Share

Perempuan Sempurna

“Run, kamu melamun.” Melanie, mendekati Aruna dengan segelas tropical bamboo ditangannya. “Mikirin apa sih?”

Aruna sejenak meragu, haruskah ia menceritakan keresahannya kepada Melanie. ”Enggak ada, aku enggak mikirin apa-apa.”

”Kamu bisa ikut liburan kali ini, Aditya pasti lagi enggak di rumah ya?” Soraya, bergabung bersama teman-temannya setelah puas berbagi ciuman panas dengan salah satu pengunjung bar.

Aruna, Melanie dan Soraya memutuskan untuk mampir ke beach club setelah puas menikmati spa party sore tadi. Harusnya mereka masih menari, menikmati hidup setelah beberapa bulan ditekan oleh urusan rumah tangga yang membosankan. Tapi wajah Aruna yang sendu benar-benar tidak bisa diabaikan, perempuan itu sama sekali tidak menikmati liburan mereka.

”Aditya belakangan ini jarang di rumah ya, Run?” Soraya kembali bertanya.

“Iya, kantor lagi sibuk-sibuknya. Enggak cuma sering keluar kota, Mas Ditya juga jadi sering lembur.”

“Beneran lembur? Ukh-”

Melanie menyikut pinggang Soraya gemas, perempuan dengan perawakan kulit putih khas keturunan tionghoa itu benar-benar tidak peka. “Ya lembur beneran, lah. Emang ngapain lagi kalau bukan lembur?”

Soraya meletakan mojitonya dengan gemas, ia memang perempuan yang menganut hidup bebas meski sudah menikah. ”Ini nih, perempuan kayak kalian ini yang gampang dibohongi. Naif!” Soraya kembali memandang Aruna yang mengulas senyum tipis melihat perdebatannya dengan Melanie, “Jangan percaya-percaya amat sama Aditya lah, Run. Sesekali kamu boleh merajuk, kalau memang ada sesuatu yang menurutmu janggal, kamu boleh mencecar. Jangan terlalu manut, ribut di dalam rumah tangga itu hal biasa, bumbu rumah tangga kata orang jaman dulu.”

 “Pantas Dylan lebih sering menghabiskan waktu bersama artis-artis rumah produksinya, istrinya gila.”

Soraya sama sekali tidak tersinggung dengan perkataan Melanie, perempuan itu justru tertawa lebar. “Itu salah satu keuntungan menjalani pernikahan terbuka, aku enggak harus sibuk menebak-nebak Dylan sedang menyembunyikan sesuatu atau enggak.” Soraya menyesap mijitonya dengan nikmat. “Ketika dia bosan, dia akan bilang. Ketika aku menemukan lelaki yang lumayan menghibur, dia juga mengerti.” Soraya menatap Aruna yang menatap lautan dengan tatapan kosong. ”Enggak ada ekspektasi dalam hubungan ini. Jadi, ketika sesuatu berjalan enggak sesuai harapan, kami sama-sama enggak terluka.”

Soraya tahu ucapannya terdengar jahat, tapi sejak dulu ia memang tidak pernah percaya jika seseorang bisa merasa cukup hanya dengan satu pasangan. Lain halnya dengan Aruna yang percaya jika ia bisa menjadi perempuan yang sempurna, maka ia tidak akan ditinggalkan.

Kepercayaan Aruna membuat membuat perempuan itu bekerja keras memenuhi ekspektasi seseorang kepadanya, Aruna belajar memasak padahal ia benci uang panas dari penggorengan, Aruna sama sekali tidak memperkerjakan pembantu karena ia mengurus sendiri urusan rumahnya. Aruna juga menjadi istri yang patuh dan penuh pengertian, selalu berusaha mengerti Aditya karena ia percaya bahwa lelaki tidak suka dibantah.

“Well, aku benar-benar bersyukur karena memilih tetap sendiri di saat kalian sibuk berumah tangga,” ucap Melanie sebelum menghabiskan minumannya dalam satu kali teguk.

Soraya tertawa, “Santai aja, Mel. Masih tiga tahun lagi sebelum kamu mencapai usia  tiga puluh.”

”Aku enggak akan menikah, aku enggak mau jadi setengah gila seperti kalian.” gerutuan Melanie berhasil memancing tawa Aruna, tawa pertama yang perempuan itu keluarkan semenjak menginjakkan kaki di Bali.

***

“Kapan-kapan kita liburan ke sini ya, Mas.”

Aditya menatap foto yang dikirimkan Aruna, istrinya tampak cantik dengan bikini dan kain khas bali yang meilit di panggulnya. Aruna juga terlihat menawan karena kain warna-warni itu jelas tidak dapat menyembunyikan betapa jenjang kaki istrinya.

”Mas?” Naura memeluk Aditya dari belakang, ”Serius banget, liatin apa?” tanyanya manis sebelum wajah cantiknya berubah masam begitu mengetahui apa Aditya lihat. ”Siapa yang lebih cantik, aku atau Mba Aruna?”

Aditya menyesap winenya, lelaki itu mematikan ponsel tanpa berniat membalas pesan istrinya. Lelaki itu dengan kurang ajar menatap tubuh Naura dari atas hingga bawah, Aditya juga sengaja berlama-lama memandangi bagian-bagian tubuh Naura yang membuat sekretarisnya itu merasa panas di inti tubuhnya yang mulai lembab.

”Aruna, dia lebih cantik.”

Naura mendengus, ucapan Aditnya tidak salah. Tapi apalah artinya menjadi yang tercantik jika perempuan itu tidak dapat membuat suaminya merasa cukup dengan kehadirannya.

“Mana yang lebih menarik, aku atau Mba Aruna?” kali ini Naura mengganti pertanyaannya, perempuan itu juga mulai melepas kancing-kancing kemeja Aditya yang membungkus tubuhnya dengan gerakan sensual.

Hal yang paling Aditya sukai dari Naura adalah keberanian perempuan itu, Naura dengan ajaibnya mampu mengimbangi kalimat-kalimat sarkas yang Aditya lontarkan, bersama Naura Aditya merasa bebas, penasaran dan juga tertantang. Hal yang sama sekali tidak ia rasakan jika bersama Aruna, mereka tidak pernah berdebat, berbicara secukupnya dan bahkan menghadapi percintaan yang monoton.

“Kali ini kamu harus menentukan pilihan dengan benar, Mas.” Naura melepas kemeja yang dikenakannya. ”Aku atau Mba Aruna?”

”Aku benar-benar harus memilih?”

Naura mengangguk-anggukan kepala seolah-olah ia sedang mengajari anak kecil agar tidak memberikan jawaban yang salah, “Karena jawaban kamu akan menentukan kegiatan apa yang akan kita lakukan selama dua jam kedepan.”

Aditya tertawa, ia bisa saja tetap memaksa sekretarisnya untuk memuaskannya. Tapi rasanya tidak buruk juga mengikuti permainan Naura, perempuan itu benar-benar membuat darahnya bergejolak penasaran.

”Kamu, Naura. Kali ini kamu pemenangnya.” bisik Aditya serak sebelum menyumpal tawa Naura dengan gairah yang sama sekali tidak berusaha ia tutup tutupi.

Aditya terus menggeram, bergerak dengan cepat meski Naura sudah berkali-kali merintih kesakitan. Lelaki itu sama sekali tidak berusaha bersikap lembut, bahkan ketika tubuh Naura sudah tidak sanggup lagi meladeninya Aditya tetap bergerak berusaha mengejar kepuasannya sendiri.

”Kamu benar-benar gila, Mas.” bisik Naura kehabisan tenaga, Aditya benar-benar menggarapnya habis-habisan. Perempuan itu bahkan tidak yakin ia bisa berjalan besok pagi. ”Lain kali cobalah bersikap sedikit lembut.”

Aditnya yang mendengar permintaan Naura hanya terkekeh, tubuhnya terasa segar karena percintaan yang memuaskan. ”Kalau begitu kamu harus berhenti memancingku, anak nakal.” Tidak ada jawaban, hanya terdengar tarikan napas Naura di kamar tersebut. Sepertinya Naura benar-benar kelelahan hingga tertidur tanpa sempat membersihkan diri.

Tidak dapat berbuat banyak, Aditya memutuskan untuk menyalakan rokok. Sebenarnya ia bukan perokok, Aditya bahkan sudah berhenti menghisap tembakau tersebut sejak resmi menjadi suami Aruna. Tapi isi kepalanya yang belakangan terasa penuh hanya bisa ditenangkan dengan nikotin, jadi diam-diam Aditya kembali mengkonsumsi rokok batangan itu sekitar satu bulan yang lalu.

”Apa yang harus aku lakukan terhadapmu, penjahat kecil.” Aditya membiarkan asap rokoknya memenuhi ruangan. ”Haruskah aku meletakan kamu di sisiku dan menggantikan Aruna?”

Hening, Aditya membiarkan pertanyaannya tidak terjawab. Bahkan hingga liburan singkatnya dengan sang sekretaris berakhir, Aditya masih belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya tempo hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status