Godaan Keiran begitu nyata, begitu mendesak. Bianca bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu, menggemakan beat musik klub yang kini terasa seperti soundtrack pribadi mereka. Sensasi panas di punggung tangannya, tempat jemari Keiran menyentuh, menyebar ke seluruh tubuhnya.
Ini adalah pelarian yang dia inginkan, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih intens dan berani dari yang pernah ia bayangkan.
"Ke mana?" bisik Bianca, suaranya sedikit serak. Ada campuran rasa takut dan antisipasi yang membara di matanya.
Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia mengucapkan kata itu, dan bagian dari dirinya yang ingin sekali langsung menerima tawaran itu.
Keiran tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menggeser jemarinya dari punggung tangan Bianca, menyelipkan telapak tangannya di telapak tangan Bianca, lalu menggenggamnya erat.
Tatapan matanya yang dalam tak pernah lepas dari Bianca, seolah meminta izin tanpa perlu bicara. Senyum tipisnya melengkung lebih lebar, memancarkan kepercayaan diri dan janji.
Perlahan, Keiran menarik tangan Bianca, mengisyaratkan agar Bianca mengikutinya.
Bianca menatap genggaman tangan mereka, lalu beralih ke mata Keiran yang penuh magnet.
Logikanya berteriak untuk berhenti, untuk memikirkan konsekuensi.
Tapi suara itu tenggelam di bawah desakan hasrat yang belum pernah ia rasakan sekuat ini. Ini adalah kesempatan, kesempatan untuk melarikan diri dari rutinitas yang membosankan, dari frustrasi yang mencekik. Kesempatan untuk merasakan sesuatu yang nyata, bahkan jika itu hanya untuk satu malam.
"Baiklah," bisik Bianca, menantang. "Tapi kau yang harus memimpin." Ia menenggak habis White Russian-nya, merasakan sensasi dingin dan manis menyapu tenggorokannya, seolah mempersiapkan diri untuk apa pun yang akan terjadi.
Keiran tersenyum puas. "Selalu." Ia tidak langsung berjalan cepat; ia memberinya waktu, seolah memastikan Bianca benar-benar yakin dengan pilihannya.
Keiran tersenyum tipis, kali ini senyumnya penuh kemenangan, namun tanpa sedikit pun arogansi.
Itu adalah senyum yang menjanjikan pengalaman. Ia menarik tangannya dari telapak tangan Bianca, hanya untuk kemudian meraih pergelangan tangan wanita itu dengan lembut namun tegas.
"Ikut aku," katanya singkat, tatapannya tak melepaskan mata Bianca.
Tidak ada keraguan, tidak ada paksaan, hanya keyakinan mutlak yang memikat. Ia memimpin, menarik Bianca pelan namun pasti melalui kerumunan yang padat.
Mereka berjalan keluar dari area bar yang padat, menuju lorong yang lebih redup, di mana suara musik tidak lagi memekakkan telinga, melainkan hanya getaran samar di lantai.
Bianca tidak melawan. Ia membiarkan dirinya ditarik, langkahnya ringan mengikuti Keiran yang membelah kerumunan.
Aroma tubuh pria itu, yang sudah dikenalnya, kini terasa lebih kuat, membungkusnya dalam gelembung pribadi mereka. Ia merasakan tubuh Keiran yang kokoh di depannya, bahu atau punggungnya sesekali bergesekan dengan lengannya, mengirimkan sengatan hangat setiap kali sentuhan itu terjadi.
Dunia di sekitar mereka terasa kabur, hanya Keiran yang menjadi fokusnya. Ia tidak tahu ke mana mereka akan pergi, dan anehnya, ia tidak peduli.
Naluri mendadak telah mengambil alih kemudi, membungkam setiap keraguan yang tersisa. “Siapa sebenarnya pria ini? Dan mengapa aku, yang selalu teratur, bisa begitu mudahnya terbawa oleh seseorang yang baru saja kutemui? Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena takut, tapi karena... gairah.”
***
Mereka melewati lorong-lorong yang lebih sepi, menjauhi area utama klub yang bising.
Suara musik mulai meredup menjadi dengung jauh, seolah dunia lain yang baru saja ditinggalkan. Keiran membimbingnya ke sebuah pintu yang tidak mencolok, terlihat seperti pintu keluar darurat atau akses staf yang jarang digunakan. Ia membukanya, dan udara malam yang sejuk serta hembusan angin yang lembut langsung menerpa wajah Bianca, sebuah kelegaan yang tajam kontras dengan panasnya klub.
Mereka melangkah keluar ke sebuah gang belakang yang gelap dan sepi, hanya diterangi oleh lampu remang-remang dari gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
Aroma lembap khas malam hari dan sedikit bau sampah menyengat, namun Bianca tidak mempermasalahkannya. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil mewah berwarna gelap yang terparkir tak jauh dari sana.
Mobil itu tampak terlalu bagus untuk berada di gang ini, sama misteriusnya dengan pemiliknya.
Bianca mengamati mobil itu dengan alis terangkat, sedikit menyeringai. "Mobil ini... sepertinya tidak parkir di sembarang gang."
Keiran berhenti di samping mobil, melepaskan pergelangan tangan Bianca namun tetap berdiri sangat dekat dengannya. Ia menoleh, matanya kembali mengunci mata Bianca, intensitasnya tak berkurang sedikit pun. "Beberapa hal mewah memang lebih suka bersembunyi dari keramaian," jawabnya dengan suara rendah, senyum tipis bermain di bibirnya. "Sama seperti beberapa orang."
Bianca menatap mobil itu lagi, lalu kembali menatap Keiran. "Dan kurasa kau adalah salah satunya."
"Mungkin," Keiran mengakui, tatapannya lembut namun menusuk. "Klub itu terlalu ramai untuk percakapan yang lebih... jujur."
"Dan di sini kita bisa lebih jujur?" tantang Bianca, meskipun jantungnya berdebar lebih cepat.
Keiran mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuh, hanya memberi isyarat ke arah mobil. "Di sini kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya, tanpa perlu topeng atau berpura-pura." Ia kembali menatap mata Bianca, intensitasnya tak berkurang sedikit pun. "Jadi, Bianca," bisiknya, suaranya kini terdengar jauh lebih jelas dan dalam di kesunyian malam. "Siap untuk benar-benar lepas kendali?"
Ada jeda sesaat, napas Bianca tercekat di tenggorokannya. Ia menatap mata Keiran, melihat gairah yang membara di sana, cerminan dari hasrat yang kini juga menyala di dalam dirinya. Ini adalah tebing, dan ia siap melompat.
Keiran melihat keraguan itu di mata Bianca. Senyumnya tidak pudar, justru ada kedalaman baru dalam tatapannya, seolah dia mengerti pergolakan batin Bianca. Dia tidak menekan, tidak memaksa.
Tangannya yang bebas bergerak pelan, menyisir rambut Bianca yang sedikit berantakan karena menari, menyelipkan beberapa helai ke belakang telinganya.
Sentuhan itu lembut, sensual, dan penuh pengertian.
"Aku bisa melihat apa yang ada di kepalamu, Bianca. Ribuan pertanyaan. Ribuan keraguan. Tapi di saat yang sama, ada juga keinginan." Ia menjeda, ibu jarinya dengan lembut membelai kulit di belakang telinga Bianca. "Tidak ada yang memaksamu, Bianca. Pilihan ada di tanganmu."
Bianca menelan ludah. Sentuhan Keiran membuat merinding, dan kata-katanya menusuk langsung ke inti perasaannya. "Bagaimana kau selalu tahu?" bisik Bianca, nyaris tidak terdengar.
Keiran tersenyum tipis, kali ini senyumnya penuh kemenangan, namun tanpa sedikit pun arogansi. Itu adalah senyum yang menjanjikan pengalaman. "Aku hanya pandai membaca isyarat, dan kau, Bianca, adalah buku yang menarik." Dia membiarkan kata-kata itu menggantung di udara, sebuah janji yang menggoda dan misterius, tanpa merinci apa pun.
"Tapi aku bisa jamin, apa pun yang kamu bayangkan, itu akan lebih dari yang kamu harapkan." Dia tidak terlihat seperti pria yang meminta, melainkan pria yang menawarkan pengalaman tak terlupakan, dan sepenuhnya menyerahkan keputusan pada Bianca.
Aura misteriusnya justru semakin kuat karena dia tidak terburu-buru.
Mendengar pertanyaan Ibunya, Keiran menundukkan kepala. Pukulan dan kemarahan Ayahnya, ditambah kondisi Bianca, telah menguras semua energi dan strateginya. Ia, yang biasanya selalu punya rencana, kini merasa kosong.Keiran menghela napas panjang. "Aku... tidak tahu," jawab Keiran, suaranya serak. Ini adalah pengakuan kelemahan yang sangat jarang keluar dari mulutnya. "Kepalaku kosong, maka dari itu aku kesini." Keiran menutup matanya dengan telapak tangan, tidak ingin ada yang melihatnya begitu hancur.Melihat putranya yang benar-benar terpukul, Ibu Keiran menghela napas. Ia menoleh ke arah seorang asisten rumah tangga yang baru muncul, seorang wanita paruh baya yang tampak begitu menghormati Ibu Kieran. "Tolong bawa Nona Bianca ke kamarnya," perintahnya dengan lembut.Pintu rumah ada yang mengetuk. Ibu Keiran membuka pintu. Dua perawat datang. Dengan membawa tas besar berisi alat medis yang Bianca perlukan. “Kami dihubungi Dokter Lim, dan Tuan Kieran.&rd
Keiran tahu ia harus membuat langkah yang tidak bisa diprediksi siapapun. Semua ini demi keamanan Bianca. Rumah sakit, dengan segala keamanannya, masih terasa terlalu terbuka. Penthouse-nya sendiri, yang sudah Clara tandai, juga tidak bisa menjadi pilihan lagi. Ia butuh tempat yang benar-benar aman, tempat yang tidak akan pernah terpikirkan oleh orang-orang yang mengintainya.Tangan Keiran memijat dagunya. Hanya ada satu tempat.Keiran melangkah, mencari dokter itu yang sedang duduk di ruangannya.“Aku butuh sesuatu, aku berencana membawa Bianca ke tempat itu.” wajah dan nada bicara Kieran begitu tegang.Dokter itu menatap Kieran dengan serius. Seolah mencari pilihan lain. Sayangnya, Dokter Lim harus sependapat dengan Kieran, bahwa tempat “itu” adalah tempat teraman bagi Bianca sekarang.“Pastikan tidak ada yang tahu Bianca sudah dipindah.” Kieran mencondongkan tubuhnya agar suaranya terdengar jelas oleh Dokter L
Belum pernah ada yang bicara seperti itu pada Keiran. Ia telah begitu lama terbiasa memegang kendali, memikul semua tanggung jawab sendirian. Pundaknya terbiasa berat.Namun kini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua hal harus ia urus sendiri. Rupanya ada seseorang yang begitu bisa ia andalkan. Padahal Bianca tidak lebih besar daripada dirinya, bahkan lebih muda. Tapi, gadis itu berhassil memberikan pengertian tentang hidup dengan cara yang tak terduga.Tubuh Keiran seolah berhenti bekerja, ia tidak bisa menjawab ucapan Bianca.Memang benar, ia tidak bisa mengembalikan waktu, tidak bisa mencegah pukulan Robi, tidak bisa mengendalikan takdir. Semua rencana, semua kekuatannya, terasa tak berarti di hadapan kenyataan ini. Ia hanya bisa memeluk Bianca, merasakan kehangatan tubuhnya, dan mendengarkan napasnya.Bianca merasakan ketegangan di tubuh Keiran, memahami pergolakan batin pria itu. Ia sendiri pernah merasakan hal yang sama. Bianca mengerti, m
Beberapa jam kemudian, Keiran kembali ke apartemennya untuk mengambil beberapa berkas penting sebelum kembali ke rumah sakit. Ia mendorong pitnu dan melihat Clara sedang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu duduk anggun, dengan senyum manis yang dipaksakan."Keiran," sapa Clara, nadanya manja. "Aku mengkhawatirkanmu. Kudengar ada masalah besar."Keiran melirik sekilas dengan tatapan dingin. "Pergi," perintahnya.Clara tidak gentar. Ia bangkit, mendekati Keiran, memegang sebuah gelas kecil berisi cairan berwarna gelap. "Aku hanya ingin membantumu," katanya, matanya memancarkan kepura-puraan. "Kau pasti lelah. Minumlah ini. Ini bisa menenangkan syarafmu. Resep rahasia, sangat efektif."Ia mengulurkan gelas itu ke Keiran. Senyumnya memang terlihat manis , tapi matanya begitu licik.Keiran menatapnya semakin dalam. “Berani-beraninya kau masuk ke tempatku, Clara.” Pria itu, mendorong tubuh Clara dengan satu jarinya. Ia tahu Clara tidak pern
Setelah penantian yang melelahkan dan menguras emosi. Kondisi Bianca naik turun, kadang sangat stabil kadang juga mengkhawatirkan.Namun ketika mata Bianca perlahan terbuka. Kegelapan dan rasa pening masih menyelimuti, perlahan ia merasakan cahaya samar dan suara alat-alat medis.Bianca melihat sekeliling, bingung. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung memberikan tanda di mana ia berada. Ia mencoba menggerakkan lengannya, tapi terasa kaku dan nyeri.“Bianca.” Suara serak Keiran terdengar begitu menenangkannya.Kieran menekan tombol memanggil dokter dan perawat dengan cepat.Saat pandangan Bianca mulai fokus, ia melihat sosok yang familiar duduk di samping ranjangnya. Pria itu terlihat lelah, dengan bayangan gelap di bawah matanya, rambutnya sedikit berantakan. Tetapi, tatapannya lekat padanya, dipenuhi kelegaan dan sesuatu yang jelas sulit Bianca jelaskan.Bianca menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia begitu lega. Sosok K
Sementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan