Share

Bab 6

***

Kasurnya tidak memiliki bulu, dan tidak sehangat ini walaupun rasa nyamannya hampir sama. Tidak tau berapa lama Yerinsa sudah tertidur, dia memaksa mata untuk terbuka.

Pemandangan asing masuk ke dalam indera penglihatan gadis itu, sesuatu yang putih seperti permadani bulu angsa terhampar luas di bawah. Yerinsa mengerang sebelum bangkit duduk celingak-celinguk, wajah setengah mengantuk itu keheranan.

"Di mana lagi ini," monolog Yerinsa gusar.

Sesaat kemudian tersentak menyadari suaranya berbeda dari beberapa hari belakangan, ini suara Teresia asli. Tergesa-gesa Yerinsa mengecek keadaan sendiri, menemukan tubuhnya kembali seperti sosok wanita dewasa, bukan remaja.

Dia menjadi Teresia lagi?

Tiba-tiba?

"Kakak."

Di tengah mengecek kondisi tubuh dan bersimpuh, Teresia mendengar suara halus datang dari arah belakang. Memutar pandangan, Teresia menemukan seorang gadis muda mendekat dengan kaki mengambang tidak menyentuh dasar.

Teresia tidak bereaksi untuk beberapa saat, hanya tercengang melihat kedatangan sosok itu seperti dari atas langit. Dan, yang lebih membuat Teresia melongo adalah wajah itu, pemilik rambut coklat kemerahan yang tergerai cantik.

Mengenakan dress putih bersih dan tanpa aksesoris apapun selain hiasan bunga kecil-kecil di rambut. Sosok remaja di depannya adalah bentuk yang sering Teresia lihat di cermin selama seminggu ini.

Yerinsa.

Bagaiman bisa?

"Benar, aku Yerinsa. Salam kenal, Kakak," kata sosok itu seakan mendengar batin Teresia mengalisis.

"Bagaimana ... bisa? Kamu ... aku ..."

Teresia terbata-bata bicara, berkali-kali mencubit lengan untuk menyadarkan jika ini hanya mimpi. Tapi, rasa sakit itu tidak membuat Teresia bangun dari tidur ini.

"Kita memiliki sedikit waktu untuk bicara," kata Yerinsa dengan senyum ringan.

Sosok itu perlahan turun hingga duduk bersimpuh juga di hadapan Teresia, di atas permadani berbulu lembut itu.

"Tunggu ... tapi ini di mana? Dan, kamu sekarang ini apa?" tanya Teresia mendesak gugup, ngeri juga berhadapan dengan hantu.

Yerinsa terkikik kecil. "Aku sisa jiwa yang tertinggal," jawabnya enteng.

"hah? Jiwa yang tertinggal?" beo Teresia tidak mengerti.

"Dengar, Kakak." Yerinsa mendadak serius, menggenggam tangan Teresia yang bertumpu di atas paha untuk saling menatap.

"Karena kecelakaan itu, aku sekarat, aku tidak sekuat orang lain yang bisa bertahan dengan kejadian itu. Tapi, tidak tau bagaimana, jiwa Kakak memasuki tubuhku, membuat jiwa kita bergesekan dan jiwaku tidak bisa bertahan. Lebih tepatnya, jiwa kita menyatu," terang Yerinsa dengan tatapan lurus ke mata hitam wanita di depannya.

Teresia diam sejenak. "Jadi, kamu ..." katanya menggantung.

Yerinsa mengangguk. "Aku sudah mati. Dan, berkat kejadian tidak masuk akal ini, aku tau duniaku hanya fiksi yang Kakak pernah baca," katanya dengan bibir agak mencebik.

Teresia meringis dalam hati, tidak tau harus membalas apa, karena memang ini terasa tidak masuk akal jika dipikirkan dengan logika. Memangnya, logika dunia apa yang bisa menerima cerita jiwa masuk ke dalam buku fiksi.

"Walaupun dunia ini fiksi, ini tetap dunia nyata bagiku, dan bagi Kakak sekarang, karena sudah menempati tubuhku untuk hidup." Yerinsa menambahi cepat.

"Aku tidak mengerti semua ini. Apa yang harus kulakukan?" lirih Teresia sungguh bingung mencari jalan keluar masalah ini.

Teresia ingin kembali ke tubuh aslinya, tapi tidak yakin apakah selamat dari kebakaran itu. Tinggal di raga Yerinsa juga memiliki ketakutan lain, karena jika sesuai novel, maka Yerinsa tetap akan mati.

Lagipula, harusnya Yerinsa tidak mati sangat awal begini, kan?

Sebelum cerita novel di mulai.

"Tentu saja jangan biarkan keluargaku mati!" seru Yerinsa tiba-tiba dengan kepalan tangan menyemangati di udara.

"Karena sekarang keluarga De Vries adalah keluarga Kakak juga, jadi, tolong selamatkan keluarga kita," pinta Yerinsa kemudian dengan suara lebih tenang, kembali menggenggam erat tangan Teresia seakan menyalurkan semangatnya.

Teresia terdiam, berpikir kritis, tak lama tersenyum melihat remaja ceria di depannya dan mengangguk.

"Aku ... akan mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan keluarga kita," katanya dengan tatapan berangsur memiliki tekad.

Kata keluarga kita dari Yerinsa seakan menyadarkan Teresia bahwa saat ini dia sudah bukan lagi perempuan 25 tahun, melainkan pemilik raga gadis 18 tahun.

Bukan lagi Teresia si anak sulung keluarga sederhana, tapi sudah menjadi Yerinsa di putri tersayang keluarga De Vries. Dan, keluarga De Vries adalah empat orang yang akan mati satu persatu di masa depan.

Teresia, ataupun Yerinsa, yang sudah mengetahui masa depan itu, tidak mungkin membiarkan keluarga harmonis mereka berakhir mengenaskan seperti di novel.

"Jangan biarkan kita semua mengalami apa yang terjadi di buku fiksi itu, pasti ada cara untuk menghindarinya, kan? Tidak peduli apa yang terjadi pada harta De Vries, aku hanya ingin keluarga kita tetap utuh dan bahagia," kata Yerinsa dengan senyum sendu, mencoba menekan perasaan tidak percaya dirinya pada masa depan.

"Karena aku sekarang tidak bisa lagi melakukan apapun, semuanya kuserahkan pada Kakak. Tolong jangan biarkan Ayah dan Ibu mati, jangan biarkan Kak Gabby menderita," tambah Yerinsa lagi, tubuh itu berangsur menjadi transparan.

Teresia membelalakkan mata melihat perubahan itu, menggenggam lebih erat pada tangan Yerinsa karena merasa waktu mereka belum cukup.

"Yerin-"

"Anggap saja, kematianku sebagai pengorbanan untuk De Vries. Kakak, pokoknya, pertahankan keluarga kita, karena De Vries sekarang adalah keluargamu."

Tautan tangan pada Yerinsa menghilang seiring sosok itu mengabur menjadi partikel-partikel cahaya meninggalkan sebuah senyuman manis untuk Teresia.

"Yerin, aku ... ya, aku akan melakukan yang terbaik untuk De Vries," kata Teresia membalas permintaan lembut Yerinsa sebelum sosok itu benar-benar menghilang di udara.

Menyisakan Teresia sendirian linglung, hingga akhirnya jatuh tidak sadarkan diri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status