Share

02.

Author: silent-arl
last update Last Updated: 2025-07-24 13:48:03

Godaan Keiran begitu nyata, begitu mendesak. Bianca bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu, menggemakan beat musik klub yang kini terasa seperti soundtrack pribadi mereka. Sensasi panas di punggung tangannya, tempat jemari Keiran menyentuh, menyebar ke seluruh tubuhnya.

Ini adalah pelarian yang dia inginkan, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih intens dan berani dari yang pernah ia bayangkan.

"Ke mana?" bisik Bianca, suaranya sedikit serak. Ada campuran rasa takut dan antisipasi yang membara di matanya.

Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia mengucapkan kata itu, dan bagian dari dirinya yang ingin sekali langsung menerima tawaran itu.

Keiran tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menggeser jemarinya dari punggung tangan Bianca, menyelipkan telapak tangannya di telapak tangan Bianca, lalu menggenggamnya erat.

Tatapan matanya yang dalam tak pernah lepas dari Bianca, seolah meminta izin tanpa perlu bicara. Senyum tipisnya melengkung lebih lebar, memancarkan kepercayaan diri dan janji.

Perlahan, Keiran menarik tangan Bianca, mengisyaratkan agar Bianca mengikutinya.

Bianca menatap genggaman tangan mereka, lalu beralih ke mata Keiran yang penuh magnet.

Logikanya berteriak untuk berhenti, untuk memikirkan konsekuensi.

Tapi suara itu tenggelam di bawah desakan hasrat yang belum pernah ia rasakan sekuat ini. Ini adalah kesempatan, kesempatan untuk melarikan diri dari rutinitas yang membosankan, dari frustrasi yang mencekik. Kesempatan untuk merasakan sesuatu yang nyata, bahkan jika itu hanya untuk satu malam.

"Baiklah," bisik Bianca, menantang. "Tapi kau yang harus memimpin." Ia menenggak habis White Russian-nya, merasakan sensasi dingin dan manis menyapu tenggorokannya, seolah mempersiapkan diri untuk apa pun yang akan terjadi.

Keiran tersenyum puas. "Selalu." Ia tidak langsung berjalan cepat; ia memberinya waktu, seolah memastikan Bianca benar-benar yakin dengan pilihannya.

Keiran tersenyum tipis, kali ini senyumnya penuh kemenangan, namun tanpa sedikit pun arogansi.

Itu adalah senyum yang menjanjikan pengalaman. Ia menarik tangannya dari telapak tangan Bianca, hanya untuk kemudian meraih pergelangan tangan wanita itu dengan lembut namun tegas.

"Ikut aku," katanya singkat, tatapannya tak melepaskan mata Bianca.

Tidak ada keraguan, tidak ada paksaan, hanya keyakinan mutlak yang memikat. Ia memimpin, menarik Bianca pelan namun pasti melalui kerumunan yang padat.

Mereka berjalan keluar dari area bar yang padat, menuju lorong yang lebih redup, di mana suara musik tidak lagi memekakkan telinga, melainkan hanya getaran samar di lantai.

Bianca tidak melawan. Ia membiarkan dirinya ditarik, langkahnya ringan mengikuti Keiran yang membelah kerumunan.

Aroma tubuh pria itu, yang sudah dikenalnya, kini terasa lebih kuat, membungkusnya dalam gelembung pribadi mereka. Ia merasakan tubuh Keiran yang kokoh di depannya, bahu atau punggungnya sesekali bergesekan dengan lengannya, mengirimkan sengatan hangat setiap kali sentuhan itu terjadi.

Dunia di sekitar mereka terasa kabur, hanya Keiran yang menjadi fokusnya. Ia tidak tahu ke mana mereka akan pergi, dan anehnya, ia tidak peduli.

Naluri mendadak telah mengambil alih kemudi, membungkam setiap keraguan yang tersisa. “Siapa sebenarnya pria ini? Dan mengapa aku, yang selalu teratur, bisa begitu mudahnya terbawa oleh seseorang yang baru saja kutemui? Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena takut, tapi karena... gairah.”

***

Mereka melewati lorong-lorong yang lebih sepi, menjauhi area utama klub yang bising.

Suara musik mulai meredup menjadi dengung jauh, seolah dunia lain yang baru saja ditinggalkan. Keiran membimbingnya ke sebuah pintu yang tidak mencolok, terlihat seperti pintu keluar darurat atau akses staf yang jarang digunakan. Ia membukanya, dan udara malam yang sejuk serta hembusan angin yang lembut langsung menerpa wajah Bianca, sebuah kelegaan yang tajam kontras dengan panasnya klub.

Mereka melangkah keluar ke sebuah gang belakang yang gelap dan sepi, hanya diterangi oleh lampu remang-remang dari gedung-gedung tinggi di sekitarnya.

Aroma lembap khas malam hari dan sedikit bau sampah menyengat, namun Bianca tidak mempermasalahkannya. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil mewah berwarna gelap yang terparkir tak jauh dari sana.

Mobil itu tampak terlalu bagus untuk berada di gang ini, sama misteriusnya dengan pemiliknya.

Bianca mengamati mobil itu dengan alis terangkat, sedikit menyeringai. "Mobil ini... sepertinya tidak parkir di sembarang gang."

Keiran berhenti di samping mobil, melepaskan pergelangan tangan Bianca namun tetap berdiri sangat dekat dengannya. Ia menoleh, matanya kembali mengunci mata Bianca, intensitasnya tak berkurang sedikit pun. "Beberapa hal mewah memang lebih suka bersembunyi dari keramaian," jawabnya dengan suara rendah, senyum tipis bermain di bibirnya. "Sama seperti beberapa orang."

Bianca menatap mobil itu lagi, lalu kembali menatap Keiran. "Dan kurasa kau adalah salah satunya."

"Mungkin," Keiran mengakui, tatapannya lembut namun menusuk. "Klub itu terlalu ramai untuk percakapan yang lebih... jujur."

"Dan di sini kita bisa lebih jujur?" tantang Bianca, meskipun jantungnya berdebar lebih cepat.

Keiran mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuh, hanya memberi isyarat ke arah mobil. "Di sini kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya, tanpa perlu topeng atau berpura-pura." Ia kembali menatap mata Bianca, intensitasnya tak berkurang sedikit pun. "Jadi, Bianca," bisiknya, suaranya kini terdengar jauh lebih jelas dan dalam di kesunyian malam. "Siap untuk benar-benar lepas kendali?"

Ada jeda sesaat, napas Bianca tercekat di tenggorokannya. Ia menatap mata Keiran, melihat gairah yang membara di sana, cerminan dari hasrat yang kini juga menyala di dalam dirinya. Ini adalah tebing, dan ia siap melompat.

Keiran melihat keraguan itu di mata Bianca. Senyumnya tidak pudar, justru ada kedalaman baru dalam tatapannya, seolah dia mengerti pergolakan batin Bianca. Dia tidak menekan, tidak memaksa.

Tangannya yang bebas bergerak pelan, menyisir rambut Bianca yang sedikit berantakan karena menari, menyelipkan beberapa helai ke belakang telinganya.

Sentuhan itu lembut, sensual, dan penuh pengertian.

"Aku bisa melihat apa yang ada di kepalamu, Bianca. Ribuan pertanyaan. Ribuan keraguan. Tapi di saat yang sama, ada juga keinginan." Ia menjeda, ibu jarinya dengan lembut membelai kulit di belakang telinga Bianca. "Tidak ada yang memaksamu, Bianca. Pilihan ada di tanganmu."

Bianca menelan ludah. Sentuhan Keiran membuat merinding, dan kata-katanya menusuk langsung ke inti perasaannya. "Bagaimana kau selalu tahu?" bisik Bianca, nyaris tidak terdengar.

Keiran tersenyum tipis, kali ini senyumnya penuh kemenangan, namun tanpa sedikit pun arogansi. Itu adalah senyum yang menjanjikan pengalaman. "Aku hanya pandai membaca isyarat, dan kau, Bianca, adalah buku yang menarik." Dia membiarkan kata-kata itu menggantung di udara, sebuah janji yang menggoda dan misterius, tanpa merinci apa pun.

"Tapi aku bisa jamin, apa pun yang kamu bayangkan, itu akan lebih dari yang kamu harapkan." Dia tidak terlihat seperti pria yang meminta, melainkan pria yang menawarkan pengalaman tak terlupakan, dan sepenuhnya menyerahkan keputusan pada Bianca.

Aura misteriusnya justru semakin kuat karena dia tidak terburu-buru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   07.

    Keiran membawa Bianca ke sebuah restoran kecil yang elegan namun tidak formal, dengan interior hangat dan remang-remang, yang buka hingga larut malam. Mereka duduk di sudut yang lebih privat."Jadi, pekerjaanmu terdengar... melelahkan. Apakah semua hari-harimu seperti kemarin?" Keiran memulai, menyesap minumannya.Bianca menghela napas, sebuah senyum kecut terukir di bibirnya. "Hampir. Kadang rasanya aku hanya berputar di tempat. Mendesain logo yang hasilnya selalu sama saja. Monoton. Kau tahu, kehidupan yang 'aman' seperti yang selalu kubayangkan, ternyata bisa sangat membosankan."Keiran terkekeh pelan. "Aku tahu. Dan itulah mengapa kau berakhir di klub itu, kan? Mencari sedikit 'ketidakamanan'." Matanya berbinar geli. "Apakah aku memenuhi ekspektasimu sejauh ini?"Bianca merasakan pipinya memanas lagi. "Lebih dari yang kuduga. Siapa sangka, terapi stresku ada di lapangan baseball tengah malam, dan makan malam jam satu pagi dengan seorang pria yang baru kukenal." jawabnya jujur, taw

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   06.

    Ponsel Keiran terus bergetar. Ia melirik layar, wajahnya berubah serius.Bayangan konsentrasi pekerjaan kini merasuki raut wajahnya, memadamkan gairah yang sempat memenuhi udara di antara mereka.Urgensi yang jelas menggantikannya. Ia menghela napas pelan, sedikit kesal karena interupsi itu, namun profesionalisme yang melekat padanya langsung mengambil alih."Ada masalah di pekerjaan," ujar Keiran singkat, pandangannya beralih dari ponsel ke mata Bianca. "Aku harus pergi." Nada minta maaf tersirat di sana.Bianca merasakan kekecewaan yang melanda, begitu kuat hingga ia hampir mengerang.Momen itu, gairah itu, semua sirna secepat kilat, meninggalkan kekosongan yang hampa. Namun ia mengangguk paham. "Tidak masalah."Keiran melihat kekecewaan itu di mata Bianca, dan senyum tipisnya kembali, kali ini mengandung sedikit penyesalan."Maaf. Perlu kuantar pulang?" ucapnya, kembali melirik ponselnya yang masih bergetar.Bianca menggeleng cepat.Bianca tidak ingin lagi memperpanjang harapan, at

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   05.

    Keiran kembali mendekat, bibirnya menyentuh bibir Bianca lagi.Ciuman mereka berlanjut, lebih dalam, lebih mendesak. Di tengah gelombang sensasi itu, saat ciuman mulai semakin intens, mata Bianca tanpa sengaja terbuka.Pandangannya jatuh pada tangan Keiran yang memeluk pinggangnya. Dan di jari manis tangan kirinya, tersemat sebuah cincin gelap dengan desain berbeda yang unik. Bukan cincin pernikahan tradisional, tetapi jelas ada sebuah cincin yang dikenakan di jari itu.Napas Bianca tercekat. Seketika, kilasan realita menyambar benaknya, merobek gelembung euforia yang menyelimutinya. Ia langsung menarik diri, memutuskan ciuman itu dengan tiba-tiba.Wajahnya memerah, bukan karena gairah, melainkan karena rasa malu dan kekonyolan yang menyengat. “Bodohnya aku, ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku melupakan ini?”Keiran sedikit terkejut dengan penolakan mendadak Bianca.Alisnya terangkat, matanya yang dalam menatap Bianca dengan kebingungan yang samar."Ada apa?" tanya

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   04.

    Mobil melambat, berbelok tajam ke sebuah area yang diterangi oleh beberapa lampu sorot besar. Bianca terkesiap, napasnya tertahan.Bukan gedung, bukan hotel, melainkan sebuah lapangan baseball yang sangat luas dan kosong membentang di hadapannya.Tribun penonton terhampar di kejauhan, dan di tengahnya, rumput hijau yang terawat membentang di bawah cahaya lampu. Udara terasa dingin dan segar, jauh dari pengapnya klub, dan keheningan yang menyelimuti tempat itu terasa monumental setelah hiruk pikuk yang baru saja ia tinggalkan.Keiran memarkir mobil di pinggir lapangan, mesin dimatikan.Suara jangkrik malam dan desiran semilir angin menjadi satu-satunya melodi yang menyambut mereka.Keheningan itu begitu menusuk, sebuah kontras yang mencolok dari tempat mereka berasal. Ia menoleh ke arah Bianca, matanya berkilau dengan hiburan yang tenang."Kejutan?" tanyanya, suaranya mengandung nada menggoda yang sama sekali tidak mesum. Ini adalah tantangan baru, sebuah janji petualangan yang berbeda

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   03.

    Keiran menyingkirkan helai rambut Bianca dengan lembut, sentuhannya bagai bara api dingin yang menjalar di kulitnya.Tatapan matanya yang intens itu seolah menembus jiwa Bianca, membaca setiap keinginan terpendam yang ia sembunyikan. Janji "lebih dari yang kamu harapkan" bergaung di benaknya.Keraguan memang masih membayangi, namun dorongan untuk melarikan diri dari hidupnya yang monoton, demi merasakan sesuatu yang nyata dan intens, jauh lebih kuat. Ia menatap mata Keiran."Oke," bisik Bianca, nyaris tak terdengar di antara dentuman musik yang samar. Satu kata, sebuah lompatan keyakinan, sebuah penyerahan diri pada ketidakpastian yang menggoda. "Aku ikut."Senyum Keiran melebar sedikit, bukan senyum kemenangan, melainkan semacam kepuasan yang tenang.Tatapannya pada Bianca penuh makna, seolah berkata, "Aku tahu kau akan melakukannya." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, tidak ada lagi godaan verbal. Ia hanya membuka pintu belakang mobil mewahnya yang gelap, mengisyaratkan Bianca untuk

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   02.

    Godaan Keiran begitu nyata, begitu mendesak. Bianca bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu, menggemakan beat musik klub yang kini terasa seperti soundtrack pribadi mereka. Sensasi panas di punggung tangannya, tempat jemari Keiran menyentuh, menyebar ke seluruh tubuhnya.Ini adalah pelarian yang dia inginkan, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih intens dan berani dari yang pernah ia bayangkan."Ke mana?" bisik Bianca, suaranya sedikit serak. Ada campuran rasa takut dan antisipasi yang membara di matanya.Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia mengucapkan kata itu, dan bagian dari dirinya yang ingin sekali langsung menerima tawaran itu.Keiran tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menggeser jemarinya dari punggung tangan Bianca, menyelipkan telapak tangannya di telapak tangan Bianca, lalu menggenggamnya erat.Tatapan matanya yang dalam tak pernah lepas dari Bianca, seolah meminta izin tanpa perlu bicara. Senyum tipisnya melengkung lebih lebar, memancarkan kepercayaan diri dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status