Pagi hari tiba, Aria tengah menyapu di depan rumah sambil mendengarkan musik di earphonenya.
Sesekali Aria juga menyapa beberapa tetangga yang berlalu lalang mengerjakan aktivitas mereka. Tak jauh dari sana Aria melihat beberapa ibu-ibu yang tengah menggosip. Aria tau jika ibu-ibu itu tengah menggosipkannya, karena mereka selalu melirik atau menatap Aria secara terang-terangan. Aria kesal namun ia hanya bisa diam dan mengabaikan ibu-ibu yang gosip. “Aria!” panggil Raka. Aria yang mendengar namanya di panggil, ia menoleh dan menatap suaminya. “Ada apa, Mas?” sahut Aria. “Bikinkan Mas kopi!” pintanya dingin lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Aria menghela nafas pelan, ia segera menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi untuk Raka. Kali ini rumah cukup sepi karena ibu mertua Aria tengah pergi ke sawah. Di rumah hanya ada dirinya, Raka, Papa mertuanya. Sedangkan Samudra masih tidur karena semalam pria itu nonton TV sampai jam 3 dini hari. Aria menghampiri suaminya yang tengah duduk di sofa ruang keluarga, ia meletakan secangkir kopi di atas meja. “Kopinya, Mas. Mumpung masih anget, di minum dulu.” “Hm, taro situ aja dulu.” Ujar Raka sibuk ke layar ponselnya. Aria duduk di samping Raka, “Mas kenapa sibuk main ponsel terus sih? Ada apa?” tanyanya. Raka melirik sekilas lalu lanjut ke ponselnya, “Gak ada! Lebih baik kamu masak aja!” perintah Raka ketus. “Tapikan semua masakan udah mateng sedari tadi jam empat dini hari, Mas...” ucap Aria pelan. Namun jauh dari dalam hatinya ia ingin sekali merampas ponsel Raka dan membanting ponsel itu. Raka berdecak kesal, “Bisa gak sih kalo pagi-pagi gini kamu gak ganggu aku?” Aria terdiam menatap suaminya, “Maaf, Mas...” ucapnya lirih. Pintu kamar Samudra terbuka pelan, memperlihatkan pria jangkung berbadan kekar yang bertelanjang dada. Mata Aria yang melihat itu seketika ia palingkan dari Samudra. ‘SIAL! Kenapa gak pake baju sih?’ batin Aria. “Raka, di sini ada tukang pijat gak?” tanya Samudra malas. “Ada, Mas. Tapi kalo pagi-pagi gini sibuk!” jawab Raka. “Gimana kalo Aria aja? Dia kebetulan bisa mijit sedikit-sedikit, Mas.” saran Raka membuat Aria melotot saking kagetnya. ‘Laki sialan!! Ngapain nyuruh gue sih?’ protes Aria kesal. Samudra menatap Aria dingin, namun sedetik kemudian ia tersenyum smirk. “Oh ya? Aria bisa mijit kah?” tanya Samudra memasukkan dua tangannya ke dalam saku celana. “A-aku gak bisa!” seru Aria. Raka menatap Aria dengan galak, “Kalo di suruh itu nurut Aria!! Apa lagi Mas Samudra itu Kaka ipar kamu. Kamu harus nurut apa yang di katakan Mas Samudra!” ucap Raka membuat Samudra tersenyum semakin lebar. Sedangkan Aria terus mengumpat dalam hati, bisa-bisanya suami sialan itu malah mengatakan hal yang bisa membuat Aria masuk ke dalam kandang Singa. “Udah cepet sana, Mas Samudra mau di pijat!” perintah Raka mendorong Aria. Aria melirik Raka sekilas lalu ia menatap Samudra dengan kesal, ‘Sialan lo! Pastinya ini alasan lo kan?!’ batin Aria. “Sebentar aku gelar karpet dulu, Ka.” Ucap Aria pelan. “Buat apa?” tanya Raka menatap tajam Aria. “Ya... Buat di gelar sini Mas,” jawab Aria keheranan. ‘Ini laki napa sih? Otaknya sengklek apa? Tadi suruh mijet, sekarang tanya buat apa!’ batin Aria. “Kamu suruh Mas Samudra tiduran di lantai? Kamu mikir pake otak!” maki Raka, “Harusnya di kamar Mas Samudra aja, kalo di lantai bisa-bisa masuk angin!” lanjut Raka. “Tapi, Mas...” “Gak ada tapi-tapian! Kamu itu harus nurut apa yang di katakan suami kamu, ARIA!!” geram Raka menatap Aria. Aria melirik Samudra dengan kesal, sedangkan pria itu tengah tersenyum licik, membuat Aria merinding. ‘Dikamar? Sama dia, berdua? Gila aja!’ batin Aria kesal. Samudra menatap Aria sinis, “Kalo gak mau gak usah maksain! Nanti saya bisa panggil tukang urut.” Ujar Samudra. Raka berdiri dan mendekat ke arah Aria, “Udah cepetan! Kamu nunggu apa sih?” geramnya. Aria di dorong oleh Raka, “Cepet!!” “Iya-iya.” Aria pada akhirnya menurut dan mendekat ke arah Samudra. Aria bisa melihat jika pria itu terus menatapnya dengan kilatan buas. ‘Hari sial gue!’ batin Aria pelan. Ia masuk duluan ke kamar Samudra. “Rak?” panggil Narto pada Raka. “Kenapa, Pak?” tanya Raka. “Anterin Bapak ke desa xxx, Uwa kamu sakit lagi. Kita harus jenguk ke sana, nanti agak siangan kamu jemput Mama kamu ke sini lagi.” Ucap Narto. Aria yang mendengar itu puter balik dan keluar kamar, ia tak mungkin jika di kamar hanya berdua dengan Samudra. Apa lagi suami dan bapak mertuanya akan pergi, Aria takutnya jika Samudra berbuat macam-macam padanya. “Mas aku ikut ya?” pinta Aria pelan. “Kamu di rumah!” tegas Narto. Sedangkan Raka hanya melirik dingin lalu berjalan pergi. Raka mengambil kunci motor miliknya lalu berjalan melewati Aria, “Kamu tunggu rumah. Lagian tugas kamu buat pijitin Mas Samudra. Turuti semua yang dia mau! Jangan pernah kamu bantah. Ingat! Perkataan Mas!!” ucap Raka tegas, membuat Aria melongo. ‘Eh ngotak dikit! Lo bilang gitu malah bikin Kaka lo jadi besar kepala!’ batin Aria kesal. Ia memandangi punggung suaminya yang sudah pergi keluar rumah bersama bapak mertuanya. Dengan tarikan nafas pasrah Aria berbalik menatap Samudra, pria itu tersenyum lembar menunjukkan kemenangan. “Ayo adik ipar? Kita main pijat-pijatan!” ledek Samudra menjilat bibir bawahnya sendiri. Aria menatap tajam, “Jangan macam-macam kamu, Ka! Aku cuman di suruh mijit.” “Tentu adik ipar, saya akan menikmati setiap sentuhan kamu...” “Ayo masuk?” ajak Samudra memberikan jalan untuk masuk kembali ke kamarnya. “Di luar saja!” tolak Aria. Samudra mendekat lalu berbisik, “Darling... Ingat kata-kata suami kamu! Kamu harus nurut pada kaka iparmu ini!” Aria mengepalkan tangan dengan kuat, ia ingin sekali memukul pria di hadapannya itu dengan sangat keras. “Ayo, Darling...” “Nanti aja!” tolak Aria hendak berjalan pergi, namun Samudra mengeluarkan ponsel miliknya. “Kalo kamu gak mau... Saya bisa telfon Raka, dan bilang kalo kamu gak mau memijat saya.” ancam Samudra. Aria menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap kesal pada Samudra, “Lihat! Saya bisa saja buat kamu semakin di benci Raka... Dan kamu tidak bisa membalas dendam dengan sempurna!” ucap Samudra menatap sinis. Dua menit berlalu, kini Aria sudah berada di kamar Samudra. Kamar pria itu sangat bersih dan rapih. Samudra yang sudah rebahan di kasur menatap Aria, “Cepat adik iparku!” perintahnya. Aria mendekat lalu duduk di ujung Kasur, ia meletakkan mangkuk berisikan minyak urut. “Ini apanya yang mau di urut? Masa iya mau perut mu!” ucap Aria malas, ia menatap dingin Samudra. “Pijat sini!” perintah Samudra menunjuk perut sixpeknya yang memperlihatkan delapan roti sobek. Aria menelan salivanya yang terasa kelat, bisa-bisanya perut Kaka iparnya se sixpek ini dari pada milik suaminya. Perlahan Aria mengoleskan minyak urut ke perut Samudra, tangan-tangannya mulai mengurut secara pelan. Aria fokus pada tangannya sendiri, ia tak mau melihat ke yang lain, ia takutnya malah melihat yang tak harusnya ia lihat. Jujur saja jika tubuh kaka iparnya sangat menggoda dan juga sangat bagus. Wajar saja jika banyak wanita yang menyukai Kaka iparnya itu. “Jangan di atas doang dong!” seru Samudra tersenyum smirk. “Iya,” jawab Aria pelan. Aria lalu sedikit ke bawah dan ia bisa merasakan perut sixpek milik kaka iparnya. ‘GILAA!! Ini perut bagus bener.’ Ucap Aria dalam. Ia tanpa sadar sudah meraba perut sixpek milik kaka iparnya cukup lama di tempat yang sama. “Gimana, Bagus?” Aria mengangguk tanpa sadar, “Iya, Bagus banget.” Ucap Aria membuat Samudra tersenyum. Sedangkan Aria baru tersadar dengan apa yang ia ucapkan barusan, “E-eh maksud aku... Bu-bukan gitu...” elak Aria berusaha menyangkal apa yang tadi ia katakan. Samudra menarik tangan Aria, membuat Aria terhempas lalu mendarat di atas tubuh Samudra. “Darling... Kamu harus tanggung jawab!” bisik Samudra dengan suara berat. “Ma-maksud Kaka apa?” Samudra tersenyum licik, ia lalu meraih tengkuk Aria dan menarik Aria semakin dekat. Membuat wajah ke duanya sangat dekat. “Semalam... Kamu sudah layani suami kamu. Sekarang... Giliran aku yang kamu layani, Aria!” bisik Samudra. Aria hendak menjauh namun Samudra dengan sigap menarik pinggang Aria lalu ia mengecup bibir Aria. Kecupan itu beberapa kali hanya singkat, namun lama ke lamaan kecupan itu menjadi ciuman lebih dalam. “Hmpph!!” “Hmpphh!” Aria berusaha lepas namun Samudra semakin kuat memeluk pinggang Aria, dan menarik tengkuk Aria semakin kuat. “Hmpphh!” Tautan keduanya semakin intens, di tambah Samudra yang melumat bibir Aria semakin nafsu. Matanya memperlihatkan kilatan Obsesi. “Kamu milik ku...” bisik Samudra melepaskan Ciumannya. Aria terengah-engah karena hampir kehabisan nafas, jika saja Samudra tak melepaskan ciumannya, pasti Aria sudah pingsan. “Kurang ajar!” kesal Aria hendak menampar Samudra, namun tangannya di tahan oleh Samudra. Samudra mendorong Aria ke samping, membuat wanita itu berada di bawahnya kini. “Mumpung sepi, ayo kita bermain sebentar?” ajak Samudra tersenyum smirk. “Kak! Jangan macem-macem kamu!!” ucap Aria memperingati. “Ayolah Darling... Sebentar aja kok. Cuman gesek ujungnya aja!” bujuk Samudra. “Gak mau!” tolak Aria. Ia berusaha lepas namun Samudra sangat kuat, ia bukan tandingan pria di atasnya itu. “Mau ya?” bisik Samudra membuat Aria mematung. Pasalnya pria itu menggesekkan benda keras di balik kain celananya.Siang itu, setelah makan bersama dan membereskan dapur, suasana rumah mulai kembali normal. Ibu Saima dan Pak Narto tengah duduk di meja makan, sibuk membicarakan rencana acara keluarga dua hari lagi. Aria sedang menata gelas di rak ketika Raka muncul dari kamar dengan pakaian rapi—kaos polos biru tua dan celana jeans."Aria," panggilnya sambil meraih kunci motor di meja. "Aku mau ketemu Dodi, teman kerja. Ada urusan sedikit."Aria menoleh, menatap wajah suaminya yang tenang-tenang saja. Senyum tipis ia pasang, meskipun di dalam hati, ia sudah tahu persis bahwa ‘Dodi’ hanyalah kedok. Bukan Dodi yang akan ditemui Raka, tapi perempuan itu—selingkuhannya—di sebuah hotel yang pasti sudah mereka sepakati.Ia tidak ingin membuang energi untuk bertanya atau memprotes. Aria hanya menjawab pelan, "Oh, hati-hati di jalan."Raka mengangguk singkat, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Suara motor menjauh, meninggalkan kesunyian yang terasa menyisakan perasaan sesa
Pagi itu, rumah sudah kembali pada rutinitasnya. Aria sudah berada di dapur sejak pukul empat subuh, mengerjakan tugasnya seperti biasa. Ia mencoba untuk bersikap senormal mungkin, tetapi ada luka yang perih di dalam hatinya dan rasa nyeri yang nyata di bagian bawah perutnya. Setiap gerakan terasa kaku, pengingat dari kejadian semalam yang tak ingin ia kenang. Pukul tujuh pagi, Ibu dan Ayah mertua sudah selesai sarapan. Mereka berdua berpamitan hendak pergi ke pasar. "Aria, kami berangkat dulu ya. Nanti makan siang jangan lupa dihangatkan," ujar Ibu sambil menepuk bahu Aria. Aria hanya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Hati-hati di jalan." Setelah pintu utama tertutup, suasana kembali hening. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring saat Aria menyelesaikan sarapannya sendiri. Pikirannya melayang pada Samudra. Pria itu, kakak iparnya, masih terlelap. Begitu pula dengan Raka. Untungnya Raka sudah terlelap setelah pukul 11 malam, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi sem
Raka masih duduk santai, menghisap rokoknya pelan, sesekali mengeluarkan asap sambil berceloteh soal kerjaan. Samudra mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Aria. Napasnya hangat, membuat bulu kuduk Aria meremang. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik, "Kamu tau nggak… bibir kamu kemarin itu masih kerasa manis sampai sekarang." Aria menahan napas, tangannya yang memijat bahu Raka sempat berhenti sepersekian detik. Untung Raka tidak sadar, malah sibuk memainkan ponselnya. Samudra menambahkan, kali ini suaranya makin rendah. "Kalau nggak ada dia di sini, udah dari tadi aku ambil lagi." Aria menggertakkan giginya, mencoba terlihat tenang. “Kamu… jangan gila,” desisnya pelan, sambil berpura-pura merapikan letak bantal di belakang Raka. Samudra tertawa kecil, senyum miringnya penuh tantangan. “Aku nggak gila… aku cuma ketagihan,” bisiknya lagi. Raka menoleh sebentar. “Ngomong apa kalian berdua?” tanyanya santai, matanya bergantian memandang Aria dan Samudra. Aria cep
Beberapa hari kemudian, Nadine pulang lebih awal dari biasanya. Jam dinding di ruang tamu baru menunjukkan pukul delapan malam, tapi rumah terasa… sepi. Adrian sedang duduk di sofa, ponsel di tangannya, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ngapain senyum-senyum sendiri?” Nadine langsung duduk di sampingnya, nada suaranya setengah bercanda, setengah curiga. Adrian kaget sedikit, lalu cepat-cepat mengunci layar ponsel. “Nggak, cuma baca chat grup kantor,” jawabnya datar. Nadine menatapnya lama. Selama ini, Adrian bukan tipe orang yang menutup-nutupi isi ponsel. Dan senyum itu… bukan senyum orang yang sedang bercanda dengan rekan kerja. Beberapa hari terakhir, Nadine memang merasa Adrian sedikit berubah. Tidak lagi menanyakan dia ada di mana kalau pulang larut, tidak lagi mengirim pesan “hati-hati di jalan” seperti dulu. Bahkan, tatapan Adrian terasa lebih dingin. “Anak-anak udah tidur?” Nadine mencoba membuka topik lain. “Udah,” jawab Adrian singkat. “Tadi Aria main ke sini sebentar,
Seminggu berlalu sejak malam itu. Aria berusaha tampil biasa saja di depan semua orang—senyum seperlunya, obrolan seadanya—namun diam-diam, kenangan akan hangatnya bibir Samudra terus menghantui pikirannya. Seakan setiap kali ia menyentuh gelas minum, ia kembali merasakan sentuhan itu.Samudra pun sama saja. Ada rindu yang menumpuk, ada keinginan yang mendesak untuk mengulang, tapi rumah terlalu ramai dengan saudara-saudara yang mondar-mandir. Kesempatan tidak pernah datang. Mereka hanya bisa saling curi pandang singkat, tanpa kata.Sore ini, Aria duduk di sebuah kafe yang cukup terkenal—Star Café. Aroma kopi bercampur wangi kue hangat memenuhi udara.Di hadapannya duduk Adrian, lelaki berwajah tegas namun terlihat letih, bersama dua bocah kembar berusia lima tahun, Alan dan Avan.Adrian adalah suami Nadine—wanita yang entah dengan keberanian macam apa mau menjadi selingkuhan Raka, suami Aria sendiri. Dan kedua bocah lucu itu adalah anak kandung Nadine.Aria tersenyum lembut, matanya
Begitu Raka selesai makan, ia berdiri dari meja. “Aku duluan, ya. Ngantuk banget.” Tanpa menunggu jawaban, Raka berjalan menuju kamar dan menutup pintu. Suara langkahnya semakin menjauh… lalu hilang. Aria menelan ludah, tangannya sibuk membereskan piring sambil berusaha menghindari kontak mata dengan Samudra. Namun begitu ia mengangkat kepala, Samudra sudah bersandar santai di kursinya, menatapnya dengan ekspresi seperti kucing yang baru menemukan tikus kecil di pojok ruangan. “Nah… katanya kita bebas mau ngapain…” ucapnya pelan, senyumnya melebar. Aria mendengus. “Bebas itu buat aku nyapu atau masak, bukan buat ngeladenin Kakak aneh-aneh.” Samudra berdiri, melangkah pelan mendekat. “Sayang sekali, Darling… aku maunya bebasnya beda.” Aria mundur selangkah, tapi Samudra justru semakin dekat. “Kak, aku lagi banyak kerjaan…” elaknya sambil memegang tumpukan piring, berharap itu bisa jadi alasan. Tapi Samudra malah mengambil satu piring dari tangannya, meletakkannya di meja, lalu