AMBAR
“Mas Darius dalam bahaya?” Ambar menyipitkan matanya.
“Kamu tahu siapa kompetitor yang ingin menghancurkan Darius? Dan siapa mereka sebenarnya?” Diraja melempar pertanyaan kepadanya.
Ambar menggeleng lemah. Jantungnya berpacu cepat mendapatkan informasi terbaru ini. Apakah Mbak Amira juga berada di dalam bahaya?
Pikirannya kembali mundur ketika dirinya dan Mbak Amira diculik di Pulau Laguna oleh ayahnya Mas Darius. Belum lagi ketika ada peristiwa penembakan di lobi hotel Royal Ruby yang mengakibatkan satu orang tertembak dan terluka.
Sebenarnya itu peristiwa besar, namun karena kekuasaan kakak iparnya–berita tersebut terkubur dan tak ada media massa nasional yang secara serius meliput peristiwa tersebut karena campur tangan Mas Darius dan kedua sahabatnya, Mas Raka dan Mas Nero untuk ‘membungkam’ media.
“Siapa mereka?” tanyanya penuh ketegangan. “Apa Mbak Amira akan baik-baik saja?” Ambar tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Pria yang duduk dengan tenang di hadapannya mengusap bibirnya dan mengernyitkan dahinya.
“Saya nggak bisa menjamin, jujur saja,” jawab Diraja.
“Dalam bahaya seperti apa? Kenapa bicaranya nggak pernah lengkap sih? Saya nggak ngerti keadaan yang sebenarnya gimana! Kenapa bahaya? Mas Darius bilang kalau semua sudah baik-baik saja, dan kejadian penembakan serta penculikan tempo lalu nggak akan terjadi lagi!” Tak sengaja Ambar membeberkan apa yang pernah dirinya dan kakaknya alami.
Diraja menyipitkan matanya tatkala mendengar hal tersebut.
“Penculikan? Kalian pernah diculik?”
Ah, sial! Ambar keceplosan. Informasi ini seharusnya hanya diketahui oleh keluarganya saja!
“Cepat bilang! Apa kakak saya juga akan dalam bahaya? Bicara yang jelas, Mas Diraja!” titah Ambar yang membuat Diraja terkekeh sejenak.
“Bossy!” tutur Diraja pelan sebelum akhirnya dia berhenti terkekeh dan kembali duduk dengan tegak dan menampakan raut wajah seriusnya.
“Keluarga Ong dari Singapura sudah menargetkan perusahaan Darius dan perusahaanku untuk dihancurkan agar dia bisa masuk dan menguasai pasar Indonesia.” Pria itu akhirnya mulai menjelaskan siapa dalang yang membuat kekacauan yang terasa dampaknya bagi Ambar.
“Mereka keluarga yang berbahaya. Memiliki jaringan bisnis bawah tanah yang kuat dan tersebar di Asia. Beberapa bulan lalu terungkap mereka menyabotase perusahaan kami.”
“Singkat cerita, Darius mengungkap intrik tersebut dan akhirnya muncul pembicaraan mengenai merger kedua perusahaan untuk menjaga kedua perusahaan dari serangan keluarga Ong. Tapi sampai saat ini, pembicaraan merger masih terhalang dengan satu klausa yang ayah saya tekankan sejak awal,” tambah Diraja panjang lebar.
Penjelasan tersebut membuat Ambar sedikit banyak akhirnya mengerti di mana titik sambung antara masalah bisnis kompleks antara Mas Darius dan Diraja–serta kaitannya dengan proposal pernikahan bisnis yang getol sekali diungkapkan dari pihak Sudibyo.
“Lalu kalau Danudihardjo dan Sudibyo nggak perlu merger, maka tak ada pernikahan yang dipaksakan, bukan? Mengapa kalian memaksakan merger jika tidak ada titik temu di antara diskusi bisnis kalian?” ungkap Ambar.
Ambar perlu tahu motif di balik Diraja sampai ngotot untuk menikah dengannya agar dia bisa menganalisa masalah ini. Banyak hal yang masih menjadi tanda tanya karena dia merasa Diraja tak menceritakan semuanya kepada Ambar. Masih ada hal yang ditutup-tutupi dari penjelasan pria di hadapannya ini.
Dan benar saja, Diraja hanya menatapnya dengan tatapan yang tak bisa Ambar mengerti. Diam memandangi dirinya sampai Ambar merasa risih.
Sampai akhirnya, Diraja menghela napasnya.
“Kamu ternyata nggak sebodoh yang saya duga!” ujar Diraja yang kembali menyulut emosi Ambar.
“Saya lebih muda, tapi bukan berarti saya bodoh!” tukasnya dengan sengit.
Entah sudah berapa kali mereka berdebat seperti ini. Diraja menyepelekannya hanya karena dia masih muda!
“Yeah, I can start seeing that,” gumam Diraja pelan.
“Baiklah, kita akan bicara ini dengan perspektif bisnis, try to keep up with me, kid!”
Tuh kan! Lihat bagaimana Diraja kembali ‘mengejeknya’ dan mengatakan kalau dirinya cuma bocah!
“Darius menginginkan jumlah saham yang begitu besar sehingga membuat keluarga Sudibyo tidak memiliki majority voting lagi kalau mengikuti keinginan Darius. Itu jelas merugikan kami dan ayah tidak menyukai proposal tersebut,”
“Ayah membalasnya dengan mengatakan kurangi jumlah saham yang akan Darius miliki, atau jalankan pernikahan agar sisa saham dari Darius bisa diserahkan kepada kamu, yang kelak tetap berada di bawah nama Sudibyo karena kamu akan masuk ke dalam keluarga kami.”
Jawaban Diraja membuat hati Ambar teriris sakit. Rasanya seperti dijadikan barang barter demi memuluskan kepentingan bisnis mereka.
Ambar berpikir keras mengenai situasi yang sebenarnya terjadi dalam bisnis kakak iparnya tersebut. Sebelum Mbak Amira bertemu dengan Mas Darius, hidup mereka tenang-tenang saja. Tidak ada kejutan yang berarti. Tapi kini, setelah mereka bersentuhan dengan dunia sosialita yang penuh intrik–Ambar pun akhirnya terseret juga.
“Kamu tahu, Ambar… ketika kamu sudah masuk dalam dunia ini, maka keinginan pribadi akan lebih banyak terkalahkan dengan kepentingan yang dianggap jauh di atas kita. Kepentingan keluarga dan bahkan kepentingan perusahaan beserta karyawan di dalamnya.”
Ucapan Diraja membuat Ambar menoleh ke arah pria itu, mencoba menelisik apa maksud dari perkataannya.
“Tapi… saya kan bukan dari kalangan kalian!” bantah Ambar yang segera dibalas dengan senyum miris dari Diraja.
“Begitukah menurutmu?” Diraja menggelengkan kepalanya. Menegasikan bantahan Ambar seraya terkekeh pelan seakan mengejek deduksi Ambar yang dangkal.
“Tapi sayang sekali, pernikahan Amira dan Darius membuat kamu ikut masuk dalam dunia ini. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau.”
Ambar refleks menggigit bibirnya dan kembali memutar otak yang rasanya menjadi bebal seperti banyak benang kusut bersarang di dalamnya.
“Pikirkan baik-baik proposal yang kuberikan. Anggap saja kamu sedang ngekost dengan orang lain, yang berubah hanyalah statusmu di atas kertas. Selebihnya kamu memiliki kebebasan yang bahkan lebih besar dibanding jika kamu masih tinggal bersama orang tuamu,” ujar Diraja pada akhirnya.
Semua tawaran Diraja memang terdengar menarik bagi Ambar. Dia tak perlu menyusahkan ibu dan ayah saat dia ingin berkuliah. Dia juga tak perlu merasa tak enak kepada Mas Darius karena dia yakin kakak iparnya pasti akan memberikan segalanya untuk Ambar jika dia meminta.
Dia ingin hidup mandiri, dan ini adalah salah satu caranya. Salah satu cara tercepat menuju kemandirian dan kebebasan finansial. Setelah mereka bercerai, Ambar akan bebas menggapai cita-citanya.
Sejujurnya Ambar tergoda dengan penawaran tersebut.
“Kalau saya setuju, janji ya kita nggak bakal ngapa-ngapain!” Ambar menekankan kembali prasyarat tersebut.
Diraja menaikkan sebelah alisnya, tak percaya dengan apa yang Ambar ucapkan.
“Saya nggak nafsu sama anak kecil kayak kamu,” ujarnya dingin.
“Berapa umurmu? 17 tahun? 18 tahun? Kita akan menikah tunggu kamu masuk umur legal dulu!” tambal Diraja yang semakin menginjak-injak ego Ambar.
“Umurku sudah 19 tahun ya! Dan siapa juga yang mau sama om-om tua kayak kamu!” balas Ambar tak kalah dingin.
Diraja ingin membalas ucapannya, tapi sepertinya mengurungkan niatnya dan Ambar menanggapinya dengan senyum lebar penuh kemenangan. Biar saja dia dianggap childish sama pria tua ini! Awalnya Diraja duluan yang memprovokasi Ambar dengan membawa-bawa umur ke dalam diskusi mereka.
“Saya beri waktu kamu untuk berpikir kembali, minggu depan saya bisa dapat jawaban darimu?” Diraja akhirnya berdiri dan berjalan menuju jendela besar seraya melihat pemandangan yang disuguhkan dari apartemen privat nan mahal ini.
Apartemen ini hampir sama dengan apartemen Mas Darius yang mereka tempati beberapa bulan sebelumnya. Apartemen milik kakak iparnya yang dia pegang kuncinya.
Diraja menyandarkan bahunya ke jendela dan menatap Ambar, menunggu respon darinya.
Ambar akhirnya mengangguk. Dia pun tahu kalau ini akhir dari pembicaraan mereka. Meraih cup matcha yang sudah mulai mencair, Ambar berdiri dan berniat untuk pulang.
“Bisa pulang sendiri? Atau perlu saya antar?” tanya Diraja yang Ambar rasa seperti mencemooh.
Ambar memutar bola matanya.
“I am just young, not invalid!” balas Ambar dengan ketus.
Tak lama dia keluar dari unit apartemen dengan akses lift pribadi dan sampai juga di pusat perbelanjaan elit yang membuat Ambar sedikit disorientasi sejenak. Ambar menghirup nafas perlahan untuk menenangkan hati dan pikirannya setelah keluar dari ‘medan perang’ bernama apartemen milik Diraja.
Pikirannya bergejolak dan membuat hatinya dilanda kebingungan. Ucapan Diraja terus terngiang-ngiang dalam kepalanya. Jika sudah tercebur di sini, maka keinginan pribadi bukanlah hal utama yang harus diperjuangkan.
Akankah nasibnya menjadi seperti itu? Menekan keinginan pribadinya demi kemajuan bisnis Mas Darius dan juga demi keselamatan Mas Darius dan Mbak Amira? Seberapa penting kebebasannya dalam memilih pasangan hidup dibanding keselamatan orang tersayangnya?
Ambar memiliki waktu satu minggu untuk memutuskan.
Memotong sayap kebebasannya, atau mendahulukan kepentingan orang terkasihnya?
Hari ini ayah kembali menanyakan apa yang akan Diraja lakukan mengenai proses merger dan akuisisi dengan perusahaan Darius. Pembicaraan sejak beberapa bulan lalu memang belum ada perkembangan berarti hingga sekarang. “Lalu bagaimana dengan saran ayah waktu itu?” tanya ayahnya saat mereka berdiskusi di ruang chairman milik ayahnya. Mereka berdua sedang membicarakan Sudibyo Corporation secara keseluruhan sebagai bentuk salah satu proses suksesi dan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Amir Sudibyo kepada anaknya–Diraja Sakala Sudibyo. “Tentang Ambar?” Diraja menegaskan pertanyaan sang ayah. Beliau mengangguk tenang meskipun terlihat jelas dia menanti perkembangan dan berita baik dari masalah ini. “Aku sudah berbicara dengan Ambar minggu lalu,” ungkapnya. “Lalu? Bagaimana hasilnya?” todong ayah. “Aku memberinya waktu hingga minggu ini untuk berpikir. Biar bagaimanapun Ambar tidak akan mengalami kerugian kalau dia menolak pernikahan ini. Berbeda denganku. Makanya aku ngga
“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit. Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkomp
AMBAR Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah. Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya. Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi. Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mere
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus
Setelah ditinggal Michelle, ada perasaan kosong yang membuatnya merasa begitu gamang. Diraja menghela napasnya. Menelan kepahitan yang berasal dari rencana pernikahan bisnis yang akan dia lakukan bersama Ambar. Suara klakson mobil di belakang mereka akhirnya membuat Diraja tersadar dan meminta sang supir untuk kembali ke kantor. Diraja mencoba menghubungi Michelle untuk memastikan kalau dia baik-baik saja selepas pembicaraan mereka di dalam mobil tadi. Tapi sepertinya Michelle memblokir nomornya sehingga dia tak bisa menghubunginya. Saat membuka ponselnya, Diraja baru menyadari kalau dia tadi mendapatkan pesan singkat dari Ambar ketika dia bertengkar dengan Michelle. [Saya sudah bicara dengan keluarga besar saya, mereka nggak percaya kalau saya mempertimbangkan usul ini. Jika keluarga saya menolak
AMBAR “Kenapa kamu mempertimbangkan untuk menikah sama Diraja? Memang dia bicara apa saja sama kamu?” desak Mbak Amira dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi. Ambar dilema, apakah dia perlu menceritakan semua yang dikatakan Diraja kepadanya, tentang masalah bisnis yang kemudian bisa saja membahayakan keluarganya karena kompetitor mereka yang jika didengar dari sudut pandang Diraja terdengar begitu gila. “Hmm… dia bilang ini demi kelangsungan perusahaan Mas Darius dan juga perusahaannya. Lebih baik konsolidasi dan menjadi lebih kuat,” ujar Ambar akhirnya. Kakaknya mengernyitkan dahinya, masih tak percaya dengan jawaban Ambar yang terdengar begitu generik. “Tante
Mereka semua menatap Ambar keheranan.“Kok tiba-tiba begini?” Ibu bertanya dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi.Ibu dan bapak menoleh ke arahnya. Menunggu jawaban atau penjelasan yang dapat diberikan kepadanya mengenai masalah yang membuat heboh keluarga mereka ini.“Aku juga bingung, Bu,” ujar Mas Darius yang memiliki sentimen yang sama dengan sang ibu.Ambar berkelit dan mengedikkan bahunya.“Aku rasa ini bukan hal yang buruk, Bu. Tante Angela juga memiliki pendapat yang sama,” ujarnya mencoba meyakinkan kedua orangtuanya.“Tapi kamu bukan tipe impulsif seperti ini, Ibu tahu itu,” balas ibunya keras kepala. Dia pasti tahu a