Sementara itu di kamar yang muram, Cindy menangis dan memohon agar dilepaskan. Ia bahkan tidak mengerti atas apa yang terjadi atau siapa pria yang sedang menindih tubuhnya.
“Tolong lepaskan aku, tolong!” Cindy terisak putus asa. Air matanya terus mengalir dengan wajah yang memerah. Ia bahkan tak kuasa melawan saat Sebastian menghunjamkan cucup kasar ke kulit lehernya yang lembut dan mulus.
Deru napas Sebastian begitu panas. Ia berada di antara amarah dan kerinduan yang dalam. Marah karena Cindy memilih pria lain dan marah karena wanita itu tidak mengingatnya lagi.
“Untuk apa kamu menangis? Huh, kamu pura-pura gak kenal sama aku,” geram Sebastian dengan sebelah tangannya mencengkeram rahang Cindy. Ia menyentakkan Cindy yang terisak. Perlahan Cindy diam menenangkan diri. Ia menelan ludah lalu membuka mata dan berusaha menatap Sebastian yang menatapnya dengan pandangan liar serta tajam.
Sejenak Cindy menatap mata pria itu. Bola mata itu seakan tak asing baginya. Otak Cindy sedang berpikir keras di mana ia pernah mengenal atau melihat pria itu di suatu tempat. Ia membongkar tumpukan memori lama di kepalanya. Siapa dia?
“Siapa kamu?” tanya Cindy pelan dan lembut. Ada kepasrahan dalam nada bicaranya. Ia tidak berubah, masih Cindy yang sama. Sebastian mengeraskan rahangnya yang juga ikut memandangnya sempat melembutkan pandangannya. Jika itu adalah pandangan kekasih, Cindy pasti sudah didekap mesra.
“Kamu melupakan aku? Semudah itu?” jawab Sebastian dengan sisa keangkuhannya. Cindy masih tertegun. Matanya jatuh lalu dengan cepat mengambil kesempatannya. Ia mendorong dan keluar dari cengkeraman Sebastian yang menindihnya.
Sebastian terkesiap kaget lalu tersenyum dan terkekeh. Cindy menyudutkan dirinya dengan napas tersengal mencoba melarikan diri. Sebastian yang ikut bangun secepat kilat berjalan pada pintu kamar lalu menguncinya. Cindy ikut berlari ke arah pintu tapi kalah gesit. Ia terpaksa mundur.
“Siapa yang mengajarkanmu untuk berbuat curang, Sayang? Melvin?” Sebastian mengolok lalu berjalan selangkah demi selangkah pada Cindy.
“Pergi kamu! Aku gak kenal sama kamu!” Cindy balas menghardik. Ia lebih mirip anak kucing yang ketakutan pada harimau yang berjalan ke arahnya.
“Kamu masih curang dan licik seperti dulu, ternyata kamu cuma memanfaatkan situasi. Huh, benar-benar seperti Cindy Andriana yang sudah membuatku masuk penjara,” imbuh Sebastian masih terus menyudutkan Cindy. Cindy membesarkan matanya. Ia yakin jika pria di depannya adalah seseorang dari masa lalu, tapi siapa dia?
Tangan Sebastian menarik paksa tangan Cindy yang lengah lalu menghempaskannya kembali ke ranjang. Cindy melawan tapi tangan itu dengan cepat menarik gaunnya sampai robek. Cindy berteriak meminta tolong karena ia tahu akan terjadi kejahatan untuknya kali ini.
“Tolong aku!”
Sebastian tak memiliki rasa kasihan saat meraih dan menindih Cindy lagi di ranjang yang sama. Kali ini ia membuka kancing kemeja setelah menarik lepas dasi. Cindy makin ketakutan. Ia menangis, menjerit, serta meminta pertolongan.
“Tolong, jangan lakukan! Aku mohon, aku mohon! Lepaskan aku!” Cindy terisak berusaha keras menjauhkan jamahan Sebastian dari tubuhnya. Sebastian sudah sempat melunak kembali keras. Ia mencengkeram rahang Cindy lalu meremasnya.
“Kalau kamu terus berteriak, aku akan membuat kamu gak akan bisa berjalan, Sayang!” Sebastian mengancam Cindy agar ia diam tak lagi melawan. Cindy menahan isak dan ketakutannya. Mata cantiknya basah oleh air mata. Kali ini ia memang sudah diambang kehancuran saat wajah Sebastian mendekat. Ujung bibirnya terangkat dengan mata tak berkedip mendominasi Cindy.
“Gadis baik! Sekarang dengarkan aku ....” Sebastian mendekat pada telinga Cindy berbisik seraya menghembuskan udara lewat mulutnya.
“Kamu akan aku lepaskan dengan satu syarat. Layani aku sekarang, jangan mencoba melawan atau aku akan mencambuk kamu. Mulai sekarang, kamu harus datang sendiri dan menyerahkan dirimu padaku. Jangan pernah coba-coba kabur, Sayang. Aku pasti akan mengejarmu sampai ke ujung dunia. Kamu gak akan pernah lolos,” desau Sebastian lalu menggigit ujung telinga Cindy mencoba menggodanya. Akan tetapi, Cindy merasa sebaliknya. Ia memejamkan mata bergidik jijik pada apa yang dilakukan pria asing itu pada tubuhnya.
Tangan Sebastian meraba bagian atas dada sebelah kiri. Ia meremas lalu menarik gaun yang menutupi tubuh Cindy sampai robek. Cindy memekik tertahan. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat masih dengan mata terpejam erat. Sebastian kembali mencengkeram rahang Cindy dan memerintah.
“Buka mata kamu!” Cindy masih belum mau membukanya.
“Cindy, jika kamu tidak mau membuka matamu, akan kuhabisi Melvin sekarang,” imbuhnya terus mengancam. Cindy membelalakkan matanya dan seringai jahat itu kembali terlihat.
“Lihat aku baik-baik. Ingat wajahku karena mulai sekarang, aku akan menjadi mimpi burukmu selamanya, Cindy.”
Cindy tidak menjawab. Samar-samar ingatannya tentang si pemilik mata setajam elang itu muncul di pikirannya. Sebastian sudah tidak mau menahan dirinya. Bibirnya lantas terbenam menjamah kulit selangka milik Cindy. Cindy memekik lalu berteriak untuk melepaskan diri. Sebastian yang tidak suka mendengar jeritan, lantas mengikat mulut Cindy dengan dasi. Tidak hanya mulut, kedua tangan Cindy diikat menggunakan tali pinggang Sebastian. Cindy menggelengkan kepalanya mencoba melawan tapi tenaganya kalah besar dari Sebastian.
Dengan napas tersengal dan penuh nafsu, Sebastian mengentakkan kaki Cindy dan kembali menindihnya. Kali ini, Sebastian telah melepaskan sedikit celananya.
“Jangan bergerak, Sayang. Kamu cuma hanya buang tenaga melawan aku!” desau Sebastian lalu menekan miliknya pada Cindy. Cindy hanya bisa berteriak tertahan dari balik belit dasi yang menekan mulutnya. Air matanya keluar dan yang bisa dilakukan Cindy hanyalah memejamkan matanya.
Sebastian tidak peduli pada rasa sakit yang dirasakan oleh Cindy. Ia bergerak cukup agresif menjamah Cindy yang tidak berdaya. Setelah pelepasannya, Cindy tidak lagi bisa bergerak. Ia sudah pasrah menerima sementara Sebastian terengah pelan. Hidungnya sempat membaui Cindy sebelum ia melepaskan diri.
Sebastian bangkit dari tubuh Cindy dan berdiri. Ia menarik kembali celana dan mengaitkannya. Lalu memungut jas dari lantai dan mencangklongkan ke pundak. Sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sambil terus menatap Cindy.
“Kita akan bertemu lagi .... “ Cindy masih menatap kosong pada Sebastian yang masih menyeringai padanya.
Sebastian kembali mendekat lalu menekan sisi ranjang dengan sebelah kakinya. Ia mencondongkan tubuhnya pada Cindy yang menatap ketakutan pada Sebastian. Tubuh Cindy belum sepenuhnya tertutup.
“Laki-laki yang kamu sebut suami itu kalah judi dariku. Jadi dia mempertaruhkan kamu sebagai harta terakhirnya. Aku sangat terkesan dengan laki-laki pengecut seperti itu yang kamu nikahi. Dia memilih menyelamatkan dirinya daripada kehormatan kamu,” ujar Sebastian menjelaskan.
Cindy terpaku dengan pelupuk mata penuh air mata. Rasanya seperti hancur sehancurnya mendengar suaminya menjualnya seperti barang.
“Malam ini sampai di sini, Sayang, tapi ingat ... utang tetap harus dibayar.” Sebastian menyisir tubuh Cindy sekali lagi sebelum berbalik pergi meninggalkan wanita itu di ranjangnya.
Cindy meringkuk dan menangis sejadinya setelah Sebastian pergi. Hatinya hancur dan tubuhnya terasa kotor. Cindy jadi tidak berani keluar dari kamar. Ia bersembunyi di balik selimut sambil menangis sesenggukan.
Sementara itu di bar, Melvin menatap gelas wiski yang ia pegang lalu menegak isinya sampai habis. Setelah separuh membanting gelas yang dipegangnya, ia menyugar gusar rambutnya dan menundukkan kepala. Rasa bersalah telah menjual istrinya mendera nuraninya sebagai seorang suami. Terlebih belakangan Melvin mulai menyukai dan menyayangi Cindy. Akan tetapi, malam ini Melvin berubah menjadi monster yang menukar sang istri dengan utang-utangnya.
“Maaf, Tuan. Anda harus membayar jika masih ingin minum,” ujar bartender menegur Melvin yang sudah menghabiskan setengah botol wiski. Melvin menarik napas panjang lalu merogoh saku dan membuka dompetnya. Ia mengeluarkan kartu kredit dan memberikannya pada bartender itu.
“Oh, Cindy. Maafin aku,” desah Melvin bergumam seraya mengusap wajahnya. Beberapa kali ia memejamkan mata tapi bayangan wajah Cindy yang tak mau pergi. Melvin menepis rasa bersalahnya dengan minum kembali. Ia ingin mabuk dan melupakan semuanya.
Satu jam kemudian, Melvin kembali. Ia masuk ke kamarnya dalam keadaan mabuk. Dari pintu kamar ia melihat istrinya Cindy meringkuk di balik selimut separuh telanjang. Dandanannya rusak dan rambutnya kacau. Dari wajahnya terlihat jelas jika ia sudah terluka.
“Cindy ....”
Cindy tidak bergerak dan meringkuk di balik selimut yang membalut tubuhnya. Ia membelakangi Melvin yang duduk di ujung ranjang. Melvin masih cukup sadar dari mabuknya untuk melihat keadaan Cindy.“Cindy?” sebutnya pelan.“Pergi,” jawab Cindy dengan suara pelan nyaris tak terdengar. Melvin menundukkan kepalanya lalu berdiri dan keluar lagi dari kamar. Dari pada harus menghadapi kesedihan Cindy, Melvin pun kembali keluar dari kamar. Sedangkan Cindy tidak sanggup bangun untuk menghadapi kenyataan yang terjadi. Ia merasa kotor dan sangat tidak berharga. Air mata Cindy terus menetes dan akhirnya ia hanya terisak.“Mengapa ini terjadi padaku?” isak Cindy pelan memeluk bantal serta terus menangis. Sementara Melvin pergi menghabiskan waktu di kamar lain. Ia tahu apa yang terjadi pada Cindy dan yang bisa ia lakukan adalah berpura-pura tidak tahu.Keesokan harinya, Melvin kembali ke kamar Cindy untuk menemui istrinya. Di depan pintu, ia sempat berdiri untuk berpikir. Setelah beberapa saat, Melv
Beberapa hari setelahnya, Melvin memanggil seluruh pelayan di rumah mewahnya. Pagi-pagi sekali ia memecat seluruh pelayan yang terdiri dari lima orang pembantu, dua sopir dan tiga satpam. Melvin membayarkan pesangon saat itu juga dan meminta mereka pergi. Cindy yang kebingungan melihat sikap suaminya kemudian datang menghampiri.“Mas, kenapa kamu memecat mereka? Mereka salah apa?” tanya Cindy dengan kening mengernyit.“Mulai sekarang kamu akan bekerja sendiri. Aku udah gak sanggup bayar pembantu.” Melvin menjawab dengan tegas. Ia tampak menahan marah pada Cindy yang tidak bersalah.“Tapi ....”“Aku kan sudah bilang kalau kamu mau tetap bisa hidup mewah kamu harus bekerja, tapi kamu ngotot masih tetap jadi ibu rumah tangga. Kita kan belum punya anak. Seharusnya gampang buat kamu bekerja di luar,” sahut Melvin kembali marah. Cindy hanya diam dan menundukkan wajahnya. Mimpi buruknya bahkan belum pulih sepenuhnya dari kejadian dua minggu lalu. Sekarang ia sudah dipaksa bekerja lagi oleh s
Cindy terus menundukkan wajahnya kala mengetahui jika Sebastian Arson adalah CEO yang akan menjadi bosnya. Padahal susah payah Cindy mencoba memulihkan diri dari kejadian dua minggu lalu dan kini ia malah masuk perangkap Sebastian.“Tanda tangan kontrak kamu sekarang!” Sebastian memerintahkan Cindy setelah manajer HRD meletakkan sebuah dokumen di depan Cindy. Cindy mengangkat kepalanya lalu matanya mengarah dari Sebastian ke kontrak kerja di depannya. Cindy lalu menggeleng cepat dan menolak.“Maaf, saya tidak jadi melamar pekerjaan ini,” jawab Cindy dengan suara rendah sekaligus bergetar. Manajer HRD dan wakil CEO, Edward Harsa langsung menoleh pada Cindy. Sedangkan Sebastian duduk di sofa di depan Cindy dengan sikap angkuh dan sebelah tangan terlipat mengepal di dekat wajahnya. Pandangan Sebastian yang tajam membuat Cindy takut. Cindy nyaris meneteskan air mata karenanya. Seketika tubuhnya sakit seperti saat malam kelabu itu kembali lagi.“Tapi Bu Cindy sudah diterima bekerja dan seh
Cindy begitu kaget saat Sebastian mendorongnya ke pinggir meja di depan kursi. Sebastian masih dalam posisi duduk dan Cindy dipaksa bersandar di ujung meja.“Ah, lepas! Bapak mau apa!?” Cindy mencoba melawan tetapi tangan Sebastian dengan cepat menaikkan sebelah kaki paha Cindy. “Diam!” ancam Sebastian sedikit melotot. Cindy sedikit terengah dan ketakutan saat tangan Sebastian memegang pahanya. Sebelah tangan lagi mengambil plester luka dan lalu menempelkannya pada lutut Cindy yang terluka. Barulah Cindy berhenti.“Ahh.” Cindy sedikit mengaduh karena rasa sakit dari lututnya yang berdarah. Sebastian tak peduli lalu mengambil selembar tisu untuk menyeka sisa darah yang akan mengering.“Jangan pikir aku sedang berbaik hati.” Sebastian tiba-tiba bicara, lalu matanya naik memandang Cindy yang masih sangat gugup dan takut. Ujung bibirnya naik saat tangannya yang semula menempelkan plester kini mengelus kulit paha Cindy dari lutut semakin naik ke atas.Rasa tidak nyaman dan tidak suka lang
Saat pintu ruang CEO terbuka, seorang pria masuk dan berhenti di dekat pintu. Saat itulah, Sebastian yang sedang mencekal Cindy lantas berpaling dan melepaskan cengkeramannya. Cindy seperti tak punya tungkai, ia jatuh ke lantai terduduk begitu saja.Pria itu melirik pada Cindy dengan tatapan dingin lalu kembali pada Sebastian yang menahan amarah dan geraman pada rahangnya.“Maaf mengganggumu, Pak,” ujar pria tersebut. Sebastian tidak menjawab dan kembali melihat pada Cindy yang sedang terengah meraih udara ke paru-parunya.“Kenapa kamu diam sekarang?” hardik Sebastian. Cindy tidak mau menjawab. Air matanya terus tumpah dari sudut matanya. Ia merasa dirinya begitu kotor saat ini, disentuh berkali-kali oleh pria yang tidak ia kenal. Padahal dirinya adalah seorang istri dari pria terhormat.“Masih gak mau liat aku?” gumam Sebastian dengan nada rendah yang sama. Sebastian berdiri angkuh di depan Cindy yang menarik pelan ujung blazernya agar menutupi tubuh depannya lagi. Pandangan matanya
Cindy duduk di sofa di ruangannya dengan kedua tangan tetap memegang ujung blazernya agar tidak memperlihatnya bagian depan tubuhnya. Ia tengah memperhatikan beberapa dokumen yang diletakkan di atas meja oleh seorang pengacara bernama Lefrant Emir.“Ini adalah seluruh rincian pinjaman uang yang sudah diterima oleh suami Anda, Melvin Hadinata pada Bapak Sebastian Arson. Perjanjian terakhirnya adalah Melvin menyerahkan Anda sebagai jaminan utang yang harus ia tebus dalam waktu satu minggu. Sayangnya, ini bahkan sudah jatuh tempo dan melewati tenggat waktu bayar,” ujar Lefrant dengan sikap dingin.Pria berkaca mata itu memandang Cindy yang tampak tertegun sekaligus ketakutan. Cindy meneteskan air matanya tanpa ia sadari. Matanya menatapi lagi dokumen perjanjian utang Melvin.“Berapa jumlahnya?” Cindy bertanya dengan suara sangat rendah.“Totalnya 15 milyar.” Cindy membuka mulutnya tak percaya lalu mengatupkannya lagi erat-erat. Kedua tangannya mengepal serta meremas ujung blazer sambil m
Cindy menggeleng cepat dan tidak mau menuruti Sebastian sama sekali. Pria gila yang sekarang menjadi bosnya itu tetap menatap tajam pada Cindy. Setelah tanpa rasa malu memintanya melepaskan pakaian, Sebastian masih berlaku kasar. Ia menarik ujung blazer Sofie sampai terlepas. “Ahk, jangan!” pekik Sofie karena blazernya dipaksa lepas oleh Sebastian yang menariknya dengan kasar. Lefrant Emir hanya diam saja menyaksikan bos sekaligus sahabatnya itu tengah menyiksa Cindy. “Ini akibatnya jika kamu gak mau nurut!” bentak Sebastian. Ia menyentakkan blazer yang masih terpasang di tubuh Cindy dengan rasa kesal yang luar biasa. Sebastian terengah karena emosi yang menumpuk untuk Cindy. Sedangkan Cindy menahan keras isak tangisnya meski tak bisa. “Apa sih maumu?” Sebastian kembali membentak. “Lepaskan saya, Pak. Saya gak tahu apa pun.” Cindy menangis pelan serta memohon. Kulitnya sudah sakit serta perih karena gesekan keras dari blazer yang ditarik paksa tersebut. Sebastian masih belum berhen
Dengan menumpang sebuah taksi, Cindy pulang ke rumahnya. Hari masih sore tapi bagi Cindy semua telah berubah malam─gelap dan dingin. Matanya terus memandang ke arah luar. pandangan kosong dengan bekas jejak air mata yang sudah mengering di sudut mata. Rasa sesak sudah berganti dengan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan. Hari ini adalah hari pertama. Lantas apa yang akan terjadi besok? Apakah Cindy harus menghadapi hal yang sama. Tidak, dia tidak akan pernah sanggup.“Bu, sudah sampai.” Teguran sopir taksi online sedikit menyentakkan Cindy dari lamunannya yang sudah menerawang jauh. Cindy mengangguk lalu mengambil dompet untuk menarik dua lembar uang lima puluh ribuan lalu memberikannya pada sopir tersebut. Setelah membayar, Cindy keluar dari mobil dengan rasa sakit yang masih terasa di bawah tubuhnya. Cindy sudah berganti pakaian dengan dress baru karena pakaiannya telah dirusak Sebastian.Di depan rumahnya yang mewah, Cindy melihat mobil Melvin terparkir