Share

6. Pertemuan Pertama Mereka

"Bangsawan Evanthe memberi salam pada Yang Mulia Permaisuri, dan sang bintang Kekaisaran, Yang Mulia Pangeran."

Sekelompok orang menunduk memberi hormat dengan serentak. Dipimpin oleh seorang pria yang usianya sudah tidak muda lagi, dan diikuti oleh anggota keluarganya dan beberapa pelayan yang mengikut mereka untuk menyambut sang bulan dan bintang Kekaisaran.

"Tegakkan badan kalian." Bellanca memberi senyuman formalnya setelah orang-orang di depannya melakukan seperti yang dia perintahkan. Dia lalu mulai berucap lagi, "aku ingin berterima kasih karena kau menyetujui kunjunganku ini, Grand Duke. Kalian pasti telah melewati waktu yang sibuk karena kunjunganku dan putraku ke mari."

"Itu tidak benar, Yang Mulia. Justru keluarga Evanthelah yang beruntung karena Anda berdua mau datang ke kediaman kami. " Pria tua itu menjawab dengan rendah hati. "Tentu sudah sepatutnya kami melakukan yang terbaik untuk menyambut Anda dan Yang Mulia Pangeran."

Pria tua itu bersikap dengan sangat baik dan tenang. Dia tetap menjaga wibawanya dan disaat bersamaan bersikap dengan merendahkan dirinya sendiri untuk menunjukkan penghormatan kepada lawan bicaranya saat ini.

Semua itu tidak luput dari Arxen yang berdiri di sebelah Bellanca. Dia bisa melihat semua dengan jelas. Yaitu tentang bagaimana pria tua di depannya berusaha mempertahankan sikap terhormatnya dengan tanpa cela.

Tatapan Arxen tampak sangat datar dan dingin. Dia bahkan tidak repot-repot tersenyum saat terlihat jelas bahwa orang-orang di depannya beberapa kali mencuri pandang ke arahnya.

Arxen sangat tahu apa yang ada di pikiran semua orang itu. Mengulang kehidupan berkali-kali membuat Arxen sampai sudah bosan dengan topeng kepura-puraan yang mereka tunjukkan padanya dan sang ibu.

Terlebih, pria tua yang tengah berbincang dengan ibunya itu.

Macario Evanthe. Pria yang masih menjadi pemimpin di keluarga Evanthe dan yang masih memegang teguh jabatan Grand Duke di Kekaisaran ini meski umurnya telah tua dan meski penerusnya telah sangat cukup umur untuk menerima posisi itu dan menggantikannya.

Orang ini adalah kakek Aruna yang sangat gadis itu hormati dan sayangi di setiap kehidupan yang Arxen jalani. Aruna sangat memercayai kakeknya dan menuruti semua ucapan dari sang kakek. Meski Aruna keras kepala dan sering memberontak, tapi Aruna sangat jarang membantah perintah dari sang kakek.

Semua karena Aruna terlalu percaya kalau di antara semua keluarganya, hanya kakeknya saja yang tulus menyayanginya. Aruna bahkan menganggap sang kakek sebagai dewa.

Tapi ... Aruna sebenarnya sudah tertipu oleh topeng yang ditunjukkan pria tua itu. Nyatanya, Macario sejak awal tidak benar-benar memedulikan dan menyayangi cucunya sendiri. Dia hanya menunjukkan kepedulian karena tahu kalau Aruna memiliki kemungkinan untuk membawa nama keluarga Evanthe semakin melambung tinggi dan menjadi lebih dihormati.

Pada akhirnya, Macario Evanthe tidak berbeda dengan anggota keluarga Aruna yang lain. Dan kalau Arxen bisa mengatakannya secara gamblang, sebenarnya Macario adalah dalang dari semua penderitaan yang Aruna alami.

Arxen menyadari semua itu di salah satu perputaran kehidupan yang dia jalani. Karena di kehidupan itu ... penyebab kematian Aruna adalah karena sang kakek yang sangat dipercayai oleh gadis itu.

"Senang bertemu dengan anda lagi, Yang Mulia Pangeran."

Arxen langsung mengernyit saat seorang pria yang tadinya berdiri di belakang Macario kini maju dan menyapanya sambil tersenyum lebar.

Pria berambut coklat dengan mata crimson yang seperti menyala itu adalah putra satu-satunya Macario. Namanya adalah Beroz Evanthe, ayah kandung Aruna.

Ahh, orang itu adalah salah satu yang paling Arxen benci dan ingin segera dia bunuh.

Di sisi lain, Beroz yang seperti tidak bisa melihat tatapan penuh permusuhan Arxen justru memberi bocah itu tatapan penuh minat. "Bagaimana kabar Anda selama ini, Yang Mulia?"

"Kabarku sangat baik." Arxen terpaksa menjawab sambil tersenyum. Dia tidak ingin Ibunya marah jika dia bersikap tidak sopan terhadap orang ini. Karena bagaimana pun, Arxen yang seorang Pangeran tetap saja tidak bisa bersikap seenaknya terhadap seseorang yang menyandang nama Evanthe.

Meski begitu, Arxen yang dengan sengaja hanya menjawab dengan singkat dan tidak balas bertanya sepertinya membuat Beroz jadi tersinggung--terlihat dari senyumnya yang menjadi kaku.

Beroz berdeham singkat dan berusaha mengatur kembali ekspresinya. "Sungguh sebuah kebahagiaan bagi saya mendengar--"

"Kalian tidak akan bisa menangkapku!"

Suara seorang anak kecil yang terdengar keras diikuti suara pelayan yang memanggil-manggil sebuah nama itu membuat orang-orang menoleh karena percakapan mereka terinterupsi.

Dada Arxen langsung berisik dengan perasaan campur aduk saat mata hazelnya menangkap sosok gadis kecil beberapa meter di depan sana yang tengah berlari menuju ke arahnya dengan dikejar para pelayan yang memanggil-manggilnya dengan perasaan cemas dan takut, apalagi saat mereka sepertinya telah melihat sosok Bellanca, juga Macario yang ekspresinya langsung mengeras.

"Nona Muda, tolong berhentilah berlari!"

Para pelayan berganti-gantian memanggil anak kecil itu namun sama sekali tidak didengarkan. Anak itu justru mempercepat langkahnya sambil tertawa bahagia. Dia sama sekali tidak terlihat takut saat Ayahnya justru menunjukkan kegeramannya dengan jelas, dan Ibunya juga memanggilnya dengan kesal.

Gadis kecil itu berusaha meloloskan diri saat para pelayan yang sebenarnya bertugas untuk menyambut dan melayani Permaisuri kini mengelilinginya dan mengurung pergerakannya karena perintah dari Beroz.

Tapi itu hanya bertahan beberapa detik saja. Tepat saat mereka akan berhasil menangkapnya, gadis kecil itu dengan gesit melarikan diri dan kembali memacu langkahnya. Dia hampir berhasil melewati Arxen, tapi Arxen segera menggeser posisinya hingga si gadis kecil yang tidak memperhitungkan perbuatan Arxen ini jadi menabrak Arxen. Tubuhnya jadi oleng dan hampir jatuh kalau saja sang pangeran tidak segera menahannya.

Semua terjadi dengan sangat tiba-tiba. Orang-orang yang sebelumnya memekik khawatir saat Aruna menabrak Arxen dan hampir jatuh, kini tanpa sadar menghembuskan napas lega namun di sisi lain merasa cemas karena memikirkan reaksi yang akan ditunjukkan Permaisuri dan Pangeran.

"Terima kasih, kakak!"

Suara dengan nada ceria yang memasuki telinga Arxen itu terdengar seperti melodi yang indah. Senyum lebar di wajah yang polos dan cantik, mata bulat dengan warna crimson dan rambut lilac panjang yang sedikit bergelombang itu berhasil membuat Arxen memandanginya dengan lekat.

Ada perasaan rindu yang menyesakkan yang Arxen rasakan saat dia melihat sosok yang paling didambakannya itu. Masih teringat dengan jelas oleh benaknya tentang kematian gadis ini di kehidupan sebelumnya.

Aruna Evanthe. Sosok luar biasa yang Arxen anggap sebagai malaikatnya meski perbuatan gadis itu kerap kali menyamai iblis.

Gadis kecil yang memantulkan sosok Arxen di mata crimsonnya itu. Gadis yang terlihat polos dan ceria ini adalah Aruna Evanthe. Cinta pertama dan terakhir Arxen.

Satu-satunya orang yang Arxen dambakan.

Aruna yang saat ini terlihat polos dan bahagia ... sosoknya akan berubah saat gadis itu beranjak dewasa nanti.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status