Share

7. Arxen dan Aruna

"Perbuatan tidak sopan macam apa ini, Aruna?!"

Teriakan murka Beroz membuat sang putri yang masih kecil berjengit kaget. Gadis kecil itu meringis kesakitan saat sang ayah menarik kasar tangannya, dan hanya bisa menunduk takut saat wajah ayahnya terlihat menyeramkan di matanya.

"Bukankah ayah sudah menyuruhmu untuk diam di kamarmu hari ini?!" Beroz masih saja meluapkan amarahnya pada Aruna. Seolah tidak peduli pada sekelilingnya, dia terus saja meneriaki putrinya yang kini terlihat ketakutan. "Kau selalu saja membuatku malu!"

"Kalian juga! Dasar orang-orang tidak berguna!" Kali ini Beroz memarahi para pelayan Aruna. Dia berdecih pada mereka, "mengurus seorang anak saja tidak becus! "

Sialan. Kurang ajar. Dasar sampah.

Arxen terus mengumpati Beroz dalam hatinya. Arxen dengan wajah bocahnya itu terlihat geram. Tangannya terkepal erat saat dia menimbang antara apakah dia harus memukul Beroz hingga pria itu mati di sini dan menerima semua konsekuensi nantinya, atau dia hanya harus menggunakan kekuasaannya dan membuat Beroz berhenti meski hanya saat dirinya dan Bellanca ada di kediaman ini?

Arxen menghela napas panjang untuk berusaha menenangkan diri yang seperti akan menggila. Dia tidak bisa diam lebih lama lagi saat Aruna yang masih kecil terlihat mulai akan menangis.

Arxen baru akan membuka mulut, tapi suara dari seorang wanita di sampingnya lebih dulu terdengar.

"Memarahi putrimu sendiri di depan orang lain sepertinya adalah perbuatan yang lebih tidak sopan lagi, Tuan Beroz."

Arxen menoleh dan sedikit mengangkat kepala melihat Ibunya yang tanpa ragu mengkritik tindakan Beroz. Bocah itu berkedip dua kali saat tatapan Ibunya terlihat datar.

"Ah, apakah aku terlalu ikut campur dalam urusan keluarga kalian," Bellanca kini melihat Macario, "Grand Duke?"

Ekspresi Macario pada awalnya terlihat tidak terlalu baik. Apalagi, saat dia mendelik pada sang putra yang kemudian langsung melepaskan Aruna.

Pria tua itu menunduk di depan Bellanca. "Sama sekali tidak, Yang Mulia. Justru saya yang memohon maaf karena Anda harus melihat hal memalukan yang telah dilakukan oleh putra dan cucu saya ini."

"Aku hanya berharap hal seperti ini tidak akan terjadi lagi untuk ke depannya."

"Tentu saja. Saya akan memastikan kalau Anda tidak akan pernah merasa kecewa dengan perbuatan anggota keluarga Evanthe lagi."

Bellanca mengangguk. Dia lalu beralih pada Aruna yang menatapnya dengan mata bulat milik gadis itu. "Apa kau baik-baik saja, Nak?"

Pada awalnya, Aruna terdiam beberapa detik sambil berkedip berkali-kali. Tapi lalu gadis itu tersenyum lebar. Dia mengangguk semangat dan menjawab, "ya!"

Aruna kemudian menoleh dan menatap dengan bingung saat 'kakak yang tadi menyelamatkannya saat dia jatuh' tiba-tiba mengelus kepalanya. Apalagi, bocah yang lebih tinggi dari Aruna itu menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak dapat Aruna pahami.

"Berhati-hatilah."

Arxen mengucapkannya kemudian berlutut agar Aruna bisa menatapnya dengan lebih mudah. Tangan Arxen masih senantiasa mengelusi rambut berwarna lilac milik Aruna. Sedangkan bibirnya mengelus senyum kecut.

Sejujurnya, Arxen masih sangat merindukannya. Dadanya masih berdetak dengan menyakitkan saat mengingat tentang kegagalannya yang berkali-kali tidak bisa menyelamatkan Aruna. Seperti kehidupannya yang lalu, juga saat ini. Lagi-lagi, Arxen masih saja terlalu lemah hingga tidak bisa menyelamatkan Aruna.

Jauh di lubuk hatinya, Arxen merasa takut. Meski saat di depan dewa dia berkata dengan sangat yakin, sebenarnya Arxen sempat ragu. Sejak pertama kali mengulang waktu hingga detik ini, Arxen selalu dibayangi oleh pertanyaan-pertanyaan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya.

Apakah dia akan berhasil, atau justru dia akan gagal lagi?

Apakah kali ini dia bisa bahagia, atau justru dia akan kembali menderita?

Apakah ... dia bisa meraih cintanya? Atau alih-alih balas mencintainya, Aruna justru malah membencinya karena semua kegagalan dan kelemahannya?

Dalam semua perputaran waktu kehidupan yang dijalaninya, tidak pernah sekali pun Arxen tidak merasa akan gila. Setiap detiknya Arxen terus dibayang-bayangi hal-hal yang menakutkan hingga rasanya dia ingin menghilang saja.

Namun setiap kali melihat Aruna ... Arxen merasa seperti kembali dibersihkan dari semua hal-hal buruk yang menyiksanya itu.

"Kakak."

Arxen tertegun saat Aruna meraih sebelah tangannya yang bebas dan menggenggamnya erat dengan tangan mungil gadis itu.

Aruna tersenyum manis pada Arxen. "Ayo main bersamaku!"

Ajakan Aruna terdengar sangat manis di telinga Arxen dan langsung membuat jantungnya lagi-lagi menggila. Senyuman Aruna bahkan berhasil menjangkit Arxen hingga dia ikut tersenyum dengan pipi yang memerah.

Benar, kan?

Hanya Aruna saja yang sanggup membuat Arxen bisa langsung merasakan kedamaian dan kebahagiaan walau sebelumnya dia merasa seperti akan gila dengan semua hal yang membelenggunya.

"Aruna, Yang Mulia Pangeran tidak datang ke mari untuk bermain denganmu." Macario mencoba memberi tahu pada cucunya. Tersenyum manis meski sorot matanya menunjukkan hal yang berlawanan. "Kau kembalilah ke kamarmu dan bermainlah di sana dengan para pelayan."

"Ibu."

Arxen sama sekali tidak memedulikan ucapan Macario. Dia justru balas menggenggam erat tangan Aruna dan melihat sang Ibu. "Aku boleh pergi bersama Aruna, kan?"

"Pangeran, Anda tidak perlu menuruti keegoisan putri saya." Ibu kandung Aruna, Yeslyhn kali ini bersuara. Dia terlihat sedikit panik dan mengulurkan tangan pada Aruna. "Ayo ikut bersama ibu, Aruna. Ibu akan menemanimu bermain."

Aruna menggeleng kencang. Dia segera mendekatkan tubuhnya saat Arxen berdiri. "Tidak! Aku ingin bersama kakak!"

"Hm. Aku akan menemanimu dengan senang hati."

Arxen terlihat berseri saat Aruna benar-benar menempel padanya. Tatapannya pada Aruna sangat lembut dan hangat, seperti tatapan pada seseorang yang sudah lama dia sayangi.

Semua itu tidak luput dari pandangan Bellanca. Dia terus memerhatikan sejak tadi, dan dia sadar kalau tatapan putranya pada Aruna terasa berbeda. Anaknya itu terlihat sangat menyayangi Aruna dan seperti sudah lama mengenalnya.

Bellanca sangat mengenal Arxen. Putranya itu tidak pernah bersikap sehangat ini bahkan pada saudara tirinya sendiri. Bellanca tahu Arxen memang sengaja menjaga jarak dari saudara tirinya karena tahu kalau Bellanca tidak suka melihatnya dekat dengan mereka. Tapi Bellanca sadar saat Arxen diam-diam menyayangi para saudara tirinya dan benar-benar menganggap mereka keluarga.

Bellanca tahu semua jenis ekspresi yang dikeluarkan Arxen.

Karena itu ... dia juga tahu ekspresi macam apa yang ditunjukkan sang putra yang baru pertama kali bertemu dengan Aruna.

"Ibu, aku bisa pergi, kan?"

Bellanca tersenyum saat sang putra kembali bertanya. Dia lalu mengangguk tanpa ragu. "Tentu, kau bisa pergi bermain bersama Aruna."

"Terima kasih, Ibu." Arxen semakin semringah.

"Kami pergi dulu!"

Aruna segera membawa Arxen pergi dari sana. Para pelayan Aruna buru-buru mengikuti karena takut dimarahi lagi.

"Saya benar-benar memohon maaf." Macario menghela napas. "Cucu saya itu memang sangat keras kepala."

"Dia sangat manis." Bellanca memuji jujur.

Aruna yang masih kecil memang terlihat sangat lucu dan cantik. Bellanca yakin saat besar nanti, Aruna akan tumbuh menjadi gadis rupawan yang akan dipuji sebagai bunga Kekaisaran.

Lebih dari itu ...,

"Kalau begitu, mari kita masuk ke dalam, Yang Mulia."

Bellanca mengangguk dan mulai mengikuti Macario memasuki kediaman megah milik Evanthe.

Bellanca masih mengingat pertanyaan yang dilayangkan Arxen padanya tadi. Jenis pertanyaan yang seperti menuntut yang selama ini tidak pernah berani keluar dari mulut putranya yang penakut dan lemah.

Arxen sudah sangat berubah di hari ini. Apalagi saat putranya menghadapi Aruna dengan sangat hati-hati dan penuh kasih membuatnya sadar kalau Arxen memandang Aruna dengan berbeda.

Ini semua ... membuat Bellanca semakin tertarik untuk melihat apa yang akan terjadi ke depannya.

Satu hal yang dia yakini. Di masa depan nanti, sosok Aruna pasti akan cukup memberi dampak dalam hidup putranya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status