Hampir enam bulan lebih telah berlalu sejak resepsi pernikahan Mbak Ambira dan Mas Darius. Itu pula waktu yang bergulir sejak dia bertemu dengan Diraja Sudibyo, rekan kerja Mas Darius yang entah kenapa kesetanan ingin sekali menemuinya dan berbicara hal gila seperti pertunangan dan pernikahan.
Ambar tentu saja memblokir nomor pria itu dan menghiraukan segala usahanya untuk bertemu dan membicarakan tentang masalah absurd pertunangan tersebut. Ambar memilih untuk menghabiskan waktunya fokus dalam ujian sekolah dan ujian masuk kuliah dalam enam bulan belakangan tersebut.
Maka ketika dia telah lulus SMA beberapa waktu lalu dan sibuk dengan persiapan ujian masuk kuliah, dia tak lagi memikirkan dan cenderung lupa tentang Diraja. Dia terlalu sibuk menikmati hidup sebagai adik ipar Mas Darius yang dilimpahi kekayaan. Banyak hal baru yang membuka mata Ambar.
Padahal ketika mereka terakhir bertemu sebelum adanya insiden penembakan di hotel Royal Ruby–Ambar sudah jelas-jelas mendengar kalau Mas Darius dan Mbak Amira menolak mentah-mentah rencana gila tersebut.Bahkan Ambar benar-benar mengingat bagaimana tersinggungnya Diraja saat ayahnya sendiri mengemukakan pendapat tersebut, dan meminta ayahnya untuk menghentikan omong kosongnya.Lalu sekarang apa yang mendasari perubahan signifikan ini?“Ambar, hari ini kamu mau ke mana?” tanya Ibu yang sedang menyirami tanaman di rumah mereka. Sudah beberapa hari ini mereka kembali lagi ke rumah mereka setelah sebelumnya tinggal beberapa bulan di apartemen milik kakak iparnya. Mas Darius Danudiharjdo.Sebelumnya Mas Darius bersikeras ‘memaksa’ mereka untuk pindah ke apartemen miliknya demi keamanan keluarga. Masa-masa sulit ketika Mas Darius menghadapi masalah yang cukup berbahaya dan menyebabkan dirinya serta Mbak Amira diculik di suatu pulau pribadi milik keluarga Danudihardjo di daerah Kepulauan Riau.Awalnya Bapak dan Ibu menyetujuinya demi menjaga keselamatan keluarga, namun setelah pernikahan Mas Darius dan Mbak Amira, Ibu bersikeras kembali ke rumah mereka dan menganggap keadaan sudah aman terkendali sehingga tak ada alasan lagi bagi mereka untuk tinggal di apartemen.“Ibu nggak suka tinggal di apartemen seperti itu. Ibu lebih suka kita kembali ke rumah kita yang sederhana, tapi begitu nyaman bagi Ibu. Ibu kangen dengan tanaman dan bunga anggrek Ibu.”Ambar ingat sekali itu yang ibu ucapkan ketika mengutarakan keinginannya kembali ke rumah mereka di hadapan Mas Darius.Mas Darius tentu saja awalnya menolak dan kembali membujuk. Kakak iparnya itu mengatakan kalau apartemennya tersebar banyak di Jakarta dan kosong tidak ditempati. Semua fasilitas tentu saja lebih baik dibanding rumah sederhana mereka, jadi sebenarnya tak ada alasan bagi keluarga Ambar untuk menolak pemberian apartemen tersebut.Namun tentu saja Ibu keras kepala dan mengatakan kalau dia tak nyaman berulang kali, sehingga membuat Mas Darius mengalah dan akhirnya membiarkan Ibu, Ayah dan Ambar kembali ke rumah mereka.“Tapi Ambar bisa pergi ke apartemen tersebut kapanpun kamu mau. Lokasinya dekat dengan kampus unggulan Cahaya Ilmu International College dan bisa dipakai kelak jika Ambar sudah mulai berkuliah,” ujar Mas Darius yang sama keras kepalanya. Dia menyerahkan kunci apartemen kepada Giselle dan mengatakan feel free to use the apartment.Ambar kembali tersadar dengan pertanyaan ibu dan menghampiri ibu yang sedang merawat tanamannya secara telaten di halaman rumah.“Uh, aku ada perlu sebentar. Ketemu teman,” ujar Ambar berbohong.Dia bukan ingin bertemu temannya hari ini.Dia akan menemui Diraja Sudibyo setelah mereka ‘janji’ akan bertemu hari ini di Plaza Indonesia. Ini juga merupakan peringatan Ambar terakhir kepada pria itu agar tidak mengusiknya lagi setelah ini.Ibu menatapnya penuh tanya sampai akhirnya berceletuk ringan, "Ibu kira kamu mau bertemu pacarmu," ujar ibu santai.Ambar langsung menyanggahnya, "bukan Bu! Aku nggak punya pacar! Mana sempat mikirin begitu!" kilah Ambar.Ibu hanya menatapnya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk.“Jangan pulang malam-malam, ya!” ujar Ibu yang dibalas oke olehnya.“Iya, Bu. Ketemunya juga sebentar, kok.” Ambar menambahkan.Dia akan membuat pertemuan ini begitu singkat karena dia malas sekali bertemu dan berinteraksi dengan pria yang jauh lebih tua dari dirinya. Bertemu hanya berdua pula!Setelah izin dengan ibu dan bapak, Ambar pergi menuju salah satu mall elit di Jakarta dengan bantuan ojek online. Dia hanya memakai kaus hitam lengan pendek dengan celana jeans dan sepatu converse-nya. Rambutnya sengaja diikat kuda untuk alasan kepraktisan, dan wajahnya benar-benar make up free.She doesn’t want to impress anyone, makanya hari ini dia benar-benar datang ke mall elit tersebut tanpa persiapan matang.Sampai di sana, Ambar mengecek kembali ponselnya dan sudah ada pesan dari nomor yang sengaja tak disimpan, namun Ambar sudah dapat menebak siapa gerangan yang mengirimkan pesan itu.[Saya sudah di Starbucks.]Ambar melengos membaca pesan tersebut. Setelah bertanya kepada security di mana letak kedai kopi waralaba tersebut, Ambar berjalan dan masuk ke dalamnya. Wangi kopi yang khas menyeruak masuk indra penciumannya, dan dia mengedarkan pandangan mencari di mana Diraja berada.Benar, pria itu sudah duduk di sebuah set kursi sofa yang tersembunyi dan sepertinya belum sadar kalau Ambar telah tiba. Dia langsung duduk di hadapan Diraja tanpa disuruh dan bersedekap seraya menatap Diraja dengan tatapan penuh curiga.“Langsung aja, Mas Diraja. Nggak perlu basa-basi, karena saya nggak punya banyak waktu,” ujar Ambar dengan cepat.Di sudut matanya dia tahu beberapa pengunjung melirik ke arah mereka dan bahkan ada beberapa wanita yang dua kali menengok ke arah mereka. Seakan memastikan pemandangan yang mereka lihat di kedai kopi ini.Diraja mengangkat wajahnya dan menatap Ambar dengan tatapan tajamnya. Mungkin saja itu efek alisnya yang tebal, namun Ambar tidak takut sama sekali dan justru menatap pria itu balik, setengah menantangnya."Mau minum apa?" Diraja memilih tidak menanggapi ucapan Ambar dan bertanya hal lain.Ambar menggelengkan kepalanya, dia tak ingin berbasa-basi."Nggak perlu, langsung saja kita bicara sekarang," Ambar menekankan sekali lagi.Namun Diraja tentu saja bukan lawan yang sepadan bagi Ambar yang masih bau kencur. Pria itu justru menyandarkan tubuh tegap atletisnya ke kursi dan mengangkat sebelah alisnya, seakan menantang Ambar untuk melakukan hal yang lebih ekstrim.“Aku rasa kamu nggak suka kopi, so Matcha frappe or something girly drinks, perhaps?" ejek Diraja yang membuat Ambar semakin meradang.“Jadi mau bicara tentang apa? Saya risih duduk di sini bersama kamu, Mas Diraja. Banyak orang yang memperhatikan kita, jadi lebih baik kita selesaikan permasalahannya secepat mungkin!” Ambar menghiraukan pertanyaan Diraja sekali lagi. Dia sungguh-sungguh tak ingin terjebak dalam permainan Diraja yang seperti ini.Dan seperti berbicara dengan tembok, Diraja kembali mendiamkan ucapan Ambar dan memilih untuk beranjak dari duduknya."Tunggu sebentar, saya butuh kopi. Makanya saya ajak kamu ke sini." Tanpa menunggu jawaban Ambar, Diraja pergi ke counter dan mulai memesan kopinya. Meninggalkan Ambar yang terbengong-bengong di kursi.Dengan diam-diam Ambar memperhatikan sekeliling. Benar, ini semua bukan perasaan Ambar semata. Dia yakin banyak yang memperhatikan dirinya dan Diraja. Ambar mengernyitkan dahinya. Apa mungkin Diraja seterkenal itu, sampai-sampai banyak orang yang mengenali pria itu dan membuatnya jadi pusat perhatian?Rasa tak nyamannya semakin meningkat ketika seorang pria melewati meja Ambar dan menyerahkan secarik kertas kepadanya. Ambar mengernyitkan dahinya, menatap pria asing yang berlalu yang tak lupa mengedipkan matanya kepada Ambar sebelum akhirnya pergi dari tempat ini.Dia meraih secarik kertas tersebut, dan di sana tertulis nomor telepon dengan beberapa untai kata yang membuat Ambar menjadi emosi!'Call me, Aku bisa kasih penawaran lebih baik dari om kamu, kalau kamu mau jadi sugar baby-ku.'Ambar terkesiap saat membacanya! Astaga jadi selama ini orang-orang melihat Ambar dan Diraja lalu segera mengambil kesimpulan kalau dia seorang sugar baby!Belum sempat Ambar beranjak dan mengejar pria mesum itu untuk dia maki-maki sepuas hati, Diraja tiba di meja mereka dan menghalau langkah kaki Ambar."Mau ke mana?" tanya Diraja dengan kaku."Ck! Lepasin!" Ambar meronta dalam pegangan Diraja. Pria itu kemudian menaruh cup holder yang berisi dua cup minuman ke meja dan kedua tangannya meraih lengan Ambar. Meremasnya agar Ambar kembali fokus kepada Diraja."Kenapa?" tanyanya dengan tajam."Dari tadi sudah saya bilang, kan! Saya nggak nyaman bicara di sini sama kamu. Sekarang ada yang sampai kasih nomor teleponnya dan mikir kalau saya jadi sugar baby yang lagi jalan sama omnya!" ucap Ambar cukup keras yang akhirnya membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran dan melempar senyuman mengejek ke arahnya.Diraja akhirnya mengendurkan pegangannya, dan mengambil cup holder di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan Ambar. Mereka mulai keluar dari Starbucks dan berjalan ke dalam area mall sebelum akhirnya Ambar melihat arah pergi mereka menuju apartemen privat yang memiliki akses dengan mall ini."Tu... tunggu dulu! Kita mau ke mana?" tanya Ambar di tengah kepanikannya."Katanya kamu nggak nyaman dilihat banyak orang, kita bicara di tempat saya saja." Diraja kembali 'menyeretnya' hingga mereka berdua melewati security check dan masuk ke dalam private lift yang langsung naik menuju unit apartemen milik Diraja.Ambar menghela napas kesal. Seharusnya tadi dia berontak saja dan membuat keributan agar tidak dibawa ke ruang pribadi Diraja.Lihat saja, kalau pria itu macam-macam, dia akan tendang bagian paling privat pria itu sampai tak berkutik!DIRAJA Diraja akhirnya melepaskan genggaman tangannya ketika pintu lift terbuka dan mereka berjalan menuju unit apartemennya. Setelah membuka pintu dan masuk, Diraja membawa Ambar menuju sofa yang menghadap jendela besar yang menghadap jalan protokol utama Jakarta di sore ini. Dia mengambil triple espresso on the rock miliknya dan menyerahkan matcha frappe untuk Ambar yang menerima minuman tersebut sambil menggerutu pelan. “Duduk saja.” Dengan kepalanya, Diraja mengarahkan Ambar agar tidak segan-segan duduk. Tapi sepertinya gadis itu memasang kewaspadaan tingkat tinggi dan menolaknya dengan cepat. “Berdiri seperti ini saja,” balasnya dengan keras kepala. Diraja menghembuskan napasnya. Akhirnya dia duduk sambil menyeruput espresso-nya. “Diskusi kita akan panjang, dan saya capek mengangkat kepala kalau kamu berdiri seperti itu terus,” jawab Diraja dengan tenang. “Duduk,” titah Diraja yang membuat Ambar semakin kesal dan menghentakkan kakinya. Tapi tak lama dia menuruti kei
AMBAR “Mas Darius dalam bahaya?” Ambar menyipitkan matanya. “Kamu tahu siapa kompetitor yang ingin menghancurkan Darius? Dan siapa mereka sebenarnya?” Diraja melempar pertanyaan kepadanya. Ambar menggeleng lemah. Jantungnya berpacu cepat mendapatkan informasi terbaru ini. Apakah Mbak Amira juga berada di dalam bahaya? Pikirannya kembali mundur ketika dirinya dan Mbak Amira diculik di Pulau Laguna oleh ayahnya Mas Darius. Belum lagi ketika ada peristiwa penembakan di lobi hotel Royal Ruby yang mengakibatkan satu orang tertembak dan terluka. Sebenarnya itu peristiwa besar, namun karena kekuasaan kakak iparnya–berita tersebut terkubur dan tak ada media massa nasional yang secara serius meliput peristiwa tersebut karena campur tangan Mas Darius dan kedua sahabatnya, Mas Raka dan Mas Nero untuk ‘membungkam’ media. “Siapa mereka?” tanyanya penuh ketegangan. “Apa Mbak Amira akan baik-baik saja?” Ambar tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Pria yang duduk dengan tenang di hadapa
Hari ini ayah kembali menanyakan apa yang akan Diraja lakukan mengenai proses merger dan akuisisi dengan perusahaan Darius. Pembicaraan sejak beberapa bulan lalu memang belum ada perkembangan berarti hingga sekarang. “Lalu bagaimana dengan saran ayah waktu itu?” tanya ayahnya saat mereka berdiskusi di ruang chairman milik ayahnya. Mereka berdua sedang membicarakan Sudibyo Corporation secara keseluruhan sebagai bentuk salah satu proses suksesi dan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Amir Sudibyo kepada anaknya–Diraja Sakala Sudibyo. “Tentang Ambar?” Diraja menegaskan pertanyaan sang ayah. Beliau mengangguk tenang meskipun terlihat jelas dia menanti perkembangan dan berita baik dari masalah ini. “Aku sudah berbicara dengan Ambar minggu lalu,” ungkapnya. “Lalu? Bagaimana hasilnya?” todong ayah. “Aku memberinya waktu hingga minggu ini untuk berpikir. Biar bagaimanapun Ambar tidak akan mengalami kerugian kalau dia menolak pernikahan ini. Berbeda denganku. Makanya aku ngga
“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit. Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkomp
AMBAR Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah. Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya. Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi. Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mere
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus
Setelah ditinggal Michelle, ada perasaan kosong yang membuatnya merasa begitu gamang. Diraja menghela napasnya. Menelan kepahitan yang berasal dari rencana pernikahan bisnis yang akan dia lakukan bersama Ambar. Suara klakson mobil di belakang mereka akhirnya membuat Diraja tersadar dan meminta sang supir untuk kembali ke kantor. Diraja mencoba menghubungi Michelle untuk memastikan kalau dia baik-baik saja selepas pembicaraan mereka di dalam mobil tadi. Tapi sepertinya Michelle memblokir nomornya sehingga dia tak bisa menghubunginya. Saat membuka ponselnya, Diraja baru menyadari kalau dia tadi mendapatkan pesan singkat dari Ambar ketika dia bertengkar dengan Michelle. [Saya sudah bicara dengan keluarga besar saya, mereka nggak percaya kalau saya mempertimbangkan usul ini. Jika keluarga saya menolak