Keiran menyingkirkan helai rambut Bianca dengan lembut, sentuhannya bagai bara api dingin yang menjalar di kulitnya.
Tatapan matanya yang intens itu seolah menembus jiwa Bianca, membaca setiap keinginan terpendam yang ia sembunyikan. Janji "lebih dari yang kamu harapkan" bergaung di benaknya.
Keraguan memang masih membayangi, namun dorongan untuk melarikan diri dari hidupnya yang monoton, demi merasakan sesuatu yang nyata dan intens, jauh lebih kuat. Ia menatap mata Keiran.
"Oke," bisik Bianca, nyaris tak terdengar di antara dentuman musik yang samar. Satu kata, sebuah lompatan keyakinan, sebuah penyerahan diri pada ketidakpastian yang menggoda. "Aku ikut."
Senyum Keiran melebar sedikit, bukan senyum kemenangan, melainkan semacam kepuasan yang tenang.
Tatapannya pada Bianca penuh makna, seolah berkata, "Aku tahu kau akan melakukannya." Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, tidak ada lagi godaan verbal. Ia hanya membuka pintu belakang mobil mewahnya yang gelap, mengisyaratkan Bianca untuk masuk.
Gerakan tangannya halus, penuh hormat, namun dengan otoritas yang tak terbantahkan.
***
Bianca menunduk sedikit, masuk ke dalam mobil. Interiornya gelap dan mewah, jok kulit yang lembut langsung memeluk tubuhnya. Aroma maskulin Keiran yang khas, kini lebih pekat dan intim, memenuhi indra penciumannya.
"Lumayan," gumam Bianca, menyentuh jok kulit di sampingnya. "Aku yakin ini jauh lebih nyaman daripada kursi kerjaku."
Keiran kemudian masuk ke kursi kemudi, menutup pintu dengan bunyi klik yang solid, memutus mereka dari kebisingan klub.
Keheningan yang tiba-tiba melingkupi mereka begitu tebal, hanya dipecahkan oleh suara mesin mobil yang menyala pelan.
Keiran tidak langsung tancap gas. Ia menoleh ke arah Bianca, matanya kembali menatapnya dalam kegelapan yang remang. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Jauh lebih nyaman," ucap Keiran, suaranya rendah dan dalam, memecah keheningan. "Dan aku jamin, ini hanyalah permulaan dari kenyamanan yang akan kau rasakan malam ini, Bianca. Jadi, siap untuk petualanganmu?"
Bianca menatap Keiran, bibirnya sedikit terbuka, siap menjawab pertanyaan "siap untuk petualanganmu?" Namun, sebelum ia sempat berucap, Keiran lebih dulu memecah keheningan.
"Sabuk pengaman," perintah Keiran lembut, menunjuk ke arah sabuk pengaman di sisi Bianca. Suaranya bukan lagi bisikan menggoda di klub, melainkan nada suara pria yang penuh kendali dan otoritas yang tenang.
Bianca yang masih terbawa suasana klub dan gairah, sedikit tersentak oleh realitas.
Pikirannya sempat melayang, "Oh, dia sungguh-sungguh akan membawaku pergi." Ia segera menarik sabuk pengaman dan memasangnya.
Keiran mengangguk kecil, sudut bibirnya sedikit terangkat, seolah geli dengan transisi Bianca dari kobaran gairah menjadi kepatuhan seketika.
***
Mobil melaju pelan, meninggalkan gang belakang yang gelap dan menyusuri jalanan kota yang sepi di malam hari.
Bianca mengharapkan mereka akan menuju ke arah hotel mewah, atau setidaknya sebuah penthouse dengan pemandangan kota yang gemerlap. Benaknya dipenuhi bayangan momen-momen intim yang mungkin akan terjadi di balik pintu tertutup.
Namun, semakin lama perjalanan, semakin ia menyadari bahwa rute yang diambil Keiran terasa asing.
Mereka melewati bangunan-bangunan perkantoran tinggi, kemudian perumahan yang tenang, hingga akhirnya memasuki area yang terasa lebih terbuka dan luas, dengan pepohonan yang membentang jarang.
Tidak ada gedung tinggi, tidak ada lampu neon yang terang.
Secara perlahan namun pasti, kebingungan mulai merayap di benak Bianca, menggantikan antisipasi erotisnya dengan tanda tanya besar.
“Seharusnya aku bertanya. Kenapa aku membiarkan diriku ditarik begitu saja? Pria ini... dia punya cara untuk membuatku lupa segalanya. Tapi apa yang dia rencanakan?” batin Bianca.
"Kita mau ke mana?" tanya Bianca akhirnya, suaranya dipenuhi rasa penasaran yang tak bisa lagi ia tahan.
Keiran menoleh sekilas, senyum tipis di bibirnya. "Sudah kubilang, kan? Lebih dari yang kamu harapkan."
Mendengar pertanyaan Ibunya, Keiran menundukkan kepala. Pukulan dan kemarahan Ayahnya, ditambah kondisi Bianca, telah menguras semua energi dan strateginya. Ia, yang biasanya selalu punya rencana, kini merasa kosong.Keiran menghela napas panjang. "Aku... tidak tahu," jawab Keiran, suaranya serak. Ini adalah pengakuan kelemahan yang sangat jarang keluar dari mulutnya. "Kepalaku kosong, maka dari itu aku kesini." Keiran menutup matanya dengan telapak tangan, tidak ingin ada yang melihatnya begitu hancur.Melihat putranya yang benar-benar terpukul, Ibu Keiran menghela napas. Ia menoleh ke arah seorang asisten rumah tangga yang baru muncul, seorang wanita paruh baya yang tampak begitu menghormati Ibu Kieran. "Tolong bawa Nona Bianca ke kamarnya," perintahnya dengan lembut.Pintu rumah ada yang mengetuk. Ibu Keiran membuka pintu. Dua perawat datang. Dengan membawa tas besar berisi alat medis yang Bianca perlukan. “Kami dihubungi Dokter Lim, dan Tuan Kieran.&rd
Keiran tahu ia harus membuat langkah yang tidak bisa diprediksi siapapun. Semua ini demi keamanan Bianca. Rumah sakit, dengan segala keamanannya, masih terasa terlalu terbuka. Penthouse-nya sendiri, yang sudah Clara tandai, juga tidak bisa menjadi pilihan lagi. Ia butuh tempat yang benar-benar aman, tempat yang tidak akan pernah terpikirkan oleh orang-orang yang mengintainya.Tangan Keiran memijat dagunya. Hanya ada satu tempat.Keiran melangkah, mencari dokter itu yang sedang duduk di ruangannya.“Aku butuh sesuatu, aku berencana membawa Bianca ke tempat itu.” wajah dan nada bicara Kieran begitu tegang.Dokter itu menatap Kieran dengan serius. Seolah mencari pilihan lain. Sayangnya, Dokter Lim harus sependapat dengan Kieran, bahwa tempat “itu” adalah tempat teraman bagi Bianca sekarang.“Pastikan tidak ada yang tahu Bianca sudah dipindah.” Kieran mencondongkan tubuhnya agar suaranya terdengar jelas oleh Dokter L
Belum pernah ada yang bicara seperti itu pada Keiran. Ia telah begitu lama terbiasa memegang kendali, memikul semua tanggung jawab sendirian. Pundaknya terbiasa berat.Namun kini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua hal harus ia urus sendiri. Rupanya ada seseorang yang begitu bisa ia andalkan. Padahal Bianca tidak lebih besar daripada dirinya, bahkan lebih muda. Tapi, gadis itu berhassil memberikan pengertian tentang hidup dengan cara yang tak terduga.Tubuh Keiran seolah berhenti bekerja, ia tidak bisa menjawab ucapan Bianca.Memang benar, ia tidak bisa mengembalikan waktu, tidak bisa mencegah pukulan Robi, tidak bisa mengendalikan takdir. Semua rencana, semua kekuatannya, terasa tak berarti di hadapan kenyataan ini. Ia hanya bisa memeluk Bianca, merasakan kehangatan tubuhnya, dan mendengarkan napasnya.Bianca merasakan ketegangan di tubuh Keiran, memahami pergolakan batin pria itu. Ia sendiri pernah merasakan hal yang sama. Bianca mengerti, m
Beberapa jam kemudian, Keiran kembali ke apartemennya untuk mengambil beberapa berkas penting sebelum kembali ke rumah sakit. Ia mendorong pitnu dan melihat Clara sedang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu duduk anggun, dengan senyum manis yang dipaksakan."Keiran," sapa Clara, nadanya manja. "Aku mengkhawatirkanmu. Kudengar ada masalah besar."Keiran melirik sekilas dengan tatapan dingin. "Pergi," perintahnya.Clara tidak gentar. Ia bangkit, mendekati Keiran, memegang sebuah gelas kecil berisi cairan berwarna gelap. "Aku hanya ingin membantumu," katanya, matanya memancarkan kepura-puraan. "Kau pasti lelah. Minumlah ini. Ini bisa menenangkan syarafmu. Resep rahasia, sangat efektif."Ia mengulurkan gelas itu ke Keiran. Senyumnya memang terlihat manis , tapi matanya begitu licik.Keiran menatapnya semakin dalam. “Berani-beraninya kau masuk ke tempatku, Clara.” Pria itu, mendorong tubuh Clara dengan satu jarinya. Ia tahu Clara tidak pern
Setelah penantian yang melelahkan dan menguras emosi. Kondisi Bianca naik turun, kadang sangat stabil kadang juga mengkhawatirkan.Namun ketika mata Bianca perlahan terbuka. Kegelapan dan rasa pening masih menyelimuti, perlahan ia merasakan cahaya samar dan suara alat-alat medis.Bianca melihat sekeliling, bingung. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung memberikan tanda di mana ia berada. Ia mencoba menggerakkan lengannya, tapi terasa kaku dan nyeri.“Bianca.” Suara serak Keiran terdengar begitu menenangkannya.Kieran menekan tombol memanggil dokter dan perawat dengan cepat.Saat pandangan Bianca mulai fokus, ia melihat sosok yang familiar duduk di samping ranjangnya. Pria itu terlihat lelah, dengan bayangan gelap di bawah matanya, rambutnya sedikit berantakan. Tetapi, tatapannya lekat padanya, dipenuhi kelegaan dan sesuatu yang jelas sulit Bianca jelaskan.Bianca menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia begitu lega. Sosok K
Sementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan