Teresia Syeilendri adalah wanita dewasa yang secara tidak masuk akal berpindah ke dunia novel, novel terakhir yang dibaca di malam sebelum kematiannya. Bukan menjadi karakter utama, ataupun antagonis, melainkan karakter yang tidak pernah muncul di novel, yaitu saudari kembar pemeran utama wanita. Walaupun karakter tidak terlihat, tapi tetap pernah muncul satu dalam sekian banyak paragraf demi pengembangan cerita. Kemunculan karakter ini adalah saat kematiannya! Muncul untuk mati di dalam cerita. Teresia tidak terima, nasib nahas itu ingin dibelokkan dengan cara apapun, termasuk menjauhkan pemeran utama pria di novel dari pemeran utama wanita.
View More***
Permohonan teramat pelan itu meluncur dari bibir berpoles lipstik merah muda, tangan gemetar memegang seuntai rantai perak yang menggantung erat bersama lampu kristal di langit-langit.
Rantai yang juga menjadi pengekang pergerakan, terhubung ke pergelangan kaki kiri. Benda panjang dan berat itu dipasangkan oleh orang yang dipikir bisa menjadi tempat pelariannya, ternyata malah merupakan orang paling gila.
Butiran bening air mata mengalir di pipi, membasahi riasan cantik bak boneka porselen seharga ratusan juta, wajah halus tanpa cela itu seakan menanggung begitu besar beban dalam jiwa.
Lebam-lebam membiru tidak bisa disembunyikan dari lengan dan betis, bersatu dengan jejak-jejak kemerahan di leher dan pundak. Penyiksaan dan cinta menjadi satu dalam rantai itu.
Untuk terakhir kali Gabriella menatap seluruh ruangan yang menjadi kamar tidur sekaligus penjara untuknya selama dua tahun ini, menghapus lembut jejak air mata sebelum menatap lingkaran rantai buatannya sendiri.
Gabriella mengalungkan rantai itu ke leher sebelum mengangkat kaki dari berpijak di sofa di ujung ranjang. Tubuh ramping dengan Lolita dress yang indah itu untuk sejenak terayun di udara, bersama gemerincing rantai dan suara gerakan lampu kristal.
Rasa sakit dari kebutuhan pasokan oksigen yang terhambat menggerogoti paru-paru Gabriella perlahan tapi pasti.
"Ma-af," lirih Gabriella sebelum menutup mata dengan hembusan napas terakhir.
Mati rasa dialami saat tulang leher Gabriella berderak patah, lambat laun wajah itu memucat dengan lidah menjulur di mulut terbuka.
Tidak kuat menahan beban dari tubuh manusia, akibatnya lampu kristal yang menggantung di langit-langit itu berderak sebelum penyangga patah dan membawa Gabriella jatuh membentur lantai marmer berkarpet abu-abu.
Suara keras dari kamar itu berhasil mengejutkan pelayan yang bekerja, termasuk seorang laki-laki dengan setelan kasual serba hitam sedang duduk menunggu di sofa.
Mengetahui asal suara, Luga bangkit berdiri dengan tergesa-gesa, melangkah ke arah sumber suara diikuti beberapa orang pelayan wanita. Menuju kamar Gabriella yang menjadi asal kegaduhan.
Tanpa memegang gagang pintu, Luga langsung mendobrak pintu dengan kaki, membuat pintu menjeblak terbuka.
"Ya Tuhan!"
"Astaga-!"
Pelayan yang mengikuti Luga menggumam tercekat, sementara laki-laki itu berdiri mematung melihat keadaan di lantai dalam ruangan itu.
Luga berlari mendekati Gabriella yang teronggok telungkup di antara beling-beling kristal pecahan lampu. Menyingkirkan kerangka lampu di salah satu lengan gadis itu, noda merah sudah mengotori karpet lembut.
Membalikkan posisi tubuh yang terpelintir itu, Luga memangku kepala Gabriellla, melihat darah merembes deras dari sisi kening dan bahu tertancap beling.
"Gab, apa yang kamu lakukan." Luga melirih gusar, mengecek nadi dan pernapasan Gabriella.
Sudah tidak ada tanda-tanda berdetak.
Tangan Luga gemetar, terus menggumam 'tidak' dengan sangat lirih, bahkan sebutir air mata lolos dari mata amber yang segera memerah itu.
"Tidak, Gabby, kamu tidak bisa seperti ini. Kamu juga tidak bisa meninggalkanku, tidak dengan cara ini," ratap Luga pilu, memeluk kepala Gabriella tidak peduli darah mengotori baju sendiri.
Gadis yang begitu dia cintai, bagaimana bisa melakukan hal seperti ini. Gadis yang bahkan tadi pagi masih tampak begitu membencinya, menatapnya penuh amarah tertahan.
Bahkan, mereka menghabiskan malam panas tadi malam tanpa tanda-tanda Gabriella akan melakukan hal gila ini. Menjadi berlumuran darah di tengah pecahan kristal, tanpa nyawa.
Luga menunduk memeluk erat tubuh yang sudah mendingin itu, di antara tangis diamnya terdengar permohonan untuk mengembalikan nyawa gadis yang menjadi separuh kewarasannya.
Tak berapa lama, kekehan rendah terdengar, Luga tiba-tiba mengangkat pandangan dengan mata merah basah itu, menatap kosong pada genangan darah di lantai.
"Kita akan tetap bersama, Gab, hidup ataupun mati," bisik Luga pelan.
Segera bangkit setelah dengan hati-hati meletakkan Gabriella di karpet bersih. Luga merogoh saku celana dan mengeluarkan dompet, mengambil anak kunci kecil dan membuka belenggu rantai di kaki Gabriella.
Lalu, menggendong tubuh ramping itu dan berjalan cepat keluar dari kamar.
"Tuan Muda, anda mau ke mana? Ke mana Anda akan membawa Nona Gabriel?" Salah seorang pelayan bertanya saat melihat Luga menuruni tangga dalam keadaan kacau.
Luga tidak menjawab, hanya terus melangkah ke pintu dan pergi membawa Gabriella dengan mobil. Meninggalkan mansion mewah di perbukitan sejuk itu bersama seonggok mayat di kursi samping kemudi.
{ The End }
*****
Sesegukan membolak-balik halaman terakhir buku novel guna memastikan apakah ada lagi lanjutan cerita, dan nyatanya tidak ada.
"Ending yang membagongkan sekali, saudara-saudara. Gue udah nangis kejer tujuh hari tujuh malem, malah dapet akhir ngegantung begini," dumel Teresia tidak puas, jejak air mata masih menggenang di pelupuk mata.
Kesal dengan akhir cerita dari novel yang baru dibeli dua minggu lalu. Novel yang untuk ke sekian serinya Teresia beli.
Bangkit dari tiarap, perempuan 25 tahun itu meraih tissue lagi di atas meja samping laptop, mengusap sisa-sisa air mata di wajah sekaligus menyingkirkan ingus di hidung, lalu membuang tissue bekas itu sembarangan di lantai bersama gumpalan tissue lain.
Malam minggu, di saat sebagian orang lain memilih ke luar rumah untuk sekedar jalan-jalan atau ngapel berpacaran, Teresia malah menenggelamkan diri terbawa perasaan dalam lautan kata yang disusun indah oleh penulis buku.
"Tega banget parah, penulisnya, masa Gabriel udah banyak menderita ujung-ujungnya dibikin mati." Teresia masih mendumel sambil bangkit berdiri, memunguti sampah di lantai kamar untuk dimasukkan ke keranjang sampah.
"Gue rasa nih penulisnya sado, deh. Masa suka nyiksa karakter sendiri," omel Teresia di tengah membenahi kasur.
Teresia kesal, emosi, baper lah istilahnya, dengan novel berjudul < I'm Yours > ini. Awalnya berniat iseng membeli, membaca saat hari libur saja, tapi tidak menyangka alur ceritanya akan sangat memporak-porandakan hati.
Novel ini sebenarnya adalah salah satu seri dari cerita Roosevelt Family. Setiap seri memiliki pemeran utama berbeda, tema berbeda, dan genre berbeda. Hanya saja universe yang sama, latar keluarga besar yang sama pula.
Judulnya sangat biasa saja, tapi covernya menarik, dan isinya berhasil membuat Teresia gagal berhenti membaca. Genre romantis tapi bertema dark-romance yang sangat epic. Dengan rate 21+ karna mengandung adegan kekerasaan dan pemaksaan dalam berhubungan seks.
Menceritakan tentang obsesi gelap si pemeran utama laki-laki, yaitu Luga Nathanael Roosevelt, pada seorang gadis, Gabriella Erish De Vries. Latar tempat dari cerita ini ada negara kincir angin, Belanda, tapi menggunakan bahasa Indonesia.
"Lagian, di dunia nyata mana ada orang terobsesi kayak obsesi Luga ke Gabriel. Kayak orang gila," kritik Teresia kembali.
***
***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins
***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran
***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai
***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A
***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka
***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments