Share

Bab 3

DIRAJA

Diraja akhirnya melepaskan genggaman tangannya ketika pintu lift terbuka dan mereka berjalan menuju unit apartemennya. Setelah membuka pintu dan masuk, Diraja membawa Ambar menuju sofa yang menghadap jendela besar yang menghadap jalan protokol utama Jakarta di sore ini. 

Dia mengambil triple espresso on the rock miliknya dan menyerahkan matcha frappe untuk Ambar yang menerima minuman tersebut sambil menggerutu pelan. 

“Duduk saja.” Dengan kepalanya, Diraja mengarahkan Ambar agar tidak segan-segan duduk. Tapi sepertinya gadis itu memasang kewaspadaan tingkat tinggi dan menolaknya dengan cepat. 

“Berdiri seperti ini saja,” balasnya dengan keras kepala. 

Diraja menghembuskan napasnya. 

Akhirnya dia duduk sambil menyeruput espresso-nya. 

“Diskusi kita akan panjang, dan saya capek mengangkat kepala kalau kamu berdiri seperti itu terus,” jawab Diraja dengan tenang. 

“Duduk,” titah Diraja yang membuat Ambar semakin kesal dan menghentakkan kakinya. Tapi tak lama dia menuruti keinginan Diraja dan duduk bersebrangan darinya. 

Sambil menyeruput matcha miliknya dia menatap Diraja penuh pertimbangan. Melempar bola kembali ke arahnya, menunggu Diraja membuka suara dan memulai diskusi. 

“Kita harus menikah,” ujar Diraja tanpa basa-basi. 

Ambar tersedak dan terbatuk-batuk saat mendengar ucapannya barusan. 

“Hah?” Itu adalah kata pertama yang diucapkan Ambar sesaat setelah batuknya dan rasa keterkejutannya reda. 

“Kita hanya perlu melakukan pernikahan kontrak selama beberapa tahun agar saya bisa memastikan proses merger dan akuisisi antara perusahaan kakak iparmu dengan perusahaan saya berjalan lancar,” jelas Diraja sesimpel mungkin. 

“Itu nggak ada hubungannya dengan saya! Kalau bicara bisnis ya diskusinya sama Mas Darius, dong! Kenapa malah jadi merembet ke masalah pernikahan?” Ambar membantahnya dengan keras. 

“Hentikan omong kosong ini, Mas Diraja! Saya nggak mengerti di mana urgensinya masalah bisnis antara kalian dengan kehidupan saya!” Ambar bersiap untuk bangkit dari duduknya, namun Diraja sekali lagi menahannya. 

“Bisakah kita berdiskusi seperti orang dewasa? Atau saya berharap terlalu tinggi dari kamu supaya bisa berdiskusi dengan kepala dingin?” ujar Diraja yang sukses membuat Ambar terhenyak. 

Ucapannya memang tajam dan cenderung kejam jika dipikir-pikir, apalagi diucapkan untuk Ambar yang masih sangat muda. Ucapan menohoknya tersebut tepat menyentil ego gadis itu karena memang dia masih sangat muda dan kemampuan berpikirnya tentu berbeda dengan dirinya yang lebih tua 10 tahun. 

Namun sebelum sempat Diraja meminta maaf–ragu bersarang hingga akhirnya dia urung dan memilih diam, Diraja justru menatap kedua manik mata Ambar secara langsung. Menunggu respons dari Ambar selanjutnya. 

Bibir Ambar bergetar, entah menahan tangis atas menahan amarah. Wajahnya pun perlahan memerah, tanda menahan malu atau lagi-lagi–menahan amarah, Diraja tak bisa menebaknya. Tapi sepertinya ucapan tajamnya berhasil mengusik Ambar hingga dia memunculkan emosi seperti itu dari wajah Ambar. 

"Duduk, kita bicara sampai selesai. Jangan dipotong-potong dengan argumen nggak berguna seperti ini, Ambar," desak Diraja sekali lagi. 

Ambar menarik napas dan menghelanya perlahan. Mencoba meregulasi emosinya dan akhirnya dia duduk dengan wajah datar, sekali lagi menunggu Diraja untuk melanjutkan percakapan mereka. 

“Saya terpaksa menerima permintaan merger dan akuisisi dari Danudihardjo Enterprise, karena kompetitor perusahaan kakakmu itu berniat menggunakan perusahaan saya untuk menghancurkan kakakmu dan juga perusahaan saya dalam prosesnya.” Diraja melanjutkan poin argumennya. Mencoba menjelaskan secara runtut mengapa pernikahan antara mereka berdua itu sangat penting dan berkelindan dengan bisnis Darius dan dirinya. 

“Jika ini masalah MA, kenapa harus ada pernikahan? Sesulit itukah menangkap pertanyaan saya dari awal?” Ambar bertanya balik. Namun kali ini nadanya lebih teratur tanpa emosional seperti tadi. 

“Kamu terlalu naif, Ambar,” jawab Diraja. 

“Pernikahan ini bertujuan agar Danudihardjo dan Sudibyo terkonsolidasi, dan kekuatan kami lebih besar untuk menghalau serangan kompetitor itu.” Diraja menambahkan ucapannya. 

“Kalian semua akan menandatangani kontrak, bukan? Kontrak kan memiliki efek legal dan juga mengikat para pihak! Kenapa dipersulit lagi dengan adanya pernikahan yang nggak relevan ini!” tepis Ambar. Dia masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Diraja. 

"Kontrak saja tidak cukup, Ambar. Perlu pengikatan yang lebih mendasar dan prinsipil lagi. Sesuatu yang dianggap kekal dan permanen. Makanya pernikahan bisnis itu sudah ada sejak zaman dahulu kala," Diraja menjelaskan dengan sabar. 

Ambar menggigit bibir bawahnya dan bersedekap. Pandangannya teralih ke arah jendela luas yang menampilkan pemandangan jalan protokol ibukota. Gadis itu terlarut dalam pikirannya sendiri. Sikap diamnya menciptakan keheningan selepas perkataan Diraja barusan. 

“Tapi kenapa harus saya? Saya bahkan nggak ada hubungannya sama sekali dengan kalian,” tutur Ambar lemah, meskipun demikian Diraja masih menangkap ucapannya. 

Simply because no marriageable woman in Darius’s lineage and family. Mungkin ada dari garis keluarga Nyonya Angela Danudihardjo. Tapi itu akan lebih rumit karena keluarga Sastrowilogo bahkan lebih serius dan strict lagi jika menyangkut dengan pernikahan dan perjodohan. Kebanyakan dari mereka sudah dijodohkan dari lahir,” Diraja menjawab blak-blakan tanpa filter. 

Ambar membelalak kaget mendengar penuturannya. 

“Segila itukah?” tanyanya sambil berbisik tak percaya. 

Diraja kembali menaikkan sebelah alisnya. Pemikiran antara dirinya dan Ambar memang bertolak belakang. Realitas hidup dan lingkungan tempat mereka dibesarkan memang berbeda sejak mereka lahir. Perspektif yang mereka bawa dalam menjalani hidup pun akhirnya berbeda. 

“Bagimu mungkin gila, tapi itu bukan hal aneh di lingkungan kami,” ujar Diraja sambil terkekeh kecil. 

“Bagaimana kalau saya tetap menolak?” Ambar masih keras kepala dan belum bisa diyakinkan oleh Diraja. 

Diraja lalu ingat kalau dia belum memberitahu apa saja keuntungan yang akan dia berikan kepada Ambar kalau gadis itu menyetujui rencana pernikahan ini. 

“Apa cita-citamu, Ambar?” tanya Diraja tiba-tiba. 

Ambar mengerjapkan matanya, kaget dengan perubahan topik pembicaraan. 

“Lanjut kuliah S2 ke luar negeri mungkin, bekerja, membeli rumah sendiri, traveling keliling dunia bersama ibu dan bapak, banyak mimpi yang ingin saya raih. Menikah itu ada di daftar kesekian dan bukan prioritas saya.” Ambar menjawab pertanyaan Diraja. 

Diraja mengangguk setuju. 

“Kamu bisa mendapatkan semuanya dengan mudah jika setuju menikah denganku,” tawar Diraja. 

“Maksudnya?” tanya Ambar kebingungan. 

“Jika kita menikah, kamu bisa pilih melanjutkan kuliah di manapun yang kamu mau. Biaya tidak masalah karena saya yang akan tanggung, selama menikah kamu memiliki kesempatan untuk networking dan selepas lulus akan lebih mudah mendapat pekerjaan, atau saya bisa buatkan perusahaan untukmu bekerja, whatever suits you. Dan untuk rumah, nanti akan kuberikan apartemen dan mobil untukmu sendiri setelah menikah. Dengan atau tanpa supir, bisa disesuaikan nanti. Tentu saja itu semua bisa menjadi milikmu setelah kita bercerai nanti.” Diraja menjelaskan panjang lebar. 

“Ah ya, tentu saja nanti akan ada uang bulanan–kita akan tentang nominalnya setelah kamu setuju menikah denganku. Tapi syaratnya kita tak perlu mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Anggap saja kita roommate selama beberapa tahun ke depan sebelum akhirnya kita bercerai,” tambalnya. 

Ambar menggelengkan kepalanya tak mengerti. 

"Masih kurang menarik penawarannya?" Diraja menelengkan kepalanya. Menanti apa jawaban Ambar selanjutnya. 

"Bukan begitu, tunggu dulu... " ujar Ambar terbata-bata. 

“Tapi… menikah kan sesuatu yang sakral! Nggak bisa dianggap lalu begini aja. Apalagi Mas Diraja bicara seperti ini, kayak menawarkan kacang goreng ke pembeli!” tukas gadis itu. 

Tentu saja Ambar tak bisa melihat betapa pentingnya pernikahan ini bagi Diraja. Begitu banyak yang dipertaruhkan baginya, sedangkan Ambar tak akan kehilangan apapun jika dia menolak Diraja. 

Dia tahu saat ini dialah yang berada di posisi yang terjepit. Tapi tentu saja dia tak akan memperlihatkan bagaimana putus asanya Diraja agar Ambar menerima pinangannya. Maka itu dia memutar otak, dan akhirnya memutuskan untuk mencari alasan yang lebih dramatis. 

“Sebenarnya saya nggak mau bicara tentang ini, tapi saya rasa ini penting agar kamu tahu seberapa urgent pernikahan kita–” ucap Diraja yang dipotong oleh Ambar. 

“Jika saya menyetujuinya! Jangan bicara seolah-olah pernikahan ini hal pasti di antara kita!” tepis Ambar dengan cepat. 

Diraja memilih menghiraukannya, dan melanjutkan ucapannya. 

“Darius berada dalam bahaya. Jika dia tidak melakukan merger dengan Sudibyo Corporation–dan ayahku menolak tawarannya karena tak ada ikatan pernikahan dibalik merger tersebut, maka nyawa kakakmu bisa terancam.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status