Steven dan Megan sekarang tidur di kamar Rose. Karena tubuh Rose sedikit tidak nyaman. Dan itu membuat mereka berdua khawatir. Padahal tadi pagi, Rose masih baik-baik saja. "Kita ke rumah sakit, ya?" tanya Steven cemas. Steven tidak ingin sesuatu terjadi pada istrinya. Namun sayangnya Rose menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Rose menggelengkan kepalanya dengan enggan. "Tidak. Aku tidak mau ke rumah sakit, aku hanya lelah. Sedikit istirahat pasti sembuh," Rose meyakinkan Steven. Ia yakin tak lama lagi tubuhnya akan segar kembali. Dia tidak ingin kembali ke sana lagi. Rose tidak tahan dengan bau obat, dan selain itu, penyakitnya tidak terlalu parah. "Kamu tidak bisa melakukan itu, Ibu. Ibu harus diperiksa!" kata Megan sambil memanjat tempat tidur Rose. Rose tersenyum, tangannya membelai pipi Megan. "Ibu baik-baik saja, Megan. Ibu hanya lelah," jawab Rose lembut. "Kalau begitu bagaimana kalau kita pindah ke rumah tua? Ada pembantu di rumah, jadi kamu tidak akan
Mendengar kabar putrinya sakit, Rose dan Steven sebagai orang tua tentu saja khawatir dan menginginkan yang terbaik. "Berikan yang terbaik untuk putri kami. Semoga putri kami cepat sembuh," pesan Steven. Dokter itu mengangguk. Tentunya ia akan memberikan yang terbaik agar pasiennya sembuh, itulah tujuan utama dari profesinya. "Demam berdarah menular. Bolehkah saya memeriksa Anda dan ayah Anda?" tanya dokter. Saya khawatir Steven dan Rose juga akan terpukul karena mereka selalu ada di sekitar Megan. "Ya, Dok," jawab Rose atas nama Steven. "Baiklah, kalau begitu ikut aku." kata dokter sambil berjalan menuju kamar. Steven dan Rose mengikuti dokter dari belakang. "Bukankah itu disuntikkan?" Rose bertanya pada Steven dengan berbisik. Mendengar pertanyaan Rose, Steven tertawa pelan. Rose masih sama seperti dulu, takut jarum. "Kenapa? Takut, ya?" tanya Steven mengejek. Rose mencubit perut Steven dengan lembut. "Aku serius!" kata Rose terkekeh marah. Ketika d
Setelah Bu Vega dan Pak Dion pergi, perempuan itu sering melamun sendirian. Pikiran Rose tentu saja sangat kacau! terutama ancaman mereka yang akan menyakiti putra mereka, Steven. "Apa yang harus saya lakukan?" dia monolog dengan frustasi. Haruskah Rose pergi? Tapi bagaimana mungkin wanita itu meninggalkan Megan dan Steven sendirian? Rose melirik Megan, gadis kecil itu tertidur pulas karena efek obat yang diminumnya tadi. Rasanya Rose hanya merasa lemas, sekujur tubuhnya sakit, padahal sebelumnya wanita itu tidak merasakan apa-apa. Apakah dia juga harus pergi dengan kondisi ini? Tetapi dimana? Rose sangat ketakutan sekarang! "Mama," bisik Megan. Rose yang mendengarkan langsung menoleh ke arah Megan yang sudah membuka matanya. "Jangan tinggalkan Megan," bisik gadis kecil itu. Astaga! Apakah Megan mendengar apa yang dikatakan neneknya? Rose perlahan mencoba bangun dari tempat tidur dan mendekati Megan. Rose mengecek kondisi Megan, Rose sangat terkejut ketik
"Apakah kalian lelah bekerja dan ingin aku memecatmu?" Steven berkata dengan marah kepada anak buahnya. Sudah hampir sebulan sejak Rose menghilang, Steven langsung mengerahkan anak buahnya untuk mencari istri dan calon anaknya. Namun hingga saat ini belum ada yang berhasil melacak keberadaan Rose. Ini membuat Steven sangat marah. Tentu saja Steven bingung dengan kepergian Rose yang tiba-tiba. Apakah Rose masih marah padanya karena dia mengusirnya pertama kali? Tapi Steven tahu Rose bukan tipe orang seperti itu. Jelas bahwa kepergiannya yang tiba-tiba telah membuatnya bingung. "Kami sudah menggeledah ke seluruh kota pak. Tapi tidak ada tanda-tanda nyonya, kami juga sudah memeriksa CCTV di seluruh kota, dan sangat bersih, tidak ada tanda-tanda nyonya," jelas salah satu anak buah Steven. "Apakah kamu bercanda? Rose tidak memiliki akses untuk bisa bersembunyi dariku! Pekerjaanmu jelek!” kemarahan Steven. “Mungkin Nyonya diculik, Pak. Karena CCTV kota sangat bersih,
Rose berjalan sendirian di pinggir jalan, tepatnya di London. Rose tidak tahu kemana dia pergi, dia berjalan tanpa tujuan. Tubuh Rose sangat kurus, kondisinya sangat memprihatinkan. "Kenapa aku harus melakukan ini," gumam Rose sedih, dia menatap jalanan yang dipenuhi mobil dan motor yang lewat. Padahal Rose tidak pernah menyusahkan orang. Tapi, kenapa orang-orang terus mengganggunya? Sampai dia hidup sengsara dan sengsara seperti ini. Rose mengusap perutnya yang perih karena belum makan apa pun. "Sayang, sabar ya," gumam Rose sambil mengelus perutnya. Ini tidak seperti dia. Dia adalah wanita yang mampu dan sabar menghadapi segala rintangan. Ya, Rose harusnya lebih bersabar kali ini. Rose menderita setelah tinggal di London untuk mengikuti keinginan Nyonya Vega. Jika tidak, dia takut terjadi sesuatu pada Steven atau Megan. "Ke mana lagi aku harus pergi," bisik Rose sambil menatap ke jalan dengan sedih. Rose lelah menjalani hidup seperti ini, dia hanya ingin hidup
Rose harus menjalani kuretase, dan setelah itu Rose dinyatakan koma disana. Steven sedang duduk di samping brankar. Rose memejamkan mata. Hati Steven hancur saat Rose mengalami koma, kini ia tidak akan lagi mendengar celotehan Rose, melihat tatapan kesal Rose, dan tidak akan melihat sikap Rose yang menyebalkan. Steven memegang tangan Rose, lalu ia mencium tangan Rose cukup lama. “Apakah kamu sangat lelah? Sampai kamu tertidur seperti ini?” Tanya Steven menatap Rose yang tertidur pulas, tak tahu kapan Rose akan bangun. "Kenapa kamu selalu pergi? Padahal kali ini aku tidak menyuruhmu pergi," ucap Steven, meski tak ada jawaban dari Rose, Steven tetap mengajak Rose bicara. Setidaknya dengan cara ini Steven bisa mengobati rasa rindunya pada Rose. Steven menyandarkan kepalanya di brankar dengan lengan Rose yang menopangnya. Ia menatap wajah Rose. "Kalau kamu tidak pergi, pasti bayi kita masih ada di sini," u
Rose belum dinyatakan sebagai pemilih penuh, tubuh wanita itu sangat lemah karena kekurangan cairan. Sehingga Rose perlu penanganan khusus, apalagi wanita tersebut baru saja mengalami keguguran. Sedih, itulah yang dia rasakan saat ini. Wanita itu hanya diam, tidak banyak bicara seperti biasanya. Tentu saja hal itu membuat Steven sedih, Rose hanya akan menjawab pertanyaan Steven dengan singkat. Steven menghela napas lelah saat Rose masih terdiam. Steven langsung menggenggam erat tangan istrinya. "Aku tahu ini pasti sangat sulit, tapi jangan seperti ini Rose," ucap Steven pada akhirnya. Rose menatap Steven dengan tatapan penuh luka, namun wanita itu tetap berusaha tersenyum manis ke arah Steven. Steven mengepalkan tangannya erat-erat, berusaha menahan emosi yang siap meledak. Dia menyukai senyuman Rose, namun kali ini Steven sangat membenci senyuman itu. Senyuman penuh luka, senyuman yang membuat hati Steven sakit. “Jangan memaksakan senyum itu, Rose. Matamu tidak bisa berbohong
Steven kesal dengan perlakuan ibu dan ayahnya. Dia tidak menyangka kalau yang menyuruh Rose pergi adalah ibunya. Bagaimana bisa mereka berdua, kenapa mereka seolah ingin membuat Steven menderita? Bagaimanapun, Steven adalah putra mereka. Steven kini bekerja di kantornya, lebih baik menghabiskan waktunya untuk bekerja daripada memikirkan mereka yang tetap tidak akan pernah berubah. Saat dia sedang bekerja, seseorang mengetuk pintunya. "Memasuki!" Ucap Steven sambil sedikit berteriak mempersilahkan seseorang untuk masuk Pintu kamar terbuka, menampakkan seseorang yang menjabat sebagai sekretarisnya. “Permisi Pak. Ini laporan bulan ini,” ucapnya sambil menyerahkan berkasnya kepada Steven. "Taruh di atas meja," jawab Steven yang masih fokus dengan laptopnya. Sekretaris Steven meletakkan berkas itu di meja Steven. Dia tidak langsung pergi tapi berdiri lagi di sam