LOGINSatu minggu penuh Nora terserang demam. Lemah kondisi tubuhnya mengakibatkan wanita itu tak bisa berangkat bekerja. Ditambah Isaac yang selalu menemani Nora setiap malam malah semakin memperburuk kondisi kesehatanya.
Abigail tak berkutik kala Isaac memanggilnya untuk menjelaskan kondisi Nora saat ini. Pasalnya, dari hari pertama demam hingga saat ini kondisi kesehatan Nora sama sekali tak membaik. Bimbang dokter paruh baya ini hendak menjelaskan jika alasan utama wanita itu sakit ialah karena Isaac terus berada di sekitarnya. "Kondisinya masih belum membaik?" tanya saac. Duduk pada kursi kebesaran di dalam ruang pribadinya. Pria itu menghisap cerutu. "Sí, Senor." "Padahal dia meminum obat secara teratur," cetus Isaac. Sebab dirinyalah yang selalu memberikan Nora obat setiap malam. Melalui mulut ke mulut. Berlalu Isaac keluar dari ruanganya meninggalkan Abigail. Hanya mampu menghela napas pria paruh baya itu sebab ia tahu ke mana senornya akan pergi. Ruang pribadi gelap kini sebab lampu mansion yang dimatikan seluruhnya. Gontai Isaac pada lorong yang gelap. Menghentak menggema suara dari sepatu kulit yang membalut kakinya. Berdiri di depan pintu sebuah ruangan, ia hisap cerutu pada selah bibirnya kemudian masuk setelah membuang asap tebal di udara. Di dalam ruangan yang gelap, terbaring lemah Nora di atas ranjang pun mencoba membuka matanya. Samar melihat bayang-bayang Isaac membuat jantungnya yang lemah terpaksa bekerja keras dua kali lipat. "Senor ...." "Bangun, Nora, lalu hisaplah." Isaac memberi titah. Hisaplah .... Isaac menyodorkan cerutu untuk Nora hisap. Mekipun tak pandai Nora melakukanya, namun isaac tak menerima sebuah penolakan. "Hisaplah asap yang ada di dalam mulutmu hingga turun melalui kerongkongan." Lantas Nora lakukan apa yang Isaac perintahkan. Aroma dari asap cerutu itu menusuk pada indera penciumanya, amat kuat tapi menenangkan. Itu membuat candu. Hendak Nora hisap kembali namun Isaac menariknya, mendorong dada Nora hingga terbaring lagi pada ranjang. "Sepertinya obat-obatan sudah tak mempan bagi tubuhmu, Nora." Itu karena Anda yang memberikanya setiap malam, Senor Isaac Vargas. ******* "Senor Isaac Vargas." Rayan Lenero tertawa bahagia menyambut menantu sekaligus pemasok bijih besi utama pada bisnisnya dengan hangat. Merentangkan kedua tangan pria paruh baya itu lantas memeluk tubuh besar Isaac ringan. Isaac datang dengan gagah penampilanya. Masih tak menampakan wajah asli yang ditutup sengaja oleh topi, masker wajah, serta kaca mata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya. Berada di dalam private golf dua pria itu. Membicarakan mengenai bisnis lalu berakhir pada masalah putri Rayan Lenero. "Aku dengar Nora mengalami demam selama satu minggu." Rayan lebih dulu menyinggung. Duduk menyender Isaac pada sofa tunggal. Membuka cukup lebar dua kakinya kala ia terduduk. Menunduk wajahnya tertutup sebagian topi. Sekedar asap tebal dari cerutu yang pria itu hisap yang bisa dilihat oleh Rayan Lenero. Pandangan Rayan tajam mengarah pada menantunya. Bergerak pandanganya mencoba menelisik bagian tertentu dari wajah Isaac yang bisa ia lihat. "Putrimu bergerak liar, Rayan." Isaac berkata. Kelam dan dingin nada suara pria itu terdengar di telinga dari balik masker hitam yang yang ia kenakan. "Nora? Apa yang telah dia lakukan?" Alis Rayan mengeryit dalam. "Istri walikota itu menyulitkan bisnis istriku dengan kekuasaanya," ungkap Isaac. Menghisap kembali cerutu pada apitan bibirnya. "Laventa?" "Kuharap kau bisa lebih memperhatikan sikap putri keduamu. Jika tidak ingin menerima konsekuensi karena telah mengusik nyonya besar Vargas." "Tidak hanya istri walikota itu yang akan hancur, bahkan bisnis kapal pesiarmu serta nama besar Lenero akan ikut dimusnahkan. Akan kutarik semua pasokan bijih besi pada bisnismu jika sekali lagi wanita itu berani mengusik ketenangan Nora." "Ingat itu baik-baik." Isaac berdiri, menjulang tinggi besar sosok pria itu di hadapan tubuh Rayan Lenero yang sudah tua renta. Berlalu pergi tanpa ucapan, hanya menyisakan ancaman peringatan pada Rayan atas apa yang telah putri keduanya lakukan. PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat pada pipi Sarah—istri Rayan sekaligus ibu dari Laventa. Meringis memegang pipinya yang amat panas sebab tamparan suaminya padahal dirinya baru saja masuk ke dalam ruangan setelah memastikan Isaac telah keluar pergi. "Kenapa kau menamparku?" Sarah menekankan suaranya. Kesal sebab Rayan tiba-tiba menamparnya tanpa ia ketahui alasan yang jelas. "Putrimu, Sarah!" Rayan menegaskan. "Peringati putrimu agar tak menganggu ketenangan hidup kakaknya, istri Isaac Malen Vargas. Pria itu datang pribadi menemuiku hanya untuk memberiku peringatan, menunjukan betapa berkuasa dirinya di hadapanku." Rayan menggeram samar, memelotot mata pria paruh baya itu sebab bergejolak amarahnya. Tak bisa ia terima ancaman Isaac hanya karena masalah sepele seperti itu, bahkan dengan berani Isaac menyinggung tentang pasokan bijih besi yang pria itu berikan padanya. "Hubungi Laventa untuk menghadap pada diriku." Rayan memberi perintah pada istrinya. Tanpa menerima penolakan. ****** Perkumpulan konglomerat yang diadakan satu bulan sekali pada arena pacuan kuda. Telah berkumpul semua wanita di sana pun telah lengkap mereka memakai stelan khusus berkuda. Nora tampil cantik dengan stelan serba hitam, serta sepatu boots panjang hampir menuju lututnya. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan terurai. Berkibar cantik kala ia menunggangi kuda putih kesayangannya, Verletta. Ia melihat adiknya yang hanya duduk terdiam tak menunggangi kuda seperti yang lain. Dapat ia lihat dengan jelas lebam pada wajah Laventa yang wanita itu coba tutup menggunakan riasan tebal. Laventa mendongak melirik Nora yang berdiri di hadapanya seraya menyodorkan minuman dingin. Ia tebas langsung tangan Nora hingga minuman dingin itu terlempas dari tanganya. Di tepi pacuan kuda hanya ada Nora dan Laventa berdua saja sebab, semua orang tengah sibuk dengan pelatihan mereka masing-masing. Para pengawal dari semua wanita- wanita itu pun tak diijinkan untuk memasuki arena karena akan menganggu suasana. Sehingga tak ada yang bisa melihat perlakuan buruk Laventa kepada Nora. "Tidak perlu kau peduli padaku. Ini semua karena kau yang sengaja mengadu pada ayah, bukan?" cerca Laventa. Beranjak berdiri serta memelot marah pada Nora. Nora memandang tanpa ekspresi pada Laventa. Dirinya tahu jika luka lebam yang dimiliki oleh adiknya merupakan perbuatan Rayan yang tak segan melayangkan pukulan pada putrinya ketika pria tua itu sedang kesal. Namun, tak Nora duga jika namanya akan ikut terseret ke dalam kasus kali ini. "Cih. Menghancurkanku katanya, lihat siapa yang akan lebih hancur dari siapa." Tanpa segan Laventa menjambak rambut Nora kuat, menyeret wanita itu menuju tempat pemandian kuda lalu menghempaskan tubuh Nora hingga membentur lantai, lantas ia tindih tubuh Nora dengan cepat. Seperti kehilangan akal sehat. Laventa menampar berkali-kali pipi Nora kiri dan kanan. Sama persis seperti perlakuan Rayan kemarin terhadapnya. Ia sumpal mulut Nora menggunakan syal lalu mencekik leher Nora kuat-kuat. Hampir kehilangan napas Nora masih terus mencoba melawan kuatnya tenaga Laventa yang seperti kesetanan. "Ini yang dia lakukan padaku, Nora! Kau juga harus merasakanya. Jangan karena kau telah menjadi nyonya besar Vargas lantas kau tak bisa mendapatkan pukulan dari pria tua bangka itu lagi. Rayan yang tunduk takut pada suamimu, tapi justru aku yang akan dengan sangat berani menggantikanya untuk memukul dirimu." Secara brutal Laventa menghajar perut Nora berkali-kali, menginjak kuat membuat ngilu sehingga Nora tak memiliki tenaga untuk bangkit dan melawan melawan. Lalu, ia menyayat nadi pada pergelangan tangan Nora seraya tertawa lebar. Bahagia atas kehancuran saudarinya sendiri. Hal terakhir yang Laventa lakukan ialah membuat Nora meminum obat-obatan terlarang yang mampu membuat Nora tak sadarkan diri. Membiarkan wanita itu mati kehabisan darah tanpa bisa meminta pertolongan kepada siapapun, bahkan Isaac yang agung tak akan mampu menyelamatkan nyawanya. "Matilah secara perlahan, nikmati sisa-sisa kehidupanmu pada ruang yang gelap dan dingin ini." Setelah puas pun melihat tubuh Nora yang terkapar lemas, Laventa mengakhiri siksaanya. Segala ia bawa barang bawaan miliknya keluar dari sana tanpa meninggalkan barang bukti. Lantas, dengan santainya ia berjalan keluar seolah tak ada apapun yang terjadi. Terasa pening pun berkunang-kunang, semampu mungkin Nora menekan kesadaranya. Ia mencoba merangkak keluar mendekat pada pintu keluar namun pintunya terkunci dan tak bisa ia buka. Nora memukul-mukul pintu dengan tenaganya yang tersisa, berharap seseorang di luar sana akan mendengar suaranya. Tubuh Nora yang lemah kembali terkapar. Efek dari obat yang diberikan Laventa membuat kesadaranya semakin menurun. Ia berbaring lemas di atas genangan darahnya yang terus mengalir dari luka pergelangan tanganya. Sementara itu, di tempat pacuan kuda. Semua wanita telah berkumpul dan menyelesaikan pelatihan mereka. Para wanita itu berniat untuk pergi minum teh bersama, namun menunggu kehadiran Nora yang tak kunjung terlihat. Laventa datang dari arah yang berlawanan dari gudang. Bercampur dengan para wanita yang bertanya-tanya mengenai keberadaan anggota mereka. "Apa kau melihat Nora? Hanya kau sendiri yang tidak berlatih kuda tadi," tanya Sevora pada Laventa. Santai Laenta mengoleskan lotion pada tanganya yang lembab sebab baru saja ia cuci. "Aku tidak melihatnya. Sebab aku menghabiskan waktuku di toilet tadi, perutku merasa tidak enak," dalih Laventa. Wajahnya terlihat amat santai dan tenang, seolah tak menyembunyikan apapun. "Ke mana Nora?" Semua wanita bertanya-tanya. Dorty sebagai ketua perkumpulan langsung memanggil petugas keamanan untuk mencari keberadaan Nora. Semua pasukan di arahkan untuk mencari pada setiap sudut lapangan, berlari ke sana dan ke mari. Sayangnya, tempat pacuan kuda tak memiliki pantauan CCTV sehingga jejak Nora tak bisa terlihat. Seorang penjaga memanggil penjaga lainya untuk datang pada tempat pemandian kuda. Berbondong-bondong semua orang untuk melihat tempat itu bersama. Alangkah terkejutnya saat Nora telah ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri. Seluruh pakaian serta rambutnya basah terlumuri oleh darah. Tragis mengenaskan kondisi wanita yang entah nyawanya masih berada di dalam raganya atau tidak. Sirine bahaya pada tempat pacuan kuda berbunyi. Membuat semua pengawal pribadi menerobos masuk untuk menjaga nyonya mereka. "Senora!"Bau desinfektan yang menguar kuat seolah telah bersahabat dengan indera penciumanya. Dua minggu penuh Nora berada di rumah sakit untuk pemulihan. Tidak melakukan apapun, tidak bertemu Isaac, pun pemulihanya berjalan dengan lancarHatinya cukup tenang untuk beberapa saat karena pria itu yang sama sekali tak mengunjunginya. Tidak mengusik Nora selama dirinya berada di rumah sakit.Wanita itu kini duduk di sofa yang terletak pada ruang rawatnya. Memangku buket bunga yang Dorty berikan sebab wanita paruh baya itu baru saja menjenguk keadaanya. Di lihat dari raut wajahnya yang tenang, sepertinya Dorty belum tahu alasan Nora dirawat di rumah sakit ialah karena menantunya.Jadi bisa disimpulkan jika Laventa masih baik-baik saja. Pun, Isaac belum menyentuhnya. Pria itu malah telah menghabisi ayahnya dengan sadis.Perasaan Nora membeku ketika ia dengar Rayan telah meninggal dunia. Tak ada rasa sedih ataupun kehilangan. Dunianya tetap berjalan seolah sosok ayah memang tak pernah ada di dalam k
"Jadi bagaimana kondisinya?""Harus dilakukan operasi pengangkatan.""Persetujuan dari wali pasein.""Wali pasien menyetujui segala tindak rawatan demi menjaga keselamatan pasein.""Baik, segera siapkan ruang operasi dan hubungi dokter anatesi."Sayu-sayup matanya terbuka. Samar ia melihat lampu cerah nan menyilaukan. Masih bisa ia dengar beberapa orang tengah berbincang, terdengar juga bunyi dari alat-alat rumah sakit di sekitarnya.Terbaring lemah tubuhnya di atas ranjang rumah sakit di dalam ruang ICU. Bersama beberapa dokter seta perawat yang sibuk memeriksa keadaanya.Kondisinya amat sangat kritis. Ia kehilangan banyak darah serta perut dalamnya penuh luka. Membuat wanita itu harus melakukan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya.Tidak ....Tanganya bergerak memegangi perut. Menetes bulir bening membasahi ujung mata wanita itu. Bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu.Tolong selamatkan bayiku.*******Di dalam ruangan pribadinya Isaac berada. Duduk pada kursi kebe
Satu minggu penuh Nora terserang demam. Lemah kondisi tubuhnya mengakibatkan wanita itu tak bisa berangkat bekerja. Ditambah Isaac yang selalu menemani Nora setiap malam malah semakin memperburuk kondisi kesehatanya.Abigail tak berkutik kala Isaac memanggilnya untuk menjelaskan kondisi Nora saat ini. Pasalnya, dari hari pertama demam hingga saat ini kondisi kesehatan Nora sama sekali tak membaik. Bimbang dokter paruh baya ini hendak menjelaskan jika alasan utama wanita itu sakit ialah karena Isaac terus berada di sekitarnya."Kondisinya masih belum membaik?" tanya saac. Duduk pada kursi kebesaran di dalam ruang pribadinya. Pria itu menghisap cerutu."Sí, Senor.""Padahal dia meminum obat secara teratur," cetus Isaac. Sebab dirinyalah yang selalu memberikan Nora obat setiap malam. Melalui mulut ke mulut. Berlalu Isaac keluar dari ruanganya meninggalkan Abigail. Hanya mampu menghela napas pria paruh baya itu sebab ia tahu ke mana senornya akan pergi. Ruang pribadi gelap kini sebab la
Kesabaranya harus seluas samudra maka ia akan tinggal dengan aman di samping pria itu.Berdiri menatap luar dari balik jendela kamarnya. Nora melihat Isaac membawa pergi wanita yang ditemuinya tadi siang dalam ruang pribadi pria itu. Berjalan bersama dalam terang cahaya matahari.Nora tahu, wanita itu pelayanya. Seseorang yang bisa leluasa menatap wajah Isaac tanpa halangan. Meskipun sedikit membuat Nora berkecil hati sebab ia tak pernah miliki kesempatan seperti itu."Kenapa, Abigail? Katakan dengan jelas." Nora berbalik. Gontai menuju tepi ranjang kemudian duduk. Sementara Abigail berdiri tegap di depanya, namun tertunduk wajah pria paruh baya itu."Tolong minum obatmu, Senora.""Aku tidak sakit. Aku tidak ingin meminumnya." Nora menolak dengan lugas. Membuat Abigail tersentak sebab tak biasanya ia tak menurut."Señora ....""Ini melelahkan, Abigail. Aku tak ingin lagi terus menurutinya," papar Nora."Aku juga tak ingin terus bersabar."Abigail tak bisa memaksanya. Ia berlalu memba
"Apa yang kau inginkan untuk hadiah ulang tahunmu, Nora?"Nora berdiri di depan meja di dalam ruangan pribadi Isaac. Bersama pria itu yang duduk seraya membelakanginya. Menghisap cerutunya berulang kali, sebab bisa Nora lihat asap putih yang mengepul dari balik tubuh besarnya.Ia mengalihkan pandanganya dari Isaac, memandang ke arah lain pun dirinya terdiam. Apa yang Nora inginkan sebagai hadiah ulang tahunya, ia sendiri tidak tahu. Harta, kekayaan serta nama besar dan suami yang disegani, dirinya telah memiliki semua hal sempurnan itu. Meskipun, dengan suami yang tak pernah ia lihat sosoknya sekalipun.Bagaimana jika permintaan sebagai hadiah ulang tahun ialah melihat wajah Isaac secara langsung? Permintaan gila yang tentunya tak akan berani Nora pinta sebab, yang akan ia dapatkan ialah cekikan dari pria itu.Nora masih ingat kejadian tragis yang menimpa dirinya saat awal-awal pernikahannya bersama Isaac. Saat itu, selalu dengan brutal Isaac menjamah tubuhnya tanpa memperlihatkan so
Ruangan besar bernuansa hitam. Di dalamnya dipenuhi dengan rak yang menempel pada setiap sisi dinding berisikan senjata serta holster-holster dalam berbagai bentuk.Berdiri tegap seorang pria menghadap ke arah luar jendela. Memasukan satu lenganya ke dalam saku celana, sementara pada satu lenganya lagi terselip cerutu yang tengah ia hisap.Pria paruh baya di belakangnya menunduk seraya membawa hasil laporan kesehatan Nora. Siap untuk dilaporkan pada sang empu yang meminta dirinya untuk datang."Katakan, Abigail," titah Isaac, tanpa berbalik menatap Abigail. Masih berdiri pada posisi yang sama."Senor ... kondisi señora begitu lemah. Jika Anda terus menggunakan tubuhnya, kesehatanya akan terancam," adu Abigail terang-terangan. Disertai degup jantung yang berpacu dua kali lipat kala ia berhadapan dengan sang empu.Selalu menegangkan atmosfir tempat di mana pun Isaac berada. Membuat semua orang mati kutu saat berhadapan dengan pria dingin yang tak segan menebas kepala hanya karena satu k







