Dengan sengaja Samudra memeluk pinggang Aria, membuat Aria panik setengah mati.
“KA!” protes Aria berusaha mendorong Samudra untuk menjauh, namun pria itu semakin dekat dan berbisik. “Yes Darling? Mau apa? “ tanyanya dengan suara berat dan serak. Aria sangat kesal, ia ingin sekali memukul Kakak iparnya tapi ia urungkan karena tempat itu sangat ramai. Yang ada Aria akan mendapat masalah dan malu sendiri. “Mau keliling?” tanya Samudra lembut. “Kalo mau... Nanti Mas yang traktir,” lanjutnya menatap wajah Aria. “Gak!” tolak Aria singkat. Tatapan Aria tak lepas dari Adrian yang menemani anak-anaknya bermain, ada sedikit rasa kasihan yang tengah Aria rasakan. “Kasihan Alan sama Avan, mereka harus memiliki Ibu yang kecanduan selingkuh!” ucap Aria lirih dengan hembusan nafas pelan. Samudra mengangguk pelan dan menegakkan kembali posisi duduknya, “Buat apa kamu harus kasihan pada kurcaci itu? Sedangkan ibunya sendiri masa bodo dengan anak-anaknya!” ucap Samudra dingin. Aria menoleh dan menatap tajam, “Kakak kenapa sih kek gak suka gitu liat anak kecil?” tanya Aria kesal. Samudra menoleh dengan senyum smirk, “Kalo itu anak kita, saya baru kasihan dan akan menghukum kamu jika kamu selingkuh!” “Apa sih!” Samudra mendekatkan wajahnya pada Aria, “Kalo kamu selingkuh... Akan ku hukum kamu dengan membuatmu hamil lagi anak ku!!” ungkapnya dengan jujur. Aria berdiri lalu berjalan pergi. Ia muak jika harus berbicara dengan Samudra, bisa-bisa ia akan ketularan stresnya. Langkahnya terus ia mantapkan apa lagi ia merasakan jika di belakangnya ada sepasang kaki mengikutinya. “Aria?” panggil seseorang dari arah depan. Aria yang merasa namanya di panggil langsung menoleh kanan dan kiri, saat matanya lurus ke depan, ia melihat empat wanita cantik berdiri sambil melambaikan tangan. “Sini-sini!” seru ke empatnya. Aria mendekat dengan senyum lebar, “Kalian di sini juga?” “Iya dong, mumpung lagi libur kerja.” Jawab wanita berambut pendek sebahu. “Kamu kenapa gak sama Raka?” tanya wanita lain yang memakai jepit rambut. Tatapan wanita itu mengarah pada laki-laki di belakang Aria. “Kalian tau lah...” ujar Aria malas. Ke empatnya menatap tajam Aria, “GOVLOK!! UDAH TAU DI SELINGKUHIN, MASIH AJA SAMA DIA!!” maki ke empatnya dengan nada tinggi. “Ya ampun, kalian marahin aku?” tanya Aria dengan dramatis. “Dulu buta! Sekarang o’on plus govlok!!” imbuh Wanita yang memakai kerudung, wanita itu geram dan mencubit ke dua pipi Aria. “Aduh!” Aria meringis saat mendapat serangan cubitan. “Kalo donat udah gue makan lu!” lanjutnya dengan geram. “Aduh-aduh ampun, Wit.” Aria berusaha lepas, namun wanita berkerudung itu tak melepaskan. “Wita udah Wit, nanti nangis.” Ucap Rindi—wanita si rambut pendek se bahu. Wita yang memakai kerudung itu lalu melepaskan cubitannya, “Huh!” dengusnya dengan kesal. “Dia siapa, Ri?” tanya Rindi melirik Samudra. Aria, Wita dan yang satunya lagi bernama Puspa secara bersamaan melirik Samudra yang berada di samping Aria kini. “Orang ilang,” bisik Aria yang masih terdengar Samudra. “Orang ilang mah elo itu! Udah tau laki selingkuh, masih aja sama dia.” Kesal Wita. Puspa maju selangkah dan mengulurkan tangan pada Samudra, “Hai, nama aku Puspita. Panggil aja Puspa.” Samudra menatap uluran tangan Puspa cukup lama, “Samudra.” Jawabnya singkat dan menerima uluran Puspa pun singkat. “Tadi kita lihat suami lo lagi ciuman di belakang sekolah, Ri.” Ucap Rindi menatap serius Aria. “Sudah ku duga.” “Mau kita labrak aja?” tanya Wita. Aria melirik Samudra sekilas, pria itu balik menatap Aria dengan intens. “Belum saatnya, tunggu aku kasih aba-aba, baru kalian terjun ke bagian kalian.” Tutur Aria tersenyum sinis. Ke empat wanita itu mengangguk dengan wajah senang. Sejam berlalu, Aria dan Samudra sudah kembali ke tempat semula namun Raka dan Nadine belum kembali. Bahkan Adrian sudah beberapa kali menelefoni ponsel Nadine. Aria hanya memandangi Adrian yang kesal itu. Ia tau jika Adrian mulai curiga dengan Raka dan Nadine. Apa lagi Aria sudah mengatakan jika Raka tukang selingkuh, pastinya ada api curiga Adrian untuk Nadine. Sebuah tangan mendarat lagi di paha kiri Aria, membuat Aria menoleh dan memelototi Samudra. Ni si mesum bisa gak sih tau waktu, tau tempat?! Maki Aria dalam hati. Samudra yang di pelototi hanya menunjukkan senyum smirk. Tangan kekarnya terus merambat hingga meraba ke dalam baju Aria. PLAK!! Aria dengan keras menampar punggung Iparnya dengan sangat keras, “Maaf, Ka. Ada nyamuk!” ucap Aria beralasan. Sedangkan Samudra merasakan punggungnya panas, tangannya yang tadi meraba pun ia tarik karena tamparan Aria. Aria melirik kembali ke arah Adrian, pria itu masih saja mencoba menghubungi nomor istrinya. “Darling, kamu kayanya ingin di hukum ya?” ucap Samudra dengan suara tertahan. Ia berbisik tepat di telinga Aria, membuat Aria merinding sebadan. “Salah sendiri tangan nakal banget!” kesalnya. “Saya nakal hanya ke kamu, Aria!!” bisik Samudra. “Kalo kamu mau... Nanti pas suami kamu tidur, saya bisa menemani mu tidur.” Aria yang mendengar itu semakin merinding, ia takutnya jika Samudra beneran nekat dan datang ke kamarnya, apa lagi jika suaminya sudah tidur pasti kaya orang mati. "Kalo mau, nanti saya beli tiga barang buat nanti kita bercumbu. nanti kalo kamu hamil, saya gak jamin buat rebut paksa kamu dari adik saya!" bisik Samudra membuar Aria mematung.Siang itu, setelah makan bersama dan membereskan dapur, suasana rumah mulai kembali normal. Ibu Saima dan Pak Narto tengah duduk di meja makan, sibuk membicarakan rencana acara keluarga dua hari lagi. Aria sedang menata gelas di rak ketika Raka muncul dari kamar dengan pakaian rapi—kaos polos biru tua dan celana jeans."Aria," panggilnya sambil meraih kunci motor di meja. "Aku mau ketemu Dodi, teman kerja. Ada urusan sedikit."Aria menoleh, menatap wajah suaminya yang tenang-tenang saja. Senyum tipis ia pasang, meskipun di dalam hati, ia sudah tahu persis bahwa ‘Dodi’ hanyalah kedok. Bukan Dodi yang akan ditemui Raka, tapi perempuan itu—selingkuhannya—di sebuah hotel yang pasti sudah mereka sepakati.Ia tidak ingin membuang energi untuk bertanya atau memprotes. Aria hanya menjawab pelan, "Oh, hati-hati di jalan."Raka mengangguk singkat, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Suara motor menjauh, meninggalkan kesunyian yang terasa menyisakan perasaan sesa
Pagi itu, rumah sudah kembali pada rutinitasnya. Aria sudah berada di dapur sejak pukul empat subuh, mengerjakan tugasnya seperti biasa. Ia mencoba untuk bersikap senormal mungkin, tetapi ada luka yang perih di dalam hatinya dan rasa nyeri yang nyata di bagian bawah perutnya. Setiap gerakan terasa kaku, pengingat dari kejadian semalam yang tak ingin ia kenang. Pukul tujuh pagi, Ibu dan Ayah mertua sudah selesai sarapan. Mereka berdua berpamitan hendak pergi ke pasar. "Aria, kami berangkat dulu ya. Nanti makan siang jangan lupa dihangatkan," ujar Ibu sambil menepuk bahu Aria. Aria hanya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Hati-hati di jalan." Setelah pintu utama tertutup, suasana kembali hening. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring saat Aria menyelesaikan sarapannya sendiri. Pikirannya melayang pada Samudra. Pria itu, kakak iparnya, masih terlelap. Begitu pula dengan Raka. Untungnya Raka sudah terlelap setelah pukul 11 malam, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi sem
Raka masih duduk santai, menghisap rokoknya pelan, sesekali mengeluarkan asap sambil berceloteh soal kerjaan. Samudra mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Aria. Napasnya hangat, membuat bulu kuduk Aria meremang. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik, "Kamu tau nggak… bibir kamu kemarin itu masih kerasa manis sampai sekarang." Aria menahan napas, tangannya yang memijat bahu Raka sempat berhenti sepersekian detik. Untung Raka tidak sadar, malah sibuk memainkan ponselnya. Samudra menambahkan, kali ini suaranya makin rendah. "Kalau nggak ada dia di sini, udah dari tadi aku ambil lagi." Aria menggertakkan giginya, mencoba terlihat tenang. “Kamu… jangan gila,” desisnya pelan, sambil berpura-pura merapikan letak bantal di belakang Raka. Samudra tertawa kecil, senyum miringnya penuh tantangan. “Aku nggak gila… aku cuma ketagihan,” bisiknya lagi. Raka menoleh sebentar. “Ngomong apa kalian berdua?” tanyanya santai, matanya bergantian memandang Aria dan Samudra. Aria cep
Beberapa hari kemudian, Nadine pulang lebih awal dari biasanya. Jam dinding di ruang tamu baru menunjukkan pukul delapan malam, tapi rumah terasa… sepi. Adrian sedang duduk di sofa, ponsel di tangannya, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ngapain senyum-senyum sendiri?” Nadine langsung duduk di sampingnya, nada suaranya setengah bercanda, setengah curiga. Adrian kaget sedikit, lalu cepat-cepat mengunci layar ponsel. “Nggak, cuma baca chat grup kantor,” jawabnya datar. Nadine menatapnya lama. Selama ini, Adrian bukan tipe orang yang menutup-nutupi isi ponsel. Dan senyum itu… bukan senyum orang yang sedang bercanda dengan rekan kerja. Beberapa hari terakhir, Nadine memang merasa Adrian sedikit berubah. Tidak lagi menanyakan dia ada di mana kalau pulang larut, tidak lagi mengirim pesan “hati-hati di jalan” seperti dulu. Bahkan, tatapan Adrian terasa lebih dingin. “Anak-anak udah tidur?” Nadine mencoba membuka topik lain. “Udah,” jawab Adrian singkat. “Tadi Aria main ke sini sebentar,
Seminggu berlalu sejak malam itu. Aria berusaha tampil biasa saja di depan semua orang—senyum seperlunya, obrolan seadanya—namun diam-diam, kenangan akan hangatnya bibir Samudra terus menghantui pikirannya. Seakan setiap kali ia menyentuh gelas minum, ia kembali merasakan sentuhan itu.Samudra pun sama saja. Ada rindu yang menumpuk, ada keinginan yang mendesak untuk mengulang, tapi rumah terlalu ramai dengan saudara-saudara yang mondar-mandir. Kesempatan tidak pernah datang. Mereka hanya bisa saling curi pandang singkat, tanpa kata.Sore ini, Aria duduk di sebuah kafe yang cukup terkenal—Star Café. Aroma kopi bercampur wangi kue hangat memenuhi udara.Di hadapannya duduk Adrian, lelaki berwajah tegas namun terlihat letih, bersama dua bocah kembar berusia lima tahun, Alan dan Avan.Adrian adalah suami Nadine—wanita yang entah dengan keberanian macam apa mau menjadi selingkuhan Raka, suami Aria sendiri. Dan kedua bocah lucu itu adalah anak kandung Nadine.Aria tersenyum lembut, matanya
Begitu Raka selesai makan, ia berdiri dari meja. “Aku duluan, ya. Ngantuk banget.” Tanpa menunggu jawaban, Raka berjalan menuju kamar dan menutup pintu. Suara langkahnya semakin menjauh… lalu hilang. Aria menelan ludah, tangannya sibuk membereskan piring sambil berusaha menghindari kontak mata dengan Samudra. Namun begitu ia mengangkat kepala, Samudra sudah bersandar santai di kursinya, menatapnya dengan ekspresi seperti kucing yang baru menemukan tikus kecil di pojok ruangan. “Nah… katanya kita bebas mau ngapain…” ucapnya pelan, senyumnya melebar. Aria mendengus. “Bebas itu buat aku nyapu atau masak, bukan buat ngeladenin Kakak aneh-aneh.” Samudra berdiri, melangkah pelan mendekat. “Sayang sekali, Darling… aku maunya bebasnya beda.” Aria mundur selangkah, tapi Samudra justru semakin dekat. “Kak, aku lagi banyak kerjaan…” elaknya sambil memegang tumpukan piring, berharap itu bisa jadi alasan. Tapi Samudra malah mengambil satu piring dari tangannya, meletakkannya di meja, lalu