Share

3. Titik Awal Yang Sama

Pelan-pelan, kelopak mata itu mulai terbuka hingga menampilkan iris hazel terang yang indah. Mengangkat wajah dari buku yang menjadi bantal tidurnya, seorang anak laki-laki dengan rambut marigold itu mengerjap berkali-kali untuk memfokuskan pandangannya yang masih mengabur.

Butuh beberapa detik agar kesadarannya bisa kembali pulih seutuhnya. Menoleh ke kanan-kiri, terlihat bahwa sekelilingnya penuh dengan rak-rak raksasa berisi ratusan bahkan mungkin ribuan buku dengan berbagai jenisnya masing-masing.

Kembali meluruskan pandangan, dia mendapati berbagai jenis buku yang terbuka dan memenuhi meja di depannya. Mulai dari buku strategi perang, ilmu politik, sejarah terbentuknya kekaisaran, hingga buku usang yang sempat dijadikan bantal tidurnya tadi. Sebuah buku arkais berjudul "Sejarah Kerajaan Kuno Ellverho".

Sudah dipastikan kalau dia sekarang tengah berada di sebuah perpustakaan besar nan megah. Lalu karena suasana di sekitarnya sepi dan tak seorang pun dapat dilihat oleh mata hazel terangnya, maka dia berasumsi kalau dia hanya sendirian di perpustakaan ini.

"Aku berhasil kembali lagi."

Arxen bergumam pelan setelah pria itu menunduk untuk memeriksa kondisi tubuhnya sendiri. Mata Arxen masih fokus memandang kedua tangannya yang terlihat lebih kecil. Sepasang tangan milik seorang anak berusia sepuluh tahun.

Arxen kini dapat memastikannya dengan yakin. Kalau dia ... berhasil kembali lagi ke titik awal yang sama.

Untuk yang kesekian kalinya, Arxen yang mengulang waktu atas bantuan dewa Khranos berhasil kembali ke saat dia masih berusia sepuluh tahun. Tahun 863 hxenn.

Dalam setiap perputaran waktu, hari ini selalu menjadi titik awal dari setiap kehidupannya. Karena di hari ini, untuk pertama kalinya Arxen akan bertemu dengan Aruna.

"Aruna...." Bibir anak laki-laki itu berucap dengan pelan.

Sebelah tangannya terangkat dan menyentuh dadanya sendiri. Hatinya terasa ringan. Otaknya juga terasa begitu jernih.

Berkat pertolongan dewa Khranos, jiwa Arxen bisa merasakan ketenangan meski sebelumnya dia merasa seperti akan gila dengan jiwa yang seolah dicabik-cabik.

Tangan Arxen kembali turun. Kedua tangan yang cukup kecil itu mengepal dengan erat. Mata hazel terang itu juga menyorot dengan teguh.

Kali ini, dia tidak akan gagal.

Arxen bersumpah pada dirinya sendiri.

"Hamba memberi salam pada Yang Mulia Pangeran sang Bintang Kekaisaran."

Arxen menoleh pada seorang pelayan yang kini membungkuk hormat di hadapannya. Tatapannya berubah menjadi begitu tenang, seolah dia sudah tahu tujuan orang itu datang ke mari.

"Bicaralah."

"Yang Mulia Permaisuri memanggil anda, Yang Mulia." Pelayan itu menyampaikan maksud kedatangannya setelah dipersilakan. "Permaisuri berharap anda segera menemui beliau sekarang."

Arxen mengangguk tanpa ragu. Dia segera turun dari kursi, dan sedikit merasa aneh saat kakinya memijak lantai. Dia berkedip beberapa kali.

Karena bertahun-tahun telah tumbuh menjadi dewasa dan memiliki tubuh yang tinggi, saat kembali ke masa ini Arxen sering merasa aneh karena pandangannya terasa pendek dan tubuhnya seolah menyusut.

Menggeleng pelan, Arxen berusaha kembali fokus pada tujuan awalnya. Pria--bocah laki-laki itu segera melangkahkan kaki-kakinya yang masih cukup pendek itu tanpa ragu sedikit pun. Matanya menyorot ke depan dengan dingin namun teguh.

Ya.

Arxen tidak boleh lupa.

Ini... kesempatan terakhirnya untuk mengulang waktu. Perputaran waktu kali ini adalah kehidupan terakhir yang memungkinkan Arxen untuk menyelamatkan Aruna, dan hidup bahagia bersama wanita itu.

Dia tidak boleh gagal.

Bahkan meski jiwanya akan hancur lebur karena perputaran waktu yang menyiksa ini, meski apa pun yang harus dia korbankan dan singkirkan. Meski bayarannya bisa membawa petaka ....

Arxen ... harus berhasil.

***

"Ibu."

Begitu sampai di sebuah kamar yang terlihat glamor dan megah, Arxen segera menghampiri seorang wanita yang mengenakan gaun mewah berwarna merah terang.

Mendengar suara Arxen, wanita itu langsung menoleh dan memasang senyum khasnya. "Kau sudah datang? Ayo, duduklah. Kita akan minum teh bersama."

Arxen melakukan tepat seperti yang disuruh. Bocah itu segera mengambil tempat di salah satu sofa yang tersedia di kamar itu. Duduk tenang, namun matanya menatap lekat saat wanita yang berstatus sebagai Permaisuri Kekaisaran Hillario itu beranjak dari kursi meja rias dan menempati sofa di depannya.

Penampilan wanita itu terlihat luar biasa. Pembawaannya yang tenang saat memerintah pelayan yang membawakan teh dengan alami seolah menambah keanggunan dalam dirinya. Sosok wanita memesona yang seperti bisa membuat orang-orang tunduk di bawah kekuasaannya hanya dengan aura mengintimidasinya.

Bellanca Hillario. Seorang Permaisuri yang berasal dari keluarga Bangsawan ternama Erphaus, Bangsawan yang kedudukan dan sihirnya nyaris menyamai keluarga Evanthe.

Wanita itu adalah ibu kandung Arxen yang cukup dirindukannya karena di kehidupan sebelumnya, ibunya ini telah lama mati.

"Kau sudah tahu alasan Ibu memanggilmu ke mari, kan?"

Suara Bellanca terdengar tenang saat matanya terlihat seperti mengamati ekspresi apa yang akan ditunjukkan putra semata wayangnya itu. Dia mengambil cangkir miliknya dan menyesap tehnya dengan perlahan. Bibir wanita itu langsung tertarik saat putranya menjawab dengan tenang.

"Ya, Ibu." Arxen sama sekali tidak terlihat panik, terbukti dari dirinya yang menikmati minumannya dengan santai. Bocah itu justru seolah sudah menantikannya. "Ibu bisa bertanya apa pun padaku. Kali ini, aku pasti akan memberi jawaban yang dapat memuaskan hati Ibu."

"Oh, putraku terlihat sangat percaya diri?" Bellanca mengangkat sebelah alis dengan senyum yang makin melebar. Wanita itu terlihat tertarik sampai meletakkan cangkirnya ke meja dan fokus sepenuhnya pada sang putra. "Padahal kemarin kau masih sangat gugup dan ceroboh, tapi hari ini kau terlihat sangat berbeda."

Arxen tersenyum tipis mendengar ucapan ibunya. "Aku hanya tidak ingin terus-terusan membuat Ibu khawatir dengan sikap kekanakanku. Aku sudah jadi semakin dewasa, jadi ini saatnya aku mulai mengikuti semua perkataan Ibu."

"Ibu akan sangat bahagia jika kau benar-benar akan mulai menuruti Ibu."

Ekspresi wajah Bellanca jadi sedikit serius. Dia melirik para pelayan yang ada lalu menyuruh mereka pergi meninggalkan ruangan.

"Kau tahu, kan, Arxen?" Untuk sesaat, tatapan mata wanita itu terlihat berkilat. "Hal yang paling Ibu inginkan darimu ... hanya satu."

"Ya, Ibu. Aku akan berusaha mendapatkan hal yang Ibu inginkan itu."

Ucapan tegas Arxen membuat Bellanca terdiam untuk beberapa saat. Matanya memandang lekat pada sang putra yang memiliki warna rambut yang sama dengannya. Anak satu-satunya yang dia miliki, dan yang telah dia rawat serta awasi sejak kecil.

"Jujurlah pada Ibumu ini, Arxen." Bellanca kembali membuka mulutnya. "Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu? Baru kemarin kau membantah semua ucapan Ibu, tapi hari ini kau bilang akan menuruti Ibu?"

Mata Bellanca jadi semakin menyipit. "Kau ... jadi sangat berbeda hanya dalam satu malam."

Ahh.

Arxen lupa.

Karena di kehidupan sebelumnya dia sudah bertahun-tahun tidak bertemu ibunya, Arxen jadi lengah dan membuat ibunya curiga. Arxen lupa, kalau sang Permaisuri adalah orang dengan pemikiran tajam dan gampang mencurigai sesuatu.

Pada akhirnya, Arxen memilih untuk menjawab dengan jujur--meski hanya garis besarnya. Dia tidak mau ibunya curiga karena itu pasti tidak akan berakhir baik.

"Sebenarnya, aku memiliki sebuah harapan."

Saat itu, bayang-bayang wajah Aruna kembali memenuhi pikirannya. Sosok Aruna yang marah, Aruna yang bersikap dingin, dan Aruna ... yang tersenyum padanya.

Semua itu, tanpa sadar membuat sebuah senyum lembut muncul di wajah Arxen, yang tentu saja tak luput dari mata Bellanca.

"Ibu."

Mata hazel terang milik Arxen menatap Bellanca dengan tak goyah.

"Aku ... ingin meraih harapanku itu."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status