Hari ini ayah kembali menanyakan apa yang akan Diraja lakukan mengenai proses merger dan akuisisi dengan perusahaan Darius. Pembicaraan sejak beberapa bulan lalu memang belum ada perkembangan berarti hingga sekarang.
“Lalu bagaimana dengan saran ayah waktu itu?” tanya ayahnya saat mereka berdiskusi di ruang chairman milik ayahnya. Mereka berdua sedang membicarakan Sudibyo Corporation secara keseluruhan sebagai bentuk salah satu proses suksesi dan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Amir Sudibyo kepada anaknya–Diraja Sakala Sudibyo.
“Tentang Ambar?” Diraja menegaskan pertanyaan sang ayah. Beliau mengangguk tenang meskipun terlihat jelas dia menanti perkembangan dan berita baik dari masalah ini.
“Aku sudah berbicara dengan Ambar minggu lalu,” ungkapnya.
“Lalu? Bagaimana hasilnya?” todong ayah.
“Aku memberinya waktu hingga minggu ini untuk berpikir. Biar bagaimanapun Ambar tidak akan mengalami kerugian kalau dia menolak pernikahan ini. Berbeda denganku. Makanya aku nggak bisa memaksanya terlalu dalam supaya dia tidak kabur dan menolak mentah-mentah proposalku,” jawab Diraja dengan gamblang.
Dia tak merasakan apapun ketika membicarakan hal ini. Baginya ini sama saja seperti pembicaraan bisnis yang perlu diputuskan dengan kepala dingin, tanpa melibatkan emosi sesaat yang cenderung menghasilkan keputusan gegabah.
Ayah mengetuk-ngetuk jemarinya di meja kayu jati kualitas terbaik pengrajin Jepara, simbol akar Jawa mereka yang dengan bangga ayah tunjukkan dalam pemilihan furniturnya.
“Apa perlu ayah dan ibu datang menemui keluarga Ambar untuk membujuknya?” Ayah memberikan saran kepadanya, namun Diraja dengan sigap menolaknya.
“Tidak perlu, Ayah. Akan aku selesaikan sendiri secepat mungkin,” tukasnya dengan nada serius.
“Kamu punya kekasih?” tanya Ayah tiba-tiba.
Sekelebat, nama Michelle Janice Salim langsung terpatri dalam otaknya. Diraja mengatur raut wajahnya menjadi datar tanpa ekspresi. Sebisa mungkin menyembunyikan emosi yang bergejolak di hatinya ketika mengingat Michelle.
“Not that important, akan aku bereskan secepatnya,” Diraja memilih untuk menjawab seperti itu atas pertanyaan ayahnya.
Ayah meneliti raut wajah Diraja lebih dalam lagi. Menimbang-nimbang apa respons yang akan ayah katakan selanjutnya.
“Kamu tahu, cinta itu bisa dipupuk dan dirawat kalau kedua orang memang berniat untuk membina rumah tangga,” ujar ayahnya.
Diraja tahu ke mana arah pembicaraan antara pria seperti ini. Namun dia memilih untuk diam saja dan mendengarkan wejangan sang ayah.
“Hormati istrimu kelak kalau kamu sudah mengucapkan ijab kabul. Distraksi bisa datang dari mana saja, tapi komitmen tetap yang utama dalam rumah tangga.” tambal ayah.
Ayah kembali menatap matanya. Meminta konfirmasi jika wejangannya masuk ke dalam otaknya. Diraja mengangguk singkat dan memilih untuk membicarakan hal lain saja yang tidak melibatkan perasaan dan emosinya seperti saat ini.
“Kabari kami dalam minggu ini. Dan ayah nggak mau mendengar kata gagal dalam pembicaraanmu bersama Ambar. Wine and dine her if you must. Woo and court her as fast as you can, we cannot afford to wait any longer,” ujar ayahnya dengan tegas.
Ini adalah Amir Sudibyo yang jarang-jarang Diraja lihat. Sosok penuh perhitungan yang melihat dan mencari celah dari berbagai sisi supaya kepentingan bisnisnya tetap terlaksana.
“Ayah masih ada meeting setelah ini, apa rencanamu?” tanya ayah kembali ke mode serius mengenai pekerjaannya. Ini tanda untuk Diraja beranjak dari ruang ayahnya.
“Ada meeting tentang proyek real estate kita. Kantor kita memilih The Converge sebagai konsultan marketing, aku sudah kirimkan proposal yang diberikan The Converge. Sepertinya Giselle dari The Converge yang akan pegang proyek ini. Ayah ingat dia?” Diraja kembali bersemangat jika dia berbicara tentang pekerjaan.
Ayahnya hanya mengangguk sambil lalu, pertanda dia tak terlalu tertarik dengan topik ini.
Ya, ini tanda Diraja untuk segera hengkang.
Some said workaholic is his middle name. Diraja tak membantah hal tersebut. Dia suka bekerja dan itu salah satu tujuan utama hidupnya. Tak jarang dia pulang kerja larut malam demi proses suksesi yang mulus dari ayahnya kepada dirinya. Dia ingin warisan yang diserahkan ayahnya dapat dia kembangkan lebih baik lagi. Diraja menghormati ayahnya, dan dia berjanji untuk membawa nama Sudibyo berkibar dengan baik dalam dunia bisnis di Indonesia.
Tapi ketika ayahnya mengungkit nama Biantara–sepupunya yang lebih muda tiga tahun darinya sebagai salah satu calon potensial suksesor, maka Diraja tak bisa tinggal diam karena posisinya terancam. Dia akan melakukan berbagai macam cara untuk mengamankan posisinya, dan mengembang tugas sebagai penerus dan pewaris Sudibyo Corporation. Tak akan dia biarkan jatuh bangun ayah dan ibunya membangun perusahaan ini pindah ke tangan orang lain.
Diraja akan membuktikan kalau dia adalah orang yang tepat untuk menduduki kursi pewaris.
Bahkan dengan menikahi Ambar Tri Handayani. Orang asing yang tiba-tiba datang tak diundang ke dalam kehidupannya.
“Aku kembali dulu, Ayah.” Diraja beranjak dari kursinya untuk kembali ke ruangannya yang terletak satu lantai di bawah.
“Jangan lupa pulang ke rumah hari ini, Ibu sudah berpesan tadi. Rengganis juga akan pulang bersama Prabu dan anak-anak mereka.” Sebelum keluar ruangan, ayah menyampaikan pesan yang sudah dia dengar dari ibunya tadi pagi.
Ibu menelepon Diraja dan memintanya untuk kembali ke rumah hari ini setelah dia tidur di apartemennya selepas ultimatum ayah minggu lalu. Diraja tak bisa menolak dan akhirnya setuju untuk pulang ke rumah mengadakan makan malam bersama keluarga.
Ketika kembali ke ruangannya, Diraja menghela napasnya. Tumpukan folder sudah menantinya. Sekretaris pribadinya–Nina, lalu asisten pribadinya–Tito sudah standby di depan ruangannya seraya mengerjakan hal lain.
“Apa agenda saya hari ini, Nina?” tanya Diraja seraya melewati Nina, sang sekretaris yang sudah bersamanya sejak dia terjun di dunia bisnis sembilan tahun silam. Ketika dia masih kuliah di Harvard dan bolak balik Jakarta Amerika Serikat. Kuliah sambil magang dan mengikuti rapat-rapat yang ayahnya lakukan bersama rekan bisnisnya.
Nina yang berumur 45 tahun awalnya merupakan kepala divisi administrasi sebelum akhirnya dipindahkan ayah untuk membantu menggembleng Diraja dari nol hingga akhirnya berdiri sebagai Managing Director seperti sekarang. Nina bagi Diraja bagaikan guru yang tegas, keras dan tidak segan-segan memberitahukan di mana letak kesalahannya, walaupun dia adalah anak pemilik perusahaan ini.
Tapi hasilnya kini dapat Diraja petik, dia menjadi pria yang meskipun dibesarkan dengan sendok emas, Diraja masih dapat membumi dan memiliki perspektif yang berbeda dengan anak konglomerat golden spoons lainnya. All thanks to Nina. His best teacher in the world.
“Meeting dengan The Converge untuk membicarakan promosi marketing bersama divisi marketing, lalu sorenya ada meeting dengan asosiasi kontraktor nasional. Malam sebenarnya ada dinner dengan Michelle, tapi Ibu sudah hubungi saya katanya minta jadwal kamu malam ini dibatalkan supaya bisa pulang dan makan malam di rumah,” ujar Nina dengan sigap tanpa mengangkat kepalanya dari komputer.
Diraja berhenti sejenak, menoleh ke arah Nina dan memastikan sekali lagi.
“Ada Bian berarti nanti?” tanya Diraja.
“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit. Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkomp
AMBAR Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah. Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya. Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi. Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mere
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus
Setelah ditinggal Michelle, ada perasaan kosong yang membuatnya merasa begitu gamang. Diraja menghela napasnya. Menelan kepahitan yang berasal dari rencana pernikahan bisnis yang akan dia lakukan bersama Ambar. Suara klakson mobil di belakang mereka akhirnya membuat Diraja tersadar dan meminta sang supir untuk kembali ke kantor. Diraja mencoba menghubungi Michelle untuk memastikan kalau dia baik-baik saja selepas pembicaraan mereka di dalam mobil tadi. Tapi sepertinya Michelle memblokir nomornya sehingga dia tak bisa menghubunginya. Saat membuka ponselnya, Diraja baru menyadari kalau dia tadi mendapatkan pesan singkat dari Ambar ketika dia bertengkar dengan Michelle. [Saya sudah bicara dengan keluarga besar saya, mereka nggak percaya kalau saya mempertimbangkan usul ini. Jika keluarga saya menolak
AMBAR “Kenapa kamu mempertimbangkan untuk menikah sama Diraja? Memang dia bicara apa saja sama kamu?” desak Mbak Amira dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi. Ambar dilema, apakah dia perlu menceritakan semua yang dikatakan Diraja kepadanya, tentang masalah bisnis yang kemudian bisa saja membahayakan keluarganya karena kompetitor mereka yang jika didengar dari sudut pandang Diraja terdengar begitu gila. “Hmm… dia bilang ini demi kelangsungan perusahaan Mas Darius dan juga perusahaannya. Lebih baik konsolidasi dan menjadi lebih kuat,” ujar Ambar akhirnya. Kakaknya mengernyitkan dahinya, masih tak percaya dengan jawaban Ambar yang terdengar begitu generik. “Tante
Mereka semua menatap Ambar keheranan.“Kok tiba-tiba begini?” Ibu bertanya dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi.Ibu dan bapak menoleh ke arahnya. Menunggu jawaban atau penjelasan yang dapat diberikan kepadanya mengenai masalah yang membuat heboh keluarga mereka ini.“Aku juga bingung, Bu,” ujar Mas Darius yang memiliki sentimen yang sama dengan sang ibu.Ambar berkelit dan mengedikkan bahunya.“Aku rasa ini bukan hal yang buruk, Bu. Tante Angela juga memiliki pendapat yang sama,” ujarnya mencoba meyakinkan kedua orangtuanya.“Tapi kamu bukan tipe impulsif seperti ini, Ibu tahu itu,” balas ibunya keras kepala. Dia pasti tahu a
DIRAJASaat Diraja sampai di rumah keluarganya yang terletak di daerah Dharmawangsa. Melihat halaman rumahnya telah terparkir mobil milik Mbak Rengganis dan suaminya serta mobil ayah pun sudah rapi berjajar di carport ketika dia turun dari mobil.Setelah mengucapkan terima kasih kepada supirnya, Diraja membawa tas kerjanya dan berjalan menuju rumah.Suasana malam ini memang cukup formal ketika dia memasuki foyer menuju ruang keluarganya. Vas-vas yang berisi bunga segar semakin banyak berjejer di setiap langkah dia berjalan. Sepertinya ibunya begitu serius untuk acara makan malam keluarga hari ini.