Share

Bab 2

Hampir enam bulan lebih telah berlalu sejak resepsi pernikahan Mbak Ambira dan Mas Darius. Itu pula waktu yang bergulir sejak dia bertemu dengan Diraja Sudibyo, rekan kerja Mas Darius yang entah kenapa kesetanan ingin sekali menemuinya dan berbicara hal gila seperti pertunangan dan pernikahan. 

Ambar tentu saja memblokir nomor pria itu dan menghiraukan segala usahanya untuk bertemu dan membicarakan tentang masalah absurd pertunangan tersebut. Ambar memilih untuk menghabiskan waktunya fokus dalam ujian sekolah dan ujian masuk kuliah dalam enam bulan belakangan tersebut. 

Maka ketika dia telah lulus SMA beberapa waktu lalu dan sibuk dengan persiapan ujian masuk kuliah, dia tak lagi memikirkan dan cenderung lupa tentang Diraja. Dia terlalu sibuk menikmati hidup sebagai adik ipar Mas Darius yang dilimpahi kekayaan. Banyak hal baru yang membuka mata Ambar.

Padahal ketika mereka terakhir bertemu sebelum adanya insiden penembakan di hotel Royal Ruby–Ambar sudah jelas-jelas mendengar kalau Mas Darius dan Mbak Amira menolak mentah-mentah rencana gila tersebut.

Bahkan Ambar benar-benar mengingat bagaimana tersinggungnya Diraja saat ayahnya sendiri mengemukakan pendapat tersebut, dan meminta ayahnya untuk menghentikan omong kosongnya.

Lalu sekarang apa yang mendasari perubahan signifikan ini?

“Ambar, hari ini kamu mau ke mana?” tanya Ibu yang sedang menyirami tanaman di rumah mereka. Sudah beberapa hari ini mereka kembali lagi ke rumah mereka setelah sebelumnya tinggal beberapa bulan di apartemen milik kakak iparnya. Mas Darius Danudiharjdo.

Sebelumnya Mas Darius bersikeras ‘memaksa’ mereka untuk pindah ke apartemen miliknya demi keamanan keluarga. Masa-masa sulit ketika Mas Darius menghadapi masalah yang cukup berbahaya dan menyebabkan dirinya serta Mbak Amira diculik di suatu pulau pribadi milik keluarga Danudihardjo di daerah Kepulauan Riau.

Awalnya Bapak dan Ibu menyetujuinya demi menjaga keselamatan keluarga, namun setelah pernikahan Mas Darius dan Mbak Amira, Ibu bersikeras kembali ke rumah mereka dan menganggap keadaan sudah aman terkendali sehingga tak ada alasan lagi bagi mereka untuk tinggal di apartemen.

“Ibu nggak suka tinggal di apartemen seperti itu. Ibu lebih suka kita kembali ke rumah kita yang sederhana, tapi begitu nyaman bagi Ibu. Ibu kangen dengan tanaman dan bunga anggrek Ibu.”

Ambar ingat sekali itu yang ibu ucapkan ketika mengutarakan keinginannya kembali ke rumah mereka di hadapan Mas Darius.

Mas Darius tentu saja awalnya menolak dan kembali membujuk. Kakak iparnya itu mengatakan kalau apartemennya tersebar banyak di Jakarta dan kosong tidak ditempati. Semua fasilitas tentu saja lebih baik dibanding rumah sederhana mereka, jadi sebenarnya tak ada alasan bagi keluarga Ambar untuk menolak pemberian apartemen tersebut.

Namun tentu saja Ibu keras kepala dan mengatakan kalau dia tak nyaman berulang kali, sehingga membuat Mas Darius mengalah dan akhirnya membiarkan Ibu, Ayah dan Ambar kembali ke rumah mereka.

“Tapi Ambar bisa pergi ke apartemen tersebut kapanpun kamu mau. Lokasinya dekat dengan kampus unggulan Cahaya Ilmu International College dan bisa dipakai kelak jika Ambar sudah mulai berkuliah,” ujar Mas Darius yang sama keras kepalanya. Dia menyerahkan kunci apartemen kepada Giselle dan mengatakan feel free to use the apartment.

Ambar kembali tersadar dengan pertanyaan ibu dan menghampiri ibu yang sedang merawat tanamannya secara telaten di halaman rumah.

“Uh, aku ada perlu sebentar. Ketemu teman,” ujar Ambar berbohong.

Dia bukan ingin bertemu temannya hari ini.

Dia akan menemui Diraja Sudibyo setelah mereka ‘janji’ akan bertemu hari ini di Plaza Indonesia. Ini juga merupakan peringatan Ambar terakhir kepada pria itu agar tidak mengusiknya lagi setelah ini.

Ibu menatapnya penuh tanya sampai akhirnya berceletuk ringan, "Ibu kira kamu mau bertemu pacarmu," ujar ibu santai.

Ambar langsung menyanggahnya, "bukan Bu! Aku nggak punya pacar! Mana sempat mikirin begitu!" kilah Ambar.

Ibu hanya menatapnya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk.

“Jangan pulang malam-malam, ya!” ujar Ibu yang dibalas oke olehnya.

“Iya, Bu. Ketemunya juga sebentar, kok.” Ambar menambahkan.

Dia akan membuat pertemuan ini begitu singkat karena dia malas sekali bertemu dan berinteraksi dengan pria yang jauh lebih tua dari dirinya. Bertemu hanya berdua pula!

Setelah izin dengan ibu dan bapak, Ambar pergi menuju salah satu mall elit di Jakarta dengan bantuan ojek online. Dia hanya memakai kaus hitam lengan pendek dengan celana jeans dan sepatu converse-nya. Rambutnya sengaja diikat kuda untuk alasan kepraktisan, dan wajahnya benar-benar make up free.

She doesn’t want to impress anyone, makanya hari ini dia benar-benar datang ke mall elit tersebut tanpa persiapan matang.

Sampai di sana, Ambar mengecek kembali ponselnya dan sudah ada pesan dari nomor yang sengaja tak disimpan, namun Ambar sudah dapat menebak siapa gerangan yang mengirimkan pesan itu.

[Saya sudah di Starbucks.]

Ambar melengos membaca pesan tersebut. Setelah bertanya kepada security di mana letak kedai kopi waralaba tersebut, Ambar berjalan dan masuk ke dalamnya. Wangi kopi yang khas menyeruak masuk indra penciumannya, dan dia mengedarkan pandangan mencari di mana Diraja berada.

Benar, pria itu sudah duduk di sebuah set kursi sofa yang tersembunyi dan sepertinya belum sadar kalau Ambar telah tiba. Dia langsung duduk di hadapan Diraja tanpa disuruh dan bersedekap seraya menatap Diraja dengan tatapan penuh curiga.

“Langsung aja, Mas Diraja. Nggak perlu basa-basi, karena saya nggak punya banyak waktu,” ujar Ambar dengan cepat.

Di sudut matanya dia tahu beberapa pengunjung melirik ke arah mereka dan bahkan ada beberapa wanita yang dua kali menengok ke arah mereka. Seakan memastikan pemandangan yang mereka lihat di kedai kopi ini.

Diraja mengangkat wajahnya dan menatap Ambar dengan tatapan tajamnya. Mungkin saja itu efek alisnya yang tebal, namun Ambar tidak takut sama sekali dan justru menatap pria itu balik, setengah menantangnya.

"Mau minum apa?" Diraja memilih tidak menanggapi ucapan Ambar dan bertanya hal lain.

Ambar menggelengkan kepalanya, dia tak ingin berbasa-basi.

"Nggak perlu, langsung saja kita bicara sekarang," Ambar menekankan sekali lagi.

Namun Diraja tentu saja bukan lawan yang sepadan bagi Ambar yang masih bau kencur. Pria itu justru menyandarkan tubuh tegap atletisnya ke kursi dan mengangkat sebelah alisnya, seakan menantang Ambar untuk melakukan hal yang lebih ekstrim.

“Aku rasa kamu nggak suka kopi, so Matcha frappe or something girly drinks, perhaps?" ejek Diraja yang membuat Ambar semakin meradang.

“Jadi mau bicara tentang apa? Saya risih duduk di sini bersama kamu, Mas Diraja. Banyak orang yang memperhatikan kita, jadi lebih baik kita selesaikan permasalahannya secepat mungkin!” Ambar menghiraukan pertanyaan Diraja sekali lagi. Dia sungguh-sungguh tak ingin terjebak dalam permainan Diraja yang seperti ini.

Dan seperti berbicara dengan tembok, Diraja kembali mendiamkan ucapan Ambar dan memilih untuk beranjak dari duduknya.

"Tunggu sebentar, saya butuh kopi. Makanya saya ajak kamu ke sini." Tanpa menunggu jawaban Ambar, Diraja pergi ke counter dan mulai memesan kopinya. Meninggalkan Ambar yang terbengong-bengong di kursi.

Dengan diam-diam Ambar memperhatikan sekeliling. Benar, ini semua bukan perasaan Ambar semata. Dia yakin banyak yang memperhatikan dirinya dan Diraja. Ambar mengernyitkan dahinya. Apa mungkin Diraja seterkenal itu, sampai-sampai banyak orang yang mengenali pria itu dan membuatnya jadi pusat perhatian?

Rasa tak nyamannya semakin meningkat ketika seorang pria melewati meja Ambar dan menyerahkan secarik kertas kepadanya. Ambar mengernyitkan dahinya, menatap pria asing yang berlalu yang tak lupa mengedipkan matanya kepada Ambar sebelum akhirnya pergi dari tempat ini.

Dia meraih secarik kertas tersebut, dan di sana tertulis nomor telepon dengan beberapa untai kata yang membuat Ambar menjadi emosi!

'Call me, Aku bisa kasih penawaran lebih baik dari om kamu, kalau kamu mau jadi sugar baby-ku.'

Ambar terkesiap saat membacanya! Astaga jadi selama ini orang-orang melihat Ambar dan Diraja lalu segera mengambil kesimpulan kalau dia seorang sugar baby!

Belum sempat Ambar beranjak dan mengejar pria mesum itu untuk dia maki-maki sepuas hati, Diraja tiba di meja mereka dan menghalau langkah kaki Ambar.

"Mau ke mana?" tanya Diraja dengan kaku.

"Ck! Lepasin!" Ambar meronta dalam pegangan Diraja. Pria itu kemudian menaruh cup holder yang berisi dua cup minuman ke meja dan kedua tangannya meraih lengan Ambar. Meremasnya agar Ambar kembali fokus kepada Diraja.

"Kenapa?" tanyanya dengan tajam.

"Dari tadi sudah saya bilang, kan! Saya nggak nyaman bicara di sini sama kamu. Sekarang ada yang sampai kasih nomor teleponnya dan mikir kalau saya jadi sugar baby yang lagi jalan sama omnya!" ucap Ambar cukup keras yang akhirnya membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran dan melempar senyuman mengejek ke arahnya.

Diraja akhirnya mengendurkan pegangannya, dan mengambil cup holder di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan Ambar. Mereka mulai keluar dari Starbucks dan berjalan ke dalam area mall sebelum akhirnya Ambar melihat arah pergi mereka menuju apartemen privat yang memiliki akses dengan mall ini.

"Tu... tunggu dulu! Kita mau ke mana?" tanya Ambar di tengah kepanikannya.

"Katanya kamu nggak nyaman dilihat banyak orang, kita bicara di tempat saya saja." Diraja kembali 'menyeretnya' hingga mereka berdua melewati security check dan masuk ke dalam private lift yang langsung naik menuju unit apartemen milik Diraja.

Ambar menghela napas kesal. Seharusnya tadi dia berontak saja dan membuat keributan agar tidak dibawa ke ruang pribadi Diraja.

Lihat saja, kalau pria itu macam-macam, dia akan tendang bagian paling privat pria itu sampai tak berkutik!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status