Letta. Kamu harus menurut padaku,’ batin Nathan.
Nathan pulang ke rumah. Seperti hari-hari sebelumnya, ia tidak mendapati Jenna ada di rumah lagi, ia melihat rumah sepi dan masih dalam kondisi yang sama seperti bagaimana ia meninggalkannya bersama Letta.
Dengan bukti yang sudah ia punya, Nathan meningkatkan pengawasan kepada Jenna untuk mengumpulkan lebih banyak bukti. Ia masuk ke ruang kerjanya, dan membuka kamera pengawas di kamar hotel yang sama. Di sana, kembali Nathan melihat Jenna sudah bersama pria tersebut.
“Ahhh, baby…, faster…,” suara lenguhan Jenna terdengar nyaring di dalam ruangan lewat kamera pengawas tersebut.
“Yes, baby. You taste good,” Pria yang bersama dengan Jenna meracaukan hal yang sama.
Nathan yang menonton adegan tersebut hanya bisa mengepalkan tangannya. Ia juga merasakan gejolak tubuhnya yang semakin menggila dan juga ingin melakukan hal yang sama seperti apa yang barusan ditonton.
“Kamu yang menyerahkan Letta untuk menggantikanmu, Jenna. Akan kutunjukkan, bahwa dia benar-benar menggantikan semua tugasmu tanpa terkecuali,” gumam Nathan.
***
Letta datang ke rumah Nathan di jam 1 siang. Ia juga masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin. Baru saja masuk ke dalam sana, Letta dikagetkan dengan kondisi rumah yang berantakan. Ia tak pernah melihat rumah ini berantakan seperti ini.
“Astaga!” kejutnya.
Dengan gerak cepat, Letta masuk dan mencari keberadaan siapapun yang bisa ia temukan. Dari ke dapur sampai ke kamar mandi, ia tidak menemukan orang.
Ia semakin merasa sedikit takut bahwa ada kemungkinan terburuk yang terjadi di dalam rumah ini. Jadi, ia berjalan lebih dalam menyusuri rumah tersebut.
‘Apa rumah ini dirampok?’ batin Letta.
Akhirnya ia menuju ke ruangan kerja Nathan. Ia menengok terlebih dahulu. Ruangan itu juga sama berantakannya. Tetapi, yang mnegejutkannya, Letta menemukan Nathan terbaring di atas sofa, terlentang dengan baju terbuka dan tangannya yang kekar menutupi wajahnya.
“Nathan!”
Meski Letta tahu, hyper Nathan sangat kelewatan, dan bisa membuatnya begitu kewalahan, Letta tak masalah. Dari awal, Letta sudah menerimanya, dan tahu bagaimana Nathan bermain dengannya.Ada banyak hari di mana Nathan menjadi orang yang super agresif dan begitu protektif kepadanya. Ada juga hari Nathan menjadi sangat pendiam, dan begitu kesal bila sedikit diusik. Namun, Letta tak masalah. Ia sudah mempelajari sikap Nathan yang baru, agar dia tidak kaget.“Bagaimana pemandangan di sini?” tanya Nathan.“Bagus sekali! Aku suka!” seru Letta, menjawab.Nathan mengajak Letta mendaki. Kali ini memilih gunung yang memiliki pemandangan danau di bawahnya. Letta masih sibuk memotret karena merasa kagum dengan keindangan alam.Terkadang permintaan Nathan memang sedikit di luar batas seperti sekarang ini. Mendaki? Bukan keahlian Letta. Selama Nathan masih berada di sampingnya, Letta merasa ia bisa melalui apapun, serta melewati apapun yang ada di depan matanya.“Bagaimana kamu bisa tahu tempat sei
Letta terkikuk mendengar ucapan Nathan. Ia merasa bahwa Nathan seperti sedang bergurau mengatakan perihal barusan kepadanya.“Kamu tak serius, kan? Bukannya kita akan merayakan hari kita? Keberhasilan kita? Kenapa kita harus melakukan kegiatan ini dulu, Love?” tanya Letta, berusaha sedikit menghindar.Nathan malah tersenyum semakin lebar setelah mendengarkan ucapan Letta. Kode Nathan memang terpancar sangat jelas. Bahkan bila dihiraukan, Nathan terlalu memperlihatkan kodenya begitu jelas.“Darling, inilah perayaan kita,” ucap Nathan.“Bukannya…. Kita seharusnya bersenang-senang?” Letta memastikan.“Hei, Darling. We’re gonna having fun with this, right?” Nathan mengingatkan.Rasanya terhenyak diri Letta saat mendengarkan ucapan Nathan barusan. Ia lupa, bahwa segala hal Nathan rasakan selalu disangkutkan dengan masalah ranjang. Seperti apapun perasaannya, Nathan selalu mengaitkannya dengan itu tanpa pengecualian sedikitpun.“Tapi… kenapa tak melakukan hal lain, Love? Mana kuenya? Mana p
Letta sudah begitu bersemangat setelah mendengar ucapan Nathan. Kue? Perayaan? Letta belum pernah melakukannya sebelumnya setelah semuanya hilang dari tangannya.Perasaan yang menggebu itu membuat Letta jadi bersemangat. Ia bisa saja mengeluh karena melakukan BJ di dalam mobil demi memuaskan ego Nathan. Namun, karena Nathan menjanjikan sesuatu yang lain padanya, jadi rasanya berbeda.“Kamu tahu, Darling, sekarang, aku merasa apa yang aku inginkan sudah lengkap,” ujar Nathan, saat mereka sekarang mulai melaju pulang.“Kenapa?” tanya Letta.“Tentu saja karenamu, Darling. Aku jadi merasa bisa melewati hariku 10 tahun kedepan, atau bahkan sampai kapanpun aku mau asal bersamamu,” jawab Nathan dengan begitu bersemangat.Melihatnya, membuat Letta sedikit tergelitik. Ia tidak tahu kalau Nathan bisa berkata seperti itu lagi kepadanya. Ia merasa malu, tersipu, tertawa kecil, lalu memukul pelan lengannya.“Sungguh, Darling. Aku bisa membahas ini seribu tahun kalau kamu mau mendengarkanku,” seru
Kedua tangan Jenna berusaha ia tarik sekuat tenaga saat Jenna merasakan kakinya secara paksa, dan ada tiga benda keras yang berusaha masuk ke dalam tubuhnya.Kewanitaannya yang dipaksa dibuka lebar membuat Jenna langsung membelalakkan mata. Mustahil bagi Jenna bahwa tiga benda itu masuk ke dalam tubuhnya secara bersamaan. “T- Tunggu! Kalian gila!” Jenna berusaha melawan.Dihiraukannya Jenna yang meminta kepada mereka. Justru, mereka makin keras dan mendorong kuat ke dalam tubuh Letta, sampai Jenna mengerang kesakitan dan wajahnya kelihatan menahan tangis karena tubuhnya yang dikoyak barusan.“AKHHHHH!!!” Letta hanya bisa merinding melihat bagaimana para pria itu membuat Jenna tak bisa bergerak lagi. Dia bahkan gemetar. Jika biasanya hubungan badan terasa menyenangkan dan selalu membuat siapapun merasa nyaman.Kali ini, ia melihat bahwa ini sudah seperti penyiksaan yang tak berakhir sama sekali. Saat tubuh Jenna dipompa, Jenna sudah tak mampu berteriak. Hanya air mata yang mengalir,
Letta seketika gemetar melihat kedatangannya. Ia tidak menyangka akan bertemu Jenna di tengah keramaian ini. Meski sudah bersama dengan Nathan, Letta masih bisa merasa takut hanya dengan melihat ke arah Jenna yang begitu berantakan.Pakaiannya terlihat lusuh. Kulitnya pucat, bahkan ada kantong mata pada wajah Jenna yang terlihat dua kali lipat lebih banyak. Badannya yang semakin kurus, tak terlihat body goals seperti bagaimana Jenna dulu.Ini pernampilannya yang sangat berbeda dari terakhir kali Letta melihatnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Jenna sampai ia bisa berubah sejauh ini.Langkah Jenna menekat ke arah Letta yang mulutnya berhenti mengunyah. Nathan yang menjadi garda terdepat langsung melindungi, berdiri di depat Letta, menghalangi arah Jenna mendatanginya.“Apa maumu lagi, Jenna?” tanya Nathan.Jenna melihat sendiri sekarang di depan matanya, bagaimana Nathan berusaha melindungi Letta darinya. Senyumannya terbuka lebar dengan segala rasa sakit yang selama ini tidak perna
Letta selalu penuh dengan tanda tanya setiap kali bersama Nathan. Ada banyak pertanyaan yang lewat dalam pikirannya setiap kali dia sempat melamun. Seperti ada yang mengarahkannya untuk mempertanyakan kepada Nathan, sebelum semua berjalan lebih jauh.“Aku selalu penasaran, meski kamu sudah pernah menjawab pertanyaan ini,” celetuk Letta, yang masih tertelungkup di atas ranjang dengan badannya yang tertutup selimut.Nathan yang baru saja selesai mandi melihat ke arah Letta dengan senyumannya yang dermawan. Letta bahkan selalu luluh setiap kali melihat bagaimana Nathan menatapnya.“Kenapa, Darling? Kamu masih ragu denganku?” tanya Nathan, tanpa nada menghakimi.“Tidak, Love. Aku selalu bertanya, bagaimana kamu yang luar biasa, menyukai aku yang wanita biasa? Terlebih, kasus orang tuaku dan adikku sudah menjadi buah bibir publik tiada habisnya. Bukankah seharusnya kamu merasa malu, karena akhirnya bersamaku?” Letta bertanya.Nathan yang sudah melilitkan handuk terlebih dahulu di tubuhnya,







