AMBAR
6 Bulan yang lalu
Ambar selesai bersolek dan merapikan kembali riasan wajahnya yang mungkin sempat mengkhawatirkan karena dia menangis melihat kakak tersayangnya berdiri di pelaminan bersama pria yang begitu besar mencintai kakaknya.
Kakak perempuannya–Amira Dwi Handayani hari ini menggelar resepsi pernikahannya dengan sang suami atau kakak ipar Ambar–Darius Richard Danudihardjo.
Si konglomerat muda mantan playboy yang akhirnya bertekuk lutut di hadapan kakaknya. Kini Mas Darius begitu bucin dengan Mbak Amira dan setiap orang yang melihat gerak geriknya pasti akan mengatakan 100% kalau Mas Darius itu heads over heels fall in love with Mbak Amira.
Rasa harunya juga muncul begitu saja karena dia tiba-tiba mengingat peristiwa penculikan di Pulau Laguna karena upaya Carlos Danudihardjo, ayah Mas Darius, untuk memisahkan dan bahka mencelakai Amira karena berhubungan dengan Darius. Untung saja Mas Darius telah menyelesaikan semua permasalahan, dan memberikan keyakinan kalau mereka semua telah aman dan yang tersisa adalah bahagia selamanya layaknya cerita dongeng.
Setelah yakin bahwa makeup-nya tidak bergeser dan tetap memperlihatkannya sebagai salah satu pagar ayu yang sempurna, Ambar bergegas kembali ke aula dan berkumpul dengan Pagar Ayu lainnya yang merupakan empat orang teman kerja Mbak Amira.
"Kamu lihat pengantinnya? Menarik sih memang, tapi rasa-rasanya Darius bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik. Lihat saja, ada satu Pagar Ayu yang sangat cantik. Dia benar-benar seperti model." Di dalam bilik toilet tadi Ambar mendengar selentingan ucapan miring murahan yang keluar dari mulut tamu undangan.
Ambar tentu saja mendidih mendengarnya!
Enak saja menghina kecantikan Mbak Amira!
Tanpa pikir panjang, dia menggebrak bilik toilet dan menyuruh kedua perempuan yang bergosip itu keluar dari biliknya masing-masing.
"Bilang apa kalian?" Ambar membentak kedua perempuan muda yang matanya membelalak ketakutan.
"Kalian tidak menghargai sekali! Sudah baik-baik diundang, malah menjelek-jelekkan pemilik acara!" Ujar Ambar dengan nada tinggi.
Kedua perempuan yang sudah kadung malu bukannya meminta maaf malah justru menyerang Ambar balik dan mendorong tubuh Ambar. Dia meradang dan mendorong perempuan gengges itu kembali.
"Hey!" pekik perempuan yang berdandan heboh itu tatkala Ambar balas mendorongnya.
"Pakaian saja bermerek, tapi kelakuan kalian tidak menunjukkan kelas! Kalian iri ya sama Mbak Amira?" ucap Ambar dengan kesal.
Kedua perempuan itu malu dan wajahnya sontak memerah.
"Money can't buy a class memang benar ternyata! Aku melihat kedua contohnya di hadapanku sekarang."
Dengan angkuh, Ambar keluar dari toilet dan meninggalkan kedua perempuan yang tak berkutik dalam kemarahan dan perasaan malu mereka. Di luar, dia hampir saja bertabrakan dengan seorang pria yang juga baru keluar dari toilet pria.
Karena heels-nya yang lumayan tinggi, serta kain batik yang melilitnya begitu sempit, Ambar hampir saja terjatuh jika dia tidak dipegang oleh pria asing ini.
"Oh, terima kasih!" Ucap Ambar seraya melemparkan senyumnya.
Tapi wajah Ambar membeku ketika dia melihat pria yang menggapai tubuhnya dan kini memegang pinggang dan punggungnya untuk menstabilkan dirinya adalah pria yang pernah Ambar temui di Royal Ruby Hotel satu bulan lalu.
Diraja Sudibyo.
Pria itu pun menyadari siapa yang dia bantu pun akhirnya melepaskan genggamannya dan rahangnya kembali mengeras.
"Ambar–" panggilnya singkat.
"Mas Diraja," jawab Ambar tak kalah singkatnya.
Ambar melirik pergelangan tangannya yang masih ditahan oleh Diraja. Menaikkan sebelah alisnya dan meminta pria itu segera melepaskannya. Diraja paham itu, tapi dia justru mengetatkan pegangannya sampai akhirnya Ambar menyentakkan tangannya untuk melepaskan genggaman pria itu.
Tapi belum jauh dia melangkah, pergelangan tangannya kembali ditarik oleh Diraja dan membuat Ambar hampir terjatuh kembali karena kehilangan keseimbangan. Untungnya pria itu kembali mendekap pundak Ambar dan menjaganya tetap berada di dalam pelukannya.
"Apa kamu punya waktu hari ini? Ayo kita bicara," pinta Diraja dengan nada dingin yang sungguh tidak Ambar sukai.
"Ingin bicara masalah apa? Saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Kita tidak saling mengenal," ujar Ambar dengan tegas. Dia mencoba untuk melepaskan genggaman pria yang berdiri di hadapannya.
"Kita perlu bicara mengenai masalah pertunangan kita."
Kesal karena ucapan semaunya pria tampan di hadapannya kini, Ambar dengan sengaja menginjak sepatu kulit pria itu dengan stiletto tajamnya dan sikap brutalnya itu sukses membuat pria itu berjengit kesakitan dan mundur beberapa langkah. Secara otomatis pelukannya mengendur dan Amira terbebas dari kungkungan Diraja.
“Kamu tuh delusi ya! Nggak ada pertunangan di antara kita! Nggak usah telpon-telpon lagi, apalagi bicara hal ngaco seperti ini lagi sama saya!”
Benar-benar orang kaya di lingkungan Mas Darius isinya banyak sekali orang gila dan stress! Seperti pria yang akhirnya mengekor di belakang Ambar sekarang.
“Bisa nggak sih jangan dekat-dekat! Ngapain juga ngikutin saya!” seru Ambar sambil berjalan cepat, mencoba menghindari pria yang tingginya seperti Mas Darius.
“Ambar!” Suara Diraja yang mengeras akhirnya membuat Ambar menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya. Tangannya berkacak pinggang dan matanya mengerjap kesal.
Di depan pintu aula tempat pernikahan kakaknya, Ambar menatap sengit Diraja yang wajahnya juga menahan kesal karena dicuekin terus menerus oleh Ambar.
“Kapan kamu ada waktu untuk bicara? Ini pembicaraan yang penting untuk kita berdua,” ujar Diraja dengan serius.
“Saya sibuk,” jawab Ambar seraya menelengkan kepalanya ke arah aula, memberi gestur implisit kepada pria mapan di hadapannya ini. Ambar mengerutkan keningnya, mungkin saja keluarganya sekarang sedang mencari dirinya yang menghilang dari pos Pagar Ayu sejak tadi.
Diraja memejamkan matanya. Seakan-akan mencoba bersabar atas jawaban yang baru saja Ambar berikan.
“Kalau begitu kapan?” Diraja mengulangi pertanyaannya lagi.
Ambar mengedikkan bahunya cuek.
“Kalau bisa nggak usah ketemu sekalian,” gumamnya pelan.
Diraja menyipitkan matanya, “Gimana?” ulangnya sekali lagi.
“Nanti deh saya hubungi lagi,” ucap Ambar berkelit. Haha tentu saja dia tak ada niatan untuk menghubungi pria ini sama sekali!
Dan sepertinya Diraja dapat menebak jalan pikiran Ambar dan dia sontak menggelengkan kepalanya, menolak opsi tersebut.
“Kamu pilih, antara kamu kasih saya waktu yang jelas, atau saya datang ke rumah dan bahkan ke sekolahmu!” ancam Diraja yang membuat Ambar ingin sekali memukul pria itu sekarang.
“Nggak bisa, nggak bisa! Ngapain sampai nyamperin ke rumah atau ke sekolah!” ujar Ambar setengah histeris.
“Minggu ini di Plaza Indonesia, deal?” Diraja akhirnya menentukan waktu dan tempat pertemuan mereka. Meskipun Ambar merasa tidak ada tujuan yang jelas dalam pertemuan mereka kelak.
“Setelah bertemu, jangan ganggu saya lagi, deal?”
Tak gentar, Ambar akhirnya menjabat tangan besar dan kekar milik Diraja dan membalas pernyataan Diraja dengan dingin.
Tanpa menunggu jawaban dari Diraja, Ambar membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan dagu terangkat.
Ini hari bahagia dirinya dan keluarganya. Tidak akan dia biarkan pria asing yang mulai mengusik ketenangan hidupnya itu membawa mood-nya turun. Ambar terus melenggang masuk ke dalam aula penuh percaya diri dan keanggunan yang dipaksakan. Walau begitu, dia masih merasakan tatapan menusuk yang dari belakang yang membuat bulu tengkuknya meremang.
Tentu saja, satu minggu kemudian Ambar tak menghiraukan permintaan Diraja untuk menemuinya. Dia sengaja ghosting pria itu dan langsung memblokir nomornya.
Pria sinting seperti itu memang tidak perlu dihiraukan!
Hampir enam bulan lebih telah berlalu sejak resepsi pernikahan Mbak Ambira dan Mas Darius. Itu pula waktu yang bergulir sejak dia bertemu dengan Diraja Sudibyo, rekan kerja Mas Darius yang entah kenapa kesetanan ingin sekali menemuinya dan berbicara hal gila seperti pertunangan dan pernikahan. Ambar tentu saja memblokir nomor pria itu dan menghiraukan segala usahanya untuk bertemu dan membicarakan tentang masalah absurd pertunangan tersebut. Ambar memilih untuk menghabiskan waktunya fokus dalam ujian sekolah dan ujian masuk kuliah dalam enam bulan belakangan tersebut. Maka ketika dia telah lulus SMA beberapa waktu lalu dan sibuk dengan persiapan ujian masuk kuliah, dia tak lagi memikirkan dan cenderung lupa tentang Diraja. Dia terlalu sibuk menikmati hidup sebagai adik ipar Mas Darius yang dilimpahi kekayaan. Banyak hal baru yang membuka mata Ambar. Padahal ketika mereka terakhir bertemu sebelum adanya insiden penembakan di hotel Royal Ruby–Ambar sudah jelas-jelas mendengar kalau
DIRAJA Diraja akhirnya melepaskan genggaman tangannya ketika pintu lift terbuka dan mereka berjalan menuju unit apartemennya. Setelah membuka pintu dan masuk, Diraja membawa Ambar menuju sofa yang menghadap jendela besar yang menghadap jalan protokol utama Jakarta di sore ini. Dia mengambil triple espresso on the rock miliknya dan menyerahkan matcha frappe untuk Ambar yang menerima minuman tersebut sambil menggerutu pelan. “Duduk saja.” Dengan kepalanya, Diraja mengarahkan Ambar agar tidak segan-segan duduk. Tapi sepertinya gadis itu memasang kewaspadaan tingkat tinggi dan menolaknya dengan cepat. “Berdiri seperti ini saja,” balasnya dengan keras kepala. Diraja menghembuskan napasnya. Akhirnya dia duduk sambil menyeruput espresso-nya. “Diskusi kita akan panjang, dan saya capek mengangkat kepala kalau kamu berdiri seperti itu terus,” jawab Diraja dengan tenang. “Duduk,” titah Diraja yang membuat Ambar semakin kesal dan menghentakkan kakinya. Tapi tak lama dia menuruti kei
AMBAR “Mas Darius dalam bahaya?” Ambar menyipitkan matanya. “Kamu tahu siapa kompetitor yang ingin menghancurkan Darius? Dan siapa mereka sebenarnya?” Diraja melempar pertanyaan kepadanya. Ambar menggeleng lemah. Jantungnya berpacu cepat mendapatkan informasi terbaru ini. Apakah Mbak Amira juga berada di dalam bahaya? Pikirannya kembali mundur ketika dirinya dan Mbak Amira diculik di Pulau Laguna oleh ayahnya Mas Darius. Belum lagi ketika ada peristiwa penembakan di lobi hotel Royal Ruby yang mengakibatkan satu orang tertembak dan terluka. Sebenarnya itu peristiwa besar, namun karena kekuasaan kakak iparnya–berita tersebut terkubur dan tak ada media massa nasional yang secara serius meliput peristiwa tersebut karena campur tangan Mas Darius dan kedua sahabatnya, Mas Raka dan Mas Nero untuk ‘membungkam’ media. “Siapa mereka?” tanyanya penuh ketegangan. “Apa Mbak Amira akan baik-baik saja?” Ambar tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Pria yang duduk dengan tenang di hadapa
Hari ini ayah kembali menanyakan apa yang akan Diraja lakukan mengenai proses merger dan akuisisi dengan perusahaan Darius. Pembicaraan sejak beberapa bulan lalu memang belum ada perkembangan berarti hingga sekarang. “Lalu bagaimana dengan saran ayah waktu itu?” tanya ayahnya saat mereka berdiskusi di ruang chairman milik ayahnya. Mereka berdua sedang membicarakan Sudibyo Corporation secara keseluruhan sebagai bentuk salah satu proses suksesi dan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Amir Sudibyo kepada anaknya–Diraja Sakala Sudibyo. “Tentang Ambar?” Diraja menegaskan pertanyaan sang ayah. Beliau mengangguk tenang meskipun terlihat jelas dia menanti perkembangan dan berita baik dari masalah ini. “Aku sudah berbicara dengan Ambar minggu lalu,” ungkapnya. “Lalu? Bagaimana hasilnya?” todong ayah. “Aku memberinya waktu hingga minggu ini untuk berpikir. Biar bagaimanapun Ambar tidak akan mengalami kerugian kalau dia menolak pernikahan ini. Berbeda denganku. Makanya aku ngga
“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit. Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkomp
AMBAR Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah. Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya. Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi. Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mere
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus