Steven meregangkan otot-ototnya yang sakit. Steven melihat ke kiri, di mana istri dan anaknya tertidur lelap. Stevan dengan hati-hati turun dari tempat tidur, tidak lupa memberikan ciuman hangat kepada Rose dan anaknya, setelah itu Stevan meninggalkan mereka. Tidak, bukan keluar rumah, tapi menuju dapur. “Untung kemarin bisa beli susu ibu hamil buat Rose, kok ibu itu nggak beli susu?” Gerutu Steven sambil membongkar kantong plastik yang dibawanya kemarin. Banyak sekali makanan bahkan berbagai macam snack yang dibawa Steven. Semua ini disengaja untuk Rose dan juga Megan. Steven tahu tidak mudah bagi Rose untuk memaafkannya, jadi Stevan menyiapkan segalanya. “Saya tidak pandai memasak, saya takut rasanya tidak enak bahkan membahayakan nyawa anak saya,” kata Steven santai. "Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya haus untuk pergi mencari sarapan untuk mereka?” monolog pria itu lagi. Steven memang sengaja bangun pagi untuk membuatkan makanan untuk anak dan istrinya,
Sekarang Rose masih mengalami morning sickness hingga 3 bulan. Rose terus merasa mual saat berada di dekat Steven, seperti sekarang. Steven duduk di meja makan, tepatnya di samping Rose. "Rose kamu-" Kata-kata Steven terpotong oleh rasa mual Rose. Steven dengan cemas memegang bahu Rose. "Aku akan membantumu ke kamar mandi," kata Steven. Namun, tangan Steven ditepis oleh Rose. Rose menarik diri dari Steven dengan menutupi hidungnya, membuat Steven bingung. Megan, sementara itu, sedang makan dengan tenang tanpa terganggu oleh pertengkaran orang tuanya. "Mengapa?" Steven bertanya melihat dirinya sendiri, apakah ada yang berbeda atau salah dengan dirinya? Rose masih menjauh dari Steven dengan menutupi hidungnya. "Kamu bau!" Steven mencium bau badannya. "Baunya enak," katanya. "Bau! Bikin mual. Jangan terlalu dekat denganku dulu," kata Rose yang terus menjauh dari Steven. Steven semakin dekat dengan Megan. "Megan, apakah ayah bau, ya?" Dia bertanya. Megan
Empat bulan usia kandungan Rose, dia tidak lagi mengalami morning sickness. Hal tersebut membuat Steven bersyukur karena bisa dekat dengan Rose tanpa Rose merasa mual. Juga, Steven sering kewalahan saat Rose mengidam. Pasalnya, Rose memiliki ngidam yang aneh. "Ayah keluar dari sini! Aku ingin dekat dengan ibu!" kata Megan dengan marah. Megan kesal dengan Steven. Karena Steven selalu ingin berada di dekat Rose dan mengusirnya. "Tunggu dulu, ayah belum selesai. Kamu jangan repot-repot," kata Steven. Steven masih belum selesai berpelukan dengan Rose. Namun, Megan malah mengganggunya. "Ayah ugh!" Megan merengek menarik-narik baju Steven. "Megan ugh!" Steven menirukan ucapan dan nada suara Megan. Megan menatap Steven dengan marah. Awas saja, setelah ini Megan akan terus berada di sisi Rose hingga Steven merasa terabaikan. Megan naik ke ranjang, lalu duduk di tengah Rose dan Steven. Kemudian, Megan memeluk Rose. "Ibu, Megan mau tidur dengan Ibu," tanyanya.
Steven dan Megan sekarang tidur di kamar Rose. Karena tubuh Rose sedikit tidak nyaman. Dan itu membuat mereka berdua khawatir. Padahal tadi pagi, Rose masih baik-baik saja. "Kita ke rumah sakit, ya?" tanya Steven cemas. Steven tidak ingin sesuatu terjadi pada istrinya. Namun sayangnya Rose menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Rose menggelengkan kepalanya dengan enggan. "Tidak. Aku tidak mau ke rumah sakit, aku hanya lelah. Sedikit istirahat pasti sembuh," Rose meyakinkan Steven. Ia yakin tak lama lagi tubuhnya akan segar kembali. Dia tidak ingin kembali ke sana lagi. Rose tidak tahan dengan bau obat, dan selain itu, penyakitnya tidak terlalu parah. "Kamu tidak bisa melakukan itu, Ibu. Ibu harus diperiksa!" kata Megan sambil memanjat tempat tidur Rose. Rose tersenyum, tangannya membelai pipi Megan. "Ibu baik-baik saja, Megan. Ibu hanya lelah," jawab Rose lembut. "Kalau begitu bagaimana kalau kita pindah ke rumah tua? Ada pembantu di rumah, jadi kamu tidak akan
Mendengar kabar putrinya sakit, Rose dan Steven sebagai orang tua tentu saja khawatir dan menginginkan yang terbaik. "Berikan yang terbaik untuk putri kami. Semoga putri kami cepat sembuh," pesan Steven. Dokter itu mengangguk. Tentunya ia akan memberikan yang terbaik agar pasiennya sembuh, itulah tujuan utama dari profesinya. "Demam berdarah menular. Bolehkah saya memeriksa Anda dan ayah Anda?" tanya dokter. Saya khawatir Steven dan Rose juga akan terpukul karena mereka selalu ada di sekitar Megan. "Ya, Dok," jawab Rose atas nama Steven. "Baiklah, kalau begitu ikut aku." kata dokter sambil berjalan menuju kamar. Steven dan Rose mengikuti dokter dari belakang. "Bukankah itu disuntikkan?" Rose bertanya pada Steven dengan berbisik. Mendengar pertanyaan Rose, Steven tertawa pelan. Rose masih sama seperti dulu, takut jarum. "Kenapa? Takut, ya?" tanya Steven mengejek. Rose mencubit perut Steven dengan lembut. "Aku serius!" kata Rose terkekeh marah. Ketika d
Setelah Bu Vega dan Pak Dion pergi, perempuan itu sering melamun sendirian. Pikiran Rose tentu saja sangat kacau! terutama ancaman mereka yang akan menyakiti putra mereka, Steven. "Apa yang harus saya lakukan?" dia monolog dengan frustasi. Haruskah Rose pergi? Tapi bagaimana mungkin wanita itu meninggalkan Megan dan Steven sendirian? Rose melirik Megan, gadis kecil itu tertidur pulas karena efek obat yang diminumnya tadi. Rasanya Rose hanya merasa lemas, sekujur tubuhnya sakit, padahal sebelumnya wanita itu tidak merasakan apa-apa. Apakah dia juga harus pergi dengan kondisi ini? Tetapi dimana? Rose sangat ketakutan sekarang! "Mama," bisik Megan. Rose yang mendengarkan langsung menoleh ke arah Megan yang sudah membuka matanya. "Jangan tinggalkan Megan," bisik gadis kecil itu. Astaga! Apakah Megan mendengar apa yang dikatakan neneknya? Rose perlahan mencoba bangun dari tempat tidur dan mendekati Megan. Rose mengecek kondisi Megan, Rose sangat terkejut ketik
"Apakah kalian lelah bekerja dan ingin aku memecatmu?" Steven berkata dengan marah kepada anak buahnya. Sudah hampir sebulan sejak Rose menghilang, Steven langsung mengerahkan anak buahnya untuk mencari istri dan calon anaknya. Namun hingga saat ini belum ada yang berhasil melacak keberadaan Rose. Ini membuat Steven sangat marah. Tentu saja Steven bingung dengan kepergian Rose yang tiba-tiba. Apakah Rose masih marah padanya karena dia mengusirnya pertama kali? Tapi Steven tahu Rose bukan tipe orang seperti itu. Jelas bahwa kepergiannya yang tiba-tiba telah membuatnya bingung. "Kami sudah menggeledah ke seluruh kota pak. Tapi tidak ada tanda-tanda nyonya, kami juga sudah memeriksa CCTV di seluruh kota, dan sangat bersih, tidak ada tanda-tanda nyonya," jelas salah satu anak buah Steven. "Apakah kamu bercanda? Rose tidak memiliki akses untuk bisa bersembunyi dariku! Pekerjaanmu jelek!” kemarahan Steven. “Mungkin Nyonya diculik, Pak. Karena CCTV kota sangat bersih,
Rose berjalan sendirian di pinggir jalan, tepatnya di London. Rose tidak tahu kemana dia pergi, dia berjalan tanpa tujuan. Tubuh Rose sangat kurus, kondisinya sangat memprihatinkan. "Kenapa aku harus melakukan ini," gumam Rose sedih, dia menatap jalanan yang dipenuhi mobil dan motor yang lewat. Padahal Rose tidak pernah menyusahkan orang. Tapi, kenapa orang-orang terus mengganggunya? Sampai dia hidup sengsara dan sengsara seperti ini. Rose mengusap perutnya yang perih karena belum makan apa pun. "Sayang, sabar ya," gumam Rose sambil mengelus perutnya. Ini tidak seperti dia. Dia adalah wanita yang mampu dan sabar menghadapi segala rintangan. Ya, Rose harusnya lebih bersabar kali ini. Rose menderita setelah tinggal di London untuk mengikuti keinginan Nyonya Vega. Jika tidak, dia takut terjadi sesuatu pada Steven atau Megan. "Ke mana lagi aku harus pergi," bisik Rose sambil menatap ke jalan dengan sedih. Rose lelah menjalani hidup seperti ini, dia hanya ingin hidup